• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Pendorong Partisipasi Masyarakat

TINGKAT PARTISIPASI PEMILIH PADA PILEG DAN PILPRES: KASUS JAWA TENGAH

3.4. Faktor Pendorong Partisipasi Masyarakat

Secara umum faktor-faktor yang mendorong masyarakat Jawa Tengah hadir untuk memberikan suaranya di TPS adalah sebagai berikut: (1) Kemudahan Administratif; (2) Figur Calon; (3) Politik Uang .

Dari hasil wawancara dengan beberapa nara sumber bahwa faktor yang paling dominan pendorong tingkat kehadiran dalam Pileg maupun eksekutif di Jawa Tengah adalah masalah politik uang. Hasil ini dipertegas dari hasil survei yang dilakukan lembaga survei

91

Wawancara dengan Joko Purnomo Ketua KPUD Jawa Tengah, Semarang 2 November 2015.

88

setempat yang menyatakan bahwa sebanyak 22,8% nara sumber yang diteliti bahwa faktor yang mempengaruhi kehadirannya di TPS adalah adanya pemberian uang/semboko.92 Hal ini diperkuat dipertegasnya dengan banyaknya kasus pelanggaran yang pemilu yang terkait dengan hal tersebut antara lain terjadi di Kabupaten Kartasura, Klaten, Purworejo, Semarang, Cilacap, dan Purworejo.93

Maraknya politik uang di Jawa Tengah, menurut kajian yang dilakukan oleh salah

seorang nara sumber juga dipengaruhi adanya ―botoh‖ yang menjadi perantara bagi caleg dan pemilih. Botoh biasanya akan memberikan pinjaman sejumlah uang pada caleg yang aka maju dalam pemilu dengan pernjanjian khusus, dan biasanya pinjaman dana tersebut harus dikembalikan maksimal enam bulan setelah yang bersangkutan terpilih.94

Sebelum memberikan pinjaman tentu saja sang ―botoh‖ telah melakukan survei atas figur yang akan dibantunya. Untuk memenangkan calonnya botoh kadang tidak segan-segan melakukan survey elektabilitas terhadap sang calon dan juga menyediakan konsultan politik bagi sang calon. Selain keuntungan dalam bentu bungan pinjaman, jika sang calon sukses

maka kadang sang ―botoh‖ meminta sejumlah konsensi politik (biasanya dalam bentuk

proyek-proyek pembangunan) pada kandidatnya.95

―...Rata-rata sekarang untuk menjadi anggota legisalatif di tingkat propinsi dibutuhkan anggaran 5-10 miliyar. Karena mahalnya kursi legislatif tersebut banyak para caleg akhirnya tergiur dengan pinjaan yang diberikan para botoh tersebut. Tentu saja jumlah pinjaman yang mereka berikan berkisar antaran 10-30% dari total anggaran yang direncanakan. Jika caleg yang dibotohi jadi maka sang botoh tidak hanya mendapatkan pengembalian dana dari para caleg tapi juga mendapatkan keuntungan dari taurhan judi yang mereka lakukan. Judi pilkada atau pileg ini sangat besar omsetnya. Tidak jarang untuk satu orang jika menang mereka akan mendapatkan keuntungan satu sampai sepuluh rupiah...‖96

Berbagai cara dilakukan sang botoh untuk memenangkan kandidatnya. Cara yang paling sederhanan adalah melakukan politik uang pada para calon pemilih. Menjelang dua

92

Hasil Survei Lembaga Pengkajian Pembangunan Daerah (LPPD) jawa Tengah tahun 2014

93

Lihat lebih jauh, Evaluasi Pemilu Legislatif 2014: Studi Kasus jawa Tengah, ERI, Jakarta 2014.

94

Wawancara dengan Teguh Juwono, seorang akademisi sekaligus konsultan politik di Jawa Tengah,

Semarang 4 November 2015. 96

Wawancara dengan seorang pengusaha yang tidak mau disebutkan namnya, di Semarang, 4 November 2015.

89

hari sebelum pemberian suara, operator lapangan akan mengumpulkan penduduk setempat untuk menukarkan undangan pemilihan dengan sejumlah uang dengan imbalan agar warga meilih calon yang dijagokannya. Ada dua strategi yang dilakukan sang botoh dalam memberikan uang pada masyarakat: Pertama, memberikan penuh uang yang dijanjikannnya; dan kedua memberikan lima puluh persen dari total nilai yang dijanjikannnya pada H – 2, dan sisanya diambil oleh masyarakat setelah melakukan pencoblosan. Politik uang tersebut masif terjadi pada pemilihan legislatif dan pilkada ketimbang pilpres. Hal ini menurut salah satu nara sumber selain insentifnya dapat dengan mudah diukur juga karena jarak kedekatan antara calon dengan pemilih relatif lebih dekat dibandingkan dengan pilpres. 97

Karena nilai pinjaman dan taruhan ―botoh politik‖ tersebut tidaklah sedikit maka

mereka hanya akan memberikan pinjaman dan turahan pada kadidat yang kemungkinan terpilihannya sangat tinggi. Terkait dengan hal tersebut maka tidak jarang para ―botoh

politik‖ ini menyewa konsultan politik untuk melakukan survey elektabilitas atas calon-calon

yang akan menjadi bagian dari ―permainan‖nya.

―...Pada pemilu pileg dan pilkada tahun 2013, saya diminta oleh seorang botoh untuk melakukan survei pada jagoan yang mereka unggulkan. Mereka itu bukan penjudi biasa, mereka sangat rasional dalam memasang taruhannya dan memilih pada calon mana dia akan meminjamkan dananya. Karena perhitungan yang keliru akan mengakibatkan keurian yang tidak sedikit akibata dana yang dipinjamkannya tidak kembali dan kalah

taruhan,‘ papar seorang konsultan politik...‖98

Setelah survei dilakukan para ―botoh politik‖ tersebut biasanga akan mengatur strategi

untuk memenangkan kandidatkan. Dalam hal ini, kekuatan uang tidak hanya digunakan untuk mendorong masyarakat memilih calon yang didukungnya tetapi juga memberikan insentif pada masyarakat untuk tidak ikut pemilihan agar calon lain tidak mendapatkan suara.

Seorang nara sumber lainnya menyatakan, maraknya politik uang juga telah merasuk di kalangan pesantren Jawa tengah. Jika pada masa lalu sang pilihan sang kayai menjadi refrensi bagi santrinya, maka saat ini hal tersebut sudah sangat jarang terjadi. Hal ini pulalah yang menyebabkan rata-rata partai Islam di Jateng tidak memasang figur kyai sebagai kandidat anggoata dewan.

97

Wawancara dengan seorang pengusaha yang tidak mau disebutkna namanya, di Semarang, 4 November 2015.

98

Wawancara dengan Fitriyah, seorang akademisi sekaligus konsultan politik, Semarang 3 November 2015.

90

―...Sekarang ini di kalangan kyai terbelah antar kyai ‗paku bumi‖, kyai yang tidak mau dibawa kemana-mana (politik) dan ―kyai arah angin‖ (kyai yang bisa dipolitisasi), sehingga di kalangan santipun muncul semboyan, semboyan derek kyai, pilihan lihat nanti...‖99

Namun demikian maraknya politik uang pada Pileg pada tahun 2014, tidak serta merta menghilangkan partisipasi masyarakat yang secara rasional menggunakan hak pilihnya. Data survei yang dikeluarkan oleh salas satu NGO di Jawa Tengah menunjukkan bahwa sebanyak 31% masyarakat motivasi kehadiran di TPS karena kemauan sendiri ataupun harapan akan lahirnya pemimpin yang lebih baik baik di tingkat lokal maupun nasional melalui mekanisme pemilu.100

Sementara sebagain masyarakat lainnya terutama yang berada di wilayah pedesaan tingkat kehadiran di TPSnya jauh lebih tinggi dibandingkan dengan masyarakat perkotaan, meskipun alasan kehadiran tersebut sangatlah sederhana yakni faktor guyup dan sungkannya mereka jika tidak hadir di TPS dengan masyarakat yang ada di lingkungan.