• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Pelaku Trafficking (Trafficker)

Perdagangan orang melibatkan laki-laki, perempuan dan anak-anak bahkan bayi sebagai “korban”, sementara agen, calo, atau sindikat bertindak sebagai yang “memperdagangkan (trafficker)”. Para germo, majikan atau pengelola tempat hiburan adalah “pengguna” yang mengeksploitasi korban untuk keuntungan mereka yang seringkali dilakukan dengan sangat halus sehingga korban tidak menyadarinya. Termasuk dalam kategori pengguna adalah lelaki hidung belang atau pedofil yang mengencani perempuan dan anak yang dipaksa menjadi pelacur, atau penerima donor organ yang berasal dari korban perdagangan orang. Pelaku perdagangan orang (trafficker) tidak saja melibatkan organisasi kejahatan lintas batas tetapi juga melibatkan lembaga, perseorangan dan bahkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak menyadari keterlibatannya dalam kegiatan perdagangan orang32

Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah adalah trafficker manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara ilegal menyekap calon pekerja migran di penampungan, dan menempatkan

32

mei 2008

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkannya ke industri seks. Agen atau calo-calo bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, teman, atau bahkan kepala desa, yang dianggap trafficker manakala dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen. Aparat pemerintah adalah trafficker manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyeberangan melintasi perbatasan secara ilegal.

Majikan adalah trafficker manakala menempatkan pekerjanya dalam kondisi eksploitatif seperti: tidak membayar gaji, menyekap pekerja, melakukan kekerasan fisik atau seksual, memaksa untuk terus bekerja, atau menjerat pekerja dalam lilitan utang. Pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar Pasal 289, 296, dan 506 KUHP, dapat dianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan bekerja di luar kemauannya, menjeratnya dalam libatan utang, menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan anak (di bawah 18 tahun). Calo pernikahan adalah trafficker manakala pernikahan yang diaturnya telah mengakibatkan pihak isteri terjerumus dalam kondisi serupa perbudakan dan eksploitatif walaupun mungkin calo yang bersangkutan tidak menyadari sifat eksploitatif pernikahan yang akan dilangsungkan.

Orang tua dan sanak saudara adalah trafficker manakala mereka secara sadar menjual anak atau saudaranya baik langsung atau melalui calo kepada majikan di sektor industri seks atau lainnya. Atau jika mereka menerima pembayaran di muka untuk penghasilan yang akan diterima oleh anak mereka nantinya. Demikian pula

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

jika orang tua menawarkan layanan dari anak mereka guna melunasi utangnya dan menjerat anaknya dalam lipatan utang. Suami adalah trafficker manakala ia menikahi perempuan tetapi kemudian mengirim isterinya ke tempat lain untuk mengeksploitirnya demi keuntungan ekonomi, menempatkannya dalam status budak, atau memaksanya melakukan prostitusi.

Pelaku yang Canggih dan Terorganisasi

Pelaku dalam kejahatan perdagangan manusia telah dibahas dalam berbagai penelitian. Dari banyak penelitian yang pernah dilakukan maka sebagian besar mensinyalir bahwa para pelaku tersebut merupakan sindikat perdagangan manusia yang wilayahnya mencakup berbagai belahan dunia dan bersifat Internasional. Mengacu pada kejahatan-kejahatan Human Trafficking yang sudah banyak terjadi, maka didalamnya dapat disimpulkan ada tiga pihak yang berperan yaitu korban, pihak yang mengambil keuntungan dari perdagangan manusia (the person who achieve the concent of person having control overanother person) serta orang yang dibayar atau memperoleh keuntungan (person who has been giving or recieving of payment or benefits) dari perdagangan manusia itu. Sepintas keterangan-keterangan dari para pelaku yang diperoleh dari berabgai kasus kejahatan trafficking yang pernah terjadi di dapat33

3. WNA

: 1. Orang tua atau Kerabat 2. Makelar

33

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

4. Sindikat yang terorganisir 5. Perusahaan angkutan laut 6. Aparat kepolisian

7. Agen tenaga kerja 8. Penduduk Setempat 9. Bidan

10. Pemilik perumahan Real Estate

11. Pemilik tempat penampungan agen tenaga kerja 12. Keterlibatan tokoh masyarakat/instansi pemerintah

Mengacu pada terminologi yang ada dalam hukum pidana, para pihak tersebut di atas dapat digolongkan dalam bentuk penyertaan sebagaimana diatur dalam Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP. Pasal 55 melingkupi pelaku, pembujuk atau orang yang menyuruh dengan tekanan atau paksaan. Kriteria ini bila mengacu pada syarat di atas dapat digolongkan dalam pihak yang mengambil keuntungan dari perdagangan manusia (the person who achieve the concent of person having control over another person) serta orang yang dibayar atau memperoleh keuntungan (person who has been giving or recieving of payment or benefits . Dalam kasus , peran ini dilakukan oleh Orangtua, Makelar, Sindikat dan Bidan. Khusus bagi pelaku orangtua, studi kecil yang dilakukan di sebuah desa di Jawa Barat menunjukan bahwa orangtua yang terlibat dalam memperdagangkan anak mereka sendiri biasanya mendapat dukungan dari mekanisme pasar yang melibatkan peran para tokoh masyarakat baik formal maupun informal.

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Perdagangan orang dapat mengambil korban dari siapapun: orang-orang dewasa dan anak-anak, laki-laki maupun perempuan yang pada umumnya berada dalam kondisi rentan, seperti misalnya: laki-laki, perempuan dan anak-anak dari keluarga miskin yang berasal dari pedesaan atau daerah kumuh perkotaan; mereka yang berpendidikan dan berpengetahuan terbatas; yang terlibat masalah ekonomi, politik dan sosial yang serius; anggota keluarga yang menghadapi krisis ekonomi seperti hilangnya pendapatan suami/orang tua, suami/orang tua sakit keras, atau meninggal dunia; anak-anak putus sekolah; korban kekerasan fisik, psikis, seksual; para pencari kerja (termasuk buruh migran); perempuan dan anak jalanan; korban penculikan; janda cerai akibat pernikahan dini; mereka yang mendapat tekanan dari orang tua atau lingkungannya untuk bekerja; bahkan pekerja seks yang menganggap bahwa bekerja di luar negeri menjanjikan pendapatan lebih. Agen dan calo perdagangan orang mendekati korbannya di rumah-rumah pedesaan, di keramaian pesta-pesta pantai, mall, kafe atau di restauran. Para agen atau calo ini bekerja dalam kelompok dan seringkali menyaru sebagai remaja yang sedang bersenang-senang atau sebagai agen pencari tenaga kerja. Korban yang direkrut di bawa ke tempat transit atau ke tempat tujuan sendiri-sendiri atau dalam rombongan, menggunakan pesawat terbang, kapal atau mobil tergantung pada tujuannya. Biasanya agen atau calo menyertai mereka dan menanggung biaya perjalanan. Untuk ke luar negeri, mereka dilengkapi dengan visa turis, tetapi seluruh dokumen dipegang oleh agen termasuk dalam penanganan masalah keuangan. Seringkali perjalanan dibuat memutar untuk memberi kesan bahwa perjalanan yang ditempuh sangat jauh

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

sehingga sulit untuk kembali. Bila muncul keinginan korban untuk kembali pulang, mereka ditakut-takuti atau diancam.

Di tempat tujuan, mereka tinggal di rumah penampungan untuk beberapa minggu menunggu penempatan kerja yang dijanjikan. Tetapi kemudian mereka dibawa ke bar, pub, salon kecantikan, rumah bordil dan rumah hiburan lain, dan mulai dilibatkan dalam kegiatan prostitusi. Mereka diminta menandatangani kontrak yang tidak mereka mengerti isinya. Jika menolak, korban diminta membayar kembali biaya perjalanan dan “tebusan” dari agen atau calo yang membawanya. Jumlah yang biasanya membengkak itu menjadi hutang yang harus ditanggung oleh korban. Di dunia internasional, Indonesia dikenal sebagai daerah sumber dalam perdagangan orang. Berdasarkan berbagai studi, ditengarai bahwa ada beberapa propinsi di Indonesia yang utamanya merupakan daerah sumber namun ada beberapa kabupaten/kota di propinsi itu yang juga diketahui sebagai daerah penerima atau yang berfungsi sebagai daerah transit34

34

Rachmad Syafaat, dkk. Dagang Manusia, Lappera, Yogyakarta, 2003, hal 72

;

Berdasarkan kasus-kasus yang ditemui, tujuan perdagangan manusia di Indonesia adalah daerah-daerah didalam dan luar negeri. Meski secara umum daerah primadona tujuan perdagangan untuk dalam negeri meliputi kota-kota besar dan kota-kota atau pulau tujuan wisata. Sementara di luar negeri kasus yang menonjol didapati di Malaysia dan Timur Tengah. Meski demikian kasus-kasus di beberapa negara lain seperti Hongkong dan Jepang juga ditemui.

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Riau, Batam, Belawan, Tanjung Balaikarimun, Dumai, Palembang, Solo,Bandar Baru, Sibolangit, Deli Serdang, Tanjung Baru, Surabaya, Jogjakarta, Denpasar

Tujuan Luar Negeri meliputi :

Malaysia (Kuala Lumpur dan Serawak), Perbatasan Brunai Darussalam, Hongkong,Taiwan, Jepang dan Australia

Pekerja Domestik dan Pekerja Seksual

Dari kasus-kasus yang diperoleh, perdagangan manusia sebagian besar bertujuan menjadikan korbannya sebagai pekerja domestik (pembantu rumah tangga) dan pekerja seksual. Sejak sekitar tahun 1980-an banyak tenaga kerja yang pergi ke luar negeri ataupun ke kota-kota besar untuk menjadi pembantu rumah tangga, untuk mencari kehidupan yang lebih baik.35

Banyak dari mereka (pekerja-pekerja tersebut) tergiur dengan cerita sukses (bagi yang belum mempunyai pengalaman) rekan-rekan mereka yang telah bekerja di luar negeri. Besarnya uang yang dibayangkan akan diperoleh sehingga mampu membantu keluarga di desa membuat mereka rela meninggalkan kampungnya. Bahkan ada para ibu rela meninggalkan anak dan suaminya di kampung. Salah satu kisah sedih yang dialami seorang TKW yaitu ketika pulang ke Indonesia menjumpai suaminya telah menikah dengan wanita lain dengan menggunakan uang yang selama ini dikirimnya dari Singapura bahkan sampai membangun rumah, sedangkan anak mereka ditelantarkan di rumah neneknya. Para perempuan yang akhirnya menjadi

35

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

pekerja domestik pada awalnya diiming-imingi janji, selanjutnya dipekerjakan sebagai pembantu adalah fenomena yang berlangsung sejak lama.

Dalam kasus pengiriman tenaga kerja wanita asal Indonesia, banyak terjadi penipuan dimana awalnya mereka ditawari pekerjaan sebagai buruh pabrik, pelayan restoran dan sebagainya, namun kenyataannya mereka kemudian dijadikan pembantu rumah tangga atau pekerja seksual. Menurut wakil bupati Nunukan Kasmir Foret, hal itu terjadi karena umumnya TKI Indonesia berpendidikan rendah dan tidak memiliki ketrampilan khusus sehingga pekerjaan yang dilakukan biasanya menjadi buruh di perkebunan dan pembantu

rumah tangga.36

Dalam kenyataannya banyak TKW asal Indonesia ditipu dan akhirnya dipaksa menjadi pelacur di Tawau, Malaysia Timur.37 Sebuah penelitian di Sumatera Utara menemukan kasus anak-anak yang mejadi pengungsi dari Aceh yang ada di Medan. Banyak calo yang mencari anak di lokasi pengungsi dengan kedok akan mengadopsi anak padahal mereka menjualnya ke keluarga yang membutuhkan pembantu rumah tangga. Lokasi pengungsian yang kondisinya sangat memprihatinkan dan tidak seriusnya penanganan pihak aparat menyebabkan para orangtua rela menyerahkan anaknya pada orang lain yang tidak dikenal untuk diadopsi.38

36

Media Indonesia, Banyak TKW dari Indonesia dipaksa Jadi WTS di Tawao, 23 oktober 2002

37

Ibid

38

Komnas Perempuan, Peta kekerasan perempuan di Indonesia, hal 142

Penjualan perempuan- perempuan muda untuk tujuan eksploitasi seksual menjadi tujuan utama dalam hal perdagangan manusia yang korbannya adalah remaja. Gadis-gadis muda antara 13 hingga 18 tahun menjadi sasaran para pelaku penjualan perempuan ini. Modus

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

operandi yang digunakan untuk menjerat korban bermacam-macam. Mulai dari penjualan yang dilakukan oleh orangtua atau saudaranya karena alasan ekonomis sebagaimana beberapa kasus yang terjadi di Jawa Timur, penculikan, atau janji-janji yang dilakukan oleh para calo. Para calo ini diantaranya adalah ibu-ibu muda yang banyak beroperasi di pusat-pusat perdagangan, tempat para remaja ini biasa menghabiskan waktunya.

Banyak cerita tragis tentang nasib mereka yang sudah menjadi korban. Anak- anak perempuan yang dieksploitasi, ternyata ada sebagian dari mereka yang kemudian menikmati profesi ini. Hal ini terjadi dalam kasus perdagangan domestik. Namun berbeda dalam hal korban perdagangan manusia di luar Indonesia. Ada yang dijerat hutang yang tak terselesaikan, disekap di hotel-hotel di Tawau dan Serawak dimana mereka harus melayani puluhan pelanggan setiap malamnya. Untuk melarikan diri adalah suatu pekerjaan dengan resiko berat karena disinyalir adanya kerjasama antara pelaku dan aparat.

Dalam upaya penegakan hukum terhadap kasus perdagangan remaja ini terdapat beberapa kendala yang dihadapi oleh aparat. Faktor usia menjadi faktor penentu. Aturan hukum hanya membatasi batasan usia anak sampai dengan 18 tahun padahal kasus-kasus penjualan remaja yang banyak terjadi justru berkisar antara usia antara 18-20 tahun yang menurut hukum pidana Indonesia merupakan usia dewasa. Menurut hukum pidana Indonesia Hal tersebut menyebabkan kurangnya upaya penanggulangan perdagangan remaja dan lemahnya penegakan hukum terhadap para pelaku disebabkan oleh kurangnya pengetahuan hukum masyarakat dan penegak hukum tentang berbagai peraturan yang mengatur perdagangan perempuan.

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Meskipun belum terdapat suatu definisi pasti mengenai perdagangan manusia dan rumusan resmi berkaitan dengan hal tersebut, bukanlah suatu alasan bagi para aparat penegak hukum untuk membiarkan kasus perdagangan perempuan, karena perbuatan itu merupakan suatu tindak pidana. Sebagai contoh rumusan dalam Pasal 297 KUHP mengatur bahwa tindakan memperdagangkan perempuan dan anak laki- laki diancam dengan pidana selamanya 6 tahun, yang dapat menjadi suatu sarana guna menjerat perbuatan tersebut diatas39

Kasus yang ditemui dan dianggap amat berpotensi sebagai peluang bagi terjadinya korban perdagangan manusia adalah anak-anak yang berstatus yatim piatu

.

Adopsi Ilegal, Pekerja Anak dan Penjualan Organ Tubuh

Perdagangan anak merupakan salah satu isu yang marak dibicarakan dalam hal yang berkaitan dengan perdagangan manusia di Indonesia. Dengan tujuan yang beraneka ragam mulai dari perdagangan bayi dengan tujuan adopsi, diambil organ tubuhnya, dijadikan budak dan lain sebagainya. Anak-anak, baik perempuan maupun laki-laki berpotensi menjadi korban perdagangan manusia. Anak-anak tersebut berusia 3 hingga 20 tahun dan dipekerjakan di ladang-ladang perkebunan sebagai buruh tanpa upah, pembantu rumah tangga dan pekerjaan-pekerjaan lain. Anak-anak ini menjadi primadona

karena mereka lebih mudah diatur daripada orang dewasa dan biaya yang dikeluarkan pun relatif lebih sedikit (misalnya makanan yang tidak sebanyak konsumsi orang dewasa).

39

Hasil Wawancara/Penelitian di Poltabes MS dengan Panit Lindung, Sah Udur S, tanggal 24 maret 2008

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

yang berada di daerah pengungsian/daerah konflik. Salah satunya adalah anak-anak yatim piatu yang berada di pengungsian di Poso. Ketiadaan orangtua, bantuan bagi pengungsi yang makin-hari makin berkurang dan status yang tidak jelas menjadi peluang bagi para calo-calo untuk memperdagangkan mereka pada orang-orang yang berminat. Mulai dari tujuan mulia misalnya diadopsi hingga untuk dijadikan budak di perkebunan-perkebunan.40

3. Faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan Perdagangan Orang (Human

Trafficking)

Terhadap kasus perdagangan bayi dan anak-anak, terdapat juga pola lain yaitu dengan alasan adopsi. Agaknya model modus operandi yang satu ini harus dipertanyakan apakah pola adopsi yangdimaksud sudah sesuai dengan hukum perdata dimana harus diputus dengan suatu putusan pengadilan. Peneliti melihat bahwa yang dimaksud adopsi dari kasus-kasus yang ada adalah model pengangkatan anak yang tidak melalui jalur hukum.

Hal ini tentunya tidak memberikan jaminan bagi anak apakah ia akan diasuh sebagaimana layaknya anak adopsi yang seharusnya atau tidak. Untuk kasus penjualan organ tubuh, peneliti belum berhasil menemukan berita yang mengungkap masalah ini. Menurut peneliti, kasus semacam ini memang sulit untuk diketahui karena berkaitan dengan rumah sakit dan dokter yang mempunyai wilayah yang sangat tertutup dan dilindungi dengan berbagai aturan dan kode etik yang sulit difahami oleh masyarakat awam.

40

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

Dalam Keputusan Persiden Republik Indonesia nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana aksi nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, menyebutkan faktor-faktor penyebab terjadinya perdagangan orang atau kejahatan trafficking, yaitu:

1. Kemiskinan

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) adanya kecenderungan jumlah penduduk miskin terus bertambah dari 11,3% pada tahun 1996 menjadi 23,4% pada tahun 1999, walaupun berangsur-angsur telah turun kembali menjadi 17,6% pada tahun 2002.

2. Ketenagakerjaan

Sejak krisis ekonomi tahun 1998 angka partisipasi anak bekerja cenderung pula terus meningkat dari 1,8 juta pada akhir tahun 1999 menjadi 17,6% pada tahun 2000

3. Pendidikan

Survei sosial ekonomi nasional tahun 2000melaporkan bahwa 34 % penduduk indonesia berumur 10 tahun ke atas belum/tidak tamat SD/tidak pernah bersekolah, 34,2% tamat Sddan hanya 15% yang tamat SMP. Menurut laporan BPS pada tahun 2000 terdapat 14 anak usia 7-12 dan 24% anak usia 13-15 tahun tidak melanjutkan ke SLTP karena alasan pembiayaan.

4. Migrasi

Menurut konsorsium peduli buruh Migran Indonesia (KOPBUMI) sepanjang tahun 2001cpenempatan buruh migran keluar negeri mencapai sekurang-kurangnya 74.616 orang telah menjadi korban trafficking.

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

5. Kondisi Keluarga, Pendiidkan rendah, keterbatasan kesempatan, ketidaktahuan akan hak, keterbatasan informasi, kemiskinan dan gaya hidup konsumtif merupakan faktor yang melemahkan ketahanan keluarga.

6. Sosial Budaya

Anak sekolah merupakan hak milik yang dapat diperlakukan sehendak orang tuanya, ketidak-adilan jender, atau posisi perempuan yang dianggap lebih rendah masih tumbuh di tengah-tengah kehidupan masyarakat desa.

7. Media massa

Media masih belum memberikan perhatian yang penuh terhadap berita dan informasi yang lengkap tentang trafficking, dan belum memberikan kontribusi yang optimal dalam upaya pencegahan maupun penghapusannya. Bahkan tidak sedikit justru memberitakan yang kurang mendidik dan bersifat pornografis yang mendorong menguatnya kegiatan trafficking dari kejahatan susila lainnya.

Banyak faktor yang mendorong orang terlibat dalam perdagangan manusia, yang dapat dilihat dari dua sisi, yaitu supply (penawaran) dan demand (permintaan) Dari sisi Supply (Penawaran) antara lain41

a. Trafficking merupakan bisnis yang menguntungkan. Dari indusitri seks saja diprkirakan US 1,2 – 3,3 milyar per tahun untuk indonesia. Hal ini menyebabkan kejahatan internasional terorganisir menjadi prostitusi internasional dan jaringan perdagangan manusia sebagai fokus utama kegiatannya.

:

41

halaman 34, diakses tanggal 18 mei 2008

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

b. Kemiskinan telah mendorong anak-anak tidak sekolah sehingga kesempatan untuk memiliki ketrampilan kejuruan serta kesempatan kerja menyusut. Seks komersial kemudian menjadi sumber nafkah yang mudah untuk mengatasi masalah pembiayaan hidup. Kemiskinan pula yang mendorong kepergian anak dan ibu sebagai tenaga kerja wanita, yang dapat menyebabkan anak terlantar tanpa perlindungan sehingga beresiko menjadi korban.

c. Keinginan untuk hidup lebih layak, tetapi dengan kemampuan yang minim dan kurang mengetahui informasi pasar kerja, menyebabkan mereka terjebak dalam lilitan hutang para penyalur tenaga kerja dan mendorong mereka masuk dalam dunia prostitusi.

d. Konsumerisme merupakan faktor yang menjerat gaya hidup anak remaja, sehingga mendorong mereka memasuki dunia pelacuran secara dini. Akibat konsumerisme, berkembanglah kebutuhan untuk mencari uang banyak dengan cara mudah.

e. Pengaruh sosial budaya seperti pernikahan di usi muda yang rentan perceraian, yang mendorong anak memasuki eksploitasi seksual komersal. Adanya kepercayaan bahwa hubungan seks dengan anakanak secara homoseksual ataupun heteroseksual akan meningkatkan kekuatan magis seseorang atau membuat awet muda, telah membuat masyarakat melegitimasi kekerasan seksual dan bahkan memperkuatnya.

f. Kebutuhan para majikan akan pekerja yang murah, penurut, mudah diatur, dan mudah ditakut-takuti elah mendorong naiknya demand terhadap pekerja anak (pekerja jermal di Sumatera Utara, buruh-buruh Pabrik/Industri di kota-kota

Alexander Kristian D. I. Silaen : Peran Kepolisian Terhadap Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang

(Human Trafficking) (Studi Di Poltabes Medan), 2008.

USU Repository © 2009

besar, di perkebunan, pekerja tambang permata di Kalimantan, perdagangan, dan perusahaan penangkap ikan). Sering kali anak-anak bekerja dalam situasi yang rawan kecelakaan dan berbahaya.

g. Perubahan struktur sosial yang diiringi oleh cepatnya industrialisasi/komersialisasi, telah meningkatkan jumlah keluarga menengah, sehingga meningkatkan kebutuhan akan perempuan dan anak untuk dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga. Dalam yang tertutup dari luar, anak-anak itu rawan terhadap penganiayaan fisik maupun seksual. Selain dipaksa bekerja berat tanpa istirahat, mereka diperlakukan kasar jika mengeluh. h. Kemajuan bisnis pariwisata di seluruh dunia yang juga menawarkan pariwisata

seks, termasuk yang mendorong tingginya permintaan akan perempuan dan anak-anak untuk bisnin tersebut. Ketakutan para pelanggan terinfeksi virus HIV/AIDS menyebabkan banyak perawan muda direkrut untuk tujuan itu. Pulau Batam telah menarik orang asing, tidak saja untuk membuka usaha, tetapi juga untuk pelayan seksual yang mudah didapat dan murah. Gadis-gadis belia dari

Dokumen terkait