• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Menyebabkan Kejenuhan

Dalam dokumen publikasi e-konsel (Halaman 55-59)

Jika para konselor mengalami kejenuhan, pada dasarnya ada dua alasan utama. Alasan pertama berkaitan dengan manajemen kasus dari sang konselor itu sendiri. Sedangkan alasan kedua berkaitan dengan kondisi dan cara kerja organisasi. Ada faktor lain juga, seperti kepribadian konselor. Tidak setiap orang cocok untuk pekerjaan konseling dan tidak setiap orang akan memilih konseling sebagai satu karir jika ada peluang kerja lainnya. Namun, pengalaman memperlihatkan pada saya bahwa dua faktor mendasar yang disebut di atas adalah faktor-faktor paling penting yang menyebabkan konselor mengalami kejenuhan.

Faktor-Faktor yang Berkaitan dengan Kasus 1. Beratnya beban kasus.

Lazim dialami oleh mereka yang bekerja di biro-biro kesejahteraan dan bantuan bahwa mereka kewalahan oleh banyaknya kasus. Biro- biro seperti itu sering kali kekurangan staf, terutama staf yang cukup berbobot. Sudah menjadi suatu gejala umum bahwa para profesional dalam bidang ini sering kali bicara tentang terlalu banyaknya beban kerja dan terlalu sedikitnya bayaran yang mereka terima. Karena kebanyakan biro seperti ini dibiayai oleh dana yang berasal dari masyarakat, dapat dimengerti bahwa kendala finansial menjadi faktor utama yang menyebabkan biro-biro itu harus mempertahankan sedikitnya jumlah staf. Bahkan meskipun biro tersebut dibiayai oleh dana pemerintah, kendala

keuangan masih dirasakan juga sebab kebanyakan negara Asia tidak

menempatkan program-program kesejahteraan manusia sebagai prioritas tinggi dalam anggaran nasionalnya.

2. Manajemen klien.

Sejumlah biro kelihatannya memberikan pelayanan terhadap berbagai ragam klien tanpa penyaringan untuk menerima klien-klien mana yang bisa

56

spesialis untuk "melayani semua jenis klien". Pada akhirnya para staf harus menjadi praktisi umum.

Ini dapat menyebabkan stres bagi para pekerja yang mengalami kesulitan dalam menyaring klien dan menentukan jenis masalah apa yang harus mereka tangani. Akhirnya mereka "kerja seadanya", memberikan bantuan keuangan, bantuan praktis, dan konseling tanpa mempunyai titik berat pada apa yang mereka lakukan.

3. Pengetahuan dan keterampilan yang tidak memadai.

Ada biro-biro di mana para stafnya dituntut untuk memberikan konseling tanpa mendapat pelatihan yang memadai. Karena konseling merupakan profesi yang masih relatif baru, biro-biro itu mungkin tidak memusingkan kebutuhan akan profesional yang terlatih dalam disiplin ini. Meskipun demikian, dalam beberapa kondisi, memang benar-benar ada kekurangan staf berbobot sehingga ada desakan untuk mempekerjakan staf tak terlatih untuk menyelesaikan tugas tersebut.

Bahkan kalau pun tersedia profesional terlatih, tidak jarang dijumpai bahwa para pekerja sosial atau psikolog merasa tidak cukup dibekali untuk memberikan sejenis konseling terapeutis yang dibutuhkan oleh klien. Banyak pekerjaan yang dilakukan tanpa penyeliaan memadai. dan para konselor sulit sekali menjumpai profesional berpengalaman untuk mendapatkan konsultasi. Kurangnya

pengetahuan dan keterampilan dapat menjadi sumber utama stres, sebab para konselor sering kali akan merasa tidak mampu dan frustrasi bila tidak banyak menemukan kemajuan dalam karya mereka. Mereka diharapkan untuk

menangani kasus-kasus yang para profesional berpengalaman sekali pun kesulitan untuk menanganinya.

4. Klien-klien transisi.

Ada kondisi-kondisi di mana klien seringkali berada dalam masa transisi. Para konselor seperti pekerja sosial medis sering menemukan diri mereka sendiri berada dalam situasi frustrasi, karena mereka harus memberikan pertolongan bagi pasien-pasien yang tinggal di rumah sakit untuk waktu yang amat singkat. Karena mereka biasanya tidak diharapkan untuk terus mengikuti pasien- pasien ini, tidak banyak hal yang dapat dilakukan dan hampir- hampir tidak ada

kesempatan untuk mengetahui hasil pekerjaan mereka. Sejumlah orang

mengungkapkan bahwa mereka terpecah antara kebutuhan untuk memberikan konseling terhadap para pasien itu dan tuntutan untuk bersiap-siap melepaskan mereka.

Faktor Suasana dan Organisasi

1. Manajemen kasus yang tidak efektif.

Diharapkan, para konselor bekerja dalam suasana di mana mereka dituntut untuk terus-menerus meninjau kasus-kasus mereka dan terlibat dalam pembahasan kasus secara teratur. Sayangnya, hal ini tidak selalu bisa terlaksana. Sejumlah biro terlalu sibuk memberikan pelayanan sehingga tidak ada banyak waktu bagi staf untuk membicarakan dan berkonsultasi satu sama lain mengenai pekerjaan yang mereka lakukan. Ada orang-orang yang sungguh-sungguh membuat

57

hasil. Alasan yang biasa disampaikan adalah bahwa terlalu banyak waktu terbuang untuk bicara dan membuat diagnosis untuk kasus- kasus tersebut sedangkan waktu yang tersisa untuk membicarakan usaha-usaha intervensi sangat sedikit. Untuk beberapa kasus, hal ini berkaitan dengan kurangnya keterampilan staf, atau mereka diharapkan untuk mengetahui sendiri apa yang harus mereka lakukan.

2. Kurangnya dukungan dari para penyelia dan komite manajemen.

Banyak biro pelayanan dikelola oleh orang-orang yang bermaksud baik, tetapi tidak terlatih dalam bidang profesi ini. Tidak mudah bagi mereka untuk menilai kerja staf yang biasanya adalah para profesional terlatih. Harapan-harapan dan pemahaman mereka tentang apa yang harus dilakukan bagi klien biasanya akan berbeda dengan harapan dan pemahaman staf profesional.

Demikian juga mereka yang memberikan pelayanan langsung, mungkin saja bekerja di bawah pengawasan para penyelia yang terlalu sibuk dengan tanggung jawab administratif atau penyelia yang tidak lagi mengikuti tren-tren baru dalam bidang konseling. Hampir dapat dipastikan bahwa para penyelia seperti ini tidak dapat memantau proses konseling atau memberikan penyeliaan yang memadai terhadap pekerjaan konselor. Dalam sejumlah kasus, para penyelia tidak hanya kekurangan keterampilan praktis untuk mendampingi staf konseling. Mereka juga bekerja dalam cara yang berlawanan dengan para staf konseling karena

pemahaman mereka terhadap strategi- strategi intervensi lebih bersifat akademis.

3. Program pengembangan staf dan kebijaksanaan kesejahteraan staf yang tidak memadai.

Para profesional dalam bidang ini kadang-kadang mengajukan pertanyaan pada diri sendiri berkaitan dengan kesejahteraan mereka sendiri. Kepada klien mereka berkata, "Kesejahteraan Anda adalah kepedulian saya." Kepada diri mereka sendiri mereka mempertanyakan, "Kesejahteraan saya, siapa yang peduli?" Adalah suatu ironi bahwa biro-biro kesejahteraan yang sungguh- sungguh

memberikan pelayanan kesejahteraan pada masyarakat memiliki ketentuan yang tidak jelas atau minimal terhadap kesejahteraan staf. Ada banyak staf yang bekerja dalam situasi- situasi dan lingkungan-lingkungan yang sulit yang kurang mendukung kesehatan mental. Sejumlah orang lainnya bekerja terus-menerus selama berbulan-bulan tanpa istirahat atau liburan.

Mengingat profesi ini sedang mengalami pertumbuhan dan perkembangan besar-besaran, sangat aneh bila biro-biro tersebut tidak memiliki kebijaksanaan dan perencanaan yang jelas untuk pengembangan staf. Staf bekerja selama bertahun-tahun tanpa mendapatkan pendidikan atau pelatihan lanjutan.

Kurangnya sumber dana ditunjuk sebagai faktor penghambat. Hal ini bisa juga benar. Meskipun demikian, tetap saja tidak ada alasan untuk tidak merumuskan satu kebijaksanaan yang jelas menyangkut aspek penting pelayanan terhadap manusia ini.

Judul Buku : Konseling: Suatu Pendekatan Pemecahan Masalah Judul Artikel: Faktor-faktor yang Menyebabkan Kejenuhan

58

Penerbit : BPK Gunung Mulia, Jakarta, 2002 Halaman : 119 - 127

59

Dalam dokumen publikasi e-konsel (Halaman 55-59)