• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak dalam Peralihan Hak Atas Tanah oleh Notaris / PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak dalam Peralihan Hak Atas Tanah oleh Notaris / PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN KUASA MUTLAK DALAM

PERALIHAN HAK ATAS TANAH OLEH NOTARIS / PPAT

(PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH)

TESIS

Oleh

NELLY SRIWAHYUNI SIREGAR 067011059/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008

TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN KUASA MUTLAK DALAM

PERALIHAN HAK ATAS TANAH OLEH NOTARIS / PPAT

(2)

TESIS

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Magister Kenotariatan Pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

NELLY SRIWAHYUNI SIREGAR 067011059/MKn

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN KUASA MUTLAK DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH OLEH NOTARIS / PPAT (PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH)

Nama Mahasiswa : Nelly Sriwahyuni Siregar Nomor Induk : 067011059

Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui

Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) Ketua

(Chairani Bustami, SH, SpN, MKn) (Notaris Syafnil Gani, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B.MSc)

(4)

Telah Diuji

Pada tanggal : 23 Agustus 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin SH, MS, CN. Anggota : Chairani Bustami, SH, SpN, MKn.

Notaris/PPAT Syafnil Gani, SH, MHum. Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA

(5)

ABSTRAK

Dalam hal melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah haruslah dilakukan di hadapan seorang Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bertujuan untuk memperoleh kekuatan pembuktian yang sah dan dibuatkan dengan akta otentik. Khusus untuk tanah-tanah yang bersertipikat jual beli atau pengalihan hak ini dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, tetapi ada kalanya pelaksanaan jual beli ini dilakukan dihadapan notaris, yang dinamakan dengan Perjanjian Jual Beli/Perikatan Jual Beli. Perjanjian jual beli yang diikuti dengan kuasa mutlak merupakan perjanjian pendahuluan yang lazim ditemukan dalam praktek Notaris. Sehingga dengan demikian perjanjian jual beli dengan kuasa mutlak ini dilaksanakan mengawali jual belinya itu sendiri dihadapan PPAT. Berdasarkan uraian di atas, akan dikaji mengenai mengapa kuasa mutlak sebagai tindak lanjut dari perjanjian pendahuluan dalam peralihan hak atas tanah masih dapat diberlakukan dan bagaimana secara yuridis kedudukan kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT serta bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak yang telah melakukan peralihan hak atas tanah dengan memakai kuasa mutlak.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif dengan cara meneliti bahan hukum pustaka, dilengkapi dengan pendekatan deskriptif dan analisis dilapangan dengan cara wawancara kepada narasumber, yang kemudian fakta-fakta tersebut dianalisis dan digambarkan sesuai dengan fakta yang ada (deskriptif dan analitis).

Dari hasil penelitian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan kuasa mutlak dalam perjanjian jual beli masih sering digunakan di kalangan masyarakat. Kuasa mutlak yang seharusnya digunakan adalah kuasa mutlak yang sesuai dengan isi Surat Direktur Jenderal Agraria Nomor 594/1492/AGR tanggal 31 Maret 1982. Dalam praktek sering dijumpai Akta Perjanjian Jual Beli tidak memakai klausula tidak dapat dicabut kembali, sehingga mengakibatkan kuasa tersebut menjadi tidak mutlak. Dalam hal pemakaian kuasa mutlak dalam perjanjian jual beli diperuntukkan demi kepentingan khususnya pihak pembeli. Kuasa mutlak ini diberlakukan kembali disebabkan terdapat kemacetan dalam pengurusan surat-surat tanah sejak dikeluarkannya Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982, sehingga kemudian dikeluarkan kembali Surat Direktur Jenderal Agraria Nomor 594/1492/AGR untuk melancarkan hal tersebut. Perlindungan hukum untuk pihak penjual yang tanahnya dialihkan dengan kuasa mutlak diperlukan apabila pihak pembeli membeli objek/tanah tersebut tidak dengan cara tunai. Dari kesimpulan tersebut, maka disarankan agar Notaris tidak begitu saja melayani permintaan para pihak untuk membuat suatu perjanjian jual beli yang disertai dengan kuasa mutlak, dan agar lebih berhati-hati dalam pemakaian kuasa mutlak sehingga kuasa mutlak yang digunakan adalah kuasa mutlak yang tepat sesuai dengan IMDN No.14/1982 dan SDJA No. 594/1492/AGR. Disarankan pula, agar diberikan penyuluhan untuk para Notaris/PPAT yang lebih akurat mengenai kuasa mutlak ini oleh pemerintah.

Kata Kunci : Kuasa Mutlak, Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini dengan judul “Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT

(Pejabat Pembuat Akta Tanah)”. Penulisan tesis ini merupakan suatu persyaratan yang

harus dipenuhi untuk memperoleh gelar Magister dalam bidang Ilmu Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Oleh sebab itu, ucapan terima kasih yang mendalam penulis sampaikan secara khusus kepada yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Prof. Dr.

Muhammad Yamin, SH., M.S., C.N., Ibu Chairani Bustami, SH, SpN, MKn, dan Bapak

Notaris/PPAT Syafnil Gani, S.H., M.Hum., selaku Komisi Pembimbing yang dengan

tulus ikhlas memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penulisan tesis ini. Kemudian juga, kepada Dosen Penguji yang terhormat dan amat terpelajar Bapak Dr. Ramlan Yusuf Rangkuti, MA., dan Bapak Notaris/PPAT Syahril Sofyan,

SH, MKn, yang telah berkenan memberi masukan dan arahan yang konstruktif dalam

penulisan tesis ini sejak tahap kolokium, seminar hasil sampai pada tahap ujian tertutup sehingga penulisan tesis ini menjadi lebih sempurna dan terarah.

Selanjutnya ucapan terima kasih penulis yang sebesar-besarnya kepada : iii

(7)

2. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc., selaku Direktris Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, dan para Asisten Direktris serta seluruh Staf atas bantuan, kesempatan dan fasilitas yang diberikan, sehingga dapat diselesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, S.H., M.S., C.N., selaku Ketua Program Magister Kenotariatan (M.Kn) Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara. 4. Pada Bapak dan Ibu Guru Besar juga Dosen Pengajar pada Program Magister

Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis sampai kepada tingkat Magister Kenotariatan.

5. Bapak Rustam Effendi Rasyid, SH, Bapak Andreas, SH, Bapak Soeparno, SH, Bapak Syamsurizul A. Bispo, SH, Bapak Yulhamdi, SH, Ibu Lolita Pulungan, SH, Ibu Irma Yolanda Handayani, SH, Ibu Sri Rambah, SH, selaku Notaris/PPAT di Medan juga kepada Ibu Khairunnisah, SH, Ibu Herlina Ginting, SH, Ibu Irdhanila Hasibuan, SH, selaku Notaris/PPAT di Binjai yang seluruhnya telah banyak membantu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan tesis ini.

6. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara diantaranya Ibu Fatimah, SH, Sari, Lisa, Bang Aldi, dan lain-lain, yang selalu membantu kelancaran dalam hal manajemen administrasi yang dibutuhkan.

(8)

Sungguh rasanya suatu kebanggaan tersendiri dalam kesempatan ini penulis juga turut menghaturkan sembah sujud dan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada Ibunda Nurliana dan Ayahanda Baharuddin Siregar (Alm), serta kakak-kakak dan adik penulis yang telah memberikan doa dan perhatian yang cukup besar selama ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan studi pada Program Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara Medan.

Teristimewa penulis mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada suami tercinta Amran, S.Sos, serta ananda tersayang Sunelta Indira Ferdina dan Arnelita Dwi

Cahya yang selama ini telah memberikan semangat dan doa restu serta kesempatan untuk

menimba ilmu di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Penulis berharap semoga semua bantuan dan kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah kepada kita semua.

Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada semua pihak, terutama kepada penulis dan kalangan yang mengembangan ilmu hukum, khususnya dalam bidang ilmu kenotariatan.

v

(9)
(10)

RIWAYAT HIDUP

I. IDENTITAS PRIBADI

Nama Lengkap : Nelly Sriwahyuni Siregar Tempat/Tanggal Lahir : Medan / 06 April 1973

Status : Menikah

Alamat : Jl. Bejomuna No. K 7 Binjai – Sumatera Utara II. KELUARGA

Nama Suami : Amran S.Sos

Nama Anak : 1. Sunelta Indira Ferdina 2. Arnelita Dwi Cahya Nama Ayah : Baharuddin Siregar (Alm)

Nama Ibu : Nurliana

III. PENDIDIKAN

- SD : Tahun 1979 s/d 1985

SD Negeri 024772 – Binjai

- SMP : Tahun 1985 s/d 1988

SMP Tunas Pelita – Binjai

- SMA : Tahun 1988 s/d 1991

SMA Negeri 2 – Binjai - Perguruan Tinggi / S1 : Tahun 1991 s/d 1997

Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala Darussalam – Banda Aceh

- Perguruan Tinggi / S2 : Tahun 2006 s/d 2008 Sekolah Pascasarjana

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara – Medan

(11)

ASBTRAK... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vii

DAFTAR ISI... viii

BAB I : PENDAHULUAN... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah... 14

C. Tujuan Penelitian... 14

D. Manfaat Penelitian... 15

E. Keaslian Penelitian ... 15

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

G. Metode Penelitian... 45

BAB II HAL YANG MENYEBABKAN KUASA MUTLAK SEBAGAI TINDAK LANJUT DARI PERJANJIAN PENDAHULUAN DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH MASIH DAPAT DIBERLAKUKAN... 49

A. Perjanjian Jual Beli Tanah... 49

B. Hal-hal yang Menyebabkan Dilaksanakannya Perjanjian Jual Beli... 55

C. Faktor Penyebab Kuasa Mutlak Sebagai Tindak Lanjut Dari Perjanjian Pendahuluan Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Masih Dapat Diberlakukan... 60 BAB III TINJAUAN YURIDIS KEDUDUKAN KUASA MUTLAK

DALAM PERALIHAN HAK ATAS TANAH YANG DIBUAT

(12)

C. Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak Dalam Peralihan Hak Atas Tanah yang Dibuat Dihadapan

Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) ... 86

BAB IV PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PARA PIHAK YANG TELAH MELAKUKAN PERALIHAN HAK ATAS TANAH DENGAN MEMAKAI KUASA MUTLAK... 97

A. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli ... 97

A. Penggunaan Akta Notaris... 104

B. Bagaimana Perlindungan Hukum Terhadap Para Pihak Yang Telah Melakukan Peralihan Hak Atas Tanah Dengan Memakai Kuasa Mutlak... 109

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 116

A. Kesimpulan... 116

B. Saran ... 118

(13)

A. Latar Belakang

Dalam Pembangunan Jangka Panjang peranan tanah bagi pemenuhan berbagai keperluan akan meningkat, baik sebagai tempat bermukim maupun untuk kegiatan usaha. Berkaitan dengan itu meningkat pula kebutuhan dukungan berupa jaminan hukum di bidang pertanahan. Pemberian jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan, pertama-tama memerlukan tersedianya perangkat hukum yang tertulis, lengkap dan jelas yang dilaksanakan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuan-ketentuannya.

Mengingat kebutuhan akan tanah bagi masyarakat Indonesia maupun masyarakat asing yang ada di Indonesia masih sangat tinggi, maka harus ditingkatkan jaminan kepastian hukum dalam penguasaan tanah. Dengan kata lain meningkat pula kebutuhan dukungan berupa jaminan kepastian hukum dibidang pertanahan.

Berkaitan dengan itu Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 telah memerintahkan diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum. Menurut Peraturan Pemerintahan Nomor 24 tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah Pasal 1 butir 1 :

(14)

yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.1

Sebagai konsistensi dari Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah sangat diperlukan, baik dalam penyediaan tanah maupun dalam pemutakhiran data penguasaan tanah, hal ini disesuaikan dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2007 tentang Panitia Pemeriksaan Tanah.

Adapun pengertian dari PPAT menurut Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah Pasal 1 butir 1 :

Pejabat Pembuat Akta Tanah, selanjutnya disebut PPAT, adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.2

Pejabat Pembuat Akta Tanah diangkat oleh pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam rangka melayani kebutuhan masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah, dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.3

1

Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah, PP No.24 Tahun 1997, LN No.59 Tahun 1997, TLN No.3696, Ps. 1 ayat 1.

2

Indonesia, Peraturan Pemerintah Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 tahun 1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN 3746, Ps 1 ayat 1.

3

(15)

Dalam hal melakukan perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah haruslah dilakukan dihadapan seorang Notaris atau Pejabat Pembuat Akta Tanah yang bertujuan untuk memperoleh kekuatan pembuktian yang sah dan dibuatkan dengan akta otentik. Khusus untuk tanah-tanah yang bersertipikat jual beli atau pengalihan hak ini dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, tetapi ada kalanya pelaksanaan jual beli ini dilakukan dihadapan notaris, yang dinamakan dengan Perjanjian Jual Beli/Perikatan Jual Beli.

Sehubungan dengan akta yang dibuat oleh notaris ini, di dalam Pasal 1868 KUH Perdata disebutkan : “Suatu akta autentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu di tempat dimana akte dibuatnya” 4

Akta yang dimaksudkan di atas dibuat oleh notaris, dimana pengertian notaris itu sendiri terdapat dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang selanjutnya disebut UUJN, menyebutkan bahwa Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini. Pasal 15 UUJN mengatur tentang kewenangan Notaris tersebut, yaitu :

Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada

4

(16)

pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang. Notaris berwenang pula mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus; membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang bersangkutan; melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya; memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta; membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan; atau membuat akta risalah lelang. Selain kewenangan tersebut, Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. 5

Sesuai dengan perkembangan zaman, Notaris tidak hanya membuat akta-akta otentik yang ditugaskan kepadanya, tapi juga memberikan nasehat hukum (legal advisor) ataupun pendapat hukum (legal opinion), penjelasan mengenai peraturan perundang-undangan kepada pihak-pihak yang bersangkutan, serta melakukan legalisasi dan waarmerking atas surat-surat atau dokumen di bawah tangan berdasarkan ketentuan Pasal 1874 KUH Perdata. Oleh karena perkembangan sosial yang cepat, mengakibatkan pula perkembangan hubungan-hubungan hukum di dalam masyarakat, maka peranan Notaris menjadi sangat kompleks dan seringkali sangat berbeda dengan ketentuan yang berlaku. Tugas dan peranan Notaris dalam praktek di masyarakat makin luas dari pada tugas Notaris yang dibebankan dalam undang-undang tersebut. Bahkan terkadang dianggap sebagai profesi yang dapat menyelesaikan segala masalah hukum.6

Peranan Notaris yang semakin kompleks ini, menurut G.H.S. Lumban Tobing, hendaknya para Notaris lebih waspada agar tidak tertinggal. Apabila para

5

Undang-undang RI Nomor 30 Tahun 2004 tentang UUJN, Bp. Pustaka Candra, Jakarta, 2004.

6

(17)

Notaris tidak ingin pihak lain membicarakan hal-hal yang berkaitan dengannya, tanpa keterlibatan para Notaris itu sendiri, maka para Notaris harus dituntut untuk membekali dirinya mulai dari sekarang ini. Hendaknya diingat bahwa para Notaris tidak akan dapat membekali dirinya, apabila para Notaris disamping perhatiannya terhadap pekerjaannya sehari-hari dan tidak mempunyai perhatian terhadap semakin lajunya pembangunan yang kini sedang giat-giatnya dilaksanakan di segala bidang, terutama di bidang hukum.7

Notaris adalah seorang pejabat hukum yang bergelut dalam dunia hukum yang terlibat dalam dunia aturan-aturan yuridis yang serba kait mengkait dan juga Notaris adalah sebagai individu yang hidup dalam masyarakat yang juga terikat pada tatanan-tatanan sosial. Notaris juga memiliki kebebasan dalam membentuk dunia sendiri, lewat pemikiran-pemikiran dan keputusan yang diambilnya, selama tidak melanggar ketentuan-ketentuan umum.8

Jika dilihat pengertian jual beli yang dihubungkan dengan kekuatan akte yang dibuat oleh notaris, maka dapat dilihat dalam Pasal 1457 KUH Perdata yang berbunyi: “Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.9

Objek dari jual beli disini adalah hak atas tanah yang akan dijual. Dalam praktek disebut jual beli tanah. Hak atas tanah yang dijual, bukan tanahnya. Memang benar dengan tujuan membeli hak atas tanah ialah supaya pembeli dapat secara sah menguasai dan mempergunakan tanah tersebut, tetapi yang dibeli (dijual) bukan tanahnya, tetapi hak atas tanahnya.10

7

G.H.S. Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga Ciracas, Jakarta, 1983, Hal. 30.

8

Chairani Bustami, Aspek-aspek Hukum Yang Terkait Dalam Akta Perikatan Jual Beli Yang

Dibuat Notaris Dalam Kota Medan, Tesis pada Program Pasca Sarjana USU Medan, 2002, Hal. 66.

9

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, op.cit. Hal. 327.

10

(18)

Berdasarkan pada ketentuan di atas dapat dilihat bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Dalam jual beli senantiasa terdapat dua sisi hukum perdata yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan.

Dikatakan demikian karena pada sisi hukum kebendaan, jual beli melahirkan hak bagi kedua belah pihak atas tagihan, yang berupa penyerahan kebendaan pada satu pihak, dan pembayaran harga jual pada pihak lainnya. Sedangkan pada sisi perikatan, jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. 11

Hal itu dipertegas lagi dengan bunyi Pasal 1458 KUH Perdata yang menyatakan bahwa : “Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.” Ini berarti bahwa perjanjian yang telah ada diantara para pihak yaitu kesepakatan yang telah ada, akan menjadi pengikat dan menjadi dasar untuk tindakan selanjutnya di dalam pembuatan suatu perjanjian terutama sekali dalam hal perjanjian jual beli yang akan dilaksanakan oleh para pihak.

11

(19)

Bahwa jual beli yang dimaksud adalah jual beli dalam arti untuk tanah-tanah yang sudah bersertipikat yang meliputi segala sesuatu yang ada/berada atau ditempatkan di atas tanah tersebut dan jual beli ini dilaksanakan dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), namun untuk hal-hal tertentu pelaksanaan jual beli ini dapat juga dilakukan di hadapan Notaris, dimana dalam hal ini ada yang disebut dengan perikatan jual beli dan ada pula yang disebut dengan perjanjian jual beli yang melibatkan dua pihak yaitu pihak penjual dan pihak pembeli. Sehubungan dengan hal tersebut, Notaris dalam hal ini akan sangat berperan untuk mencarikan upaya agar perjanjian jual beli ini dapat dilaksanakan dengan tidak mengurangi nilai atau harkat dari akta yang dimaksud, yang artinya tetap bernilai jual beli yang berarti terjadi penyerahan dari penjual kepada pembeli dengan transaksi tunai.12

Timbulnya perjanjian jual beli ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya adalah keengganan dari para pihak untuk membayar pajak, baik berupa Pajak Penghasilan (PPH) maupun Pajak Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan juga sebab-sebab lain diantaranya adalah belum dilakukannya cek bersih sertipikat dimaksud di Kantor Pertanahan, serta belum dilakukan roya atas sertipikat tersebut yang masih dibebani Hak Tanggungan.13

Sebagian dari hal-hal tersebut di atas menyebabkan para pihak melakukan perjanjian jual beli dan peranan notaris di dalam membuat akta perjanjian jual beli yang diinginkan oleh para pihak diharapkan dapat memberikan kepastian hukum bagi

12

Chairani Bustami, Op.cit, Hal. 12

13

(20)

para pihak dan disamping itu notaris diharapkan untuk mengingatkan para pihak terhadap hak dan kewajiban mereka yang timbul dari perjanjian jual beli yang telah dibuat.

Hal penting yang harus diperhatikan di dalam suatu akta perjanjian jual beli yang dibuat oleh notaris adalah bahwa setelah akta itu dibuat harus diikuti dengan diterbitkannya suatu Surat Kuasa, dengan kata lain akta perjanjian jual beli tidak dapat dipisahkan dari surat kuasa.

Surat pemberian kuasa pada umumnya merupakan suatu perjanjian sepihak, dimana kewajiban untuk melaksanakan prestasi hanya terdapat pada satu pihak saja yaitu pada penerima kuasa. Pasal 1792 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut : “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberi kekuasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.

Yang dimaksudkan pemberian kuasa disini adalah para pihak mempunyai kebebasan untuk membuat kesepakatan, salah satunya mengenai kuasa apa saja yang diterima oleh pihak pembeli dari pihak penjual. Disinilah sering pihak penjual memberikan apa yang disebut dengan kuasa mutlak.

(21)

dengan pembatasan bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan harus dilandasi dengan itikad baik.

Sahnya Kuasa Mutlak disyaratkan bahwa Pemberi Kuasa harus mempunyai kepentingan terhadap pelaksanaan Kuasa Mutlak tersebut dengan memenuhi ketentuan-ketentuan sebagai berikut :

a. Kuasa mutlak tersebut harus diterima baik oleh Penerima kuasa, agar mempunyai kekuatan tidak dapat dibatalkan atau dicabut kembali.

b. Pemberi kuasa harus bekwaam (mampu).

c. Objek pemberi Kuasa Mutlak harus terbatas dan tertentu.

d. Harus ada dasar hukum yang sah, artinya perjanjian yang menjadi dasar terbitnya Kuasa Mutlak tersebut haruslah sah menurut hukum. 14

Kuasa mutlak disini dapat dijabarkan sebagai kuasa yang diberikan disertai hak dan kekuasaan yang luas sekali terhadap objek tertentu, pada perbuatan mana pemberi kuasa tidak dapat menarik kembali kuasanya serta tidak akan gugur kapan atau dengan alasan apapun. Si kuasa dibebaskan dari kewajiban memberikan pertanggung jawaban selaku kuasa kepada pemberi kuasa dan bertindak seolah-olah objek tersebut adalah kepunyaannya.

Hal tersebut tidak dapat dijumpai dalam pemberian kuasa dan merupakan penyimpangan dari ketentuan tentang berakhirnya suatu kuasa dan tentang pertanggung jawaban penerima kuasa terhadap pemberi kuasa sebagaimana yang diatur dalam KUH Perdata.

14

(22)

Sebagaimana diatur dalam Pasal 1813 KUH Perdata dinyatakan bahwa kuasa akan berakhir apabila :

1. Kuasa ditarik kembali

2. Pemberitahuan penghentian kuasa

3. Meninggalnya pengampu atau pailitnya pemberi kuasa atau yang menerima kuasa.

4. Perkawinan perempuan yang sudah memberikan kuasa atau yang menerima kuasa (untuk ketentuan terakhir ini sudah tidak berlaku lagi).

Maka pemberian kuasa yang dimaksud dalam Pasal 1792 KUH Perdata tidaklah dapat dilepaskan dari isi Pasal 1813 KUH Perdata tersebut. Artinya bahwa apabila unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 1813 KUH Perdata tersebut terpenuhi

maka perjanjian pemberian kuasa yang dibuat berakibat tidak berkekuatan hukum lagi.

Namun demikian perlu diperhatikan, bahwa pemberian kuasa tersebut hanya

meliputi tindakan pengurusan saja. Dan hal ini tersirat pada Pasal 1792 KUH Perdata dan ditegaskan pada Pasal 1797 KUH Perdata bahwa si penerima kuasa

tidak boleh melakukan sesuatu apapun yang melampaui batas kuasanya. Maksudnya disini adalah bahwa penerima kuasa tidak diperbolehkan melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh si pemberi kuasa dalam hal ini adalah pemilik/pemegang haknya.

(23)

Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Isi Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tersebut antara lain adalah menginstruksikan kepada semua Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I dan para Bupati/Walikota Kepala Daerah Tingkat II untuk melarang

a. Camat dan Kepala Desa atau pejabat yang setingkat dengan itu untuk membuat/menguatkan pembuatan surat kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah.

b. Pejabat-pejabat agraria untuk melayani penyelesaian status hak atas tanah yang merupakan surat kuasa mutlak sebagai bahan pembuktian pemindahan hak atas tanah.

Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut dapat disimpulkan bahwa kuasa mutlak mempunyai 3 (tiga) unsur, yaitu :

1. Obyek dari kuasa tersebut adalah tanah

2. Kuasa tersebut mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa, dan

(24)

Dalam pemberian suatu kuasa mutlak dapat menimbulkan konflik diantaranya:

1. Adanya ketidakseimbangan antara hak dan kewajiban dari para pihak.

Hal ini disebabkan karena bahwa pemberian kuasa mutlak ditujukan untuk kepentingan pihak penerima kuasa/pembeli.

2. Penyalahgunaan klausul kuasa mutlak yang tidak dapat dicabut kembali.

Karena dengan kekuatan pemberian kuasa walaupun penerima kuasa belum melunasi pembayaran atas jual beli tersebut dapat melakukan tindakan pemilikan dan tindakan pengurusan tanpa persetujuan dari pemberi kuasa/penjual dan ini sangat merugikan pihak penjual karena tidak bisa berbuat apa-apa. Hal ini juga merupakan perbuatan melanggar hukum dari penerima kuasa karena telah melampaui batas-batas kuasanya.

(25)

Demikian juga dalam Perjanjian Jual Beli, dimana perjanjian pemberian kuasa di dalamnya harus diberikan dengan ketentuan bahwa kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokoknya yaitu pengikatan jual belinya itu sendiri.

Dengan demikian perjanjian pemberian kuasa yang demikian tidak termasuk dalam surat kuasa mutlak yang dilarang. Dengan catatan bahwa kuasa yang diberikan didalam perjanjian jual beli yang dibuat secara notaril dimana hak-hak pemberi kuasa sudah terpenuhi dan pelaksanaan jual beli kepada pembeli belum dapat dilaksanakan karena misalnya sertifikat belum selesai dibalik nama atau karena letak tanah diluar wilayah kerja notaris, dengan ketentuan kuasa demikian diberikan hanya untuk pelaksanaan jual beli kepada pembeli sendiri, bukan kepada pihak lain dan jangan diberikan dengan hak substansi untuk menjaga peluang yang menyimpang.

(26)

Kuasa Mutlak Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)”.

B. Perumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut :

1. Mengapa kuasa mutlak sebagai tindak lanjut dari perjanjian pendahuluan dalam peralihan hak atas tanah masih dapat diberlakukan ?

2. Bagaimana secara yuridis kedudukan kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah yang dibuat dihadapan notaris/PPAT ?

3. Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak yang telah melakukan peralihan hak atas tanah dengan memakai kuasa mutlak ?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui hal-hal apa saja yang menyebabkan kuasa mutlak sebagai tindak lanjut dari perjanjian pendahuluan dalam peralihan hak atas tanah masih dapat diberlakukan.

2. Untuk mengetahui secara yuridis kedudukan kuasa mutlak dalam peralihak hak atas tanah yang dibuat dihadapan Notaris/PPAT.

(27)

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa sumbang dan saran, dan dapat dijadikan bahan kajian lebih lanjut untuk memberikan andil bagi perkembangan ilmu hukum khususnya hukum perjanjian. 2. Secara praktis, bahwa penelitian ini adalah sebagai sumbangan pemikiran bagi

praktisi hukum, Notaris dan PPAT selaku Pejabat Negara yang ditunjuk oleh Undang-Undang selaku Pembuat Akta Otentik dalam hal pengaturan mengenai kuasa mutlak dalam kaitannya dengan perjanjian jual beli. Demikian halnya bagi masyarakat pemilik tanah, penelitian ini dapat berguna sebagai informasi tentang adanya kuasa mutlak yang terdapat dalam perjanjian jual beli hak atas tanah.

E. Keaslian Penelitian

(28)

Namun ada penelitian yang menyangkut masalah aspek hukum perikatan jual beli yang dilakukan oleh :

1. Notaris Chairani Bustami, SH., Program Pascasarjana, Studi Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara Medan Tahun 2002, dengan judul “Aspek-aspek Hukum yang Terkait Dalam Akta Perikatan Jual Beli yang Dibuat Notaris Dalam Kota Medan”

2. Husna, mahasiswa Program Pascasarjana, Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan Tahun 2003, dengan judul “Analisis Hukum Terhadap Sengketa Akibat Peralihan Hak Atas Tanah (Studi Mengenai Akta yang Dibuat PPAT di Kota Banda Aceh).”

3. Zulfahmy, mahasiswa Program Pascasarjana, Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan Tahun 2004, dengan judul “Kekuatan dan Kelemahan Akta Perjanjian Jual Beli yang Dibuat Notaris (Studi Kasus di Kota Padang)

Akan tetapi materi, substansi dan permasalahan serta pengkajian dan penelitiannya berbeda sama sekali. Jadi dengan demikian penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

(29)

konsepsi atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Menyangkut soal teori, dalam dunia keilmuwan dikenal adanya teori panjang (grand-theory), teori tengah (middle-range (grand-theory), lalu yang terendah adalah teori biasa yang dihasilkan oleh suatu ilmu. Sedang teori hukum merupakan suatu hasil karya para pakar hukum tanpa mengacu pada mutu filsafat.15

Perbuatan jual beli dalam pengertian sehari-hari dapat diartikan sebagai suatu perbuatan dimana seseorang menyerahkan uang untuk mendapatkan barang yang dikehendaki secara sukarela.16

Adapun pengertian jual beli yang dimaksud dalam Pasal 1457 KUHPerdata apabila dikaitkan dengan jual beli tanah adalah bahwa jual beli tanah merupakan sesuatu perjanjian dengan mana penjual mengikat dirinya untuk menyerahkan hak atas tanah yang bersangkutan kepada pembeli dan pembeli mengikatkan dirinya untuk membayar kepada penjual sesuai dengan harga yang telah disetujui.17

Jual beli dalam pengertian ini baru suatu kewajiban-kewajiban tertentu yang harus dilakukan, maka pengertian jual beli tersebut masih bersifat “obligatoir” saja. Bersifat obligatoir artinya jual beli tersebut belum memindahkan hak milik. Penyerahan (levering) adalah perbuatan hukum yang memindahkan hak milik itu, selanjutnya mengenai pemindahan hak milik (levering) ini KUHPerdata menganut sistem causal, artinya pemindahan hak milik secara juridis (levering) adalah sah

15

Lili Rasjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2001, Hal. 12.

16

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 1981, Hal. 25.

17

(30)

apabila ia berdasarkan suatu titel yang sah dan dilakukan oleh orang yang berhak memindahkan milik yang pada umumnya si pemilik sendiri. Dianutnya sistem causal ini oleh KUHPerdata disimpulkan dari kata-kata Pasal 584 KUHPerdata. Yang dimaksud dengan “titel” adalah perjanjian obligatoir-nya, yaitu jual belinya, tukar-menukarnya, hibahnya dan sebagainya. Dengan demikian maka apabila perjanjian

obligatoir tersebut batal atau dibatalkan, atau apabila orang yang menyerahkan

barangnya tidak berhak memindah-tangankan barang tersebut, maka pemindahan hak milik menjadi batal.18

Perjanjian jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang lazim ditemukan dalam praktek Notaris. Dalam KUHPerdata sendiri sebenarnya tidak pernah mengenal bentuk perjanjian ini akan tetapi perjanjian ini timbul dalam praktek para Notaris sebagai salah satu bentuk dari perjanjian tak bernama.

Pada umumnya suatu perjanjian jual beli mengandung janji-janji yang harus dipenuhi terlebih dahulu oleh salah satu pihak atau para pihak sebelum dapat dilakukannya perjanjian pokok yang merupakan tujuan akhir dari para pihak. Dengan demikian perjanjian jual beli dilaksanakan mengawali jual belinya itu sendiri dihadapan PPAT.

1. Perikatan Jual Beli

Perikatan jual beli merupakan perjanjian pendahuluan (Pactum de

contrahendo), yaitu suatu perjanjian dimana para pihak saling mengikatkan diri untuk

18

(31)

terjadinya suatu perjanjian baru atau perjanjian pokok yang merupakan tujuan dari para pihak tersebut.19

Menurut Djoko Supadmo bahwa di dalam ilmu pengetahuan dan dalam beberapa perundang-undangan negara-negara asing khususnya di Perancis dan Negeri Belanda diakui adanya suatu janji untuk akan mengadakan suatu persetujuan yaitu apa yang disebut Pacta de Contrahendo.20

Jadi Pacta de Contrahendo itu ialah suatu persetujuan untuk akan menjual dan untuk membeli. Dalam prakteknya di kantor-kantor Notaris itu sering disebut dengan akta perikatan jual beli atau perjanjian jual beli. Syarat-syarat dalam Pacta de

Contrahendo tersebut adalah sesudah akta perjanjian jual beli itu akan disusul dengan

akta kedua yaitu akta jual beli yang bersifat definitif yang akan dilakukan dihadapan PPAT setelah syarat-syarat untuk itu dipenuhi antara lain sertifikat sudah dicek bersih di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) setempat atau pembayaran pajak telah dilakukan baik itu Pajak Penghasilan (PPh) ataupun Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan disamping itu juga harus memenuhi syarat-syarat administrasi lainnya untuk pembuatan akta jual beli dihadapan PPAT.

Menurut EW Chance yang dikutip oleh Tirtaamidjaja dalam bukunya :

Bahwa disebut jual beli jika obyek yang diperjanjikan sudah dialihkan dari penjual kepada pembeli. Sedangkan perjanjian jual beli adalah jika obyek yang diperjanjikan belum dialihkan/akan beralih pada waktu yang akan datang ketika syarat-syarat telah terpenuhi. Perjanjian jual beli ini akan menjadi jual

19

Herlien Budiono, Larangan Kuasa Mutlak, Majalah Projustitia, Nomor 17 Maret 1982.

20

Djoko Supadmo, Seri-B Bagian Pertama Ketentuan-ketentuan dan Komentar Mengenai

Jual Beli, Tukar Menukar, Sewa Menyewa, Dalam Praktek Teknik Pembuatan Akta, Bina Ilmu,

(32)

beli jika syarat-syarat telah terpenuhi atau obyek yang diperjanjikan telah beralih kepada pembeli.21

2. Jual Beli

Salim H.S mendefinisikan perjanjian jual beli secara lengkap, yaitu :

“Perjanjian jual beli adalah perjanjian yang dibuat antara pihak penjual dan pembeli, di dalam perjanjian itu pihak penjual berkewajiban untuk menyerahkan objek jual beli kepada pembeli dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk membayar dan berhak menerima objek tersebut.”22

Menurut ketentuan Pasal 1457 KUHPerdata yang isinya bahwa “Jual beli adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan”.

Dari batasan tersebut dapat disimpulkan mengenai kewajiban penjual untuk menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, sebaliknya pembeli berkewajiban membayar harga yang disepakati.23

Penyerahan barang oleh penjual kepada pembeli tidak hanya sekedar kekuasaan atas barang tersebut, akan tetapi adalah penyerahan hak milik atas

21

Tirtaamidjaja, Pokok-pokok Hukum Perniagaan, Djambatan, Jakarta, 1970, Hal. 24.

22

Salim H.S., Hukum Kontrak, Sinar Grafika, 2003, Hal. 49

23

(33)

barangnya, jadi ada penyerahan secara yuridis yang kemudian ditindaklanjuti dengan penyerahan nyata.

Salah satu sifat jual beli adalah bahwa perjanjian jual beli itu hanya obligatoir saja yang artinya jual beli belum memindahkan hak milik. Perjanjian baru memberikan hak kepada pembeli untuk menuntut penyerahan hak milik atas barang. Hak milik atas barang tersebut baru pindah bila dilakukan penyerahan sebagaimana ketentuan dalam Pasal 612, 613, 616 dan 1459 KUHPerdata.

Menurut ketentuan Pasal 612 KUHPerdata yang isinya adalah sebagai berikut: (1) Penyerahan kebendaan bergerak terkecuali yang tak bertubuh, dilakukan dengan penyerahan yang nyata atas kebendaan itu oleh atau atas nama pemilik, atau dengan penyerahan kunci-kunci dari bangunan, dalam mana kebendaan itu berada.

(2) Penyerahan yang demikian bagi si berutang tiada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui dan diakuinya.

(3) Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bahwa dilakukan dengan penyerahan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang karena surat tunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen.

Menurut ketentuan Pasal 616 KUHPerdata yang isinya adalah sebagai berikut: Penyerahan atau penunjukan akan kebendaan tak bergerak dilakukan dengan pengumuman akan akta yang bersangkutan.

(34)

Khusus untuk jual beli tanah dianut sistem hukum adat, yaitu bukan merupakan perjanjian obligatoir, akan tetapi merupakan pemindahan hak yang harus memenuhi tiga syarat yaitu :

1. Bersifat tunai, yaitu harga yang disetujui bersama dibayar penuh saat dilakukannya jual beli tersebut.

2. Bersifat terang, yaitu pemindahan hak dilakukan dihadapan PPAT yang berwenang.

3. Bersifat riil atau nyata, yaitu setelah penandatangan akta pemindahan hak, maka akta tersebut menunjukkan secara nyata dan bukti adanya perbuatan hukum tersebut.24

Menurut hukum adat, pemindahan hak atas tanah terjadi pada saat adanya kesepakatan jual beli, tanpa memperhatikan bukti riil yakni dengan balik nama pada sertifikat. Hal tersebut berbeda dengan yang disebutkan dalam ketentuan Pasal 616 KUHPerdata juncto Pasal 620 KUHPerdata, bahwa untuk penyerahan atau penunjukan benda tak bergerak dilakukan dengan pengumuman dengan salinan otentik yang lengkap.

3. Pengertian Perjanjian

Istilah perjanjian sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat kata dasar janji dalam kata perjanjian yaitu suatu tindakan antara dua orang untuk melakukan sesuatu yang mengakibatkan hubungan sebab akibat atau bertimbal balik.

24

(35)

Menurut Prof. Subekti, bahwa : “Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang lain/dua orang lain itu saling berjanji untuk melakukan sesuatu hal.25

Menurut ketentuan Pasal 1313 KUHPerdata dinyatakan bahwa : “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, bahwa : “Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji/dianggap berjanji melakukan sesuatu hak, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.26

Perjanjian antara dua orang atau lebih tersebut mengakibatkan terjadinya perikatan diantara mereka, berdasarkan perikatan tersebut berarti masing-masing pihak saling terikat untuk memenuhi kewajibannya masing-masing dan saling berhak atas haknya masing-masing pula, dalam bentuknya perjanjian itu berupa suatu rangkaian yang mengandung janji-janji atau kesanggupan yang diucapkan secara lisan ataupun tertulis oleh kedua belah pihak.

Berdasarkan pengertian perjanjian diatas, maka dapat ditarik unsur dari perjanjian, yaitu :

1. Sedikitnya ada dua orang

2. Adanya persetujuan antar para pihak

25

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, PT. Internusa, 1985. Hal. 1

26

(36)

3. Adanya tujuan yang ingin dicapai 4. Adanya prestasi yang akan dilakukan 5. Adanya bentuk tertentu

Unsur pertama dari perjanjian adalah sedikitnya dua pihak, dalam suatu perjanjian pihak-pihak yang terikat disebut dengan subyek perjanjian.

Unsur kedua dari perjanjian adalah persetujuan antara para pihak, dimana persetujuan itu bersifat tetap dengan maksud tidak dalam keadaan berunding. Karena perundingan merupakan tindakan pendahuluan untuk menuju suatu persetujuan.

Unsur ketiga dari perjanjian adalah tujuan yang ingin dicapai. Tujuan tersebut asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum.

Unsur keempat adalah adanya prestasi yang akan dilaksanakan. Terjadinya suatu perjanjian menimbulkan prestasi yang wajib dilaksanakan oleh para pihak. Menurut ketentuan Pasal 1234 KUHPerdata yang isinya adalah :

“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu”.

(37)

Unsur kelima adalah adanya bentuk tertentu. Pada dasarnya bentuk dari perjanjian itu ada 2 (dua) macam yaitu lisan dan tertulis, akan tetapi dewasa ini perjanjian lebih sering terjadi secara tertulis.

4. Bentuk Perjanjian

Berdasarkan bentuknya perjanjian dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu perjanjian dalam bentuk lisan dan perjanjian dalam bentuk tertulis. Bila suatu perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis maka perjanjian tersebut bersifat sebagai alat pembuktian bila nantinya terjadi perselisihan diantara para pihak yang mengadakan perjanjian.

Terhadap perjanjian tertentu, undang-undang menentukan suatu bentuk khusus dan tertulis dengan konsekuensi logis bahwa bila bentuk tersebut tidak dituruti oleh para pihak maka perjanjian tersebut menjadi tidak sah. Dengan demikian dalam hal ini bentuk tertulis tadi disamping sebagai alat pembuktian ia juga merupakan syarat adanya perjanjian, misalnya perjanjian perdamaian.

Hukum perjanjian dikuasai oleh asas-asas hukum perjanjian yang dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1313, Pasal 1338 dan Pasal 1340 KUHPerdata, yaitu: asas konsensualitas (the principle of consensualism) dan asas kekuatan mengikatnya kontrak (the principle of the binding force of contract) dan asas kebebasan berkontrak (principle of freedom of contract).27

27

(38)

Pasal 1340 KUHPerdata menyatakan bahwa :

Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga, tak dapat pihak-pihak ketiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam Pasal 1317 KUH Perdata.

5. Asas-asas dalam Perjanjian

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas. 1. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak sangat terkenal dalam hukum perjanjian. Asas ini disimpulkan dari ketentuan Pasal 1320 juncto Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) yang isinya adalah “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Hal ini berarti bahwa orang bebas untuk mengadakan perjanjian dengan siapa saja, menetapkan isi, memberlakukan syarat-syarat sesuai dengan kehendaknya sendiri sepanjang perjanjian itu dibuat secara sah dan beritikad baik serta tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Sehingga perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak. Menurut Mariam Darus bahwa :

(39)

mendukung kedudukan yang seimbang diantara para pihak, sehingga sebuah kontrak akan bersifat stabil dan memberikan keuntungan bagi kedua pihak.28 2. Asas Konsensualisme

Berdasarkan asas ini, maka suatu perjanjian dan/atau perikatan sudah dilahirkan sejak tercapainya kata sepakat diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut. Hal tersebut dapat kita simpulkan dari ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang menjelaskan mengenai syarat-syarat yang diperlukan agar perjanjian menjadi sah, akan tetapi ada beberapa macam perjanjian yang selain terdapat kata sepakat, oleh undang-undang ditetapkan persyaratan atau formalitas tertentu, misalnya hak tanggungan yang harus dibuat secara tertulis dengan suatu Akta Notaris.

3. Asas Kekuatan Mengikat

Perjanjian mempunyai sifat mengikat. Mengikat dalam hal ini adalah mengikat kedua belah pihak mengadakan perjanjian dan/atau perikatan seperti undang-undang bagi keduanya sebagaimana menurut ketentuan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata, yang isinya “Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena adanya alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”. Sehingga timbul jaminan bagi kedua belah pihak bahwa pembatalan tidak mungkin dilakukan oleh satu pihak saja, tapi harus dengan kesepakatan kedua belah pihak atau oleh karena undang-undang.

28

(40)

4. Asas Itikad Baik

Untuk asas ini dapat kita lihat ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata, yang isinya adalah “Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”.

5. Asas Kepercayaan

Dalam mengadakan perjanjian harus tumbuh rasa saling percaya diantara para pihak bahwa mereka akan memenuhi prestasinya dikemudian hari. Melalui kepercayaan tersebut para pihak mengikatkan dirinya pada perjanjian yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang diantara mereka.

6. Asas Persamaan Hak

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, sekalipun ada perbedaan warna kulit, bangsa, kepercayaan, kekuasaan, jabatan dan lain-lain, sehingga dengan demikian harus ada rasa saling menghormati diantara kedua belah pihak dalam mengadakan perjanjian.

7. Asas Keseimbangan

(41)

8. Asas Moral

Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata yang isinya adalah : “Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan dan undang-undang”.

Hal ini dapat dilihat dari zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan secara suka rela (moral) maka yang bersangkutan wajib meneruskan dan menyelesaikan perbuatan hukum itu berdasarkan kesusilaan (moral) sebagai panggilan dari hati nuraninya.

9. Asas Kepatutan

Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1339 KUH Perdata. Kepatutan merupakan itikad baik dalam tahap pelaksanaan perjanjian yaitu suatu penilaian baik terhadap tindak tanduk suatu pihak dalam hal melaksanakan apa yang telah diperjanjikan. Penilaian baik itu bersifat obyektif yaitu selalu ditentukan atau diukur oleh rasa keadilan yang tumbuh dan hidup dalam masyarakat.

10.Asas Kebiasaan

Asas ini terdapat dalam ketentuan Pasal 1339 Juncto Pasal 1347 KUH Perdata. Menurut ketentuan Pasal 1347 KUH Perdata yang isinya adalah :

(42)

Sehingga perjanjian yang dibuat itu selain terikat pada hal-hal yang diatur secara tegas, ia juga terikat pada hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan diikuti.

Perbuatan hukum untuk melepaskan hubungan hukum pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya, tergantung kepada ada tidaknya kesepakatan atau persetujuan diantara kedua belah pihak. Hal ini berarti bahwa kesepakatan hukum tersebut harus memperhatikan syarat-syarat yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata untuk sahnya suatu perjanjian/persetujuan harus dipenuhi 4 syarat yaitu :

1. Adanya kesepakatan atau persetujuan antara pihak yang membuat perjanjian

(konsensus).

Pasal ini menyebutkan bahwa sahnya suatu perjanjian/perikatan yang dibuat apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : Adanya kesepakatan mereka yang mengikat dirinya;

Syarat ini merupakan awal dari terbentuknya perjanjian yaitu adanya kesepakatan antara para pihak tentang isi perjanjian yang akan mereka laksanakan. Oleh karena itu, timbulnya kata sepakat tidak boleh disebabkan oleh tiga hal, yaitu adanya unsur paksaan, penipuan dan kekeliruan (Pasal 1322 KUH Perdata). 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (capacity)

(43)

disebut sebagai pihak yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : orang-orang yang belum dewasa dan mereka yang berada di bawah pengampuan. 3. Suatu hal tertentu (a certain subject matter);

Secara yuridis suatu perjanjian harus mengenai hal tertentu yang telah disetujui. Suatu hal tertentu disini adalah suatu objek perjanjian dan isi perjanjian. Setiap perjanjian harus memiliki objek tertentu, jelas dan tegas.

4. Suatu sebab yang halal (illegal cause)

Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan (Pasal 1337 KUH Perdata).

Dua syarat yang pertama dinamakan sebagai syarat subjektif, karena mengenai orang atau subjek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat yang objektif karena mengenai perjanjian itu sendiri dan mengenai objek perbuatan hukum yang dilakukan.

Dalam praktek jual beli hak atas tanah dihadapan PPAT kewajiban atas penjaminan obyek tersebut dituangkan dalam suatu klausula pada akta jual beli yaitu :

(44)

6. Lembaga Kuasa 1. Surat Kuasa

Satu hal penting yang harus diperhatikan di dalam suatu akta perjanjian jual beli yang dibuat oleh notaris adalah bahwa setelah akta itu dibuat harus diikuti dengan diterbitkannya suatu Surat Kuasa, dengan kata lain akta perjanjian jual beli tidak dapat dipisahkan dari surat kuasa. Pemberian kuasa (lastgeving) diatur di dalam Buku III Bab XVI mulai dari Pasal 1792 sampai Pasal 1819 KUH Perdata, sedangkan kuasa (volmacht) tidak diatur secara khusus dalam KUH Perdata maupun di dalam perundang-undangan lainnya, akan tetapi diuraikan sebagai salah satu bagian dari pemberian kuasa.

Pasal 1792 KUH Perdata berbunyi sebagai berikut : “Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberi kekuasaan kepada orang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan”.

Dari hal tersebut dapat dilihat, bahwa unsur-unsur dari pemberian kuasa adalah:

1. Persetujuan

2. Memberi kekuasaan kepada penerima kuasa

3. Atas nama pemberi kuasa menyelenggarakan suatu urusan

(45)

tidak mempunyai hak lagi untuk melakukan suatu tindakan hukum mengenai segala apa yang diperjanjikan dengan kata tersebut, kecuali apabila ada persetujuan dari pihak kedua/calon pembeli. Jadi dengan adanya tambahan kata-kata tersebut kuasa telah dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan yang diambil dalam hukum perjanjian. Artinya pemberian kuasa bertitik tolak kepada perjanjian yang telah dibuat sebelumnya. Dan apabila perjanjian itu bertentangan dengan hukum atau melanggar ketertiban umum dan kesusilaan maka pemberian kuasa itu harus dianggap batal dan tidak berlaku.

2. Kuasa Mutlak

Adapun yang dimaksud dengan kuasa mutlak disini adalah apa yang disebutkan dalam Diktum Kedua huruf a dari Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 yaitu : “Kuasa Mutlak yang dimaksud dalam Diktum Pertama adalah kuasa yang di dalamnya mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa”.

Di dalam praktek klausul kuasa mutlak itu sering dicantumkan dalam bentuk akta notaris, yang memakai judul “Perjanjian Jual Beli”. Demikian ini dilakukan

berdasarkan Surat Dirjend. Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri RI No. 594/493/AGR, tanggal 31 Maret 1982, yang melarang pengesahan “Akta Kuasa

Mutlak” yang menyangkut tanah dengan beberapa pengecualian, seperti antara lain : 1. Penggunaan kuasa penuh sebagai dicantumkan dalam Perjanjian Jual Beli

(46)

2. Penggunaan kuasa dalam jual beli yang aktanya dibuat dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).

3. Kuasa dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan dan akta hipotik.

Sebelumnya perlu diketahui bahwa pemberian kuasa mutlak tidak diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), namun diakui di dalam lalu lintas bisnis di masyarakat yang oleh beberapa putusan hakim

dipandang sebagai penemuan hukum. Pemberian kuasa mutlak adalah merupakan suatu perikatan yang muncul dari perjanjian, yang diatur Pasal 1338 KUH Perdata, yang mengakui adanya kebebasan berkontrak, dengan pembatasan bahwa perjanjian tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan harus dilandasi dengan itikad baik.

Peraturan perundangan dimaksud adalah Pasal 1320 KUH Perdata tentang syarat sahnya perjanjian, Pasal 1138 KUH Perdata tentang pembatasan dari asas kebebasan berkontrak, Pasal 1813 KUH Perdata tentang berakhirnya pemberian kuasa, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah khususnya Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, serta Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak atas nama Menteri Dalam Negeri RI Nomor : 594/493/AGR, tanggal 31 Maret 1982.

(47)

Namun dalam hal ini, kuasa mutlak itu sendiri tidak ada peraturan khusus yang mengaturnya. Akan tetapi timbul akibat dari Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyebutkan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pasal ini lebih dikenal sebagai dasar dari kebebasan membuat perjanjian/kebebasan berkontrak.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1813 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa pemberian kuasa berakhir dengan ditariknya kembali kuasa si penerima kuasa, jika dikaitkan dengan klausul pemberian kuasa pada perjanjian jual beli yang merupakan kuasa mutlak atau kuasa yang tidak dapat dicabut kembali, maka jelas bahwa klausul tersebut bertentangan dengan undang-undang yang ada. Hal ini juga dijelaskan pada Pasal 1814 KUH Perdata tentang adanya hak dari pemberi kuasa untuk dapat menarik kembali kuasanya manakala dikehendaki.

Namun demikian jika Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak Sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah, apabila dikembalikan pada undang-undang yaitu Pasal 1792 KUH Perdata tentang pemberian kuasa (last geving), khususnya pada Pasal 1813 KUH Perdata serta Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 juga berdasarkan PP 24 Tahun 1997, tentang

berakhirnya suatu pemberian kuasa, apabila dikaitkan dengan Pasal 1338 KUH Perdata tentunya” para pihak dapat memperjanjikan”.

(48)

“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.

Dalam pasal ini tersirat adanya bahwa antara para pihak harus ada suatu kesepakatan. Dengan demikian bahwa kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan asas konsensualisme atau sepakat antara para pihak yang membuat perjanjian. Tanpa adanya sepakat dari salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka perjanjian itu yang dibuat adalah tidak sah.

Namun demikian, kebebasan berkontrak atau kebebasan membuat perjanjian tidaklah sebebas-bebasnya dibuat oleh para pihak. Hal ini dapat disimpulkan dari Pasal 1320 ayat (4) jo Pasal 1337 jo. Pasal 1338 ayat (3). Pasal 1339 KUH Perdata bahwa asalkan mengenai kuasa yang dilarang oleh Undang-Undang atau bertentangan dengan kesusilaan baik, kepatutan atau ketertiban umum dan undang-undang. Artinya bahwa bila dilihat dari pasal Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) ternyata asas kebebasan berkontrak itu bukannya bebas mutlak. Ada beberapa pembatasan yang diberikan oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) terhadap asas ini yang membuat asas ini merupakan asas yang tidak tak terbatas atau perjanjian yang berat sebelah atau timpang.

(49)

Pasal 1337 KUH Perdata yang dengan tegas menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.

Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata memberikan arah mengenai kebebasan pihak untuk membuat perjanjian sepanjang dilakukan dengan itikad baik.

Pasal 1339 KUH Perdata menerangkan salah satu batasan bagaimana perjanjian itu dapat mengikat kedua belah pihak walaupun telah dinyatakan dengan tegas didalamnya apa-apa yang diperjanjikan, yaitu mengenai dan untuk segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh keputusan, kebiasaan atau undang-undang.

(50)

bertentangan atau melanggar hukum tanah nasional, karena memang bukan perbuatan hukum jual beli yang dimaksud oleh hukum tanah nasional yang berlaku, melainkan hanyalah masih dalam bentuk “perjanjian jual beli”. Dimana hal itu merupakan perjanjian pendahuluan untuk dapat dilakukan perbuatan hukum jual beli dihadapan pejabat yang berwenang.

Dalam masalah ini klausul kuasa mutlak yang terdapat pada akta perjanjian jual beli tersebut adalah bukan yang dimaksud dalam Diktum Kedua huruf (a) dari Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Penggunaan Kuasa Mutlak sebagai Pemindahan Hak Atas Tanah. Sedangkan yang dimaksud dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut merupakan suatu bentuk khusus pemberian kuasa, yang hal ini jika dikaitkan dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah Pasal 37 dan Pasal 1813 KUH Perdata jelas merupakan penyimpangan dan bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Namun perlu diperhatikan, bahwa hal ini tidak dapat dilepaskan dari Diktum Kedua huruf b dari Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut, yang intinya adalah menyatakan bahwa larangan tersebut bagi kuasa mutlak yang pada hakekatnya merupakan pemindahan hak atas tanah yang memberikan kewenangan kepada penerima kuasa untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya.

(51)

kuasa “yang tidak mengikuti” perjanjian pokoknya. Dimana hal ini telah tersirat

dalam Surat Dirjend. Agraria atas nama Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia No. 594/493/AGR, tanggal 31 Maret 1982. Sebagai contoh, bahwa dalam Surat

Kuasa Memasang Hipotik yang sekarang disebut dengan Surat Kuasa membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) yang merupakan bagian dan sebagai tindakan awal pengamanan/perlindungan bagi kreditur terhadap Surat Pengakuan Hutang yang dibuat, dicantumkan klausul tidak dapat dicabut dan tidak akan berakhir karena sebab apapun juga, yang mana hal ini hanya bersifat sementara sampai hutangnya lunas.

Demikian juga dalam Perjanjian Jual Beli, dimana perjanjian pemberian kuasa di dalamnya harus diberikan dengan ketentuan bahwa kuasa tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian pokoknya yaitu pengikatan jual belinya itu sendiri.

Dengan demikian perjanjian pemberian kuasa yang demikian tidak termasuk dalam surat kuasa mutlak yang dilarang. Dengan catatan bahwa kuasa yang diberikan didalam perjanjian jual beli yang dibuat secara notaril dimana hak-hak pemberi kuasa sudah terpenuhi dan pelaksanaan jual beli kepada pembeli belum dapat dilaksanakan karena misalnya sertifikat belum selesai dibalik nama atau karena letak tanah diluar wilayah kerja notaris, dengan ketentuan kuasa demikian diberikan hanya untuk pelaksanaan jual beli kepada pembeli sendiri, bukan kepada pihak lain dan jangan diberikan dengan hak substansi untuk menjaga peluang yang menyimpang.

(52)

mencabut/menarik kembali kuasanya apabila para pihak sepakat untuk itu atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu, maka perjanjian yang telah dibuatnya, dengan adanya kesepakatan sekarang menjadi tidak berlaku lagi atau tidak mempunyai kekuatan hukum. Hal ini ditegaskan pada Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata.

Demikian pula apabila syarat sahnya suatu perjanjian khususnya Pasal 1320 ayat (3) KUH Perdata mengenai suatu hal tertentu, dalam hal pembuatan akta perjanjian jual beli yang dilakukan dengan angsuran sedangkan sertifikat atas tanah sudah ada dan sudah atas nama pihak penjual, apabila prestasi dari pihak pembeli tidak dapat terpenuhi sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan dalam akta perjanjian jual beli tersebut, maka dengan sendirinya perjanjian pemberian kuasa dalam perjanjian jual beli ini batal menurut hukum seperti apa yang telah diperjanjikan dalam akta tersebut.

Jadi berdasarkan hal yang telah diuraikan di atas yaitu Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982, tanggal 6 Maret 1982 tentang larangan penggunaan kuasa mutlak sebagai pemindahan hak atas tanah, kuasa mutlak itu harus mempunyai 3 unsur yaitu :

1. Objek dari kuasa itu adalah tanah.

2. Kuasa tersebut mengandung unsur tidak dapat ditarik kembali oleh pemberi kuasa.

(53)

menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang haknya, dan pada hakekatnya merupakan suatu hak atas tanah. Dengan kata lain si penerima kuasa seakan-akan bertindak sebagai pemilik.

Namun berdasarkan IMDN Nomor 14 Tahun 1982 tersebut menegaskan kuasa mutlak diperbolehkan terhadap :

1. Penggunaan kuasa penuh yang dimaksud dalam pasal 3 blanko Akta Jual Beli yang bentuk aktanya ditetapkan oleh Menteri Agraria Nomor 11 tahun 1961. 2. Penggunaan kuasa penuh sebagai yang dicantumkan dalam Perjanjian Ikatan

Jual Beli yang aktanya dibuat oleh seorang Notaris.

3. Penggunaan Kuasa Memasang Hipotik yang aktanya dibuat oleh seorang Notaris dan penggunaan kuasa-kuasa lainnya yang bukan dimaksud sebagai pemindahan hak atas tanah.

Dalam hal kuasa mutlak yang tidak dilarang itu harus ada beberapa syarat yang harus dipenuhi : 29

1. Tidak bertentangan dengan peraturan hukum, ketertiban masyarakat dan kesusilaan.

2. Harus mempunyai causa yang sah.

3. Harus terkandung di dalamnya kepentingan yang diberi kuasa.

29

(54)

3. Blanco Volmacht

Sebagai pengganti dari Kuasa Mutlak yang diberikan dengan akta tersendiri kepada calon pembeli dapat juga dengan adanya blanko volmacht, artinya di dalam akta perjanjian jual beli yang telah dibuat dihadapan Notaris, di dalam pasalnya ada beberapa baris yang dikosongkan dan hanya diisi dengan titik-titik dimana fungsi titik-titiknya ini dapat diisikan nama orang yang akan ditunjuk sebagai penerima kuasa. Orang yang akan diisikan namanya di dalam blanko volmacht tersebut bisa saja pegawai notaris atau penerima kuasa itu sendiri.

Pengaturan mengenai hal ini terdapat di dalam Pasal 5 perjanjian jual beli, dan kuasa yang dimaksud tersebut merupakan bagian yang terpenting yang gunanya adalah :

1. Untuk mewakili sipemberi kuasa dalam hal mengurus dan menyelesaikan segala sesuatu yang berhubungan dengan akan dilakukannya jual beli.

(55)

2. Konsepsi

Konsep adalah salah satu bagian terpenting dari teori. Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operational definition.30 Pentingnya definisi operasional adalah untuk

menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius) dari suatu istilah yang dipakai.31 Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu :

a. Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. 32

b. Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dari pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.33

c. Perikatan jual beli adalah perjanjian pendahuluan yaitu suatu perjanjian dimana para pihak saling mengikatkan diri untuk terjadinya suatu perjanjian baru atau perjanjian pokok yang merupakan tujuan dari para pihak tersebut.

30

Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Seimbang Bagi

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993,

Hal. 10.

31

Tan Kamelo, Perkembangan Lembaga Jaminan Fiducia : Suatu Tinjauan Putusan

Pengadilan dan Perjanjian di Sumatera Utara, Disertasi, Medan PPs-USU, 2002, Hal.35.

32

Subekti, Hukum Perjanjian, Jakarta, Penerbit PT. Internusa, 1996, Hal. 1

33

(56)

d. Jual beli tanah adalah perbuatan hukum yang berupa penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah itu berpindah kepada yang menerima penyerahan).34

e. Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa, dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.35 f. Pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah

secara terus-menerus, berkesinambungan dan teratur meliputi : pengumpulan, pengelolaan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.36

g. Sertifikat adalah surat tanda bukti hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.37

h. Kantor Pertanahan adalah unit kerja badan pertanahan nasional di wilayah kabupaten dan kotamadya, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.38

34

Effendi Perangin-angin, Hukum Agraria Indonesia Suatu Telaah Dari Pandang Praktis

Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1986, Hal. 1.

35

R. Subekti, Hukum Perjanjian,, Intermasa, Jakarta, Hal. 1

36

Pasal 1 angka 1 PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

37

Pasal 1 angka 20 PP No.24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Lihat juga Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA.

38

(57)

i. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah Pejabat Umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun.

j. Pemberian Kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang memberi kekuasaan kepada seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.

G. Metode Penelitian

1. Sifat Penelitian

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.39

Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam tesis ini adalah metode pendekatan yuridis normatif,40 yaitu dengan meneliti sumber-sumber bacaan yang relevan dengan tema penelitian, meliputi penelitian terhadap asas-asas hukum, sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan yang bersifat teoritis ilmiah serta dapat menganalisa permasalahan yang dibahas.

39

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1984, Hal. 43.

40

Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, lihat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum

(58)

Sesuai dengan tujuan penelitian, maka sifat penelitian dalam penulisan tesis ini adalah bersifat deskriptif41, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendiskripsikan atau menggambarkan fakta-fakta yang ada dan menganalisis data yang diperoleh secara sistematis, faktual dan akurat mengenai kedudukan kuasa mutlak dalam peralihan hak atas tanah.

2. Sumber Data

Pada penelitian hukum normatif ini, bahan pustaka merupakan dasar yang digolongkan sebagai data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, sekunder dan tertier.

1. Bahan Hukum Primer, yaitu :

a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria

c. Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1982 tentang Larangan Kuasa Mutlak.

d. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah e. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 7 Tahun 2007 tentang

Panitia Pemeriksaan Tanah.

41

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian di atas akan dikaji bagaimana peranan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam peralihan hak atas tanah dengan adanya kuasa mutlak, bagaimana tanggung jawab Pejabat

Hasil penelitian terhadap masalah yang dikaji adalah mengenai tanggung jawab Notaris/PPAT terhadap akta jual beli hak milik atas tanah yang mengandung cacat

Fungsi blangko akta Pejabat Pembuat Akta sebagai dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Ketentuan Pelaksanaan

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat sebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini di antaranya adalah Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun

Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam melaksanakan tugasnya membuat akta jual beli tanah dilakukan di kantornya, dengan dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan

Berdasarkan Instruksi Menteri Dalam Negeri tersebut dapat disimpulkan bahwa kuasa mutlak mempunyai 3 (tiga) unsur, yaitu obyek dari kuasa tersebut adalah tanah dan kuasa

Pendaftaran tanah merupakan suatu kegiatan administrasi yang dilakukan oleh pemilik terhadap hak atas tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun pemberian dan pengakuan hak baru,

Jual beli (tanah) dalam hukum adat merupakan perbuatan hukum pemindahan hak yang harus memenuhi tiga (3) sifat yaitu: 6 (1) Harus bersifat tunai, artinya harga yang