• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT PARTISIPASI PEMILIH PADA PILEG DAN PILPRES: KASUS JAWA TENGAH

3.3. Invalid Vote

Tingkat invalid vote pada Pilpres di Jawa Tengah berbeda dengan tingkat invalid vote pada Pileg 2014. Perbedaan tersebut tampak pada grafik di bawah:

Grafik 3.4. Perbandingan Suara Sah dan Tidak Sah Pilpres Jawa Tengah 20114

Dari tabel di atas terlihat bahwa angka invalid vote hampir diseluruh wilayah di Jawa Tengah dalam Pemilu Presiden 2014 sangat kecil. Rata-rata angka invalid vote hanya mencapai 1,19 % dari total pemilih yang menggunakan hak pilihnya. Adapun invalid vote

87

Wawancara dengan Fitriyah, seorang akademisi dan mantan anggota KPUD Jawa Tengah, Semarang 2 November 2015.

83

yang terendah di Kabupaten Grobogan yang hanya 0,71%, sedangkan tertinggi di Kabupaten Wonosobo yang mencapai 2,31%.

Rendahnya invalid vote pada pemilu presiden tersebut menurut beberapa nara sumber selain karena pasangan calon hanya dua, sehingga mekanisme pemilihan lebih sederhana dibandingkan pemilu legislatif, juga lantaran kontestasi dalam pemilu presiden sangat ketat dan figure identity (figure-id) dalam hal ini telah terbentuk dengan kuat antara yang membela pasangan Jokowi- JK dengan Prabowo-Hatta.

Kuatnya figure- id, dalam pemilu presiden selain berdampak positif terhadap pembentukan preferensi politik masyarakat namun juga memiliki dampak negatif yakni terjadi segregrasi masyarakat dalam dua kelompok besar, yang berlangsung tidak hanya pada masa kampaye tetapi juga pasca pemilu presiden itu sendiri.

Namun demikian nara sumber lain mengatakan pembelahan preferensi politik secara tajam dalam pemilu presiden pada tahun 2014 juga memiliki dampak positif dimana untuk pertama kalinya di parlemen terjadi pembedaan secara jelas antara partai penduduk pemerintah (KIH) dengan partai oposisi (KMP).

―...Jika ini dilakukan secara benar maka akan menjadi pendidikan politik yang sangat baik bagi masyarakat serta terjadinya mekanisme checks and balances secara efektif sekaligus memunculkan adanya kolaisi permanen di lembaga legislatif...‖88

Berbeda dengan pemilu presiden, invalid vote dalam pemilu legislatif 2014 di hampir seluruh Jawa Tengah termasuk tinggi. Rata-rata angka invalid vote di seluruh wilayah Jawa Tengah mencapai angka 15,8 %, dengan angka tertinggi terjadi di Kabupaten Rembang yakni sebanyak 24, 26% dam terendah di kabupaten Cilacap sebanyak 7,07%.

88

Wawancara dengan Teguh Juwono, seorang akademisi di Semarang, 4 November 2015.

84

Grafik 3.5. Suara Tidak Sah Legislatif 2014 di Jawa Tengah

Jika tidak sahnya satu kertas suara (invalid vote) diasumsikan terjadi karena kesalahan mencoblos akibat minimnya pendidikan pemilih yang dipengaruhi oleh salah satunya tingkat pendidikan, maka untuk wilayah Jawa Tengah hal tersebut dapat diabaikan. Hal ini dikarenakan pada wilayah-wilayah dengan tingkat pendidikan yang tinggi seperti di daerah perkotaan seperti Kota Semarang, Kota Magelang, Salatiga dan Pekalongan rata-rata angka

invalid vote dalam pemilu legislatif masih di atas 15%. Demikian juga dengan daerah-daerah tengah seperti Kabupaten Temanggung, Wonosobo, Klaten, Boyolali dan Magelang yang dikenal memiliki indentias partai (party-id) kuat juga angka invalid vote-nya kurang lebih 15%.

Seorang nara sumber menyatakan tingginya invalid vote secara merata pada pemilu legislatif tahun 2014 di Jawa Tengah diakibatkan tidak hanya salah mencoblos tetapi juga harus dikaitkan dengan rational choice akibat tiadanya figur yang bisa dipilih oleh masyarakat. Kehadiran pemilih di TPS dalam konteks ini, dilakukan oleh seseorang karena adanya kekhawatiran jika mereka tidak hadir suaranya akan digunakan. Mereka akan melakukan perusakan kertas suara secara sengaja untuk memperlihat preferensi politik mereka untuk secara aktif menyatakan kekecewaan atas figur, sistem dan hasil pemilu itu sendiri.89

Sementara itu, meskipun kandidat yang harus dipilih dalam pemilihan anggota DPD tidak sebanyak pemilihan anggota DPR Pusat dan Propinsi, namun angka suara tidak sah

89

Wawancara dengan Sdreas Pandiangan, seorang akademisi dan mantan anggota KPU, Semarang 4

85

(invalid vote) pada pemilihan anggota DPD jauh lebih besar dibandingakan dengan pemilu presiden dan pemilu legislatif sebagaimana terlihat pada tabel di bawah ini.

Grafik 3.6. Suara Tidak Sah Pemilu DPD

Dari data di atas terlihat bahwa rata-rata invalid vote untuk pemilihaan anggota DPD jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pemilihan Presiden dan DPR yakni sebanyak 16,04%, dengan angka teritinggi di Kabupaten Kendal (31,38%) dan terendah terjadi di Kabupaten Semarang 2,25%). Yang menarik dari angka invalid vote pada pemilihan anggoat DPD adalah rata-rata angka invalid vote pada daerah pantura (Kabupaten, Batang, Pemalang, Kendal, Tegal, dan Brebes) mencapai di atas 20%. Sedangkan wilayah tengah rata-rata kurang lebih 15%.

Menurut beberapa nara sumber yang diwawancarai tingginya invalid vote pada pemilhan DPD dikarena kebanyakan anggota masyarakat yang tidak merasa terwakili oleh anggota DPD karena kinerjanya tidak dapat dirasakan secara langsung. Seorang nara sumber memaparkan bahwa tingginya angka invalid vote dimungkinkan karena banyak Pemilih merasa tidak terwakili oleh institusi DPD

Dari data di atas terlihat bahwa rata-rata invalid vote untuk pemilihaan anggota DPD jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pemilihan Presiden dan DPR. Menurut beberapa nara sumber yang diwawancarai tingginya invalid vote pada pemilhan DPD dikarena kebanyakan anggota masyarakat yang tidak merasa terwakili oleh anggota DPD karena kinerjanya tidak dapat dirasakan secara langsung.

―...Kalau anggota legislatif kita masih bis melihat apa yang dikerjakan baik melalui media massa maupun kunjungan secara langsung pada konstituennya ketika mereka reses. Segila apapun yang dilakukan oleh anggoat DPR baik di pusat maupun daerah, masyarakat tahu apa yang mereka lakukan.Sementara itu, kita hampir tidak tahu apa dilakukan oleh DPD dan

86

kebijakan apayang dihasilkan oleh mereka. Mereka juga jarang sekali melakukan kunjungan ke daerah.DPD itu terlalu senyap untuk sebuah istitusi yang mewakili suara rakyat...‖90

Sementara itu, terkait dengan tingkat partisipasi perempuan berdasarkan jenis kelamin di Jawa Tengah dengan perempuan rata-rata memiliki tingkat partisipasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Pada pemilu presiden partisipasi pemilih perempuan tertinggi terjadi di Kabupaten Kudus, disusul Klaten dan Banyumas. Sedangkan dalam Pileg, partisipasi perempuan mencapai angka tertinggi di Kabupaten Semarang dan Kota Surakarta.

Grafik 3.7. Perbandingan Partisipasi Pemilih Laki-Laki dan Perempuan pada Pilpres 2014 di Jawa Tengah

Grafik 3.8. Perbandingan Partisipasi Pemilih Laki-Laki dan Perempuan pada Pileg 2014 di Jawa Tengah

90

Wawancara dengan Abdul Haris seorang aktivis kampus sekaligus pemilih pemula di Semarang, 3 November 2015.

87

Sementara itu, jika dibandingkan antara jumlah pengguna kertas suara dengan jumlah pemilih maka dapat dilihat bahwa rata-rata terjadi penurunan antara jumlah pemilih yang terdaftar dengan jumlah pengguna hak suara. Penurunan tertinggi terjadi di Kabupaten Pekalongan, Pemalang dan Tegal dimana jumlah pengguna suara kurang dari 60 %. Bahkan di Kabupaten Pekalongan jumlah pengguna suara hanya mencapai 46,44 % dari jumlah pemilih yang ada. Sementara di Kabupaten Tegal hanya 51,46% dan di Kabupaten Pemalang sebanyak 59,50%. Sedangkan di Kabupaten Rembang dan, Brebes terjadi sebaliknya. Di kedua daerah ini justuh jumlah pengguna suara jauh lebih tinggi dari jumlah pemilih yang terdaftar. Di Kabupaten Brebes misanya, jumlah pemilih mencapai 101,49%, sedangkan di Kabupaten Rembang mencapai 101,083%.

Tingginya jumlah suara di kabupaten Brebes menurut salah seorang nara sumber kemungkian karena maraknya tingkat politik uang di dua wilayah ini. Hal tersebut dibuktikan dengan banyaknya pelanggaran pemilu karena politik uang di wilayah ini. Selama Pileg sekitar tujuh kasus politik uang terjadi di ilayah ini. Sedangkan tingginya pengguna suara jauh lebih tinggi, karena ada semacam tradisi di wilayah ini orang-orang yang bekerja di luar kota akan pulang kampung pada masa pemilu dan juga kepatuhan pada para kyai.

―Apalagi sekarang pemilu ditetapkan sebagai libur nasioanl, dulu jaman Orba saja mereka akan pulang kampung. Pergi ke TPS tidak hanya memberikan suara, namun juga

sarana silaturahmi dan reuni. Faktor ini juga didorong oleh himbauan dari kayi mereka‖,

ungkap seorang nara sumber.91