• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAGI ISTRI DAN ANAK

B. Faktor Penyebab Nikah di Bawah Tangan

Seorang perempuan yang mau dinikahi secara bawah tangan berarti ia sudah siap dengan berbagai resiko yang harus di hadapi untuk kedepannya. Berikut ini pemaparan beberapa faktor seorang perempuan mau dinikahi secara bawah tangan di wilayah kelurahan Cinere;

Pertama, bahwa motif mereka mau dinikahi secara bawah tangan adalah

untuk menghindari dari zina dan fitnah.7 Kedua, karena hamil di luar nikah

5

Wawancara Pribadi dengan Ajeng, di Kediaman Responden, 25 Oktober 2014.

6

Wawancara Pribadi dengan Inah, di Kediaman Responden, 23 Oktober 2014.

7

Wawancara Pribadi dengan Bpk. KH. Muhammad Hamzah, Tokoh Masyarakat di Cinere, di Kediaman Responden, 13 November 2014.

sehingga mereka malu untuk mencatatkan pernikahannya di KUA, prosedur yang diberikan oleh Kantor Urusan Agama dalam administrasi pencatatan perkawinan berbelit-belit; tetapi dari wawancara yang penulis lakukan kepada pihak KUA menyatakan prosedur yang mereka berikan sangat mudah hanya perlu melengkapi data dari para calon mempelai. Ketiga, karena poligami, mereka tidak mencatatkan pernikahannya apalagi jika yang berpoligami adalah salah satu aparatur negara; negara memberikan syarat kepada warganya yang menginginkan poligami; yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 3 ayat 1 menyebutkan “ pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”, ayat 2 “ pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pasal 4 ayat 1 “ dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam pasal 3 ayat 2, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya”, ayat 2 “pengadilan dimaksud dalam ayat 1 pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila: istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, istri tidak dapat melahirkan keturunan. pasal 5 “untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 1, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: adanya persetujuan dari istri/istri-istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, adanya

jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka”.8

Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan sudah sangat diatur sedemikian rupa untuk menekan angka poligami, karena berdasarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 3 ayat 1 yang telah disebutkan di atas bahwa Negara Indonesia menganut asas monogami bukan asas poligami. Poligami boleh saja dilakukan asal para pihak yang bersangkutan dapat menyetujui dan hanya dapat dilakukan jika seorang istri tidak lagi dapat menjalankan kewajibannya, dengan kata lain poligami sebagai jalan akhir seperti yang terlihat dari prosedur pengajuan izin menikah lagi yang sangat rumit dan sulit.

Alasan yang terkhir Keempat, karena usia yang sudah lanjut sehingga mereka tidak mendaftarkan pernikahannya; mereka hanya berfikir yang terpenting adalah pernikahannya sah berdasarkan agama dan sudah sah menjadi suami istri daripada ia berbuat zina walaupun tidak mencatatkan, hal tersebut sebenarnya sah-sah saja namun ada yang perlu di garis bawahi bahwa pencatatan sebuah pernikahan adalah hal yang sangat penting sekali pada zaman sekarang ini, bagaimana tidak jika tidak memiliki bukti otentik berupa akta nikah pernikahan itu tidak memiliki kekuatan hukum dan akan menyulitkan diri orang tersebut ketika ia sedang berurusan untuk membuat surat-surat resmi seperti paspor terlebih lagi terhadap anaknya. Selebihnya dari mereka sedikit sekali yang

8

Undang-Undang Perkawinan :UU No. 1Th 1974, PP No. 9 Th 1975, PP No. 10 Th 1983

beralasan tidak mengetahui prosedur pencatatan karena sangat buta terhadap pengetahuan seperti yang menikah dalam usia lanjut, karena mereka sebelumnya tidak mengenyam bangku pendidikan sama sekali.

Disini terdapat perbedaan pendapat dari pihak masyarakat yang tidak menginginkan adanya pencatatan karena memakan waktu lama dan pemerintah yang mengharuskan pencatatan demi ketertiban masyarakat di mata hukum. Dari berbagai alasan yang dikemukakan, alasan mereka lebih dominan kepada masalah kebutuhan personality, artinya mereka melakukan nikah di bawah tangan berdasarkan masalah pribadi mereka jadi bukan berdasarkan masalah yang ada di dalam lembaga pencatatan nikah atau aparaturnya. Syarat administrasi yang diberikan pemerintah kepada masyarakat dalam hal pencatatan perkawinan adalah sesuatu yang memang sangat diperlukan demi ketertiban masyarakat dalam hukum. Dari pernyataan yang mereka kemukakan menandakan mereka masih rendah kesadaran hukumnya, walaupun mereka menyadari bahwa pernikahan yang mereka lakukan berdampak negatif bagi mereka, mereka hanya sebatas menyadari tetapi tidak bergerak untuk melakukan hal yang seharusnya dilakukan khususnya pada pencatatan nikah ini.

Pengetahuan mereka mengenai peraturan-peraturan yang di buat oleh pemerintah masih sangat minim. Ini terbukti dengan pertanyaan penulis saat melakukan wawancara yaitu mengenai dampak dari nikah di bawah tangan dan biaya pencatatan. Mereka memang lebih banyak yang mengetahui dampaknya namun ada juga yang masih tidak mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan

karena dari pernikahan yang mereka lakukan ada yang tidak berdampak sama sekali tapi ada juga yang sangat berdampak besar. Mengenai biaya rata-rata mereka lebih memilih untuk nikah di bawah tangan karena terhambat dari biaya yang harus dikeluarkan untuk mendaftarkan nikah di KUA. Ketika penulis menanyakan berapa biaya yang harus dikeluarkan seseorang untuk mencatatkan pernikahannya menurut peraturan yang di buat oleh pemerintah. Jawaban yang penulis dapat sangat beragam, mulai dari jawaban tidak tahu, kemudian biaya sebesar Rp 300.000 sampai Rp 1.500.000. Namun, menurut para petugas KUA bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk pencatatan nikah yang dilakukan di luar KUA dan jam kerja sebesar Rp 600.000.9

Jawaban dari pihak KUA tersebut adalah Sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 2004 tentang tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berlaku pada Departemen Agama menyatakan bahwa besaran biaya pencatatan nikah sebesar Rp 30.000, kemudian pemerintah mengeluarkan peraturan baru untuk menghindari agar tidak terjadi lagi gratifikasi oleh oknum-oknum tertentu yaitu berupa Peraturan Pemerintah No. 48 tahun 2014 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah No 47 tahun 2004 tentang tarif atas jenis penerimaan bukan pajak yang berlaku pada Departemen Agama menyatakan biaya pencatatan nikah yang dilaksanakan di KUA pada hari dan jam kerja adalah Rp 0 dan biaya-biaya pencatatan perkawinan yang dilaksanakan di luar KUA

9

Wawancara Pribadi dengan Bpk. Asnawi, Kepala KUA Kecamatan Limo Depok, di Kantor KUA Kecamatan Limo, 27 Oktober 2014.

adalah Rp 600.000.10 Pernyataan yang mereka kemukakan menandakan ketidaktahuan mereka terhadap peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah, rendahnya keingintahuan mereka terhadap hal tersebut, dan para aparatur lembaga pencatatan nikah yang kurang mensosialisasikannya dalam masyarakat sehingga hanya sebagian masyarakat yang mengetahui hal tersebut. Jadi, sekarang setelah dikeluarkannya peraturan tersebut tidak ada lagi masyarakat yang beralasan nikah di bawah tangan karena mahalnya biaya yang dikeluarkan untuk pencatatan nikah.