• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERJUANGAN

A. Faktor Politik Pemerintah Indonesia

1. Menggalang kekuatan nasional

Melihat kenyataan bahwa Belanda melakukan program Papuanisasi di Irian Barat dengan tujuan utama memisahkan Irian Barat dari Indonesia, pihak Indonesiapun melakukan usaha-usaha untuk menggagalkan tipu muslihat Belanda. Melalui Menteri Luar Negeri Subandrio di sidang XVI MU PBB 19 Oktober 1961, pihak Indonesia membuat pernyataan yang berhasil menarik simpatik para anggota PBB, terutama negara Barat dan Afrika. Pihak Indonesia pun membuka kedok Belanda yang tidak mau berunding menyelesaikan masalah Irian Barat. Pernyataan tersebut antara lain:37

a. Dalam perundingan-perundingan bilateral yang diadakan sejak tahun1950 sampai 1954, Belanda selalu menolak penyelesaian sengketa Indonesia-Belanda mengenai Irian Barat.

b. Ketika Indonesia mengajukan masalah Irian Barat ke MU PBB untuk mengupayakan penyelesaian masalah Irian Barat dari 1954-1957, Belanda juga selalu menolak melakukan pembicaraan dengan Indonesia untuk menyelesaikan sengketanya mengenai Irian Barat.

c. Setiap kali masalah Irian Barat dibicarakan dalam MU PBB 1954-1957, Belanda selalu menolak campur tangan PBB dalam masalah Irian Barat. Belanda bahkan mengajukan masalah Irian Barat ke MU PBB dengan dalih “dekolonisasi”.

37

Enny Soeprapto, Pengembalian Irian Barat Ke Dalam Wilah Kekuasaan Republic Indonesia, Jakarta, Departemen Luar Negeri RI, 2008, Hal. 189

Walaupun pernyataan Menteri Subandrio dapat menarik simpatik anggota PBB tetapi hal tersebut masih tidak membuahkan hasil Belanda masih enggan melakukan perundingan.

Berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya cara diplomasi merupakan cara yang terbaik akan tetapi diplomasi belum menjamin kepastian terhadap penyelesaian masalah secara tuntas. Berbagai usaha diplomatik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda untuk mendapatkan Irian Barat mengalami kegagalan. Itikad baik dari pihak Indonesia ditanggapi dengan sikap keras oleh pihak Belanda yang tetap bersikukuh terhadap penguasaan atas Irian Barat. Gagalnya pengembalian Irian Barat ke dalam pangkuan wilayah Indonesia melalui jalan perundingan damai mengakibatkan pemerintah Indonesia mengakhiri politik damai dengan pihak Belanda.38

Adapun cara lain adalah dengan konfrontasi dalam hal ini tidak menutup kemungkinan jalan konfrontasi militer. Konfrontasi militer pastinya akan mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan harta benda. Cara ini akan lebih memberikan jaminan dan kepastian untuk memperoleh hasil yang memuaskan untuk mendapatkan Irian Barat. Pemerintah Indonesia kemudian mengambil kebijakan politik dengan cara menggalang dan menghimpun seluruh potensi nasional dan juga dari pihak luar negeri. Hal ini dilakukan

38

untuk mensukseskan opsi operasi militer di Irian Barat melawan militer Belanda.39

Penggalangan kekuatan nasional inilah yang kemudian berkembang menjadi politik konfrontasi total terhadap pemerintah Belanda. Konfrontasi total ini tidak hanya sebatas pada aspek politik melainkan juga pada bidang ekonomi dan militer. Pengalaman selama perang kemerdekaan melawan kekuatan militer Belanda telah menyadarkan bangsa Indonesia tentang politik kolonial. Belanda tidak akan mundur selama dia belum yakin bahwa dia kalah. Kebijakan pemerintah Belanda yang memperkuat posisi militernya di Irian Barat telah menunjukkan kekuatannya atas Indonesia.40

Sementara itu tuntutan nasional untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan wilayah Indonesia semakin kuat. Untuk mewujudkan tuntutan nasional tersebut diperlukan kekuatan-kekuatan politik, sosial, ekonomi dan militer sebagai landasan perjuangan yang kuat. Kemudian pemerintah Indonesia membentuk organisasi FNPIB (Front Nasional Pembebasan Irian Barat) yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno. Dalam pelaksanaan tugasnya dibantu oleh sekretariat Pengurus Besar Front Nasional (PBFN) yang bertugas:

a. Menyusun dan membina potensi nasional untuk pembebasan Irian Barat. b. Merencanakan aksi-aksi dan tindakan-tindakan untuk pembebasan Irian

Barat.

39

Ridhani, op,cit, hlm. 37. 40

Nasution, A.H, Memenuhi Panggilan Tugas, Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama, Gunung Agung, Jakarta, 1985, hal. 79.

Semua kekuatan nasional harus disatukan sehingga mampu memberi tekanan kepada pihak Belanda. Pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk memperjuangkan pengembalian Irian Barat yang merupakan bagian dari Republik Indonesia Serikat bahwa wilayahnya meliputi semua bekas jajahan Belanda.41

Presiden Soekarno kemudian mengintensifkan perjuangan untuk mendapatkan Irian Barat kembali ke pangkuan wilayah Indonesia secara fisik. Perjuangan secara fisik dilakukan dengan cara mengirimkan sukarelawan dan sukarelawati Indonesia ke daratan Irian Barat. Hal ini ditempuh untuk menentang setiap kekuasaan asing yang ingin menguasai Irian Barat. Disamping itu juga untuk mempersiapkan kantong-kantong gerilya sebagai inti kekuasaan de facto pemerintah Republik Indonesia. Presiden Soekarno dengan cepat membangun kekuatan militer Indonesia untuk mengimbangi kekuatan militer Belanda.42

2. Dukungan Politik dan Militer dari Uni Soviet

Pada bulan Februari 1960 Ketua Dewan Menteri Uni Soviet Nikita S. Khruschev melakukan kunjungan ke Denspasar. Selama kunjungan Khruschev diadakan pula pembahasan mengenai hubungan dan kerjasama antara Indonesia dan Uni Soviet, salah satunya mengenai sengketa Irian Barat. Dalam pidato kenegaraannya yang berbunyi “satukan kembali Irian Barat dengan Indonesia” Khruschev menyatakan dukungannya kepada Indonesia.

41 Idem. 42

Selanjutnya pernyataan dukungan Uni Soviet pada perjuangan merebut kembali Irian Barat dicantumkan dalam Deklarasi bersama Indonesia-Uni Soviet. Deklarasi tersebut menyatakan kedua pemerintahan menegaskan kembali bahwa dalam segala manifestasinya harus dihapuskan dan bahwa penghapusan kolonialisme itu adalah sesuai dengan kepentingan-kepentingan perdamaian dunia. Dalam hubungan ini, Uni Soviet mendukung sepenuhnya hak dan tuntutan Republik Indonesia atas Irian Barat.43

Pernyataan dukungan yang berasal dari salah satu negara adikuasa dalam suasana perang dingin itu mempunyai arti politis yang sangat penting yang dapat dimanfaatkan oleh Indonesia dalam perjuangan diplomatik selanjutnya untuk memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Indonesia, dengan tetap mempertahankan poitik luar negeri yang bebas aktif.44

Pada bulan Oktoer 1960, Presiden Soekarno memerintahkan Jenderal A.H. Nasution untuk membeli persenjataan ke Amerika Serikat. Misinya ke Amerika Serikat ini ternyata tidak membuahkan hasil. Kemudian, pemerintah Indonesia menjalin hubungan dengan Uni Soviet untuk mendapatkan peralatan militer. Perdana Menteri Uni Soviet Khrushchev pernah menawarkan bantuan militer kepada Presiden Soekarno.45 Dalam memberikan dukungan politis kepada Indonesia dalam masalah Irian Barat sudah tentu Uni Soviet mempunyai pertimbangan, kepentingan dan tujuannya sendiri. Sebaliknya dukungan politis Uni Soviet itu dimanfaatkan oleh Indonesia untuk kepentingan nasionalnya. Dukungan dari Uni Soviet dipergunakan oleh

43

Enny Soeprapto, op.cit, hal 144-145. 44

Idem 45

Indonesia untuk meningkatkan perhatian internasional pada masalah Irian Barat sebagai masalah yang dapat memicu konflik antara kedua blok di dunia yang sedang berada dalam perang dingin dan perebutan pengaruh ideologi, jika masalah Irian Barat tidak terselesaikan dengan baik.

Pada tanggal 28 Desember 1960, Presiden Soekarno mengutus Jenderal A.H. Nasution ke Moskow untuk membicarakan dan merundingkan pembelian persenjataan dari pemerintah Uni Soviet. Pembicaraan tersebut memberikan isyarat tentang kebutuhan Indonesia di bidang persenjataan, antara lain pesawat yang dapat terbang dari Jawa membawa bom ke Irian Barat dan kembali ke pangkalan Jawa.46 Khruschev mengindikasi kesedian pemerintahannya untuk memberikan bantuan militer kapan saja Indonesia memerlukannya.

Sebelumnya Indonesia memang tidak pernah secara ekspansip menyatakan kemungkinan digunakannya kekuatan militer untuk merebut kembali Irian Barat. Namun dalam pidato Presiden Soekarno 17 Agustus 1960 yang menyatakan Indonesia akan menggunakan seluruh kekuatan nasionalnya baik politik, ekonomi, sosial dan militer.47 Negosiasi tentang pembelian persenjataan dari Uni Soviet berlangsung pada tanggal 2 sampai 6 Januari 1961. Misi militer yang diemban Jenderal A.H. Nasution ternyata berhasil dengan mendapatkan bantuan kredit sebesar 450 juta dolar untuk membeli segala macam persenjataan dari Uni Soviet. Seluruh pembelian itu dilakukan

46

Nasution, A.H, op.cit, Hal. 51. 47

Tim Departemen Penerangan RI, Dari Proklamasi Sampai Resopim, , Jakarta, Departemen Penerangan, 1963, Hal. 468

secara kredit selama 12 tahun dengan bunga 2,5% pertahun.48 Dari hasil kesepakatan tersebut, kemudian peralatan militer dalam jumlah yang besar mulai mengalir ke Indonesia. Adapun jenis peralatan yang didatangkan oleh pemerintah Indonesia antara lain:49

a. Untuk angkatan udara antara lain: 1) 41 Helikopter MI-4

2) 9 Helikopter MI-6 3) 30 pesawat jet MiG-15

4) 49 pesawat buru sergap MiG-17 5) 10 pesawat buru sergap MiG-19

6) 20 pesawat pemburu supersonik MiG-21

7) Sistem radar udara lengkap dengan persenjataannya b. Untuk angkatan laut antara lain:

1) 12 kapal selam kelas Whiskey 2) Puluhan korvet buah

3) Kapal penjelajah kelas Sverdlov

c. Kapal penjelajah kelas Untuk angkatan darat antara lain: 1) Tank

2) Roket Launcher

3) Peluru kendali ke udara dan ke darat

Pembelian persenjataan dari Uni Soviet itu merupakan pembelian terbesar yang dilakukan Indonesia saat itu. Tujuannya tidak lain adalah

48

Nasution, A.H, op.cit, hal 70. 49

mempersiapkan potensi militer Indonesia dengan kekuatan yang dapat diperhitungkan, jika perlu untuk membebaskan Irian Barat dengan kekuatan bersenjata. Dengan demikian Belanda mulai menyadari apabila Irian Barat tidak diserahkan secara damai kepada Indonesia dalam waktu tertentu, maka Indonesia akan berusaha membebaskannya dengan kekuatan militer.50

3. Tri Komando Rakyat

Pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mengambil kebijakan politik tentang komando rakyat untuk membebaskan Irian Barat yang diberi nama Trikora (Tri Komando Rakyat). Kebijakan ini diambil dalam rangka untuk mengakomodasi semangat rakyat Indonesia yang sangat kuat untuk mengusir Belanda dari Irian Barat. Trikora ini merupakan jawaban pemerintah Republik Indonesia terhadap Belanda yang membentuk dan menyetujui Komite Nasional Papua untuk membentuk Negara Papua. Trikora yang dikomandokan oleh Presiden Soekarno secara revolusioner di Yogyakarta berisikan tiga perintah, yaitu:

a. Gagalkan pembentukan Negara boneka Papua buatan Belanda kolonial b. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia

c. Bersiaplah untuk mobilisasi umum mempertahankan kemerdekaan dan kesatuan tanah air dan bangsa

Komando Trikora ini merupakan bentuk ketegasan Presiden Soekarno untuk mengembalikan Irian Barat ke pangkuan wilayah Indonesia sekalipun

50

dengan jalan perang.51 Implementasi dari Trikora banyak rakyat Indonesia yang dimobilisasi menjadi sukarelawan dan dilatih kemiliteran untuk kesiapan berperang. Home front juga diperkuat dengan gerakan dan peningkatan produksi bahan makanan untuk mendukung perang. Hal ini dilakukan untuk mensukseskan Trikora pembebasan Irian Barat. Kemudian Angkatan Perang Republik Indonesia mengambil gerak cepat untuk melakukan tindakan di Irian Barat. Pengamanan dan pengintaian secara intensif dilakukan oleh militer Indonesia di perbatasan wilayah Irian Barat yang dikuasai oleh Belanda.52

Trikora telah meyakinkan Belanda dan Amerika Serikat bahwa rencana menggunakan kekuatan militer membebaskan Irian Barat bukanlah sebagai gertakan belaka. Mengingat berbagai kondisi tersebut maka tidaklah ada pilihan lain bagi Amerika Serikat, baik demi kepentingan strategisnya di Asia-Pasifik maupun demi kepentingan globalnya, untuk mengintensifkan upaya diplomatiknya guna membantu tercapainya penyelesaian secara damai dalam masalah Irian Barat.

4. Komando Mandala Pembebasan Irian Barat

Untuk menjamin koordinasi dan kelancaran Trikora, kemudian dibentuk Staf Komando Tertinggi Pembebasan Irian Barat yang langsung dipimpin oleh Presiden Soekarno sebagai Panglima Besar. Presiden Soekarno memerintahkan kepada Jenderal A.H. Nasution selaku KSAD untuk menyusun operasi gabungan. Perintah ini mengandung arti bahwa tingkat

51

Baharuddin lopa, op.cit, hlm. 87 52

perjuangan pembebasan Irian Barat telah memasuki perjuangan bersenjata. Pemerintah Indonesia telah menyiapkan kemampuan militernya untuk menghadapi perang terbuka melawan militer Belanda di Irian Barat. Pada tanggal 15 Januari 1962 telah terjadi kontak senjata antara militer Indonesia dengan militer Belanda di laut Arafuru.53

Dalam kontak senjata tersebut, kapal perang Republik Indonesia yang bernama MTB RI Macan Tutul yang dikomandani oleh Komodor Yosaphat Sudarso tenggelam. Presiden Soekarno yang mendapat berita tentang gugurnya Deputi Kepala Staf Angkatan Laut Komodor Yosaphat Sudarso menjadi marah. Presiden Soekarno kemudian memerintahkan Mayor Jenderal Soeharto selaku Panglima Komando Mandala untuk segera mengadakan operasi militer di Irian Barat. Mayor Jenderal Soeharto, kemudian menyusun strategi pembebasan Irian Barat dengan tahapan infiltrasi, exploitasi dan konsolidasi. Pelaksanaan operasi Komando Mandala dengan berbagai sandi operasi ternyata berhasil menekan posisi militer Belanda di Irian Barat. Mayor Jendral Soeharto terkejut adanya perintah dari Presiden Soekarno untuk menghentikan operasi militer karena adanya kesepakatan perdamaian dengan Belanda. Adanya kesepakatan penghentian permusuhan tidak mengurangi kewaspadaan militer Indonesia untuk tetap siaga penuh. Hal ini dilakukan untuk menjaga hasil diplomasi yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia. Pada tanggal 28 Agustus 1962, Panglima Mandala Mayjend Soeharto mengeluarkan sebuah gagasan strategi baru. Strategi baru ini dilakukan

53

berdasarkan perkembangaan politik yang sudah berubah. Kebijakan strategi baru ini berisikan:

a. Kebijaksanaan pelaksanaan strategi sampai 1 Oktober 1962:

1) Menghentikan semua infiltrasi ke daratan Irian Barat.

2) Merencanakan dan mempersiapkan perebutan sasaran terbatas.

3) Merencanakan dan mempersiapkan penyelenggaraan penambahan untuk pasukan yang telah didaratkan.

4) Mengkonsolidasikan dan mempersiapkan pasukan yang berada di Irian Barat untuk tugas penguasaan wilayah.

b. Kebijaksanaan pelaksanaan strategi setelah 1 Oktober 1962:

1) Mengkonsolidasikan keamanan dalam negeri untuk menghadapi offensive

Belanda dengan dalih lalu lintas bebas

2) Merencanakan dan melaksanakan operasi penguasaan wilayah daratan Irian Barat.

3) Mempersiapkan unsur-unsur Kodam, Kodamar, Korud. Komisariat Kepolisian dan Pemerintahan Sipil serta alat-alat kekuasan Republik Indonesia untuk mengawasi penyerahan administrasi pemerintahan sementara PBB kepada Indonesia.

c. Kebijaksanaan pelaksanaan strategi setelah tanggal 1 Mei 1963:

1) Menegakan kekuasaan Republik Indonesia.

2) Memajukan kesejahteraan lahir dan batin bagi rakyat Irian Barat

3) Mengamankan pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri sebagai hasil persetujuan resmi yang menguntukan perjuangan rakyat Indonesia.

Pada tanggal 31 Oktober 1962, Panglima Komando Mandala memerintahkan pelaksanaan Operasi Sadar. Hal ini dilakukan untuk:54

i. Mengamankan pelaksanaan persetujuan New York, bahwa pada tanggal 31 Desember 1962 akan dilakukan penurunan bendera Belanda dan bendera Indonesia dikibarkan.

ii. Pengamanan unsur-unsur pemerintahan dan melakukan tugas pengawasan di wilayah Irian Barat.

Sebagai petunjuk dari Operasi Sadar ini, kemudian diperintahkan untuk mempersiapkan menghadapi penyerahan administrasi pemerintahan Irian Barat dai UNTEA kepada Indonesia tanggal 1 Mei 1963. Operasi ini juga dilakukan untuk melaksanakan operasi bakti untuk menanamkan kesadaran mental terhadap penduduk Irian Barat.55

Dokumen terkait