• Tidak ada hasil yang ditemukan

I.6.5 Sumber Data Sekunder

1.7 Sistematika Penyajian

3.1.1 Faktor Keluarga

Arimbi hidup dalam keluarga yang termasuk terpandang. Papanya seorang pengusaha sukses yang memiliki banyak perusahaan. Usaha bisnisnya yang banyak menyebabkan papanya sering tidak ada waktu untuk memperhatikan dirinya. Seperti pada kutipan berikut :

(95) Papa sering dinas luar. Bahkan, saya dengar dari mama, papa kini masuk klub eksekutif yang punya kegiatan rutin golf di Nirwana, Bali, jika sedang tidak ada acara lain. Saya semakin tak punya akhir pekan dengan keluarga yang lengkap. Papa juga semakin jarang menampilkan diri di ruang makan ketika saya menghabiskan nasi goreng setiap pagi. Papa mulai sering bangun kesiangan. Saya berangkat sekolah tanpa melihatnya. Dan pergi tidur sebelum papa kembali ke rumah. (hlm. 54)

Demikian juga dengan mamanya yang mempunyai usaha event organizer (EO), bergerak dalam pameran lukisan. Kesibukannya mengelola usaha mengakibatkan Mama Arimbi tidak memperhatikan keluarganya lagi. Seperti pada kutipan berikut :

(96) Sementara Mama semakin sibuk menggelar pameran lukisan. Bahkan kali ini bukan hanya di Jakarta. Tapi juga Surabaya dan Medan. Mama ikutan seperti papa, kembali ke rumah ketika lampu- lampu telah dimatikan. Saya hanya mendengar sayup deru mobilnya masuk, ketika kantuk saya sudah mencapai puncaknya. (hlm 54)

Dari dua hal di atas, Arimbi semakin kesepian, kurang mendapatkan perhatian dari kedua orangtuanya, kurang ada komunikasi antar-keluarga, sehingga dia mencari kompensasi di luar rumah dengan bergaul dengan teman-teman sebaya yang suka dengan kebebasan. Seperti pada kutipan berikut :

(97) Saya semakin sering menghabiskan waktu di bar, di mal- mal atau di arena biliar dan boling, dengan teman-teman pria yang semakin banyak. Bahkan kini teman saya juga bertambah, dari beberapa sekolah. (hlm 55)

Selain itu, Arimbi pun mengikuti pesta-pesta glamor yang diadakan mamanya, sehingga membuatnya merasa tidak kesepian. Orangtuanya mengira itu

memberikan hal positif pada anaknya, tapi buktinya pesta itu suasana yang tepat untuk mengkonsumsi narkoba. Seperti pada kutipan berikut :

(98) Pesta-pesta mahal remaja di lingkungan yang diberikan Mama, tak pernah luput dari narkoba. Mereka pikir kami hanya asyik pamer harta. Saya melihat bagaimana benda-benda melenakan bergulir seperti pembagian air putih saja. Di mana-mana, dan mudah. Dan sepertinya murah. Mereka menikmatinya dengan ringan (hlm. 60)

Dari situlah Arimbi mengenal dan mulai memakai narkoba, terbukti pada kutipan berikut

(99) Maka ketika tangan itu datang, hati saya dengan cepat terentang. Saya rasa tak perlu lagi menerimanya dengan setengah hati, saya jelas membutuhkannya. (hlm 61)

(100) Saya harus sadar ketika memakainya. Sebab saya bukan remaja-remaja kaya yang sok frustasi. Membesar-besarkan masalah sendiri, dan berusaha tampak memiliki jatidiri. Saya seutuhnya adalah anak yang menderita. (hlm. 62)

Beberapa hal di atas menunjukkan bahwa Arimbi kurang mendapatkan perhatian dari keluarga. Keluarga adalah pendidikan pertama dalam perkembangan anak, yang menentukan baik-buruknya sikap, sifat, dan perilaku anak di pendidikan berikutnya. Jika pendidikan pertama yang diajarkan dan dialami, pendidikan yang menjerumuskan maka anak dari keluarga tersebut akan berperilaku menyimpang. Dan Arimbi pun berada pada keluarga yang seperti itu, ia merasa menderita dan mulai ikut- ikutan menjadi pengguna narkoba, karena memang keluarganya tidak menunjukkan contoh tatanan tingkah laku yang baik untuk ditiru. Interaksi dalam keluarganya kurang karena orangtuanya yang hanya memenuhi kebutuhan fisiknya

saja, sedangkan kebutuhan batin seperti kasih sayang jarang diberikan. Arimbi merasa keluarganya tidak utuh lagi. Hal inilah yang mempengaruhi perkembangan diri Arimbi, tindakan-tindakan negatif pun dilakukannya karena perasaan itu. Tindakan-tindakan tersebut antara lain pergi ke bar dan merokok bersama pergaulan barunya tersebut yang menyebabkan dirinya terjerumus pada narkoba.

3.1.2 Faktor Ekonomi

Dilihat dari segi ekonomi, Arimbi adalah anak orang kaya, maka apa yang dia inginkan bisa terpenuhi. Bahkan dengan berbohong pada mamanya, ia dapat melanjutkan hidupnya dengan mengonsumsi narkoba. Seperti pada kutipan berikut:

(101) Saya menjadi semakin sering ke ATM dan menguras uang saya sedikit demi sedikit. Persediaan uang saya tak pernah habis. Saya katakan pada mama, bahwa saya sudah menyukai pergaulan remaja. Dan untuk membiayai makan di kafe-kafe, saya butuh uang. Dia memberi saya uang dengan cara mentransfer. Jumlahnya berlebihan. (hlm.69)

(102) Saya membayar empat ratus ribu rupiah untuk satu gauw putauw. Satu gauw putauw bisa memanjakan saya dalam tiga hari. Sebuah transaksi yang ringan dan gampang. (hlm 69)

(103) Papa dan mama tak pernah tahu, saya sudah menjadi budak narkotika. Sedikitnya saya membutuhkan dua gauw putaw sehari. Hampir satu juta sehari! Saya menghabiskan seluruh uang yang di transfer mama lewat ATM (hlm. 84).

Bagi Arimbi, uang bukan masalah, ia beruntung mempunyai orangtua yang status sosio-ekonomi lebih dari cukup, tidak harus merayu mamanya minta uang dengan memelas. Hanya bilang butuh uang, langsung ditransferkan. Mamanya pun tidak menaruh curiga karena memang mamanya kurang perhatian terhadap psikis

Arimbi. Materilah bentuk perhatian mereka, asal anaknya terpenuhi materinya, tidak akan ada masalah. Orangtuanya tidak peduli dengan psikis Arimbi yang sebenarnya, mereka sibuk dengan dunianya sendiri. Sedangkan pecandu narkoba yang orangtuanya tidak mampu mati- matian mencari uang untuk memenuhi kebutuhan nyabunya. Berdasarkan koran Republika (21 Mei 2005) agar bisa selalu mengkonsumsi barang tersebut, jika perempuan mencari uang dengan menjadi perek, sedangkan laki- laki menjadi maling. Mereka melakukan itu karena miskin, jelas tak ada barang rumah berharga yang bisa dijual. Dalam novel ini juga terdapat tokoh yang karena miskin terpaksa menjadi pengedar untuk biaya hidup keluarganya. Rajib, seorang pengedar yang terpaksa memilih profesi ini untuk membiayai pengobatan ibunya dan membiayai sekolah adik-adiknya.

3.1.3 Faktor Kepribadian

Kepribadian yang lemah sangat mudah terseret pada lembah narkoba. Hal ini juga didukung apabila pribadi yang lemah itu berasal dari diri orang yang mengalami disosiasi dalam pikirannya (yaitu apabila pemikiran orang itu mengalami keadaan terpecah belah.), dan Arimbi termasuk berkepribadian lemah, dia tidak mampu meno lak saat Rajib, seorang pengedar menawarinya narkoba. Seperti pada kutipan berikut:

(104) ”Kalau kamu nggak keberatan, saya mau me mberimu sesuatu. Nggak penting sih...di buang juga boleh. Nih!” Dia menarik tangan saya tiba-tiba, dan menjejelkan selinting kertas kecil di telapak tangan saya dan menutupnya kembali dengan gerakan cepat ( hlm 63).

Setelah menerima itu, awalnya dia ragu-ragu, tapi karena dia saat itu baru dalam masalah dan rasa ingin tahu bagaimana rasanya, dia pun bertekad untuk mencobanya di kamar mandi sekolah. Seperti pada kutipan berikut:

(105) Saya ada masalah? Benar.... Benar sekali... Tapi ini apa... Benda jahat itu? Yang sering dilarang- larang itu?

Kayak gini nih bendanya? Saya nggak butuh.

Nggak berani.

Tapi saya ada masalah kan? Banyak bahkan.

Cobain dikit. Atau buang. Sayang.

Cobain dikit kan nggak ada salahnya. (hlm 63).

(106) Entah darimana datangnya kekuatan itu. Mungkin gara- gara bau pesing ini. Atau, ah persetan! Beberapa detik kemudian saya mulai menghirup. Hirup...hirup...hirup...(hlm 64)

Dari kutipan di atas yang semula Arimbi memendam masalah dan sakit perut karena kram haid, ia pun memutuskan untuk mencobanya. Dan setelah menghirup benda itu ia merasa melayang, sakit perutnya menghilang dan merasakan masalahnya kabur, pergi entah kemana.

Selain itu, ia juga mencoba atau memakai narkoba karena dia berharap akan memperoleh kenikmatan dari efek narkoba yang ada untuk menghilangkan ketidaknyamanan yang dirasakan. Seperti pada kutipan berikut:

(107) Saya telan bila saya merasa terlalu murung. Butterfly dengan cepat membawa saya terbang ke ala m riang ria. Saya akan tertawa, terpingkal-pingkal (hlm. 94).

Pada kutipan di atas menunjukkan Arimbi memperoleh kenikmatan saat menelan butterfly, sehingga ketidaknyamanan (perasaan murung) dapat dihilangkan. Arimbi merasa seperti terbang dan senang walaupun saat itu dalam kondisi kurang baik. Dari kepribadian yang kurang teguh, lemah, ia pun dengan mudah terangsang untuk selalu memakai narkoba. Kepribadian yang seperti ini didorong pula karena statusnya dalam keluarga yaitu anak tunggal. Arimbi merasa aku dan egois disebabkan karena perlakuan orangtuanya sejak kecil yang selalu memenuhi kebutuhannya secara berlebihan. Sehingga mulai beranjak dewasa perasaan aku dan egois mempengaruhi kepribadiannya. Arimbi merasa apa yang dilakukannya benar, karena memang tak ada saudara yang mengingatkan ataupun mencegah bahwa mengonsumsi narkoba adalah jalan yang salah.

3.2Faktor Eksternal

3.2.1 Faktor Pergaulan Bebas

Pergaulan bebas bisa diartikan pergaulan dalam lingkungan yang salah, salah memilih teman maupun salah memilih tempat untuk mengembangkan dirinya. Faktor yang berasal dari pergaulan bebas pada umumnya orang-orang yang masuk dalam pergaulan tersebut mental dan kepribadiannya lemah, sehingga dapat terjerumus pada narkoba. Seperti halnya Arimbi yang sejak remaja telah menceburkan diri dalam pergaulan dengan teman-teman pecandu narkoba. Ia pun terbawa mengonsumsi narkoba beserta cara-cara menggunakannya yang lebih bervariatif. Ia pun merasa senang dengan pergaulan barunya.

Pada awalnya, Rajib, teman yang menjadi pengedar sekaligus pemasok narkoba untuknya, memperkenalkan dia pada pelanggan-pelanggannya. Seperti pada kutipan berikut:

(108) ”Mereka yang sudah pakar hobi mencampur-campur, sensasinya lebih asyik. Kamu sudah pantas masuk dalam sosialisasi mereka. Saya akan membawa kamu pada mereka”, ujar Ra jib (hlm 70)

(109) Mereka yang dimaksud Rajib adalah sekelompok pengguna yang sering berkumpul bersama. ”Sulit mendapatkan sahabat yang cocok di dunia narkotika. Tapi sekali kamu mendapatkan teman, kamu akan sulit meningga lakan mereka, kata Rajib. Pada suatu malam dia membawa saya ke arena biliar di dekat TVRI (hlm 70)

Bermula dari pergaulan bersama teman-teman baru, Arimbi pun memperoleh cara baru yang lebih enak dalam mengonsumsi narkoba. Seperti pada kutipan berikut: (110) Bubuk putih itu telah membawa saya pada arena pergaulan baru. Saya

masih sesekali nongkrong dengan geng Jerry dan Doel, tapi setela h saya mengenal bubuk ini, di mata saya mereka tak ubahnya anak-anak kecil yang sedang norak-noraknya berkenalan dengan dunia orang dewasa (hlm.69).

(111) Bong itu sudah terisi air. Sudah terpasang sedotan. Saya mendekat…memasukkan serbuk ke dalam kertas aluminium. Mulai membakar serbuk putih itu. Semua saya lakukan dengan hati- hati. Sebentar kemudian asap menari melewati sedotan. Saya buru-buru menempelkan hidung di kawasan sedotan. Mena ngkap asap, menghirup aroma surga, mengawang, membentang…..oh…surga makin kentara, datang…...(hlm.72)

Selain itu, karena luasnya pergaulan Arimbi dan tidak merasa puas hanya dengan mengonsumsi Arimbi pun mencoba untuk menjadi kuli narkoba, yaitu mengantarkan narkoba dari diskotik satu ke diskotek lain. Berikut kutipannya.

(112) “ Cepet juga nyampenya! Kurir baru. Lama di Bali,” cetus si gigi terbesar sambil menyeringai lagi (hlm.177).

(113) Tiga kepala itu bergerak dengan bersemangat. Membuka tas dengan betotan tangan bertenaga. Padahal tas itu telah terbuka. Barang-barang di dalamnya lalu berserakan di meja. Mereka menghitung (hlm. 177).

Dari kutipan-kutipan di atas pergaulan bebas merupakan faktor yang secara cepat merangsang penyalahgunaan narkoba, mulai dari mengonsumsi sampai menjadi kurir narkoba merupakan akibat dari dari pergaulan bebas tersebut. Arimbi terjerumus dalam pergaulan bebas ini disebabkan dia mengalami disosiasi, maksudnya ia mengalami keadaan terpecah belah dan bingung karena ia dihadapkan pada kesulitan-kesulitan hidup yang terlalu kompleks bagi daya tampung pikirannya. Sehingga ia pun mencari jalan keluarnya dengan memilih menjdi pecandu narkoba.

Dokumen terkait