• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Penyakit Jantung Koroner

2.2.5. Faktor Resiko

Faktor resiko dari penyakit jantung koroner dibagi menjadi 2, yaitu: 1. Faktor resiko utama

Faktor resiko utama adalah faktor resiko yang menurut banyak penelitian memberikan hasil yang bermakna dalam meningkatkan resiko dari penyakit jantung koroner, yang terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:

b) Faktor resiko utama yang tidak dapat dimodifikasi, terdiri dari : 1) Penambahan umur

Perubahan pada arteri koroner berkaitan erat dengan pertambahan umur (Deopujari & Dixit,2010). Hubungan umur dengan mortalitas dari penyakit jantung koroner membentuk grafik log linear sebagai akibat efek akumulasi dari kerusakan pembuluh darah yang lama dan kegagalan dalam mekanisme perbaikan (Vaidya, et al.,2011). Perubahan utama yang terjadi oleh penuaan adalah penebalan tunika intima disertai tunika media yang mengalami fibrosis. Ketebalan dari tunika intima yang diamati secara bertahap meningkat ketika dekade keempat dan kemudian menipis secara bertahap (Deopujari & Dixit,2010). Umur berperan penting dalam terjadinya penyakit jantung koroner karena dapat mempengaruhi faktor resiko lain, seperti tekanan darah tinggi, obesitas, dan kadar lemak. Berat badan yang merupakan faktor resiko yang dapat dimodifikasi meningkat pada umur dewasa tua. Gangguan dalam profil lemak, seperti nilai total kolesterol dan LDL meningkat disertai nilai HDL yang rendah, juga berhubungan dengan pertambahan umur (Ghosh,2010). Sekitar 82% orang meninggal akibat penyakit jantung koroner berumur di atas 65 tahun dan jumlah kasus pada umur antara 75 sampai 84 tahun akan menjadi 2 kali lipat pada 30 tahun kemudian (Odden, et al.,2011). Pada umur yang lebih tua, wanita yang mengalami serangan jantung menjadi lebih sering dari pria, kebanyakan dari wanita tersebut akan meninggal karena penyakit jantung koroner dalam beberapa

minggu (AHA,2013). Pada setiap umur, ditemukan juga perbedaan pada faktor resiko yang meningkatkan resiko penyakit jantung. Pada dewasa muda, faktor resiko yang berperan, yaitu stress dan serba kecukupan, sedangkan pada dewasa pertengahan, faktor resiko yang berperan bertambah lebih banyak, yaitu stress, merokok, aktivitas fisik yang kurang, obesitas, pria, dan pengangguran. Dan pada umur tua, faktor yang berperan dalam menyebabkan penyakit jantung bertambah lebih banyak lagi, yaitu stress, riwayat merokok, aktivitas fisik yang kurang, obesitas, laki-laki, pengangguran, kulit putih, dan kemiskinan (Wang & Wang,2013).

2) Jenis kelamin

Pria memunyai resiko lebih besar dari perempuan dan mendapat serangan lebih awal dalam kehidupannya dibandingkan wanita (NHBLI,2011). Itu dikarenakan kebanyakan faktor resikonya tidak mau diubah oleh pria, seperti merokok, alkohol, dan kadar HDL yang lebih rendah dari wanita (Krämer, et al,2012) dan sebelum menopause, estrogen memberikan perlindungan kepada wanita dari penyakit jantung koroner (NHBLI,2011). Setelah masa menopause, ketika angka kematian pada wanita akibat penyakit jantung koroner meningkat, itu tidak melebih angka kematian pada pria (AHA,2013). Berbeda dengan pria, wanita memunyai faktor resiko tambahan yang meningkatkan kejadian terjadinya penyakit jantung koroner, seperti sindrom ovarium polikistik, preeklampsia, menopause, penggunaan obat kontrasepsi oral, dan terapi hormonal (Tan, et al.,2009). Wanita dengan sindrom ovarium polikistik meningkatkan resiko terjadinya sindrom metabolik dan faktor resiko penyakit jantung koroner yang lain, seperti diabetes melitus tipe 2 (Shaw, et al.,2008 dalam Maas & Appleman,2010). Preeklampsia pada wanita yang ditandai dengan hipertensi (>140/90 mmHg) dan proteinuria (> 0,3g/24 jam) setelah masa

kehamilan 20 minggu juga beresiko 2 kali terkena penyakit jantung koroner dibandingkan wanita dengan normotensi selama masa kehamilan (Bellamy, et al.,2007 dalam Maas & Appleman,2010). Menopause yang awal pada seorang wanita akan meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner atau stroke sebesar 2 kali lipat dan meningkatkan resiko mortalitas akibat penyakit jantung koroner sebesar 1,5 sampai 2 kali lipat dibandingkan dengan wanita dengan waktu menopause yang normal (Wellons, et al.,2012). Wanita juga dapat hidup lebih lama dari pria dan memunyai kecenderungan ke salah faktor resiko utama dari penyakit jantung koroner, yaitu diabetes melitus dibandingkan pria (Lee, et al.,2013) dan hipertensi (Jamee,2013).

3) Genetik (termasuk ras)

Riwayat penyakit jantung koroner dini pada keluarga merupakan faktor resiko yang bebas, dan diduga ada variasi urutan DNA yang diturunkan yang berperan dalam resiko penyakit jantung. Studi asosiasi mengenai genom berhasil mengidentifikasi SNPs (single nucleotide polymorphism) pada 13 daerah genom yang berkaitan dengan penyakit jantung koroner, infark miokard, atau keduanya (Musunuru & Kathiresan,2010). Diperkirakan salah satu gen yang berperan dalam kejadian penyakit jantung koroner adalah gen Ch9p21 SNPs dan gen tersebut juga berperan dalam kejadian infark miokard (Angelakopoulou,2012). Anak dari orang tua dengan penyakit jantung akan lebih berpotensi terkena penyakit jantung (AHA,2013). Baik pria maupun perempuan yang memiliki paling sedikit satu orang tua yang memiliki penyakit jantung koroner beresiko 1,4 sampai 1,6 kali terkena penyakit jantung koroner dibandingkan dengan orang tanpa orang tua yang menderita penyakit jantung koroner (Sundquist,et al.,2011). Orang Amerika Afrika memunyai tekanan darah yang sangat tinggi dan parah dibandingkan orang Kaukasia serta berpeluang lebih tinggi

menderita pernyakit jantung. Itu dikarenakan mereka memiliki angka obesitas dan diabetes yang tinggi (AHA,2013).

c) Faktor resiko utama yang dapat dimodifikasi, terdiri darah :

1) Merokok

Rokok mengandung zat kimia, seperti nikotin, karbon monoksida, ammonia, formaldehida, tar, dan lain-lain. Bahan aktif utamanya adalah nikotin (efek akut) dan tars (efek kronis). Efek nikotin pada sistem kardiovaskuler adalah efek simpatomimetik, seperti menyebabkan takikardi, kontraksi ventrikuler di luar sistol, meningkatkan noradrenalin dalam plasma, tekanan darah, cardiac output, dan konsumsi oksigen sehingga menyebabkan penyempitan aterosklerotik, penempelan platelet, dan menurunkan HDL. LDL menjadi lebih mudah memasuki dinding arteri yang berperan dalam patogenesis penyakit jantung koroner (Yathish, et al.,2011). Merokok juga meningkatkan oksidasi dari LDL dan meningkatkan berbagai faktor resko lain, yaitu hiperlipidemia, hipertensi, dan diabetes melitus (Kelley,2009). Banyak efek merokok yang sinergis sehingga meningkatkan faktor resiko penyakit jantung, seperti trombosis, disfungsi endotel, aterosklerosis, gangguan hemodinamik, dan menyebabkan resistensi insulin (Prasad, et al.,2009). Merokok, bahkan beberapa batang per hari, akan meningkatkan resiko menderita penyakit jantung (HeartUK,2012). Merokok meningkatkan resiko penyakit jantung koroner sebanyak 2-4 kali dari yang tidak merokok. Orang yang merokok satu bungkus rokok tiap hari meningkatkan resiko serangan jantung sebesar 2 kali lipat dari yang belum pernah merokok (AHA,2013). Mereka yang merokok terus menerus memiliki resiko terkena penyakit jantung koroner 2,01 kali lipat bila kurang dari 10 tahun dan 5,12 kali lipat bila lebih dari 10 tahun (Ram & Trivedi,2012(a)). Mengisap rokok meningkatkan resiko penyakit jantung koroner lebih besar dibandingkan yang memakai pipa dan

cerutu (Yathish, et al.,2011). Wanita yang merokok memunyai resiko 25% lebih besar terkena penyakit jantung koroner dibandingkan dengan pria yang merokok bila bebas dari faktor resiko yang lain (Huxley & Woodward,2011).

2) Kadar lemak yang abnormal (kolesterol dan trigliserida)

Salah satu komponen lemak tubuh adalah kolesterol. Kolesterol sangat penting bagi sel yang sehat, tetapi bila tubuh mengakumulasikannya dalam jumlah banyak, kolesterol akan berdeposit ke dinding pembuluh darah yang akan menyebabkan kerusakan dan bisa menghambat aliran darah. Jika ini terjadi, resiko serangan jantung akan meningkat (HeartUK,2012). Kolesterol terdiri dari 2 bentuk utama, yaitu HDL (high density lipoprotein) yang berperan dalam membawa kadar lemak yang tinggi dalam jaringan ke hati untuk dimetabolisme dan dikeluarkan dari tubuh dan LDL yang berperan membawa kolesterol ke jaringan, termasuk arteri koroner. Nilai LDL yang tinggi dan HDL yang rendah berperan dalam peningkatan resiko penyakit jantung, terutama penyakit jantung koroner (NHLBI,2011). HDL memiliki fungsi yang sangat menarik termasuk aktivitas antiinflamasi, antioksidan (McGrowder, et al.,2011), antiapoptotik, dan antitrombotik (Ali, et al.,2012). Aktivitas dari antioksidan dan antiinflamasi yang tinggi dari HDL berhubungan dengan perlindungan tubuh terhadap penyakit kardiovaskuler (McGrowder, et al.,2011). Komponen LDL yang berperan sebagai faktor resiko yang penting adalah lipoprotein a (lp(a)). Mekanisme patogenesis lp(a) yang berlebihan meliputi peningkatan trombogenesis dan gangguan fibrolisis akibat berkompetisi dengan plasminogen, penghambatan transforming growth factor β, ketidakstabilan plak, peningkatan proliferasi dan migrasi otot polos, pembentukan trombus penyumbat, gangguan pembentukan pembuluh darah kolateral, peningkatan pengambilan oksidasi dan

retensi LDL, dan upregulation dari pengekspresian plasminogen activator inhibitor (PAI-I). Serum lp(a) didapati lebih rendah pada umur 20-30 tahun dan lebih tinggi pada umur 50-60 tahun (Sharma, et al.,2012). Hal lain yang berperan penting dari komponen LDL adalah lipoprotein-associated phospholipase A2 (Lp-PLA2), yaitu sebuah enzim yang diekspresikan oleh sel inflamasi pada plak aterosklerotik dan dibawa oleh sirkulasi dengan berikatan utamanya dengan LDL. Lp-PLA2 menghidrolisis fosfolipid yang teroksidasi menjadi produk proinflamasi yang berperan dalam disfungsi endotel, proses inflamasi pada plak, dan pembentukan inti nekrotik pada plak (Thompson, et al.,2010). Komponen yang lain adalah trigliserida. Bila dalam darah terdapat jumlah lemak yang berlebih, terutama trigliserida, biasanya akan berpasangan dengan kadar HDL yang rendah (HeartUK,2012). Rasio non-HDL kolesterol, trigliserida, dan total kolesterol dengan HDL kolesterol lebih berhubungan erat dengan resiko penyakit jantung koroner pada masa depan dibandingkan hanya LDL kolesterol. Di sini juga ditemukan pada kadar LDL dalam berbagai level, individu dengan salah satu rasio peningkatan level non-HDL kolesterol, atau peningkatan level trigliserida, atau dengan peningkatan total kolesterol dibandingkan dengan level HDL kolesterol juga berpeluang berkembang menjadi penyakit jantung koroner (Arsenault, et al.,2010).

3) Tekanan darah tinggi

Tekanan darah tinggi meningkatkan kerja jantung dan menyebabkan dinding jantung menjadi tebal dan kaku yang menyebabkan jantung tidak berkerja dengan baik. Ini meningkatkan resiko kejadian stroke, serangan jantung, gagal ginjal, dan penyakit jantung kongestif. Ketika tekanan darah tinggi ini bergabung dengan faktor resiko yang lain, akan meningkatkan (AHA,2013). Patofisiologi dari hipertensi menyebabkan penyakit

jantung koroner melalui 2 cara. Pertama, hipertensi menyebabkan kerusakan pada endotel yang akan menyebabkan senyawa vasodilator tidak dapat keluar dan membuat penumpukan okigen reaktif serta penumpukan faktor-faktor inflamasi yang mendukung perkembangan dari aterosklerosis, trombosis, dan penyumbatan pembuluh darah. Kedua, hipertensi menyebabkan peningkatan afterload yang menyebabkan hipertropi dari ventrikel kiri. Itu menyebabkan meningkatnya kebutuhan oksigen miokardium dan menurunnya aliran darah koroner. Semua hal di atas mendukung terjadinya penyakit jantung koroner, gagal jantung, stroke, dan kematian jantung tiba-tiba (Olafiranye, et al.,2011). Orang dengan hipertensi memiliki resiko lebih besar terkena penyakit jantung koroner sebesar 3 kali lipat dibandingkan yang normotensi. Hipertensi juga secara signifikant berkaitan dengan perkembangan penyakit jantung koroner (Ram & Trivedi,2012(b)). Pulse pressure (PP), tekanan sistol, tekanan diastol, dan mean arterial pressure (MAP) merupakan prediktor kuat dari gejala penyakit jantung pada seseorang dengan hipertensi dan penyakit jantung koroner (Bangalore, et al.,2009). Pada seseorang dengan hipertensi, terjadi penurunan tekanan diastol padahal suplai nutrisi dan oksigen terjadi fase diastol, sehingga terjadi penurunan perfusi dan membuat otot jantung rentang terkena iskemik. Penurunan diastol meningkatkan besar rentang pulse pressure (Nogueira,2013). Seseorang dengan tekanan darah diastol <70 mmHg dengan tekanan darah sistol ≥ 120 mmHg berkaitan dengan resiko penyakit jantung dimana rata-rata peningkatan sistolnya adalah 20 mmHg (Franklin & Wong,2013). Tekanan sistol sekarang lebih berperan sebagai parameter yang sangat penting dibandingkan dengan tekanan diastol. Penurunan tekanan sistol sebesar 5-6 mmHg menurunkan resiko penyakit jantung koroner sebesar 16% dan resiko stroke sebesar 38% (Bangalore, et al.,2009).

4) Aktivitas fisik yang kurang

Aktvitas fisik dibagi 2 jenis, yaitu aktivitas fisik pekerjaan yang kadang-kadang dapat merusak kesehatan dan aktivitas fisik pada waktu santai (misalnya olahraga) yang bermanfaat bagi kesehatan. Aktivitas fisik pekerjaan sedang dapat menurunkan resiko penyakit jantung, berbeda halnya dengan aktivitas fisik yang berat yang tidak memberikan efek protektif terhadap penyakit jantung (Lie & Siegrist,2012). Ada peran olahraga terhadap sistem hemodinamik yang mempengaruhi interaksi endotel pembuluh darah dan otot polos (Newcomer, et al.,2011) dimana meningkatkan fungsi dan perbaikan dari pembuluh darah dengan cara meningkatkan endothelial progenitor cell (EPC) (Lenk, et al.,2010). Aktivitas fisik yang kurang meningkatkan resiko penyakit jantung koroner sebesar 2 kali lipat dan dapat memperburuk faktor-faktor resiko yang lain, seperti tekanan darah tinggi, kadar kolesterol dan trigliserida yang tinggi, diabetes, dan berat badan yang berlebih (NHLBI,2011). Seseorang dengan aktivitas fisik sedang yang intensif selama 150 menit/minggu dan tambahan 300 menit/minggu akan menurunkan resiko penyakit jantung koroner sebesar 14% dibandigkan dengan orang yang tidak melakukan aktivitas fisik (Sattelmair, et al.,2011).

5) Berat badan berlebih (obesitas dan overweight)

Obesitas abdominal atau sentral, dapat diukur melalui lingkar pinggang, dipertimbangkan sebagai sebuah faktor resiko yang kuat, terlepas dari berat badan (Canoy, et al.,2007 dalam Rana, et al.,2011). Obesitas, khususnya obesitas sentral, menyebabkan berbagai hal. Salah satunya adalah menyebabkan peningkatan kadar insulin dan resistensi insulin (diabetes melitus) dimana insulin menyebabkan peningkatan sistem saraf simpatis dan mempengaruhi ginjal untuk meretensi garam sehingga terjadi peningkatan tekanan darah. Obesitas juga menyebabkan defisiensi

leptin dimana leptin berperan dalam mengatur rasa kenyang dan juga mengaktifkan sistem renin angiotensin aldosteron yang akan meningkatkan tekanan darah (Landsberg, et al.,2013). Obesitas berhubungan dengan inflamasi derajat rendah yang kronis itu dikarenakan berbagai substansi yang disekresikan oleh sel adiposa (sel lemak), seperti IL-1, IL-6, TNF-α, resistin, prostaglandin, angiotensinogen, endotelin, PAI-I, dan c-reactive protein (CRP) (Wang & Nakayama,2010). Pada orang obesitas, didapati kadar sirkulasi berbagai tanda-tanda inflamasi, seperti CRP, secretory phospholipase A2 (sPLA2), fibrinogen, dan adiponektin, berhubungan linear dengan aktivitas fisik yang kurang dan pertambahan lingkar pinggang (Rana, et al.,2011). Orang dengan kelebihan lemak tubuh, terutama di daerah pinggang, beresiko berkembang menjadi penyakit jantung dan stroke jika tidak memunyai faktor resiko yang lain bahkan memperparah faktor resiko yang sudah ada. Berat badan berlebih akan meningkatkan kerja jantung karena meningkatkan jumlah tahanan perifer total sehingga tekanan darah menjadi tinggi (NHLBI,2011) dan menyebabkan penebalan dinding ventrikel tanpa pelebaran ruangan ventrikel sehingga terjadi peningkatan massa pada ventrikel terutama ventrikel kiri (Artham, et al.,2009). Selain meningkatkan tekanan darah, obesitas dapat meningkatkan level kolesterol dan trigliserida, serta menurunkan HDL (NHLBI,2011). Peningkatan 10 kg berat badan akan meningkatkan tekanan sistol sebesar 3 mmHg dan tekanan diastol sebesar 2,5 mmHg (Artham, et

al.,2009) dan setiap peningkatan IMT sebesar 4 kg/m2

meningkatkan resiko terkena penyakit jantung iskemik sebesar 26% (Nordestgaard, et al.,2012). Dengan menurunkan berat badan sebesar 10%, akan menurunkan resiko penyakit jantung (NHLBI,2011).

6) Diabetes melitus

Kadar gula darah yang tinggi akan menyebabkan peningkatan pembentukan plak ateromatous pada arteri (NHLBI,2011). Hiperglikemi pada orang diabetes menyebabkan banyak perubahan pada biomolekuler tubuh, yaitu peningkatan reduksi nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) menjadi NADH yang belum terbukti sebagai stressor oksidatif seluler, peningkatan produksi uridine diphosphate (UDP) N-acetyl glucosamine yang diperkirakan mengubah fungsi enzimatik seluler, dan pembentukan advanced glycation end product (AGE) yang secara langsung menganggu fungsi sel endotel dan mempercepat aterosklerosis, serta peningkatan reactive oxygen species (ROS) yang menganggu produksi nitrit oksida endotel dan menipiskan plak aterosklerosis sehingga mudah ruptur (Chiha, et al.,2012). Itu menyebabkan kematian pasien dengan diabetes melitus sering disebabkan serangan sindrom koroner akut dibandingkan yang tidak memiliki diabetes melitus (Unachukwu & Ofori,2012). Yang lebih penting lagi, glikolisasi dari protein pada dinding arteri yang diperkirakan berkonstribusi dalam pembentukan aterosklerosis diabetik (Chiha, et al.,2012). Pada tikus pada uji eksperimental memperlihatkan hiperinsulinemia menstimulasi sintesis asam lemak dengan meningkatkan transkripsi gen enzim lipogenik di hati. Asam lemak tersebut memacu produksi dari very low density lipoprotein (VLDL) sehingga dikenal resistensi insulin (diabetes melitus tipe 2) menginduksi dislipidemia (Steinberger, et al., 2009). Diabetes melitus meningkatkan resiko morbilitas dan mortalitas berbagai penyakit kardiovaskuler. Diabetes dengan sindrom metabolik secara signifikan meningkatkan level trigliserida, rasio level trigliserida dibandingkan HDL, atherogenic index of plasma (AIP), tekanan darah, dan IMT (Kalidhas, et al.,2011). Diabetes secara serius meningkatkan resiko menjadi penyakit jantung sebesar 2 kali

lipat, terlepas dari faktor resiko lainnya (Sarwar, et al.,2010). Bahkan ketika kadar glukosa dalam darah dapat dikontrol, diabetes tetap akan meningkatkan resiko penyakit jantung dan stroke walaupun tidak separah yang tidak terkontrol kadar gula darahnya. Sekitar 65% orang yang terkena diabetes meninggal karena berbagai penyakit pada jantung dan pembuluh darah (AHA,2013). 2. Faktor resiko pendukung

Faktor resiko pendukung adalah faktor yang berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit jantung koroner, tetapi hasilnya tidak terlalu bermakna, terdiri dari:

1) Stres

Menurut Yayasan Jantung Inggris dalam Parswani, et al. (2013), peneliti mengindikasikan bahwa faktor psikologi, seperti stres, depresi, dan anxiety secara signifikan berkonstribusi dalam onset, gejala klinis, dan prognosis dari penyakit jantung koroner. Stres merupakan efek fisik dan emosi yang tidak diinginkan dimana dapat berefek pada jantung akibat perlepasan hormon-hormon tertentu yang meningkatkan tekanan darah dan dapat mendorong pembentukan clotting pada arteri. Yang termasuk pemicu stres termasuk isolasi sosial, stres pekerjaan, dan peristiwa akut atau kronik yang terjadi dalam kehidupan. Stres dan kecemasan bisa berperan dalam penyebab penyakit jantung koroner karena akan menyebabkan pembuluh darah arteri mengalami vasokonstriksi sehingga akan meningkatkan tekanan darah. Ini bisa menyebabkan peningkatan serangan jantung. Stres juga dapat menyebabkan seseorang makan makanan yang tinggi lemak dan gula berlebihan (NHLBI,2011). Beberapa peneliti menemukan hubungan antara resiko penyakit jantung koroner dan stres pada kehidupan seseorang, kebiasaan hidup sehat mereka, dan status sosioekonomi. Misalnya, ketika berada dalam keadaan stres, seseorang akan mulai merokok lebih dari yang mereka bisa (AHA,2013). Orang yang

mengalami stres berat beresiko terkena penyakit jantung koroner sebesar 1,27 kali dibanding yang mengalami stres ringan (Richardson, et al.,2012). Menurut penelitian Orth-Gomér, et al. (2009), wanita dengan penyakit jantung koroner yang menerima program berbasis grup untuk menurunkan stres didapati angka harapan hidupnya 3 kali lebih besar 3 kali lipat dibandingkan yang mendapat perawatan yang biasa.

2) Alkohol

Minum alkohol dalam jumlah sedang dapat menyebabkan penurunan resiko penyakit jantung (HeartUK,2012). Alkohol dengan dosis 15 g/hari untuk wanita dan dosis 30 g/hari secara signifikan bermanfaat meningkatkan meningkatkan level HDL, apolipoprotein A1, adiponektin, dan menurunkan level fibrinogen, tetapi tidak berefek pada level trigliserida (Brien,et al.,2010). Tetapi bila berlebihan, alkohol dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah sehingga menyebabkan gagal jantung dan memicu stroke (AHA,2013). Manfaat alkohol dalam menurunkan resiko penyakit jantung koroner hanya berlaku pada dewasa muda dan tidak bermanfaat bahkan merugikan pada dewasa pertengahan dan umur lebih tua (Hvidtfeldt, et al.,2010).

3) Diet dan Nutrisi yang tidak sehat

Diet yang sehat dapat menjadi senjata yang baik dalam melawan penyakit jantung (AHA,2013). Mengonsumsi daging yang telah diproses, bukan daging merah, berkaitan dengan insidensi yang lebih tinggi dari penyakit jantung koroner (Micha, et al.,2010). Untuk mencegah penyakit jantung koroner, asam lemak jenuh yang dikonsumsi sebaiknya diganti dengan asam lemak tidak jenuh rantai jamak daripada mengonsumsi asam lemak tidak jenuh rantai tunggal atau konsumsi karbohidrat (Jakobsen, et al.,2009) dan menghindari konsumsi makanan trans-fatty acid dan makanan tinggi indeks glikemiknya (Mente, et al.,2009). Makanan yang

dimakan akan dapat berefek pada faktor resiko yang dapat dimodifikasi, seperti kolesterol, tekanan darah, diabetes, dan obesitas. Diet yang tidak sehat, seperti tinggi gula, lemak, dan garam, akan menyebabkan peningkatan berat badan, tekanan darah, kadar lemak dalam tubuh, dan kadar gula darah sehingga meningkatkan resiko penyakit jantung koroner (NHLBI,2011).

Dokumen terkait