• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Penghambat dan Pendukung dalam Proses Komunikasi Penyandang Tuna Rungu Penyandang Tuna Rungu

BAB IV ANALISIS DATA DAN HASIL PENELITIAN

HASIL TEMUAN DAN ANALISIS DATA

B. Faktor Penghambat dan Pendukung dalam Proses Komunikasi Penyandang Tuna Rungu Penyandang Tuna Rungu

1. Faktor Penghambat Proses Komunikasi Penyandang Tuna Rungu

Dalam proses komunikasi penyandang tuna rungu tidak selamanya mengalami kelancaran, sebab komunikasi yang normal pada umumnya saja dapat mengalami hambatan, sudah tentu bagi penyandang tuna rungu yang memiliki kekurangan dalam hal pendengaran. Sudah tentu ada faktor yang dapat menghambat dalam proses komunikasi. Dalam penelitian yang peneliti lakukan terdapat beberapa faktor hambatan dalam proses komunikasi yang berlangsung bagi penyandang tuna rungu. Salah satunya adalah gangguan semantik yakni gangguan yang bisa saja terjadi dari komunikator dan komunikan biasanya pesan yang disampaikan penyandang tuna rungu ringan (komunikator) bisa berbeda makna jika pesan yang sudah tersampaikan ke lawan bicara (komunikan) penyandang tuna rungu berat.

Dari analisis yang dilakukan penulis terhadap penyandang tuna rungu ringan dan berat terhadap faktor penghambat dan pendukung dapat dianalisis melalui beberapa segi yakni, segi intelegensi, segi bahasa dan bicara serta segi emosi dan sosial. Jika dilihat dari segi intelegensi penyandang tuna rungu mempunyai intelegensi yang berbeda-beda, tingkat intelegensi dapat memengaruhi sikap dan prilaku serta tingkat emosional mereka, semakin tinggi tingkat intelegensi yang mereka miliki maka akan

semakin mudah penyandang tuna rungu bergaul dengan masyarakat luas seperti halnya ungkapan yang dinyatakan dari Rachmita selaku pimpinan mengatakan dalam wawancara bahwa:

“Enggak semua tuna rungu itu kurang, bisa dilihat banyak tuna rungu yang potensinya diatas rata-rata, tetap kuliah dan kerja sama seperti orang lain. Cuma bedanya kan, kalau kita ini punya kekurangan dalam hal pendengaran”.31

Tingkat intelegensi bagi penyandang tuna rungu menjadikan dirinya lebih dapat terkonsep dengan baik, baik dari segi bahasa dan bicara serta pengkontrolan emosi pada diri mereka sehingga mereka lebih dapat bersosialisasi dengan masyarakat luas. Kekurangan pendengaran bagi penyandang tuna rungu ringan seperti Chairunisa yang masih mempunyai daya tangkap terhadap suara dari interaksi manusia normal memungkinkan dirinya mampu melakukan interaksi dengan masyarakat luas.

Faktor hambatan ini terjadi selama proses komunikasi berlangsung menurut ungkapan bu Rachmita dalam wawancaranya mengatakan bahwa:

“Memang komunikasi isyarat ini sulit dipahami banyak orang tapi kita berusaha untuk bisa dipahamin orang lain dengan bahasa isyarat sama simbol, buat ngeyakinin lawan bicara kita sendiri harus benar-benar jelas sama pesan yang kita sampaikan”32 Ada beberapa faktor penghambat dalam proses komunikasi yang berlangsung pada penyandang tuna rungu, peneliti menganalisis dalam beberapa proses diantaranya adalah:

Selain dari faktor segi intelegensi, ada faktor pendukung dari segi bahasa dan bicara, hambatan yang ada pada penyandang tuna rungu pasti tidak jauh berbeda dengan pendengara, serta bahasa yang digunakan dalam

       

31 Wawancara Pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 19 April 2014, pukul 15.00. 32 Wawancara pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 07 Maret 2014, pukul 16.54.

percakapan sehari-hari. Faktor hambatan jika dilihat dari segi bahasa adalah bahasa verbal dalam bahasa ilmu komunikasi bahasa verbal adalah semua kalimat yang terucap melalui kata-kata. Namun, bagi penyandang tuna rungu kalimat verbal tidak ubahnya dengan ucapan yang tidak jelas sehingga memaksakan penyandang tuna rungu menggunakan bahasa nonverbal sebagai alat bantu dalam berkomunikasi.

Bahasa nonverbal yang dimaksud disini bagi penyandang tuna rungu yakni gerak tubuh yang meliputi gerak tangan, mimik wajah, ekspresi dan kontak mata. Hal tersebut termasuk kedalam bentuk kinesik. Yang digunakan selama proses komunikasi berlangsung. Bahasa nonverbal bagi penyandang tuna rungu adalah sebuah alat pendukung dalam proses komunikasi. Sebab tanpa bahasa nonverbal akan sulit bagi penyandang tuna rungu melakukan komunikasi.

Faktor hambatan yang selanjutnya dapat dilihat dari segi emosi dan sosial. Penyandang tuna rungu atau lebih dikenal dengan (tuli) mempunyai tingkat emosi yang relatif tinggi hal ini dapat dilihat selama proses komunikasi berlangsung. Jika pesan yang mereka sampaikan tidak dapat dipahami dengan baik maka mereka akan mudah merasa kecewa karena ketidakpahaman lawan bicara terhadap pesan yang mereka berikan. Hal ini menjadi salah satu penghambat dalam proses komunikasi antarpribadi sebab komunikasi yang berlangsung dapat dihentikan secara langsung dengan adanya pemutusan.

Faktor sosial dapat mempengaruhi keterbatasan dalam berkomunikasi. Karena tuna rungu memiliki kekurangan dari segi pendengaran maka keterasingan yang dirasakan cukup dirasakan sebab tidak semua masyarakat mampu berkomunikasi dengan baik terhadap tuna rungu. Peneliti mengamati selama proses kegiatan yang ada diyayasan tuna rungu Sehjira dapat diketahui bahwa komunikasi atau interaksi yang dilakukan lebih banyak melibatkan sesama penyandang tuna rungu. Dari pada melibatkan masyarakat pada umumnya. Oleh karena itu faktor sosial dapat mempengaruhi mereka dalam melakukan komunikasi. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara peneliti dengan salah satu penyandang tuna rungu diyayasan mas Eko mengatakan bahwa:

“Kita kalau bicara lebih nyaman sama tuna rungu ajah, kan mereka sama-sama ngerti bahasa kita, tapi kalau orang lain kan belum tentu”.33

Selain dilihat dari beberapa faktor dari empat segi tersebut. Ada beberapa faktor hambatan lainnya dalam proses komunikasi bagi penyandang tuna rungu diantaranya adalah:

a. Gangguan semantik

Gangguan semantik atau yang lebih difahami dengan gangguan pada pesan, dimana pesan yang disampaikan oleh penyandang tuna rungu mengalami perubahan dan kesalahan pada penafsiran makna dan pesan. Baik pesan yang disampaikan dari penyandang tuna rungu (komunikator) ataupun pesan yang

       

33Wawancara Pribadi dengan mas Eko anggota Sehjira, pada tanggal 19 april 2014, pukul

diterima oleh lawan bicara (komunikan) tuna rungu. Keduanya sama-sama mengalami kesalahfahaman dalam pentafsiran makna pesan. Dalam hal ini penyandang tuna rungu bisa terbilang sering dalam salah penafsiran. Sebab, pesan yang disampaikan harus diucapkan dua kali. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan dalam pemahaman pesan yang disampaikan oleh penyandang tuna rungu sesuai dengan wawancara peneliti dengan Rachmita mengatakan bahwa:

“Kalau memang lawan bicara kita enggak faham sama apa yang kita bicarakan ya kita harus ulang kembali pesan yang tadi diucap”. 34

Jadi dapat diketahui bahwa proses komunikasi penyandang tuna rungu di yayasan sehjira mengalami proses hambatan terhadap pesan yang disampaikan maupun pesan yang diterima seperti (gangguan semantik) hal itu terjadi karena adanya gangguan pada diri komunikator yang menyebabkan pesan yang diterima oleh lawan bicara mengalami kesalahfahaman dalam memberikan makna pesan tersebut

        34

b. Noice

Faktor hambatan yang kedua noice atau yang disebut gangguan suara, penghambat ini bisa berupa suara-suara gaduh atau perilaku dari pihak lawan bicara selama proses komunikasi berlangsung. Gangguan ini sering terjadi pada proses komunikasi lainnya yang berbentuk verbal bagi orang normal. Namun, penyandang tuna rungu juga mengalami gangguan noice sebagai salah satu faktor penghambat dalam proses komunikasi sebagai contoh kehadiran orang ketiga dalam proses interaksi berlangsung. Pesan dan interaksi yang dilakukan akan berhenti dan akan adanya pemutusan pesan dari salah satu pihak penyandang tuna rungu yang melakukan interaksi.

Menurut hasil analisis penulis dalam proses wawancara yang dilakukan bahwa terdapat hambatan komunikasi melalui noice yakni gangguan yang disebabkan adanya suara gaduh dan gangguan orang ketiga dalam sebuah interaksi yang dilakukan penyandang tuna rungu selama proses komunikasi berlangsung menurut ungkapan Chairunisa penyandang tuna rungu ringan mengatakan bahwa

“Kadang pesan yang kita ungkapin enggak gampang direspon balik kadang ada ajah gangguan ya, kaya semacem temen ikut nimbrung ngomong gitu, kan bahasan kita udah pasti beda kan yah”35

       

35 Wawancara pribadi dengan Chairunisa penyandang tuna rungu ringan, pada tanggal 06

Bahwa kehadiran orang ketiga juga dapat mengubah sebuah interaksi yang sedang berlangsung antara dua orang penyandang tuna rungu, seperti interaksi yang dilakukan semacam sharing, percakapan kecil, dan obrolan jarak jauh. Oleh sebab itu faktor hambatan ini harus dijauhkan agar terhindar dari kesalahfahaman dalam pesan yang disampaikan dan diterima.

2. Faktor Pendukung dalam Proses Komunikasi Penyandang Tuna Rungu

Faktor pendukung dalam komunikasi antarpribadi

nonverbal penyandang tuna rungu menurut analisis peneliti yang sesuai dengan hasil temuan data terdapat dalam bahasa isyarat dan simbol atau lebih disebut (Media) proses komunikasi antarpribadi nonverbal tuna rungu sudah jelas lebih banyak menggunakan bahasa isyarat dengan bantuan beberapa simbol pengenal sebagai proses interaksi yang mereka lakukan. Sebab, komunikasi yang mereka lakukan jika hanya mengandalkan bahasa verbal maka mereka akan mengalami hambatan sebab bahasa nonverbal salah satu bahasa atau sebagai alat pembantu dalam proses interaksi mereka.

Sebagaimana hasil wawancara yang diungkapkan oleh Rachmita mengatakan bahwa:

“Ya untuk tuna rungu seperti kita lebih banyak menggunakan bahasa isyarat kaya gini ketimbang bahasa ucapan ya, karna kan kalau bahasa aja yang kita ucapin

agak sulit dipahamin sama orang lain, belum tentu kita bicara mereka paham ya kan? Jadi sedikit banyaknya kita pake simbol sih.”36

Simbol dan bahasa isyarat tertentu dalam mengenali sebuah benda atau sebagai pengganti ungkapan verbal memanglah tidak mudah untuk dipahami bagi kita selaku orang normal, namun jika kita sering melakukan interaksi secara terus menerus maka kita akan paham dengan sendirinya bahasa isyarat yang mereka gunakan selama proses interaksi berlangsung.

Bahasa isyarat sebagai media pendukung dalam proses komunikasi nonverbal tuna rungu telah menjadi salah satu kemudahan dalam melakukan interaksi dan kemudahan dalam memahami isi pesan yang disampaikan penyandang tuna rungu kepada lawan bicaranya atau tuna rungu dengan lawan bicara yang berperan sebagai (komunikator). Vokalik dalam menyampaikan pesan sangat dibutuhkan dalam proses komunikasi karena kejelasan ekspresi mulut dan wajah sangat berperan besar dalam proses pesan dan pemahaman pesan. Ada beberapa faktor pendukung dalam proses komunikasi nonverbal penyandang tuna rungu diantaranya bahasa isyarat dan simbol yang meliputi gerak tubuh, mimik wajah, ekspresi, vokalik dan gerak mata.

Faktor yang telah disebutkan diatas bahwa ada beberapa faktor lain yang dapat memengaruhi dalam proses komunikasi diantaranya adalah dari segi intelegensi, bahasa , emosi dan sosial.

       

Yang dimaksud dari intelegensi dari hasil penemuan data dilapangan bahwa kemampuan intelegensi dari penyandang tuna rungu ringan dan berat sama seperti manusia normal pada umumnya bahkan kepintaran mereka lebih dari rata-rata. Sebab, tekat mereka yang kuat dan kemauan yang tinggi dan kekurangan mereka menjadi sebuah pacuan untuk berkembang dari segi integensi. Sesuai dengan pernyataan dari bu Rachmita bahwa:

“Saya dapat nilai camlaude pas waktu kuliah dimercu,”.37 Salah satu gerak tubuh yang ditunjukan selama proses komunikasi dengan gerak tangan serta ekspresi wajah menunjukan bahwa pesan yang disampaikan memiliki makna dan tujuan pesan yang diharapkan oleh penyandang tuna rungu agar pihak dari lawan bicara dapat memahami isi pesan tersebut. Sebagaimana hal ini disampaikan melalui wawancara dengan bu Rachmita yang mengungkapkan bahwa:

“Gerak tubuh selama pembicaraan berlangsung setidaknya dapat ngebantu kita buat sampein pendapat kita, aspirasi, tujuan dan kita harap orang yang paham sama bahasa kita ya ini melalui ekspresi wajah sama gerak ya agar mereka paham.”38

Sesuai pernyataan diatas peneliti penyimpulkan bahwa pola komunikasi antarpribadi nonverbal penyandang tuna rungu mendapatkan kemudahan dengan menggunakan bahasa isyarat dan simbol tertentu dalam memberikan makna tertentu terhadap benda ataupun ucapan yang disampaikan melalui pesan verbal mereka.

        37

Wawancara Pribadi dengan Rachmita, pada tanggal 06 April 2014, pukul 17.00.

Pola komunikasi antarpribadi nonverbal penyandang tuna rungu di yayasan tuna rungu sehjira dapat disimpulkan bahwa memiliki faktor pendukung dalam proses komunikasinya. Dari segi intelegensi bahasa dan faktor emosi dan sosial.

Faktor pendukung bagi penyandang tuna rungu diyayasan tuna rungu sehjira menurut hasil analisis dan hasil data yang didapatkan adalah bahasa nonverbal atau bahasa isyarat dan simbol yang digunakan dalam proses komunikasi. Sebab bahasa simbol atau bahasa nonverbal yang meliputi berbagai gerakan dan simbol adalah sebagai alat pendukung dalam kelancaran proses komunikasi mereka. Sehingga pesan dapat tersampaikan dengan baik dan dapat dipahami oleh kedua belah pihak selama proses komunikasi berlangsung. Menurut wawancara dengan ka Chairunisa mengatakan bahwa:

“Yang kita pake ya gerakan tangan, muka, mata sama ngomong ajah kaya biasanya diucap gitu”.39

Sangat jelas bahasa yang digunakan selama proses komunikasi berlangsung dengan menggunakan bahasa verbal dan nonverbal dapat membantu dalam penyampaian pesan mereka sebab gerakan atau kinesik yang meliputi beberapa anggota tubuh dapat menyalurkan perasaan dan inti dari isi pesan yang dimaksud dari komunikator (penyandang tuna rungu ringan dan berat).

       

39Wawancara Pribadi dengan Chairunisa penyandang tuna rungu ringan, pada tanggal 06

102

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis dan temuan data maka penulis menyimpulkan tentang pola komunikasi antarpribadi nonverbal penyandang tuna rungu di yayasan tuna rungu Sehjira Deaf Foundation, penulis mempunyai kesimpulan sebagai berikut:

1. Komunikasi yang digunakan dalam interaksi bagi penyandang tunarungu menggunakan komunikasi antarpribadi nonverbal dengan menggunakan tiga (3) dasar prinsip dari teori interaksionisme simbolik yang diperkenalkan oleh George Herbert Mead yakni meaning, language dan

thought atau mind. Dengan tiga (3) dasar prinsip tersebut diketahui bahwa

pengkonsepan diri dari penyandang tuna rungu sangat dibutuhkan dalam membuat konsep yang berpengaruh terhadap pesan yang disampaikan, serta pemaknaan yang terdapat selama proses interaksi berlangsung. Yang artinya kesimpulan dari hasil analisis yang peneliti lakukan bahwa diketahui penyandang tuna rungu ringan dan berat seperti Chairunisa dan Amrina Lugina melakukan proses komunikasi dengan penggunaan makna dalam mengkonsep diri mereka dalam sebuah interaksi dengan menggunakan bahasa nonverbal mereka untuk memahami makna serta didukung dengan pikiran sebagai proses berfikir dalam sebuah interaksi. Serta bagaimana bahasa nonverbal yang mereka gunakan untuk

memahami makna dari pesan yang disampaikan oleh lawan bicara mereka. Yang kemudian pesan yang mereka terima dapat dipahami kembali dengan menggunakan Thought untuk berpikir dari hasil porses pesan tersebut. Diketahui bahwa pola komunikasi yang dilakukan penyandang tuna rungu ringan lebih menggunakan kinesik dan vokalik serta kontak mata sebagai proses dalam komunikasi dengan bantuan gerakan tubuh dan kontak mata yang dilakukan maka pesan dapat tersampaikan dengan baik, penyandang tuna rungu ringan juga menggunakan bahasa verbal yakni dimana kalimat yang terucap dari mulut menjadi salah satu pesan verbal mereka. Jadi komunikasi nonverbal bagi penyandang tuna rungu ringan tidak terlalu diperlukan. Sedangkan pola komunikasi yang diterapkan bagi penyandang tuna rungun berat lebih menitik beratkan pada kinesik dan ruang. Dimana penggunaan bahasa tubuh seperti gerak tangan dan ekprsesi wajah sangat dibutuhkan dalam proses komunikasi serta penggunaan jarak dalam komunikasi bagi penyandang tuna rungu berat tidak boleh lebih dari 4 meter. Sebab kedekatan jarak intim lah yang memberikan kemudahan serta pehaman dalam proses komunikasi bagi penyandang tuna rungu berat. Dalam proses komunikasi bagi penyandang tuna rungu ringan dan berat menggunakan bahasa isyarat SIBI (Sistem Isyarat bahasa Indonesia) keduanya, karena dianggap lebih mudah dari pada menggunakan BISINDO (Bahasa Isyarat Indonesia) yang terlalu rumit dalam melakukan gerakan tersebut yang memakan waktu.

2. Komunikasi antarpribadi merupakan pola komunikasi yang paling efektif digunakan dalam interaksi penyandang tunarungu dalam penunjang

komunikasi mereka sebab dengan penggunaan bahasa simbol dan makna realitas pesan yang tersampaikan akan dapat diterima dengan baik serta

feedback yang dapat dimengerti.

3. Sedangkan fungsi komunikasi nonverbal bagi penyandang tuna rungu berat lebih digunakan untuk subtitusi yakni menggunaan bahasa nonverbal semata-mata hanya sebagai pengganti bahasa verbal yang terucap kurang jelas agar dipertegas dalam tindakan nonverbal mereka. Penggunaan komunikasi nonverbal mereka bagi penyandang tuna rungu berat menitik beratkan pada kinesik dan penggunaan ruang atau proxemik. Dimana jarak antara penyandang tuna rungu berat harus dekat tidak boleh berjauhan agar komunikasi nonverbal mereka dapat dimengerti dengan baik. Serta mendapatkan feedback dengan cepat.

4. Faktor hambatan dari pola komunikasi antarpribadi nonverbal bagi penyandang tunarungu diyayasan tunarungu Sehjira Deaf Foundation

yakni dilihat dari segi intelegensia, bahasa serta emosi dan sosial. Ketiga segi ini sama-sama dapat memengaruhi hambatan serta kelancaran dalam berkomunikasi. Segi intelegensi dapat memengaruhi bahwa dengan tingkat kecerdasan tuna rungu yang berbeda-beda dapat menghambat dalam proses komunikasi,

5. Sedangkan faktor pendukung dalam proses komunikasi bagi penyandang tuna rungu adanya bahasa isyarat atau nonverbal yang digunakan selama proses komunikasi berlangsung. Akan tetapi segi emosional juga dapat memengaruhi untuk lingkungan sosial. Karena keterbatasan mereka dalam hal pendengaran membuat mereka sulit

berinteraksi dengan masyarakat luas sehingga tingkat sosial mereka bisa terbilang cukup rendah sehingga mereka berinteraksi atau bersosialisasi dengan komunitas kecil saja seperti sesama penyandang tuna rungu. 5. Adanya gangguan semantik dalam komunikasi ini berupa gangguan pada pesan yang disampaikan baik dari penyandang tuna rungu atau pesan yang diterima memiliki perbedaan makna yang terdapat dalam pesan tersebut, yang menjadi rusak dalam pengertiannya serta makna yang tersampaikan. Biasanya hal ini terjadi dalam konsep atau makna yang diberikan pada komunikator (tuna rungu ringan atau berat) seperti Chairunisa dan Amrina Lugina yang lebih banyak mengalami gangguan semantik dalam proses komunikasi mereka.

Diantaranya segi intelegensi yakni dimana penyandang tuna rungu tidak semuanya memiliki intelegensi yang sama dan pasti berbeda. Dan faktor dari segi emosional mereka lebih tinggi dari pada manusia normal pada umumnya, mereka terkadang tidak dapat mengkontrol emosi disaat lawan bicara tidak dapat memahami makna dan isi pesan yang mereka sampaikan. Sehingga terkadang membuat mereka merasa malu dan menjauh dari lingkungan luar. Bahasa yang dipergunakan tuna rungu berbeda dari komunikasi pada umumnya dengan menggunakan bahasa verbal. Sebab itulah faktor bahasa dan bicara yang menjadi penghambat mereka dalam melakukan komunikasi.

Dalam hal ini teori interaksionisme simbolik mengambil peran penting dalam pembentukan makna dalam proses interaksi yang dilakukan penyandang tuna rungu ringan dan berat melalui konsep dasar diri sebagai

penentuan sikap dalam berkomunikasi yang kemudian dilanjutkan dengan

Language sebagai simbol atau pemaknaan dari bahasa yang digunakan

dengan peran thought sebagai proses berpikir dari sebuah pemaknaan yang dibuat. Dengan begitu pesan yang tersampaikan serta interaksi yang berlangsung dapat memudahkan tujuan serta memberikan effeck dan

feedback yang baik bagi pembicara atau pendengar.

B. Saran

1. Bagi penyandang tuna rungu sebaiknya dalam melakukan proses interaksi atau komunikasi harus menggunakan bahasa nonverbal yang mudah dan dapat dipahami dengan lawan bicara seperti penyandang tuna rungu ringan lebih harus menggunakan bahasa kinesik dan vokalik. Sedangkan bagi penyandang tuna rungu berat sebaiknya menggunakan bahasa nonverbal dan penggunaan ruang sebagai batas jarak dalam berkomunikasi sehingga tidak ada kesulitan bagi tuna rungu berat selama proses berlangsung. 2. Saran umum yakni bagaimana kita memahami jika berkomunikasi dengan

penyandang tuna rungu, baik tuna rungu berat ataupun tuna rungu ringan. kita harus memperhatikan bahasa yang mereka gunakan, sehingga kita dapat memahami dengan mudah maksud dari tujuan pesan yang mereka sampaikan. Sehingga tidak ada rasa keterasingan bagi mereka

(penyandang tuna rungu) untuk melakukan komunikasi dengan

masyarakat yang lebih luas. Serta melihat dari segi intelegensi, bahasa dan emosi serta sosial yang mereka miliki. Untuk dapat menyetarakan bahasa yang mereka pergunakan sehingga tercapainya sebuah pesan dan tujuan yang sama dari penyandang tuna rungu kepada lawan bicara mereka. Dan

jangan memandang serta merendahkan penyandang tuna rungu karena mereka sama seperti kita, mereka ingin disama ratakan dengan manusia normal pada umumnya, tidak ada pengkucilan, diskriminatif serta mengasingkan mereka dari lingkungan sosial. Sebab semua makhluk yang ada dimuka bumi ini semuanya adalah Ciptaan Allah SWT.

َلِئاَبَ قَو اًبوُعُش ْمُكاَْلَعَجَو ىَثْ نُأَو ٍرَكَذ ْنِم ْمُكاَْقَلَخ انِإ ُسا لا اَه يَأ اَي

ٌيِبَخ ٌميِلَع َللا نِإ ْمُكاَقْ تَأ ِللا َدِْع ْمُكَمَرْكَأ نِإ اوُفَراَعَ تِل

“Wahai Manusia sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal sungguh yang [aling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling

bertaqwa sungguh Allah maha mengetahui Maha teliti” (Qs. Al-Hujarat:

13).

َناَسْنِْْا اَْقَلَخ ْدَقَل

ٍيِوْقَ ت ِنَسْحَأ ِِ

.

َدَر ُُ

َلَفْسَأ ُاَنْد

َيِلِفاَس

.

َِإ

ٍنوََُْ ُرْ يَغ ٌرْجَأ ْمُهَلَ ف ِتاَِِاصلا اوُلِمَعَو اوَُمآ َنيِذلا

“Sungguh kami telah ciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik

-baiknya, kemudian kami kembalikan dia ketempat yang serendah-rendahnya. Kecuali orang-orang yang beriman dan menggerakan kebaikan maka mereka akan mendapat pahala yang tidak ada putus-putusnya” (Qs. At-tin: 4-6)

3. Saran yang terakhir bagi Yayasan Tuna Rungu Sehjira Deaf Foundation bahwa proses komunikasi penyandang tuna rungu tidak semua memiliki kesamaan dalam penggunaan komunikasi nonverbal mereka. Karena dengan kita memahami apa yang mereka butuhkan dalam berkomunikasi

dengan begitu pesan yang diterima dapat dipahami dengan baik. Tanpa

Dokumen terkait