BAB II HAL YANG MENYEBABKAN KUASA MUTLAK SEBAGA
C. Faktor Penyebab Kuasa Mutlak Sebagai Tindak Lanjut Dar
Tanah merupakan faktor yang paling penting di dalam kehidupan sehari-hari bagi manusia. Namun hal tersebut saat ini sudah langka sekali masyarakat menyebut tanah sebagai faktor produksi, hal ini disebabkan karena saat ini masyarakat lebih mengandalkan teknologi sebagai faktor produksi.
Walaupun demikian, tak jarang pula ditemukan dalam kehidupan masyarakat berusaha untuk menguasai tanah, yaitu dengan cara jual beli dengan melakukan perjanjian jual beli dihadapan notaris.
Dalam kaitannya dengan peralihan hak atas tanah, pasal 19 UUPA mengenai Pendaftaran Tanah Pasal 19 ayat (1) mengatakan, “Untuk menjamin kepastian Hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran Tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah.”57
57
J. Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik,
Tafsir Sosial Hukum PPAT-Notaris Ketika Menangani Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah yang Berpotensi Konflik, Kanisius, Yogyakarta, 2001, Hal. 68.
Untuk memenuhi perintah Pasal 19 ayat (1) tersebut dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah yang mulai berlaku tanggal 23 Maret 1961.
Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tersebut dalam Pasal 19 yang mengatur mengenai peralihan hak atas tanah menyebutkan : “setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, menggadaikan tanah atau meminjam uang dengan hak atas tanah sebagai tanggungan, harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Penjabat).”58
Jadi, jelaslah disini bahwa jual beli hak atas tanah sah apabila dilakukan dihadapan pejabat yang berwenang, yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Para pihak melaksanakan perjanjian jual beli dengan memenuhi persyaratan
untuk terjadinya perjanjian sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata.
1. Kata sepakat para pihak
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Suatu hak yang tertentu
4. Suatu sebab yang halal
58
Menurut Ibu Chairani Bustami, SH, dalam tesisnya, mengatakan bahwa perikatan jual beli yang diikuti dengan kuasa mutlak masih sering dipakai dikarenakan alasan :
1. Pihak penjual hendak menunda kewajiban untuk mem bayar PPh (Pajak Penghasilan) kepada negara sebanyak 5% NJOP apabila NJOP-nya melebihi nilai Rp. 60.000.000 keatas sebelum akta jual beli ditandatangani, Undang- Undang Nomor 27 Tahun 1996.
2. Menunda kewajiban Pihak pembeli untuk membayar lebih dahulu BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan) kepada negara sebesar 5% x NJOP Rp. 30.000.000,-. Apabila NJOP melebihi harga Rp. 30.000.000,- Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. 59
Aspek lain yang menentukan menjadi alasan perikatan jual beli masih digunakan (selalu diikuti dengan kuasa mutlak tentunya).60
1. Pengecekan bersih sertifikat di Kantor Pertanahan memakan waktu lama tidak ada efisiensi waktu.
2. Pihak penjual sangat membutuhkan uang tunai segera, pembeli sangat membutuhkan objek jual beli segera menjadi miliknya.
3. Pembeli membeli objek jual beli tidak dipakai untuk diri sendiri tetapi dijadikan sebagai investasi untuk dijual kembali dengan mendapat keuntungan besar yang diharapkan.
59
Chairani Bustami, 2002, Aspek-aspek Hukum yang Terkait Dalam Akta Perikatan Jual Beli
yang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan, Tesis, Pasca Sarjana, USU, Medan, Hal. 96.
60
4. Pembayaran jual beli tersebut dilakukan tidak lunas dan sekaligus, tetapi secara bertahap sesuai perjanjian awal yang telah mereka sepakati.
5. Masyarakat sangat keberatan khususnya pihak penjual/pembeli menaruh keberatan atas nilai jual objek pajak yang tertera di SPPT PBB karena nilainya jauh di atas rata-rata harga pasar.
6. Karena pembeli tidak berani membayar kepada penjual harga tanah/bangunan sebelum penjual menandatangani akta jual beli PPAT. 7. Penjual tidak diperkenankan menandatangani akta jual beli yang definitif
sebelum kewajiban pajak yang terhutang yaitu PPh dibayar lebih dulu. 8. Notaris/PPAT dilarang untuk menandatangani Akta Pejabat Pembuat
Akta Tanah sebelum PPh dan BPHTB dibayar lebih dulu. Jika ini dilanggar maka Notaris/PPAT terkena sanksi denda Rp. 5.000.000,- perkasus.
Sebelum membahas lebih dalam, terlebih dahulu akan diuraikan tentang perjanjian pokok dan perjanjian bantuan yang lazim disebut dengan perjanjian pendahuluan. Hal ini dilakukan karena perikatan jual beli disertai kuasa mutlak dapat dikatakan sebagai perjanjian pendahuluan sebelum perjanjian yang sesungguhnya (perjanjian jual beli) dilakukan.
Perjanjian pada hukum perdata materi dapat dibagi berdasarkan pada sifat hak dan mencakup perjanjian dalam bidang hukum keluarga, perjanjian dalam bidang hukum kebendaan, perjanjian obligatoir, perjanjian dalam bidang hukum pembuktian dan perjanjian dalam bidang hukum publik.
Mengenai perjanjian pokok dan perjanjian bantuan ini merupakan salah satu jenis dari perjanjian obligatoir. Dimana yang dimaksud dengan perjanjian pokok adalah perjanjian yang mempunyai alasan sendiri untuk adanya perjanjian tersebut, sedangkan perjanjian bantuan adalah perjanjian yang alasan dilakukan tergantung pada adanya perjanjian lain.
Perjanjian bantuan berfungsi dan mempunyai tujuan untuk mempersiapkan, menegaskan, memperkuat, mengatur mengubah atau menyelesaikan suatu hubungan hukum.
Sebagai perjanjian bantuan, maka perjanjian tersebut adalah berupa perjanjian pendahuluan (pactum de contrahendo) yaitu suatu perjanjian dimana para pihak saling mengikatkan diri untuk terjadinya suatu perjanjian baru/pokok yang merupakan tujuan dari para pihak, misalnya perjanjian pengikatan jual beli.61
Perjanjian pengikatan jual beli atau perikatan jual beli adalah perjanjian bantuan yang berfungsi sebagai perjanjian pendahuluan dan bentuknya bebas. Pada umumnya suatu perjanjian pengikatan jual beli atas perikatan jual beli mengandung janji-janji yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh salah satu pihak atau para pihak sebelum dapat dilakukannya perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir dari para pihak.
Sebagaimana diketahui untuk terjadinya jual beli hak atas tanah di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) harus telah dilunasinya harga jual beli hak atas tanah tersebut. Dalam praktek dan kenyataannya di masyarakat, tidak jarang terjadi
61
suatu keadaan dimana si pemilik hak atas tanah (calon penjual) yang sertifikat tanah haknya belum terbit atau belum terdaftar atas namanya yang mungkin disebabkan oleh karena :
1. Masih dalam proses permohonan hak (persertifikatan).
2. Masih dalam proses balik nama menjadi ke atas namanya yang timbul sehubungan dengan adanya pemindahan/peralihan hal, atau
3. Masih terikat sebagai jaminan atas suatu hutang.
Akan tetapi yang bersangkutan bermaksud untuk menjual tanah hak tersebut dan ada orang (calon pembeli) yang mungkin berkeinginan untuk membeli tanah hak tersebut dari calon penjual meskipun (calon) pembeli mengetahui bahwa sertifikat tanah hak yang bersangkutan masih terkendala sebagaimana yang disebutkan di atas sehingga tidak memungkinkan dibuat dan ditandatanganinya akta jual belinya.
Guna mengatasi hal tersebut, maka dibuatlah suatu perjanjian pengikatan jual beli sebagai suatu perjanjian pendahuluan untuk sementara, menantikan dipenuhinya syarat untuk perjanjian pokok yaitu jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang untuk membuatnya.
Oleh karena perjanjian pengikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan, maka biasanya dalam perjanjian tersebut memuat janji-janji dari para pihak yang mengandung ketentuan-ketentuan manakala syarat-syarat untuk jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) telah dipenuhi. Tentu saja para pihak setelah syarat untuk jual beli telah dipenuhi dapat datang kembali untuk melaksanakan jual belinya dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akan
tetapi ada kemungkinan bahwa calon penjualnya berhalangan untuk datang kembali melaksanakan penandatanganan akta jual belinya.
Menurut Notaris Sri Rambah, SH, sesuai dengan hasil wawancara dengan penulis, dikatakan bahwa banyak orang yang hendak datang untuk membuat perjanjian pengikatan jual beli sebelum terjadinya jual beli itu, dikarenakan dikemudian harinya pihak penjual dikhawatirkan tidak dapat datang untuk membuat jual belinya sendiri dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.62
Guna mengatasi hal tersebut, maka pembeli diberi kuasa untuk dapat melakukan jual belinya sendiri baik mewakili calon penjual maupun dirinya sendiri selaku calon pembeli untuk dapat mewakili secara umum hak-hak kepengurusan atas tanah tersebut selama belum dilakukan jual beli dihadapan pejabat yang dimaksud.
Hal mana perlu diingat, bahwa adanya kemungkinan calon penjual tidak berada di tempat untuk melakukan tindakan hukum yang masih merupakan kewajiban
tersebut.
Apabila perjanjian pengikatan jual belinya dilakukan dihadapan Notaris, maka Notaris seyogyanya telah mengantisipasi keadaan itu dengan mencantumkan kuasa- kuasa yang dimaksud untuk itu dengan mencantumkan kuasa-kuasa yang dimaksud agar calon pembeli tidak dirugikan haknya, mengingat telah dipenuhi semua persyaratan untuk jual belinya dihadapan Pejabat yang berwenang.
62
Kuasa-kuasa demikian diberikan dengan ketentuan bahwa kuasa mana tidak dapat ditarik kembali dan kuasa mana baru berlaku apabila syarat tangguh atas jual belinya tidak dipenuhi.
Suatu perjanjian pemberi kuasa pada umumnya merupakan suatu perjanjian sepihak, dimana kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak saja yaitu pada penerima kuasa.
Suatu pemberian kuasa tidak selalu memberikan kewenangan untuk mewakili pemberi kuasa. Ada kemungkinan dimana kuasa tidak merupakan bagian dari pemberi kuasa, tetapi dapat pula dalam pemberian kuasa tersebut diberikan pula wewenang untuk mewakili.
Apabila wewenang tersebut diberikan berdasarkan perjanjian pemberian kuasa, terjadilah perwakilan yang bersumberkan pada perjanjian.
Pada umumnya penerima kuasa dalam melakukan suatu tindakan hukum adalah untuk kepentingan pemberi kuasa, disamping melakukannya atas nama pemberi kuasa.
Menurut Pasal 1814 KUH Perdata, pemberi kuasa dapat menarik kembali kuasanya manakala itu dikehendakinya. Jika hal ini yang terjadi maka akan mengakibatkan hak-hak dari penerima kuasa dalam hal ini calon pembeli dalam pengikatan jual beli hak atas tanah sangat dirugikan. Pemberi kuasa yang diberikan dalam rangka suatu perjanjian maka pemberian kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari isi perjanjian tersebut yang tanpa adanya kuasa tersebut maka kepentingan penerima kuasa akan sangat dirugikan. Oleh karena itu
pemberian kuasa dalam perjanjian pengikatan jual beli tersebut harus diberikan
beding atau syarat yang tidak dapat ditarik kembali.
Menurut Asser-Scholten-Bregstein : “Hal tidak boleh dicabut (karena itu perwakilan yang jika perlu bahkan berlawanan dengan kehendak yang diwakili) adalah mungkin jika perwakilan tersebut merupakan bahagian dari suatu perjanjian lain yang lebih luas rangkumannya, perwakilan itu dapat berlangsung terus selama perjanjian tersebut masih berjalan.”63
Maka dapatlah dipertanyakan disini dasar hukum mengenai syarat tidak dapat ditarik kembali dalam kuasa mutlak dapat diperjanjikan kembali oleh para pihak atau dicabut kembali. Pemberian surat kuasa mutlak tidak diatur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, namun diakui keberadaannya di dalam lalu lintas bisnis dimasyarakat yang oleh beberapa putusan Hakim dipandang sebagai “bestending en
gebruikekijding”.64
Sebagaimana diketahui bahwa ketentuan Undang-Undang mengenai perjanjian menganut sistem terbuka dan asas kebebasan berkontrak. Berarti, bahwa setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian mengenai apa saja, dengan siapa saja serta memakai syarat dan bentuk yang bebas ditentukan oleh para pihak sepanjang tidak ditentukan lain oleh Undang-Undang dan hal tersebut akan mengikat pihak- pihak yang membuat sebagai Undang-Undang. Selain bersifat terbuka, ketentuan
63
Ali Sofyan Husein, Ekonomi Politik Penguasaan Tanah, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 1995, Hal. 92.
64
Undang-Undang dalam bidang hukum perjanjian juga bersifat mengatur dan tidak memaksa.
Pemberian kuasa mutlak adalah merupakan suatu perikatan yang muncul dari perjanjian, yang diatur dalam pasal 1338 KUH Perdata, yang mengakui adanya kebebasan berkontrak, dengan pembatasan bahwa perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan harus dilandasi dengan itikad baik.
Dengan demikian pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali adalah sah apabila :
1. Beding atau syarat kuasa tidak dapat ditarik kembali diperjanjikan dengan
tegas.
2. Kuasa diberikan untuk kepentingan penerima kuasa dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perjanjian.
3. Pemberian beding tersebut tidak dilarang oleh Undang-Undang dan Yurisprudensi.
4. dan beding kuasa tersebut dilandasi dengan itikad baik.
Di samping adanya beding tidak dapat ditarik kembali, perlu ditambahkan pula adanya beding tidak akan berakhir karena dasar/sebab yang tercantum dalam Undang-Undang untuk mengakhiri suatu kuasa.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa beding tersebut bersifat sangat penting mengingat adanya pailissemen atau kematian dari pemberi kuasa atau penerima kuasa, maka kekuasaan tersebut akan berakhir. Dengan adanya beding
tersebut pada pemberian kuasa yang tidak dapat ditarik kembali, maka dengan kejadian tersebut adanya pailissemen, kekuasaan akan tetap berlaku. Demikian pula mengingat bahwa kuasa sedemikian itu merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari suatu perjanjian dan adalah tujuan dari pihak-pihak bahwa pemberian kuasa akan terus berlangsung selama perjanjian itu berlaku tidak dapatlah kuasa tersebut ditarik kembali atau berakhir karena meninggalnya si pemberi kuasa. Pemberian kuasa dengan beding (yang tidak dapat ditarik kembali) sering disalahartikan dan dianggap identik dengan kuasa mutlak.
Sebelum membahas lebih lanjut tentang kuasa mutlak ini, terlebih dahulu akan dibahas mengenai perjanjian dengan asas kebebasan berkontrak. Seringkali masyarakat banyak salah mengartikan tentang apa itu kebebasan berkontrak, padahal kebebasan berkontrak itu bukanlah kebebasan tanpa batas.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Ridwan Khairandy, yang menyatakan bahwa terdapat banyak kritikan atau keberatan terhadap kebebasan berkontrak dan dalam perkembangannya kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Ada sejumlah point penting yang harus diperhatikan sebagai pembatasan terhadap kebebasan berkontrak dalam sejumlah sistem hukum. Pembatasan kebebasan berkontrak tersebut dilakukan baik melalui peraturan perundang-undangan maupun putusan pengadilan.65
65
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, FH UI Pasca Sarjana, 2003, Hal. 27.
Maka kuasa mutlak memang menganut sistem kebebasan berkontrak dan bersifat terbuka, tetapi terdapat batasan-batasan yang dianut yang tidak bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban dan kepatutan serta peraturan hukum yaitu perundang- undangan dan Yurisprudensi yang membatasi kuasa mutlak tersebut.
Pada tanggal 8 Maret 1982 keluar Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, yang ditujukan ke semua Gubernur, Bupati, agar melarang Camat dan Kepala Desa atau pejabat yang setingkat dengan itu membuat/menguatkan pembuatan surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah. Instruksi tersebut juga melarang pejabat-pejabat Agraria untuk melayani status hak tanah yang menggunakan surat kuasa mutlak sebagai bahan pembuktian pemindahan hak atas tanah.
Meskipun Instruksi tersebut bersifat intern departemental namun efeknya dirasakan sangat meluas keluar. Timbul semacam dilema pada pihak-pihak yang tugasnya sehari-hari melibatkan dirinya dalam masalah tanah, termasuk Notaris/PPAT. Dikhawatirkan akan menimbulkan kemacetan dalam pengurusan dokumen-dokumen tanah.
Maka kemudian keluar kembali Surat Direktur Jendral Agraria Nomor 594/1492/AGR Tanggal 31 Maret 1982 yang memuat ketentuan sebagai berikut :
“Penggunaan kuasa yang tidak termasuk sebagai Kuasa Mutlak yang dilarang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tersebut adalah: 1. Penggunaan kuasa penuh yang dimaksud dalam Pasal 3 blanko akta jual beli
yang bentuk aktanya ditetapkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 11 Tahun 1961.
2. Penggunaan kuasa penuh sebagai dicantumkan dalam perjanjian Ikatan Jual Beli yang aktanya dibuat oleh seorang Notaris.
3. Penggunaan kuasa untuk memasang hipotek yang aktanya dibuat oleh seorang Notaris.
Dan penggunaan kuasa-kuasa lain yang bukan dimaksudkan sebagai pemindahan hak atas tanah”.
Perjanjian pengikatan jual beli harus dibuat dihadapan seorang Notaris dengan akta Notaris untuk memberikan kepastian bahwa kuasa tersebut benar diberikan dalam rangka suatu perjanjian untuk melangsungkan jual beli dan bukan perjanjian mengenai pemindahan hak yang terselubung.
Jadi, yang dilarang untuk kuasa mutlak ini adalah penggunaan kuasa mutlak yang dimaksudkan sebagai upaya pemindahan hak milik atas tanah dengan maksud- maksud terselubung.
Dalam hal kuasa disini masih diperlukan untuk perjanjian pengikatan jual beli, hanya saja bentuknya dalam praktek Notaris/PPAT belum tentu bersifat mutlak. Kuasa mutlak masih dapat diberlakukan sepanjang kuasa mutlak tersebut bukanlah untuk pemindahan hak dan hak atas tanah. Hal ini disampaikan oleh Notaris Soeparno, SH., mengatakan bahwa kuasa mutlak masih dapat diberlakukan sepanjang kuasa mutlak tersebut tidak untuk pemindahan hak atas tanah, beliau melihat kuasa mutlak ini dari sudut pandang yang sempit. Jadi menurut beliau segala kuasa mutlak yang berkenaan dengan tanah adalah dilarang.66
Dapat terlihat bahwa sepanjang kuasa mutlak bukan bersifat pemindahan hak atas tanah yang mempunyai maksud-maksud terselubung, kuasa mutlak ini masih dapat diberlakukan.
66
BAB III
TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN KUASA MUTLAK DALAM
PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG DIBUAT DIHADAPAN
NOTARIS/PPAT
A. Lembaga Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa (last geving) diatur dalam Buku III Bab XVI Pasal 1792 – 1819 KUHPerdata.
Kuasa atau Volimacht merupakan tindakan hukum sepihak yang memberi wewenang kepada penerima kuasa mutlak untuk mewakili pemberi kuasa guna
kepentingan pemberi kuasa dalam melakukan suatu tindakan hukum tertentu (HR 24 Juni 1983 N7 1939-337).67
Menurut ketentuan Pasal 1792 KUHP, yang isinya adalah “Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan kepada seorang yang lain, menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.”
Berdasarkan pasal di atas dapat dilihat bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah sebagai berikut :
1. Adanya persetujuan
2. Memberikan kuasa kepada penerima kuasa
3. Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan. Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian, dimana seseorang memberi kekuasaan atau wewenang
(lastgeving) kepada orang lain yang menerimanya (velimacht Lasthebber) untuk
67
dan atas namanya (lastgever) menyelenggarakan suatu urusan (pasal 1792 KUHPerdata).68
Pada umumnya seseorang dapat menyuruh orang lain melakukan suatu tindakan hukum. Dengan mendapatkan kekuasaan ini seseorang mendapat wewenang untuk mewakili orang yang menyuruhnya. Tetapi tidak selamanya orang dapat menyuruh orang lain melakukan tindakan-tindakan hukum apa saja. Ada beberapa tindakan hukum yang demikian rupa pribadinya, sehingga terpaksa ia sendiri yang harus melakukannya, misalnya dalam hal membuat surat wasiat.
Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kuasa kepada pihak yang lain (penerima kuasa /lasthebber), yang menerimanya untuk dan atas namanya sendiri atau tidak menyelenggarakan satu perbuatan hukum atau lebih untuk yang memberi kuasa”.69
Ciri-ciri dari pemberian kuasa adalah sebagai berikut :
a. Bebas bentuk artinya dapat dibuat dalam bentuk lisan ataupun tulisan. b. Persetujuan timbal balik para pihak telah mencukupi.70
Dengan demikian jika dilihat dari unsur-unsur di atas, maka unsur pertama adalah harus adanya suatu persetujuan dan memenuhi syarat untuk sahnya perjanjian. Unsur kedua yaitu memberikan kekuasaan kepada penerima kuasa, hal ini menunjukkan bahwa adanya pihak pemberi kuasa dan pihak penerima kuasa yang telah saling menyetujui. Unsur ketiga yaitu penerima kuasa melakukan tindakan
68
I.G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak, Megapoin, Jakarta, 2003, hal. 85.
69
Salim H.S., op.cit, Hal. 84
70
hukum tersebut demi kepentingan serta untuk dan atas nama pemberi kuasa baik yang dirumuskan secara umum maupun dinyatakan dengan kata-kata tegas.
Dengan adanya pemberian kuasa berdasarkan perjanjian yang diperoleh seseorang, maka terjadilah hubungan hukum antara memberi kuasa (last gever) dengan penerima kuasa (last hebber), yang selanjutnya penerima kuasa tidak bertindak untuk dirinya sendiri, akan tetapi bertindak untuk kepentingan pemberi kuasa.
Menurut Salim, HS, jika dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan menjadi enam macam,71 yaitu :
1. Akta umum
2. Surat di bawah tangan 3. Lisan
4. Diam-diam 5. Cuma-Cuma 6. Kata khusus 7. Umum
Pemberian kuasa dengan akta umum adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta Notaris atau Notariil. Hal ini berarti pemberian kuasa itu dilakukan dihadapan Notaris. Dengan demikian pemberian kuasa tersebut mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna.
Pemberian kuasa dengan surat dibawah tangan adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa, artinya surat pemberian
71
kuasa itu hanya dibuat oleh para pihak saja tanpa ada pejabat yang berwenang (dalam hal ini Notaris) yang menyaksikannya.
Pemberian kuasa secara lisan adalah suatu kuasa yang dilakukan atau diberikan secara lisan oleh si pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
Pemberian kuasa secara diam-diam adalah suatu kuasa yang dilakukan secasra diam-diam oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
Pemberian kuasa secara cuma-cuma adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa dengan mana penerima kuasa tidak menerima biaya apapun dari pemberi kuasa.
Pemberian kuasa khusus yaitu suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa untuk kepentingan tertentu saja dari pemberi kuasa.
Pemberian kuasa umum yaitu pemberian kuasa yang dilakukan pemberi kuasa dengan penerima kuasa yang isinya kuasa yang bersifat umum dan untuk segala kepentingan si pemberi kuasa tersebut.
Suatu perjanjian pemberian kuasa atau lastgeving pada umumnya merupakan suatu perjanjian sepihak, dimana kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak saja, yaitu pada penerima kuasa.