• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.7 Faktor Penghambat FKUB Kota Medan Dalam Membina Kerukunan Umat

Ada beberapa faktor yang dapat menghambat FKUB Kota Medan dalam membina kerukunan umat beragama.Hal ini dijelaskan oleh peneliti terdahulu Huzaifi (2015) dalam Manajemen Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Medan Dalam Membina Kerukunan Umat Beragama. Faktor-faktor tersebut adalah:

1. Materi (dana) dari pemerintah, dana tersebut akan membantu berjalannya kegiatan FKUB di Kota Medan. Jika dana tersebut tidak diberikan sebelum suatu kegiatan dilaksanakan maka kegiatannya tidak akan terlaksana dan

akan ditunda sampai dana dari pemerintah diberikan guna untuk melaksanakan kegiatan itu kembali.

2. Transportasi (bus) yang berguna untuk mempercepat para pengurus FKUB sampai ke lapangan, agar kegiatan yang telah dibuat berjalan dengan baik dan lancar.

3. Pemberian surat rekomendasi kepada masyarakat yang akan membangun rumah ibadah, dengan syarat memenuhi seluruh berkas-berkas untuk pembangunan rumah ibadah yang tidak mendapat respon dari masyarakat lainnya. Maka seluruh pengurus akan meninjau ke lapangan untuk melihat lokasi pembangunan rumah ibadah, jika sesuai prosedurnya dan tidak ada permasalahan lagi dengan masyarakat sekitar, maka FKUB akan merumbukkan/ berdiskusi mengenai surat rekomendasi pendirian rumah ibadah yang akan didirikan.

Penyelesaian dari permasalahan FKUB yang lain berupa memberikan keyakinan dan memberikan pencerahan terkait adanya problem atau masalah yang didapat ketika membangun rumah ibadah, pihak FKUB akan memberikan persyarataan-persyaratan atau surat izin untuk proses kelanjutan rumah ibadah dengan syarat harus memiliki akta tanah atau tempat dibangunnya rumah ibadah dan tidak meresahkan agama lainnya agar pihak FKUB dapat mengeluarkan surat rekomendasi kepada pihak agama yang akan membangun rumah ibadah.

BAB V PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan pada masyarakat Kota Medan dan anggota kepengurusan FKUB Kota Medan, maka dapat ditarik kesimpulan bahwaperan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam menjaga harmonisasi sosial di Kota Medan adalah: Pertama, FKUB Kota Medan lebih berfokus terhadap memberikan izin atau rekomendasi untuk mendirikan rumah ibadah berdasarkan syarat-syarat dan prosedur yang telah ditetapkan oleh FKUB. Kedua, FKUB Kota Medan berwenang untuk menutup atau menghancurkan rumah ibadah yang tidak memiliki izin atau rekomendasi dari FKUB, dengan catatan rumah ibadah tersebut dibangun sesudah FKUB Kota Medan didirikan, yaitu sejak tahun 2007. Tetapi FKUB tetap mengizinkan berdirinya rumah ibadah yang tidak memiliki rekomendasi dari FKUB apabila rumah ibadah tersebut dibangun sebelum FKUB Kota Medan terbentuk, yaitu sebelum tahun 2007.Ketiga, FKUB mengadakan dialog-dialog bersama masyarakat Kota Medan antar umat beragama setidaknya 15 (lima belas) kali dalam setahun dengan tujuan untuk bersilaturahmi dengan berbagai umat beragama agar tetap harmonis dan menjaga toleransi terhadap sesama.

Keempat, FKUB dapat membantu masyarakatnya yang mengalami gesekan-gesekan atau pertentangan terkait dengan agama, tetapi tidak dapat membantu permasalahan masyarakatnya yang menganut aliran kepercayaan (agama leluhur) khususnya mengenai pembangunan rumah ibadah dan tanah

pemakaman, hal ini dikarenakan FKUB hanya menangani permasalahan terkait keagamaan dari umat beragama yang diakui oleh negara Indonesia yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Buddha dan Konghuchu.

Jika dilihat kondisi keserasian sosial antar umat beragama yang terdapat pada masyarakat Kota Medan sebelum dan sesudah berdirinya FKUB Kota Medan di tengah-tengah masyarakat memiliki kontribusi yang positif bagi masyarakat Kota Medan, diantaranya: Pertama, mereka lebih terbuka terhadap umat dari agama lain. Kedua, dengan mengikuti dialog-dialog yang diadakan FKUB mereka jadi lebih memahami dan menghargai agama orang lain. Ketiga, sikap toleransi dan tenggangrasa yang semakin tinggi dibuktikan dengan kerjasama atau gotongroyong yang dilakukan beberapa warga dalam melakukan kegiatan masak-memasak (rewang) di sebuah acara pesta.

Keberadaan FKUB Kota Medan memberikan dampak positif dalam memelihara dan menjaga kesatuan, kebersamaan, dan tingkat solidaritas antar umat beragama. Oleh karena itu, kehadiran FKUB ini diharapkan dapat melahirkan kesadaran bersama (collective consiousness) dalam menjaga hubungan baik antar etnis dan agama yang berbeda, sehinggakeharmonisan masayarakat Kota Medan dapat dijaga dari berbagai potensi konflik yang ada.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka peneliti mendapatkan beberapa masukan/ saran yang dapat bermanfaat kiranya bagi pihak- pihak yang terkait, adapun beberapa saran tersebut adalah sebgi berikut:

Untuk para pembaca agar kiranya selalu terbuka terhadap perubahan yang telah dijalani didalam hidup kepada pihak keluarga, khususnya dalam hal pergantian status agama yang dianut.Masih banyak orang yang takut berterus terang kepada seluruh anggota keluarga untuk berbicara mengenai status agama dikarenakan takut dikeluarkan dari anggota keluarga dan dijauhi oleh masyarakat. Karena sikap tertutup dalam hal status agama akan menyulitkan seseorang pada saat meninggal dunia di kemudian hari.

Untuk FKUB Kota Medan agar lebih ditingkatkan lagi dialog-dialog yang sudah dilaksanakan sebelumnya, khususnya dialog dengan para pelajar baik dari sekolah maupun perguruan tinggi.Saat ini dialog-dialog yang dilaksanakan sudah sangat baik, tetapi lebih baik lagi apabila dialog tersebut lebih diarahkan kepada para pelajar.Karena masih ada sebagian pelajar yang tidak memahami makna dari toleransi beragama dan juga ada sebagian pelajar yang tidak mengenal tentang kehadiran FKUB.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1Civil society

Sebagai sebuah konsep, civil society datang dari pemikiran ilmuan eropa (Barat). Proses demokratisasi yang lebih dulu berlangsung di Barat telah menjadikan civil society bagian penting dari kehidupan sosial, politik, ekonomi, serta kebudayaan mereka. Terutama dalam meretas peradaban yang dibangunnya.Bagi mereka, kehidupan negara dan bangsa yang ideal itu terwujud dengan memberikan peran lewat pola bottom-upyang lebih kuat pada masyarakat.Seiring dengan hembusan demokrasi yang kian menguat, konsep ini terus berlanjut dan menguat di berbagai belahan bumi lainnya.

Pada dasarnya tujuan dari civil societyakan mengkerucut pada upaya pemberdayaan (empowerment) sekaligus revitalisasi (enrichment) kemerdekaan masyarakat sipil, dalam melakukan kontrol terhadap negara secara sukarela, mandiri dan tetap terikat pada norma dan nilai hukum yang berlaku. Dalam konteks Indonesia, urusan civil society tidak dapat dilepaskan dari faktor historis, kearifan budaya, serta tingkat “penetrasi” penguasa politik Negara ke masyarakat.Faktor-faktor ini telah menyebabkan terjadi “pasang-surut”nya gerakan civil societydi Indonesia.

Dalam kehidupan kenegaraan, kita mengenal apa yang disebut dengan Empat Konsensus Dasar Bangsa yakni; Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI. Dalam perspektif ini, konsep civil society di Indonesia harus dipahami oleh negara, masyarakat dan warganya dalam konteks Konsensus Dasar

Bangsa (Konsar Bangsa) bagi terjaminnya pertahanan dan ketahanan negara itu sendiri. Masalahnya kemudian, bagaimana penguatan peran civil society yang dikembangkan di Indonesia dapat dirumuskan melalui Empat Konsensus Dasar Bangsa guna kepentingan, kemajuan serta kedewasaan proses demokrasi yang sedang terus berjalan di negeri ini.

Secara teoritis, paling tidak ada tiga model konsep civil society yang berbeda dalam tataran praksis, yakni; top-down of civil society, bottom-up of civil society, dan pararelism of civil society. Dalam budaya masyarakat Indonesia lebih (cocok) menganut kepada konsep pararelism of civil society.Konsep pararelisme, dimaksud di sini adalah pemahaman bahwa antara posisi “negara” di satu pihak, dengan warga-kelompok masyarakat di sisi lain, tidaklah berada dalam posisi yang saling berhadapan, melainkan dalam posisi kemitraan-kesejajaran dalam membangun dan mengimplementasikan kesepakatan (contract) (Keane, 2006).

Konsep gotong royong adalah bukti bahwa civil society di Indonesia menganut paham kesejajaran (pararelism), bukan top-down sebagaimana yang dianut di negara totaliter-sosialis komunis, atau konsep bottom-up di negara yang berpaham individualisme, liberalisme dan kapitalisme. Civil society mengalami penguatan pada pascarevolusi kemerdekaan ditahun 1950-an. Ketika itu pemerintah memberi kebebasan yang luas kepada segenap rakyat Indonesia untuk mendirikan organisasi sosial maupun organisasi politik, seiring dengan komitmen kuat untuk mempraktekkan sistem demokrasi (parlementer).

Civil society menciptakan relasi antara masyarakat sipil, masyarakat politik dan pemerintah dalam posisi masyarakat sipil menjadi penyeimbang untuk

melakukan fungsi kontrol terhadap kekuatan negara. Contoh konkret, keberadaan Muhammadiyah, NU, tumbuhnya pesantren-pesantren, Taman Siswa serta lahirnya LSM-LSM, dan FKUB sebagai kekuatan pengimbang sekaligus kekuatan yang memberdayakan masyarakat marjinal selain adanya pengintegrasian agama ke dalam Negara.

Memasuki era Orde Baru, civil society mengalami penurunan, dimana elit penguasa kembali melanjutkan upaya memperkuat posisi negara di segala bidang.Akan tetapi saat yang bersamaan harus diakui, seiring dengan terjadinya mobilitas ekonomi secara vertikal, terjadi pula mobilitas vertikal di dunia pendidikan.Mobilitas sosial vertikal tersebut, memungkinkan lahirnya “kelas menengah” yang potensial mengambil peran di luar lingkaran kekuasaan. Kelompok ini kemudian melakukan apa yang dikenal dengan “gerakan kultural”, melakukan pemberdayaan dan penyadaran sosial politik kepada warga masyarakat, melalui lembaga sosial masyarakat (LSM).

Pasca Orde Baru kepemimpinan Soeharto civil society mengalami penguatan kembali dimana negara memberikan ruang yang luas bagi tumbuhnya berbagai organisasi masyarakat. Ada beberapa istilah yang dilekatkan secara tumpang-tindih pada organisasi-organisasi semacam itu, seperti organisasi massa (ormas), NGO (Non-Governmental Organization)/ Ornop (Organisasi Non- Pemerintahan), masyarakat madani, organisasi masyarakat sipil (Civil society Organization/ CSO), dan masyarakat kewargaan.

Civil society memiliki azas (ideologi), strategi, bentuk organisasi, isu, kegiatan, jaringan, dan sumber dana dari organisasi-organisasi yang beragam.

Dari sisi azas, ada yang nasionalis, kerakyatan, liberal, sosialis-relijius, Islam, dan sebagainya.Strategi perjuangannya merentang dari advokasi, kampanye, lobi hingga pemberdayaan masyarakat atau campuran dari berbagai strategi. LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), yayasan, perkumpulan adalah beberapa bentuk organisasi yang kerap mereka ambil. Isu yang mereka perjuangkan bermacam- macam, seperti pengembangan ekonomi rakyat, lingkungan, bantuan hukum, kependudukan dan kesehatan, perlindungan konsumen, kesetaraan gender, resolusi konflik, good governance, pluralism (Ali, 2008).

Civil society memiliki kegiatan yang beraneka rupa dan kerap bertumpang- tindih dengan strategi dan isu yang diperjuangkan.Jaringan mereka ada yang lokal, nasional hingga internasional. Sumber dana organisasi-organisasi itu juga beragam. Dalam konteks LSM, sekitar 90% sumber dana berasal dari bantuan asing (Kompas 26 April 2007).

Menurut Diamond (dalam Wirutomo, 2012) Civil society didefinisikan sebagai, “… the realm of organized social life that is open, voluntary, self- generating, at least partially self-generating, autonomous from the state, and bond by a legal order or set of shared rules.” Dengan definisi tersebut, Diamond menyimpulkan bahwa civil society adalah fenomena penengah yang terletak diantara ruang pribadi dan negara.Civil society mewujud dalam beragam organisasi, baik yang bersifat formal maupun informal, seperti ekonomi, budaya, informasi dan pendidikan, kelompok kepentingan, lembaga-lembaga pembangunan, organisasi-organisasi berorientasi isu, dan kelompok-kelompok yang berfokus pada isu kewargaan. Secara umum, organisasi-organisasi tersebut dikenal dengan CSO (Civil society Organization).

Ada lima ciri yang membedakan antara organisasi masyarakat yang masuk ke dalam kategori civil society dan non-civil society (Diamond 1999).

1. Civil society bukanlah masyarakat parokial sebab berfokus pada tujuan-tujuan publik daripada privat.

2. Civil society berhubungan dengan negara dalam beberapa hal, tetapi tidak berupaya untuk merebutnya atau menjadi bagian darinya.

3. Civil society melekat pluralisme dan keragaman.

4. Civil society tidak berupaya untuk mempresentasikan seluruh kepentingan individu atau suatu komunitas.

5. Civil society berbeda dengan civic community.

Civil society mengandung dua aspek, yaitu horisontal dan vertikal (Sujatmiko, 2001). Secara horisontal, ia berkaitan dengan budaya yang memuat gagasan civility (keberadaban), seperti pluralisme, toleransi dan sebagainya. Sedangkan secara vertikal, civil society berkaitan dengan politik yang mengandung ide otonomi masyarakat terhadap negara.

2.2 Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB)

Dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan pendirian rumah ibadat, menjadi sangat penting untuk direalisasikan di daerah, dalam bentuk Forum Kerukunan Umat Beragama atau FKUB.

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat yang difasilitasi oleh Pemerintah (dalam hal ini pemerintah

daerah) dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.

Jauh sebelum FKUB ini dibentuk secara formal melalui Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, di Bali pada tahun 1998 ketika masa reformasi, para pemuka agama, tokoh-tokoh agama dari berbagai agama di Bali telah memikirkan hal ini. Ketika itu, Pertemuan para tokoh Agama di Bedugul diantaranya Ketut Suda Sugira, I Dewa Ngurah swasta,SH, AA G Oka Wisnumurti, Putu Alit Bagiasna (Unsur Hindu), H. Hasan Ali, H. Sunhaji Rofii, H. Roihan (unsur Islam) Pdt. I Wayan Mastra, Pndt. J. Waworuntu, Prof. Aron Meko Bete, Hendra Suharlin dan tokoh-tokoh lainnya bersepakat untuk membentuk Forum Kerukunan Antar Umat Beragama di Bali yang kemudian disingkat FKAUB. Hal ini didasarkan pada situasi kritis ketika itu masa reformasi dan menjelang pemilu 1999, dimana agama sangat rentan dijadikan alat politik praktis dan apabila kemasan itu bermuara pada konflik, tidak tertutup kemungkinan akan menjadi kemasan konflik agama. Forum ini ketika itu sangat berperan besar untuk ikut menjaga dan mensosialisasikan kerukunan antar umat beragama melalui konsep menyama braya sehingga tidak terjebak pada tunggangan politik praktis. Sumber: (http://www.yayasankorpribali.org/artikel- dan-berita/63-peranan-forum-kerukunan-umat-beragama-dalam-memelihara-dan- memantapkan-kerukunan-umat-beragama-di-kabupaten-tabanan.html) diakses pada 9 Mei 2015.

Terbentuknya FKAUB ketika itu adalah murni dari aspirasi dan kehendak bersama para tokoh-tokoh agama yang didasarkan atas keprihatinan dan rasa tanggungjawab dengan kesadaran kolektif yang terbangun memandang perlu

adanya forum bersama sebagai wadah untuk berkomunikasi, berinteraksi dan saling bertukar pikiran dan pengalaman satu dengan yang lainnya.Berbagai persoalan yang mengarah pada konflik antar umat beragama tentunya dapat diselesaikan dengan cara-cara yang beragama.

2.3 Organisasi Keagamaan

Organisasi keagamaan adalah perkumpulan sosial yang dibentuk oleh masyarakat, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, yang berfungsi untuk melestarikan, menafsirkan, memurnikan, dan mendakwahkan agama (Lubis, 2010).

Sementara itu berdasarkan Buku Panduan dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Medan (2014) menjelaskan bahwa Organisasi keagamaan adalah organisasi non pemerintahan bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara suka rela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik.

Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa organisasi keagamaan merupakan bentuk aspirasi masyarakat yang dituangkan dalam bentuk wadah perkumpulan dari umat agama yang sama dengan berlandaskan hukum yang bertujuan untuk mendakwahkan agama.

Di Indonesia terdapat begitu banyak organisasi keagamaan, diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Ormas keagamaan Islam antara lain Majelis Ulama Indonesia (MUI), Muhammadiyah, Dewan Dakwah Islamiyah (DDI), Mathlaul Anwar.

b. Ormas keagamaan Kristen antara lain Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Persatuan Injil Indonesia (PII), Persatuan Gereja Pentakosta Indonesia (PGPI).

c. Ormas keagamaan Katholik antara lain Konferensi Waligereja Indonesia (KWI).

d. Ormas keagamaan Hindu antara lain Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Prajaniti Hindu Indonesia (Prajaniti), Wanita Hindu Dharma Indonesia (WHDI), Pemuda Hindu Indonesia, Widyapit. e. Ormas keagamaan Buddha antara lain Perwakilan Buddha Indonesia

(WALUBI).

f. Ormas keagamaan Khonghucu antara lain Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN), Majelis Agama Khonghucu Indonesia (MAKIN), Generasi Muda Khonghucu (GEMAKU), Perempuan Khonghucu Indonesia (PERKHIN).

2.4 Definisi Konsep

Definisi konsep merupakan batasan penelitian dan rangkuman peneliti dalam menjelaskan peristiwa yang akan diteliti. Adapun yang menjadi definisi konsep pada penelitian ini yaitu :

1. Harmonisasi merupakan sebuah kondisi yang dinamis dan mengarah pada progresivitas. Keadaan yang harmonis jauh dari unsur-unsur negatif seperti pertentangan, pertikaian ataupun perselisihan.

2. Pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormati dan toleransi satu sama lain. Sementara pluralisme agama adalah sebuah konsep yang mempunyai makna yang luas, berkaitan dengan

penerimaan terhadap

dalam cara yang berlain-lainan pula.

3. Organisasi sosial merupakan organisasi yang mengatur hubungan antara orang dan antar kelompok berdasarkan jenis kegiatan dan pembagian fungsional untuk menyelesaikan kewajiban bersama dalam masyarakat sosial.

4. Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

5. Organisasi Kemasyarakatan Keagamaan (Ormas Keagamaan) adalah organisasi non pemerintah bervisi kebangsaan yang dibentuk berdasarkan kesamaan agama oleh warga negara Republik Indonesia secara suka rela, berbadan hukum, dan telah terdaftar di pemerintah daerah setempat serta bukan organisasi sayap partai politik.

6. Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat yang difasilitasi oleh Pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah) dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) merupakan salah satu forum yang bertujuan untuk menjaga keharmonisan umat beragama. Berdasarkan Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006 tanggal 21 Maret 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/ Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat, perlu membentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Medan sesuai dengan ketentuan yang berlaku (Harahap dkk, 2014).

Berdasarkan buku panduan FKUB Kota Medan, forum ini pertama kali dibentuk pada tahun 2007 yang disetujui oleh Walikota Medan Drs. H. Abdillah, Ak, MBA dan diketuai oleh Prof. Dr. Syahrin Harahap, MA. Periode Kepengurusan FKUB Kota Medan adalah 5 (lima) tahun dan seseorang hanya dapat menjadi Ketua FKUB Kota Medan sebanyak-banyaknya 2 (dua) periode dan segala mengenai pemilihan pengurus diatur sendiri oleh musyawarah anggota FKUB masing-masing.

Saat ini kepengurusan FKUB Kota Medan sudah memasuki periode kedua yaitu 2012 – 2017 dengan pemimpin yang berbeda. FKUB Kota Medan periode kedua ini disetujui oleh Walikota Medan Drs. H. Dzulmi Eldin S,M.Si dan diketuai oleh Drs. H. Palit Muda Harahap, MA. Adapun tugas dari FKUB Kota Medan ini adalah sebagai berikut :

1. Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat. 2. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi masyarakat. 3. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk

rekomendasi sebagai bahan kebijakan Walikota.

4. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat.

5. Memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat.

Dalam melaksanakan tugasnya FKUB Kota Medan harus berpedoman kepada ketentuan peraturan yang berlaku dan bertanggungjawab serta melaporkan hasil kepada Walikota Medan. Selain memiliki tugas, FKUB Kota Medan mempunyai fungsi komunikasi, mediasi, sosialisasi, edukasi, motivasi, pengejawantahan, representasi, konsultasi dan memberi rekomendasi dalam memelihara dan mengembangkan kerukunan umat beragama yang bersifat musyawarah, keagamaan, kemasyarakatan, kemanusiaan, konsultatif dan informatif serta independen dan tidak bersifat partisan.

FKUB dan Dewan Penasehat FKUB Kota Medan didanai dan difasilitasi oleh Pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah) yang berasal dari beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kota Medan dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Kepengurusan FKUB Kota Medan dikukuhkan oleh Walikota Medan atas usul FKUB Kota Medan melalui Kakandep Agama Kota Medan. Berikut ini merupakan bentuk struktur kepengurusan FKUB Kota Medan :

Bagan 1. Struktur Kepengurusan FKUB Kota Medan

Perwakilan dari masing-masing agama dalam kepengurusan FKUB Kota Medan diambil dari berbagai Ormas Keagamaan dari berbagai agama. Untuk perwakilan Agama Islam diambil dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), perwakilan Agama Kristen Protestan dari Badan Kerjasama Antar Gereja (BKAG), perwakilan Agama Katholik dari Keuskupan Agung, perwakilan Agama Hindu dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), perwakilan Agama Buddha dari Perwakilan Buddha Indonesia (WALUBI), dan perwakilan Agama Konghuchu dari Majelis Tinggi Agama Konghuchu Indonesia (MATAKIN).

Medan merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia yang penduduknya memiliki ciri penting yaitu yang meliputi unsur agama, suku etnis, budaya dan keragaman (plural) adat istiadat. Hal ini memunculkan karakter sebagian besar penduduk Kota Medan bersifat terbuka.Setiap anggota masyarakat yang telah

KETUA DEWAN PENASEHAT WAKIL KETUA II WAKIL KETUA I BENDAHARA SEKRETARIS WAKIL BENDAHARA WAKIL SEKRETARIS I WAKIL SEKRETARIS II

ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA ANGGOTA

ANGGOTA ANGGOTA

ANGGOTA ANGGOTA

memeluk agama sesuai kepercayaan serta keyakinan yang telah mereka pegang tentunya memiliki hubungan dengan masyarakat yang memeluk agama yang berbeda mengingat mereka berada dalam suatu lingkup kehidupan yang disatukan sebagai “bangsa Indonesia”. Hubungan yang terjalin tidak selamanya mulus, adakalanya konflik akan terjadi manakala perbedaan kepercayaan yang mendasar dalam diri tiap masyarakat tersebut.

Agama sendiri sudah menjadi suatu landasan dalam kehidupan masyarakat di Indonesia.Bahkan keberadaan agama di Indonesia sudah sangat diakui serta erat kaitannya dalam pertimbangan pembuatan kebijakan serta aturan.Di Indonesia terdapat 6 (enam) agama yang diakui secara nasional.Keenam agama tersebut adalah Islam, Kristen Protestan, Katholik, Hindu, Buddha, dan Konghuchu.

Berdasarkan data sensus penduduk tahun 2010 dari BPS (Badan Pusat Statistik), Kota Medan memiliki jumlah penduduk sekitar 2.097.610 jiwa, dimana 67,80% penduduknya beragama Islam, 20,27% beragama Kristen Protestan, 1,79% beragama Katholik, 0,44% beragama Hindu, 8,81% beragama Buddha, 0,02% beragama Konghuchu, dan sisanya 0,87% tidak diketahui.

Dokumen terkait