• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kasus Pernikahan di Bawah Tangan di Kelurahan Cinere Depok

BAGI ISTRI DAN ANAK

A. Kasus Pernikahan di Bawah Tangan di Kelurahan Cinere Depok

Pernikahan yang sah menurut Undang-Undang adalah perkawinan yang mengacu pada Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam yaitu dengan melakukan pencatatan perkawinan. Menurut Hukum positif yang berlaku di Indonesia pencatatan perkawinan menentukan keabsahan dari sebuah pernikahan, karena tanpa pencatatan perkawinan maka seorang yang menikah tidak akan mendapat bukti otentik dari pernikahannya dan pernikahannya tidak pernah dianggap terjadi.

Jika kita hanya mengandalkan kesaksian dari manusia maka tidak akan kuat, terkecuali jika saksi manusia tersebut akan terus hidup sepanjang zaman dan ingatannya tidak diragukan lagi. Dari pernikahan yang sah akan menimbulkan hak dan kewajiban suami istri. Dari penilitian yang penulis lakukan pada masyarakat kelurahan Cinere Depok, perempuan yang menikah di bawah tangan di tinggalkan oleh suaminya tanpa ada nafkah sama sekali. Seorang suami seenaknya saja pergi meninggalkan istri karena ia merasa pernikahannya tidak resmi, sehingga menurutnya tidak memenuhi hak dan kewajiban tidak apa-apa, kalaupun seorang istri tersebut menuntut apa yang menjadi haknya maka tidak akan bisa, karena tidak ada bukti kuat dari pernikahan tersebut. Oleh karena itu betapa pentingnya pencatatan dari sebuah perkawinan.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada masyarakat kelurahan Cinere Depok terdapat beberapa orang informan yang berhasil diwawancara, ada 6 orang pelaku nikah di bawah tangan dari jumlah keseluruhan sebanyak 15 orang yang penulis anggap cukup memberikan informasi dalam penelitian ini. Selain itu, untuk menambah akurasi data juga mewawancarai anak dari pelaku nikah di bawah tangan sebanyak 2 orang.

Pertama, Lili seorang ibu rumah tangga berusia 32 tahun, ia menikah pada

tahun 2014, alasannya melakukan nikah di bawah tangan karena kegagalan rumah tangga yang pertama, perceraiannya dilakukan di luar pengadilan dan ia ditinggalkan begitu saja, kemudian menurutnya proses pendaftaran yang memakan waktu lama karena perlu mengurus surat perceraian dahulu di pengadilan agama sehingga ia memilih untuk menikah di bawah tangan. Namun, di tengah pernikahannya yang secara bawah tangan ia sering mendapat perlakuan kasar dari suaminya seperti memaki dan pukulan sehingga ia merasa tertekan selama pernikahannya yang ke 2, dari pernikahannya tersebut ia belum dikaruniai anak. Ia juga mengatakan belum tau apa akan mencatatkan pernikahannya agar menjadi resmi secara negara.1

Kedua, Lulu seorang ibu rumah tangga berusia 38 tahun, ia menikah pada

tahun 2010, alasannya sama dengan ibu Lili yaitu proses pendaftaran yang memakan waktu lama, dan ditambah dengan keadaannya pada saat itu hamil di luar nikah sehingga ia malu untuk mendaftarkan pernikahannya di KUA dan

1

memberitahu pada khalayak bahwa ia telah menikah. Ia sangat menyesal dan sedih karena pernikahannya tidak berlangsung lama, karena saat usia kehamilannya menginjak 7 bulan ia ditinggalkan suami begitu saja sampai sekarang, ia mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan adalah sulit untuk membuat akte kelahiran karena tidak ada bukti nikah, namun pada saat itu keadaan yang mengharuskan ia untuk cepat menikah sehingga memilih nikah di bawah tangan.2

Ketiga, Lala seorang ibu rumah tangga berusia 37 tahun, ia menikah pada

tahun 1998, alasan ia menikah di bawah tangan adalah karena poligami, pekerjaan suami yang sebagai TNI menyulitkan keduanya untuk mendaftarkan nikah di KUA karena tidak ada izin dari istri pertama dari pada nantinya berzina jadi lebih baik nikah di bawah tangan saja. dari pernikahan tersebut pasangan ini dikaruniai 1 orang anak, tetapi pernikahannya tidak berlangsung lama karena istri pertamanya mengetahui suaminya melakukan poligami dengan jalan nikah di bawah tangan tanpa sepengetahuan istri pertama akhirnya suami tersebut memilih untuk kembali kepada istri pertama dan istri keduanya ditinggalkan begitu saja. Dalam kesempatan yang sama, penulis juga mewawancarai anak dari ibu Lala yang bernama Nana yang berusia 15 tahun, ia mengatakan sebagai seorang anak sangat kecewa atas pernikahan orang tuanya yang tidak resmi berdasarkan hukum negara karena ia merasa status ia sebagai anak dipertanyakan, apakah jelas atau

2

tidak karena tidak memiliki akta lahir, ia hanya memiliki surat bukti kelahiran dari tempat ia dilahirkan.3

Keempat, Intan seorang ibu rumah tangga berusia 42 tahun, ia sudah

menikah di bawah tangan sebanyak 2 kali. Alasannya, pernikahan yang pertama karena hamil di luar nikah sehingga harus cepat menikah, tetapi pernikahannya tersebut tidak berlangsung lama karena suami yang tidak jujur dengan istri, tidak pernah memberi nafkah dan sering meninggalkan istri tanpa alasan yang jelas dalam waktu lama. Ia mengatakan ada perasaan kecewa karena harus menerima nasib seperti itu. Walaupun pernah merasakan kekecewaan akibat nikah di bawah tangan, namun ia melakukan hal yang sama di pernikahannya yang kedua. Alasannya karena sama-sama sudah berumur dan sama-sama membutuhkan pendamping hidup untuk hari tua jadi menurutnya tidak memerlukan pencatatan karena tidak akan mungkin lagi memiliki anak. Dari pernikahan pertama ibu Intan memiliki 1 anak bernama iyus berusia 18 tahun, ia sudah menikah dan pernikahannya sama dengan ibunya secara bawah tangan dengan alasan hamil di luar nikah. Pergaulan yang bebas serta tidak ada perhatian dari orang tua sehingga ia seperti itu. Ia mengatakan sebagai anak sangat kecewa dan malu dengan orang tuanya karena banyak cemoohan dari orang sekitar mengenai orang tua dan dirinya, dan ia juga merasa bersalah karena sudah melakukan hal yang sama seperti orang tuanya dahulu. Tetapi ia menyatakan bahwa secepatnya akan mencatatkan pernikahannya di KUA.4

3

Wawancara Pribadi dengan Lala, di Kediaman Responden, 25 Oktober 2014.

4

Kelima, Ajeng seorang karyawan swasta berusia 30 tahun ia menikah pada tahun 2009. Alasannya menikah di bawah tangan karena dijadikan istri kedua atau poligami, mereka saling menyukai tetapi istri pertama tidak menyetujui untuk diduakan. Walaupun dalam pernikahan tersebut tidak terjadi kekerasan, namun ada rasa penyesalan dalam dirinya. Pertama karena pernikahannya tidak tercatat di KUA dan keabsahannya diragukan oleh negara karena tidak memiliki bukti otentik, kedua ia menjadi istri kedua yang perasaan cintanya terbagi dua, pernikahannya belum dikaruniai anak.5

Keenam, Inah seorang ibu rumah tangga berusia 62 tahun ia menikah pada

tahun 2007. Alasan ia menikah di bawah tangan adalah karena usia pasangan tersebut sama-sama sudah lanjut, dan ketidaktahuan mengenai prosedur pencatatan, bahkan ia tidak mengetahui dampak dari nikah di bawah tangan itu sendiri karena ia hidup dalam keadaan tenang dan bahagia bersama suami.6