• Tidak ada hasil yang ditemukan

Usaha Diplomasi melalui Kabinet-Kabinet (1950-1954)

BAB II USAHA-USAHA DIPLOMASI BANGSA INDONESIA MEREBUT

A. Usaha Diplomasi melalui Kabinet-Kabinet (1950-1954)

1. Usaha Diplomasi Kabinet Mohammad Natsir

Pada tanggal 7 September 1950, Mohammad Natsir dilantik sebagai Perdana Menteri Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mohammad Natsir menjalankan pemerintahan dengan mengedepankan upaya diplomasi dalam menyelesaikan masalah Irian Barat. Ini merupakan program utama yang harus

segera direalisasikan. Mohammad Natsir memerintahkan kepada Menteri Luar Negeri Mr. Moh. Roem untuk memimpin delegasi Indonesia ke negeri Belanda. Pada tanggal 4 Desember 1950 berlangsung perundingan antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda di Den Haag. Perundingan politik ini ternyata diwarnai dengan perbedaan pendapat yang cukup mencolok antar kedua belah pihak.8

Pihak pemerintah Belanda tetap bersikeras mempertahankan wilayah Irian Barat. Sedangkan pihak Indonesia berusaha secara diplomatis dalam penyelesaian untuk mendapatkan Irian Barat. Mr. Moh. Roem kemudian menawarkan sebuah konsesi politik kepada pihak pemerintah Belanda untuk menyerahan Irian Barat secara de jure. Konsesi politik yang ditawarkan pihak Indonesia antara lain:9

a. Dalam lingkungan kerjasama antara Indonesia dengan Belanda di lapangan ekonomi, pemerintah Indonesia mengakui hak dan konsesi yang sekarang ada dan diberi perhatian yang istimewa kepada Belanda mengenai pemberian konsensi baru dan menempatkan kapital. Selanjutnya dalam mengembangkan sumber-sumber di Irian Barat akan diberi perhatian khusus kepada kepentingan-kepentingan Belanda di sana, antara lain dalam mengusahakan dan mengelola kekayaan tanah. Pada umumnya pemerintahan Indonesia bersedia memajukan Irian Barat di lapangan ekonomi, memperhatikan dengan sepenuhnya kepentingan Belanda di lapangan perdagangan, perkapalan, dan industri.

8

Ridhani, op.cit, hlm.22. 9

b. Dalam aparat administrasi Irian Barat akan dipergunakan tenaga-tenaga Belanda.

c. Pensiunan pegawai-pegawai Belanda Irian Barat akan dijamin seperti dalam persetujuan KMB.

d. Imigrasi rakyat Belanda akan diperbolehkan oleh pemerintah Indonesia. Selanjutnya akan diperhatikan benar-benar supaya diadakan tenaga buruh yang diperlukan untuk Irian Barat.

e. Pemerintah Indonesia akan memajukan supaya Irian Barat dimasukkan dalam sistem perhubungan Pemerintah Indonesia (perhubungan udara, laut, telepon, telegraf dan radio) dengan memperhatikan konsensi-konsensi yang sudah diperoleh Maskapai Belanda.

f. Kemerdekaan beragama akan dijamin sepenuhnya dan usaha-usaha dari zeding dan missi dalam lapangan kemanusian, seperti pengajaran dan pemeliharan orang sakit dapat diteruskan. Dalam usaha kemanusiaan itu jika diperlukan missi dan zending akan dapat bantuan dari pemerintah Indonesia.

g. Di Irian Barat akan diusahakan supaya pemerintahannya berjalan dengan cara demokrasi yang penuh. Kepada daerah akan diberikan otonomi dan hak ikut memerintah (medebewind) segera akan diraih dengan pembentukan badan perwakilan sendiri.

Konsesi politik yang ditawarkan oleh pihak perwakilan pemerintah Indonesia ditolak dengan tegas oleh pemerintah Belanda. Sebaliknya, pihak

pemerintah Belanda kemudian menawarkan usulan kepada delegasi Indonesia yang berbunyi:

a. Bahwa rakyat “Nederland Nieuw Guinea” mempunyai hak untuk menentukan hari depannya sendiri.

b. Pembentukan Dewan Irian dan Belanda tetap memerintah Irian.

Menanggapi usulan dari pihak Belanda tersebut, pimpinan delegasi Indonesia Mr. Moh Roem dengan tegas menolaknya. Delegasi Indonesia tetap berpegang teguh pada pendirian politiknya yaitu Irian Barat harus diserahkan oleh Belanda kepada Indonesia. Perundingan ini ternyata tidak menghasilkan kesepakatan tentang penyelesaian masalah Irian Barat. Delegasi pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Mr. Moh.Roem gagal.10

Kegagalan diplomasi yang dilakukan oleh Mr. Moh. Roem ternyata tidak menyurutkan pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan perundingan secara damai. Pada bulan Desember 1951, Prof. Dr. Supomo memimpin delegasi Indonesia untuk melakukan perundingan dengan pihak Belanda. Perundingan kali ini juga mengalami kegagalan. Pemerintah Kerajaan Belanda mengeluarkan kebijakan politik yang mengejutkan pemerintah Indonesia. Pada pertengahan Agustus 1952, parlemen Belanda menyetujui wilayah Irian Barat dimasukan ke dalam wilayah lingkungan Kerajaan Belanda. 11

Kebijakan pemerintah Belanda ini jelas sangat provokatif tanpa meminta persetujuan pihak pemerintah Indonesia. Menindaklanjuti aksi provokatif tersebut, pemerintah Indonesia menyampaikan nota protes kepada

10

Ibid, hlm. 12. 11

pemerintah Belanda. Pemerintah Indonesia sangat keberatan atas tindakan parlemen Belanda karena masalah Irian Barat masih dalam status sengketa. Permasalahan ini kemudian dibawa ke Sidang Umum PBB, namun usaha ini juga mengalami kegagalan. Kebijakan parlemen Belanda yang menyetujui aneksasi wilayah Irian Barat telah mengakibatkan ketegangan antara Indonesia dengan Belanda.12

Perkembangan hubungan antara Indonesia dengan Belanda semakin memanas. Kolonialis Belanda di Irian Barat telah memobilisasi para pemuda pribumi untuk memasuki dinas militer. Rakyat Indonesia kemudian melakukan desakan kepada pemerintah supaya mengambil tindakan yang tegas terhadap pihak Belanda. Kemudian pemerintah Indonesia mengambil kebijakan politik dengan meningkatkan upaya diplomatik lewat forum internasional untuk menekan pemerintah Belanda. Upaya tersebut ternyata mendapat dukungan dari negara-negara lain yang simpatik terhadap perjuangan bangsa Indonesia.13

Tahun 1951 Kabinet Natsir jatuh hal ini dikarenakan persoalan yang lebih berat, yang menyangkut persoalan Irian Barat dan peraturan pemerintahan daerah.14 Kegagalan kabinet Natsir dalam menyelesaikan Irian Barat menyebabkan presiden Soekarno secara terang-terangan menyatakan bahwa ia ingin menggunakan kesempatan yang ditimbulkan oleh kegagalan perundingan tersebut. Untuk menentang kepentingan ekonomi Belanda di

12

Saleh A. Djamhari, op.cit, hlm. 13. 13Idem

14

Indonesia dan juga menentang Uni Indonesia-Belanda yang dianggap sebagai simbol provokatif atas suatu kemerdekaan yang terbatas.

Keinginan presiden Soekarno yang disampaikan dalam pidato umumnya ditolak oleh Perdana Menteri Mohamad Natsir dengan menyatakan bahwa hanya kabinetlah yang berhak menentukan apakah Presiden yang mengemukakan secara umum kebijakan luar negeri yang terpenting atau tidak. Pertentangan konsitusional ini dimenangkan oleh Mohamad Natsir, tetapi presiden Soekarno berhasil menggunakan pengaruhnya kepada kekuatan oposisi di parlemen untuk menjatuhkan kabinet Natsir. Oleh karena itu, pengganti kabinet Natsir mengambil posisi yang lebih keras terhadap pemerintahan Belanda.15

2. Usaha Diplomasi Kabinet Ali Sastroamijoyo I

Pada tanggal 30 Juli 1953, Ali Sastroamijoyo diangkat menjadi Perdana Menteri menggantikan Mohammad Natsir yang mengundurkan diri. Kabinet Ali I mempunyai 4 program pokok, yaitu:16

a. Dalam negeri (meningkatkan keamanan dan kemakmuran dan segera melaksanakan pemilu)

b. Pembebasan Irian Barat secara cepat

c. Luar Negeri (melakukan politik bebas aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB).

d. Penyelesaian pertikaian politik. 15

Baharuddin Lopa, op.cit, hlm. 58. 16

Dalam masalah Irian Barat Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo I menerapkan kebijakan politik luar negeri Indonesia yang kuat. Perjuangan diplomasi untuk mendapatkan Irian Barat kepangkuan Indonesia menjadi prioritas kerja pemerintahannya. Perdana Menteri Ali berusaha keras mencari dukungan internasional untuk membantu Indonesia dalam menyelesaikan sengketa dengan Negara Belanda yang tetap bersikeras atas masalah Irian Barat yang tetap dianggapnya sebagai internal question. Sikap keras pemerintah Belanda yang tetap bersikukuh bahwa Irian Barat merupakan wilayahnya telah mendorong pemerintah Indonesia untuk bertindak lebih tegas.17

Perundingan Bilateral yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda di Den Haag tidak pernah mendapatkan suatu kemajuan yang berarti. Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo I kemudian membawa masalah Irian Barat dalam Sidang Umum PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Pada tahun 1954, PBB mengadakan Sidang Umum yang ke IX dan membahas permasalahan Irian Barat yang disengketakan antara Indonesia dan Belanda. Akan tetapi usaha diplomasi ditingkat internasional ini tidak berjalan lancar karena Sidang Umum PBB tidak mencapai suara mayoritas 2/3 dari anggota yang ada. Walaupun mengalami kegagalan, namun usaha Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo I mampu mendapatkan simpatik dari negara-negara lain dan mempengaruhi Belanda.18

17

Baharuddin Lopa, op.cit, hlm. 60. 18

3. Usaha Diplomasi Kabinet Burhanuddin Harahap

Perdana Menteri Burhanuddin Harahap menjalankan pemerintahan dengan kebijakan luar negeri yang tidak jauh berbeda dengan pendahulunya. Pada tahun 1955 masalah Irian Barat tetap diperjuangkan dalam forum internasional. Sidang Umum PBB X juga membahas masalah Irian Barat. Dalam sidang PBB tersebut diputuskan bahwa perundingan antara pemerintah Indonesia dengan Belanda tentang masalah Irian Barat akan dilangsungkan di Jenewa. Akan tetapi pemerintah Belanda mengajukan berbagai persyaratan dalam perundingan tersebut. Pihak Belanda mengajukan syarat agar pemerintahan Indonesia membebaskan warga Negara Belanda yang bernama Van Krieken. Pihak Indonesia juga dituduh melakukan tindakan infiltrasi ke Irian Barat secara tidak sah. Pernyataan pemerintah Belanda ini jelas sangat mengada-ada. Tiada seorangpun secara obyektif dapat menuduh seorang sebagai infiltrastor yang memasuki wilayah tumpah darahnya sendiri. Perdana Menteri Burhanuddin Harahap tidak mengakui klaim sepihak yang dilakukan Belanda menciptakan perbatasan wilayah Indonesia dengan wilayah Irian Barat. Perdana Menteri Burhanuddin Harahap menilai pernyataan pemerintah Belanda tersebut hanya lelucon belaka. Selain itu Perdana Menteri Burhanuddin Harahap menilai perundingan yang akan digelar di Jenewa tidak akan menyinggung soal pengakuan kedaulatan wilayah Irian Barat ke pangkuan Indonesia. Pemerintah Belanda tetap mau melanjutkan perundingan

tetapi hanya mau membahas sebatas soal keuangan dan bukan hakekat masalah utama.19

Pemerintah Indonesia masih mengedepankan upaya diplomasi untuk mendapatkan Irian Barat, maka Van Krieken dibebaskan. Akan tetapi pembebasan ini dijadikan kesempatan goodwill untuk membuka perundingan dengan Belanda di Jenewa.20 Perundingan Indonesia-Belanda berlangsung di Jenewa pada tanggal 10 Desember 1955 s/d 11 Februari 1956. Perundingan ini membahas permasalahan tentang keinginan pemerintah Indonesia untuk membubarkan Uni Indonesia-Belanda. Keberadaannya ini sangat memberatkan Indonesia dalam bidang ekonomi dan keuangan sesuai kesepakatan Konferensi Meja Bundar. Kesepakatan sementara tentang pembubaran Uni berhasil disepakati, namun pada perkembangannya dimentahkan lagi oleh delegasi Belanda. Masalah Irian Barat mengalami jalan buntu. Akhirnya perundingan mengalami deadlock dan delegasi pemerintah Indonesia yang dipimpin oleh Menteri Luar Negeri Ida Anak Agung Gede mengalami kekecewaan.21

Pada tanggal 13 Februari 1956, pemerintah Indonesia secara sepihak mengumumkan pengunduran diri dari Uni Indonesia-Belanda. Langkah ini merupakan pelanggaran legalitas yang pertama kali dari pihak pemerintah Republik Indonesia terhadap Belanda sejak revolusi. Ketegasan dan keberanian pemerintah Indonesia dalam kebijakan politik luar negeri ini merupakan pukulan pertama terhadap Belanda. Tindakan yang dilakukan oleh

19

Baharuddin Lopa, op.cit, hlm. 61. 20

Ibid, hlm. 62 21

Perdana Menteri Burhanuddin Harahap ini ternyata menimbulkan pro dan kontra di dalam negeri. Pihak yang kontra menganggap bahwa tindakan pemerintah tidak mempunyai legalitas konstitusional yang tetap. Akan tetapi langkah politik ini merupakan tindakan pendobrak terhadap sikap politik pemerintah Belanda yang keras.22

4. Usaha diplomasi Kabinet Ali Sastroamijoyo II

Tak lama setelah kabinet Burhanuddin jatuh, Presiden Sukarno pada tanggal 8 Maret 1956 menunjuk formatur Ali Sastroamidjojo untuk membentuk Kabinet baru.23 Pada masa pemerintahannya yang kedua ini tetap memprioritaskan untuk menyelesaikan masalah Irian Barat. Langkah awal yang dilakukannya adalah memperjuangkan penerimaan oleh parlemen dan presiden agar menyetujui suatu undang-undang yang membatalkan keseluruhan persetujuan Konferensi Meja Bundar. Pada tanggal 3 Mei 1956, Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo II menyatakan bahwa pemerintah Indonesia tidak terikat lagi dengan perjanjian Konferensi Meja Bundar. Dasar kekuatan hukum kebijakan politik ini adalah UU No. 13 Tahun 1956.24

Adapun program pokok kabinet Ali II ialah:25 a. Pembatalan KMB

b. Perjuangan Irian Barat

22

Baharuddin Lopa, op.cit, hlm. 63. 23

Sartono Kartodirjo, dkk, op.cit, hal. 95 24 Idem.

25

c. Memulihkan keamanan dan ketertiban pembangunan ekonomi, keuangan industri, pertanian, perhubungan, pendidikan, pertahanan.

d. Melaksanakan keputusan Konferensi Asia Afrika (KAA)

Dengan demikian telah terjadi perubahan dasar perjuangan bangsa Indonesia untuk mendapatkan kembali Irian Barat. Pemerintah Indonesia menggunakan dasar perjanjian Konferensi Meja Bundar untuk menyelesaikan masalah Irian Barat telah berganti dengan menggunakan dasar kekuatan yang lebih tegas dan revolusioner yaitu: Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan Undang-Undang Dasar 1945. Keduanya menjadi dasar pokok perjuangan baik secara hukum dan politik bangsa Indonesia untuk mendapatkan Irian Barat ke pangkuan wilayah Indonesia.26

Dokumen terkait