• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.2 Faktor Risiko Diabetes Mellitus

2.2.2. Faktor Risiko yang Bisa Dimodifikasi

a. Berat Badan Lebih (IMT ≥23 kg/m ²)

Berdasarkan Indeks Masa Tubuh (IMT) berat badan seseorang dibagi menjadi 3 kelompok yaitu normal, overweight (kelebihan berat badan) dan obesitas. Overweight dan obesitas merupakan sama-sama menunjukkan adanya penumpukan lemak yang berlebihan didalam tubuh, ditandai dengan peningkatan nilai masa indeks tubuh diatas normal, orang yang mengalami penumpukan lemak yang lebih banyak dalam jangka waktu yang lama akan menjadi risiko tinggi DM Indeks Massa Tubuh (IMT) dengan rumus:

Contoh : BB = 50 kg, TB = 160 cm, IMT = 50/(160/100)2

Tabel 2.4 Klasifikasi Nilai IMT (Indeks Masa Tubuh) Asia Fasifik

= 50/2,56 = 19,53 IMT Kategori < 18,5 BB Kurang 18.5-22.9 BB Normal ≥ 23,0 BB Lebih 23,0-24,9 Dengan Risiko 25,0-29,9 Obesitas 1 ≥ 30 Obesitas 2 Sumber : Perkeni, 2002 ���= �� (��) ��2 (�)

Penelitian Hartati (2004) pada penderita DM tipe 2 di RSUD Tugurejo Semarang menghasilkan tidak ada pengaruh IMT dengan kejadian DM tipe 2 dengan hasil p value > 0,005 sedangkan penelitian oleh National Health and Nutrition Examinations Surveys (NHANES) tahun 1992-2002 didapatkan 80% dari responden dengan IMT ≥ 18,5 kg/m² menderita DM dibanding dengan responden dengan IMT < 18,5 kg/m² (ADA, 2007). Diabetes Mellitus tipe 2 cenderung meningkat seiring dengan peningkatan lemak yang diukur dengan IMT, setiap peningkatan 1 kg berat badan meningkatkan risiko sebesar 4,5% untuk menderita DM tipe 2 (Webber, 2004).

Penelitian Kaban, dkk (2005) hubungan obesitas dengan DM diperoleh nilai p= (0,000) dengan nilai OR sebesar 4,6 yang artinya orang yang obesitas kemungkinan 4,6 kali menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan yang tidak.

b. Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik merupakan suatu kegiatan fisik yang dilakukan dengan teren cana, terstruktur, berulang dan tujuannya memperbaiki atau menjaga kesegaran jasmani, kesegaran jasmani berkaitan dengan kesehatan mengacu pada beberapa aspek fungsi fisiologi dan psikologis yang dipercaya memberikan perlindungan kepada seseorang dalam melawan beberapa tipe penyakit degeneratif seperti penyakitjantung koroner, obesitas dan kelainan muskuloskeletal (Ganlay. Sherman, 2000).

Penelitian yang dilakukan di USA pada 21.217 dokter US selama 5 tahun (kohort study) menemukan bahwa kasus DM tipe 2 lebih tinggi pada kelompok

yang melakukan aktivitas fisik kurang dari 1 kali perminggu dibanding dengan kelompok yang melakukan olah raga 5 kali seminggu. Penelitian lain yang dilakukan selama 8 tahun pada 87.535 perawat wanita yang melakukan olah raga ditemukan penurunan resiko penyakit DM tipe 2 sebesar 33%, (Soegondo dkk, 2009).

Aktivitas fisik (olah raga) sangat bermanfaat untuk meningkatkan sirkulasi darah, menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas terhadap insulin, sehingga akan memperbaiki kadar glukosa darah. Dengan kadar glukosa darah terkendali maka akan mencegah komplikasi kronik Diabetes Mellitus (Niemann, 1995).

Olahraga menyebabkan sel-sel otot dan organ hati menjadi lebih sensitif terhadap insulin, sebagai hasilnya dapat menyimpan dan menggunakan glukosa dengan lebih efektif, sehingga dapat menurunkan kadar glukosa, keadaan ini dapat berlanjut beberapa jam setelah melakukan olah raga.

Lamanya manfaat olah raga akan hilang bila berhenti 3 hari, hal ini menekankan pentingnya olah raga secara teratur dan berkesinambungan , agar benar-benar bermanfaat olahraga dilakukan 3-4 kali dalam seminggu, berkesinambungan dan dalam jangka waktu yang panjang (Suharto, 2004). Olahraga selama 30-40 menit dapat meningkatkan pemasukan glukosa kedalam sel sebesar 7-20 kali lipat dibandingkan tanpa olah raga, olah raga yang tepat untuk diabetes adalah jalan, jogging, renang, bersepeda, aerobik (Soewondo, 2006).

Hasil penelitian Wardani (2009), aktivitas fisik rendah memiliki resiko DM tipe 2 sebanyak 3,2 kali lebih besar dari yang melakukan aktivitas fisik yang baik.

c. Hipertensi (≥ 140/90 mmhg)

Tekanan darah adalah desakan darah terhadap dinding- dinding arteri ketika darah tersebut dipompa dari jantung kejaringan, tekanan darah merupakan gaya yang diberikan darah pada dinding pembuluh darah, tekanan ini paling tinggi ketika ventrikel berkontraksi (tekanan sistolik) dan paling rendah ketika ventrikel

berelaksasi (tekanan diastolik) (Hull, 1996).

Ketika jantung memompa darah melewati arteri, darah menekan dinding pembuluh darah, mereka yang menderita hipertensi mempunyai tinggi tekanan darah yang tidak normal, penyempitan pembuluh nadi atau aterosklerosis merupakan gejala awal yang umum terjadi pada hipertensi, karena arteri-arteri terhalang lempengan kolesterol dalam aterosklerosis, sirkulasi darah melewati pembuluh darah menjadi sulit, ketika arteri-arteri mengeras dan mengerut dalam aterosklerosis darah memaksa melewati jalan yang sempit, sebagai hasilnya tekanan darah menjadi tinggi (Hull, 1996).

Menurut JNC 7 (Joint National Commite) (2003) bila tekanan darah ≥ 140/90 mmhg dinyatakan sebagai hipertensi, hipertensi atau darah tinggi adalah keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan tekanan darah diatas normal atau kronis, hipertensi merupakan kelainan yang sulit diketahui oleh tubuh kita sendiri, satu-satunya cara untuk mengetahui hipertensi adalah dengan mengukur tekanan darah kita secara teratur.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati ( 2009) dengan kasus kontrol study, kontribusi hipertensi dengan terjadinya Diabetes Mellitus komplikasi stroke diperoleh hasil OR 8,574.

JNC (Joint National Commite) membuat kategori tekanan darah sebagai berikut.

Tabel 2.5 Klasifikasi Tekanan Darah pada Dewasa Menurut JNC (Joint National Commite) VII

Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah

Diastolik Sistolik < 120 mmhg Normal (dan) < 80 mmhg 120 -139 mmhg Pre-Hipertensi (atau) 80 – 89 mmhg 140 – 159 mmhg

Stadium Satu (atau) 90 – 99 mmhg

≥ 160 mmhg

Stadium Dua (atau) ≥ 100 mmhg

Sumber: JNC 2003

Belum ada penelitian yang mengatakan penyebab langsung terjadinya hipertensi terhadap DM namun masih merupakan faktor resiko yang berpotensi terhadap tingginya kasus DM, hipertensi sebagai faktor resiko DM artinya semakin tinggi angka hipertensi di suatu daerah maka semakin besar resiko untuk menjadi penderita DM di daerah tersebut, seorang yang memiliki hipertensi maka lebih beresiko dirinya mengalami DM dibanding orang yang tidak hipertensi, arti lainnya juga bahwa tidak semua penderita hipertensi akan menjadi penderita DM, belum ada teori yang benar-benar tegas menerangkan bagaimana hipertensi membuat seseorang menjadi DM karenanya hipertensi bukan faktor penyebab tetapi adalah faktor risiko.

Terjadinya hipertensi pada penderita DM dikaitkan dan hampir sama proses terjadi keduanya yaitu melalui suatu keadaan yang disebut sindroma metabolik satu penelitian memperoleh hasil dimana dari sejumlah total 427 pasien hipertensi yang diteliti, 46 persen diantaranya adalah pasien DM, pasien cenderung berusia lebih tua, indeks massa tubuh yang lebih tinggi dan hiperlipidemia, cenderung

Prevalensi hipertensi pada penderita Diabetes Mellitus secara keseluruhan

adalah 70 %, Pada laki laki 32 %, wanita 45 % pada masyarakat India Puma sebesar 49%, pada kulit putih sebanyak 37 % dan pada orang asia sebesar 35%, hal ini menggambarkan bahwa hipertensi pada DM akan sering ditemukan dibandingkan pada individu tanpa diabetes (Weir et al. 1999).

akan mengalami komplikasi kardiovaskular dan gagal ginjal, opname lebih lama di RS (Weber, 2009).

Penelitian Kaban dkk (2005) disain kasus kontrol dengan sebanyak 45 responden yang diteliti hasil yang didapatkan tidak ada hubungan hipertensi dengan kejadian DM dimana diperoleh nilai chi square nilai p = 0,073 (p> 0,05).

d. Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau Trigliserida > 250 mg/dl)

Merupakan suatu keadaan dimana kadar lemak dalam darah meningkat diatas batas normal, lemak yang mengalami peningkatan ini meliputi kolesterol, trigliserida salah satu partikel yang mengangkut lemak dari sekitar tubuh atau dapat keduanya , berbagai penelitian membuktikan bahwa keadaan dislipidemia dan hiperglikemia yang berlangsung lama merupakan faktor penting dalam terjadinya komplikasi PJK (Penyakit Jantung Koroner) pada DM

tipe 2, studi Finnish membuktikan bahwa peningkatan kadar trigliserid dan rendahnya kolesterol HDL (High Density Lypoprotein) merupakan faktor resiko PJK (Penyakit Jantung Koroner) pada DM tipe 2 (Neamann, 1995).

e. Diet tidak Sehat (Unhealhty Diet) Diet dengan Tinggi Gula dan Rendah Serat Merupakan Peningkatan Risiko Diabetes

Adanya serat memperlambat absorsi glukosa sehingga dapat ikut berperan mengatur gula darah dan memperlambat kenaikan gula darah, makanan yang cepat dirombak dan juga cepat diserap dapat meningkatkan kadar gula darah, sedangkan makanan yang lambat dirombak dan lambat diserap masuk ke aliran darah menurunkan gula darah (Soegondo dkk, 2009).

Adapun manfaat dari serat salah satunya membuat waktu pengosongan dilambung menjadi lebih lama, setelah konsumsi serat akan menyebabkan chyme yang berasal dari lambung berjalan lebih lambat ke usus , hal ini menyebabkan makanan lebih lama tertahan dilambung sehingga perasaan akan kenyang setelah makan juga panjang, keadaan ini juga memperlambat proses pencernaan karbohidarat dan lemak yang tertahan dilambung belum dapat dicerna sebelum masuk ke usus (Tala, 2009)

Hasil penelitian pada hewan percobaan maupun pada manusia mengungkapkan bahwa kenaikan kadar gula darah dapat ditekan jika karbohidrat dikonsumsi bersama serat makanan, hal ini sangat bermanfaat bagi penderita diabetes (Nyoman, 2009).

The American Cancer Society, The American Heart Association dan The American Diabetic Association menyarankan 25-35 g fiber/hari dari berbagai bahan makanan seperti sayur-sayuran dan buah-buahan. Konsensus nasional pengelolaan diabetes di Indonesia menyarankan 20 - 25 g/hari bagi orang yang berisiko menderita DM ( Soegondo dkk, 2009).

Food and Drug Aministration (FDA) Amerika Serikat membatasi konsumsi gula maksimal 10 sendok teh atau 40 gram per hari, Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) maksimal 12 sendok teh atau 48 gram perhari (Depkes, 2009).

Penelitian Hartati (2004) yang dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang menjelaskan ada pengaruh asupan serat makanan terhadap kadar gula darah DM tipe 2 dengan hasil nilai p value < 0,005, hasil penelitian Riskesdas (2007) faktor risiko DM yang makan buah dan sayur pada kelompok umur 25- 64 tahun responden terhadap terjadinya DM mempunyai nilai odd rasio 1,04 kali dari yang tidak makan buah dan sayur.

Penelitian Christina (2008) ada hubungan bermakna antara komsumsi serat dengan kejadian Obesitas, dimana orang yang mengkomsumsi serat < 25 gr/ hari mempunyai hubungan bermakna dengan nilai p 0,01. Ukuran saat mengukur sayuran adalah sudah matang tanpa kuah dalam keadaan basah, buah buahan dalam ukuran gram, kacang – kacangan diukur dalam ukuran gram dan sudah siap saji, untuk melihat daftar kandungan serat perseratus gram (sayur - sayuran, buah - buahan dan kacang - kacangan) dapat dilihat pada tabel dibawah:

Tabel 2.6 Daftar Kandungan Serat per 100 Gram Sayur-sayuran, Buah - bu ahan Serta Produk Olahannya

Sayuran Kandungan serat/100gr Buah-buahan Kandungan serat/100gr Kacang Kandungan serat/100gr

Bayam 0.8 Alpukat 1,4 Kedelai 4,9

Daun Pepaya 2,1 Anggur 1,7 Kacang tanah 2 Daun Singkong 1,2 Apel 0,7 Kacang Hijau 4,1

Kangkung 1 Belimbing 0,9 Kedelai 2,5

Seledri 0,7 Jagung 2,9 Kecap 0,6

Selada 0,6 Jambu Biji 5,6 Tahu 0,1

Tomat 1,2 Jeruk Bali 0,4 Susu

Kedelai

0,1

Paprika 1,4 Jeruk

Sitrum

2 Touge 0,7

Cabai 0,3 Mangga 0,4 Kacang

Panjang 3,2 Bawang Putih 1,1 Nenas 0,4 Tempe 1,4 Bawang Merah 0,6 Pepaya 0,7 Kentang 0,3 Pisang 0,6 Lobak 0,7 Semangka 0,5 Wortel 0,9 Sirsak 2 Brokoli 0,5 Srikaya 0,7 Kembang kol 0,9 Stroberry 6,5 Asparagus 0,6 Pear 0,3 Jamur 1,2 Terong 0,1 Sawi 2,0 Buncis 3,2 Nangka 1,4 Daun Kelor 1,4 Sumber: Depkes, 2005

Faktor lain yang mempengaruhi tingginya gula darah adalah Indeks Glikemik yaitu ukuran kecepatan makanan diserap menjadi gula darah, semakin tinggi indeks glikemik suatu makanan, semakin cepat dampaknya terhadap

kenaikan gula darah , Indeks glikemik di atas 70 termasuk tinggi, antara 56 sampai dengan 69 sedang dan 55 kebawah adalah rendah (Ostman, 2001).

Makanan yang sedikit atau tidak mengandung karbohidrat, seperti daging, keju, memiliki indeks glikemik mendekati nol.

Sebuah studi yang diterbitkan dalam American Journal of Clinical

Nutrition menyimpulkan bahwa makanan ber-indeks glikemik tinggi meningkatkan risiko terkena diabetes tipe 2. GI index adalah skala yang berfungsi untuk mengetahui apakah suatu makanan akan memberi pengaruh yang besar, menengah, atau kecil terhadap peningkatan kadar gula dalam darah, teori yang melatar belakangi dari program diet berbasis Glycaemic Index adalah makanan yang mengandung nilai GI rendah akan melepaskan gula ke dalam darah secaraperlahan, memberi, membuat perut merasa kenyang lebih lama, sehingga memperkecil mengemil (Kompas,2004)

Tabel 2.7 Daftar Indeks Glikemik Beberapa Makanan

No Jenis Makanan Indeks

1 Roti Gandum Putih 75 ± 2

2 Roti Gandum utuh 74 ± 2

3 Jagung Tortila 46 ± 4

4 Nasi Putih 73 ± 4

5 Nasi beras merah 68 ± 4

6 Jagung Manis 52 ± 5

7 Sphageti 49 ± 2

8 Bihun 53 ± 7

9 Keripik jagung 81 ± 6

10 Bubur gandum giling 55 ± 2

11 Bubur beras 78 ± 9

12 Pisang 43 ± 3

13 Mangga 59 ± 8

Sambungan Tabel 2.7 (Lanjutan) 15 Kurma 42 ± 4 16 Selai strawberry 49 ± 3 17 Jus apel 41 ± 2 18 Jus jeruk 50 ± 2 19 Kentang rebus 78 ± 4 20 Kentang goreng 63 ± 5 21 Wortel rebus 39 ± 4 22 Wortel 71 ± 1

23 Ubi jalar rebus 63 ± 6

24 Labu rebus 64 ± 7 25 Talas Rebus 53 ± 2 26 Susu lemak 39 ± 3 27 Susu skim 37 ± 4 28 Es krim 51 ± 3 29 Yogurt 41 ± 2 30 Susu kedelai 34 ± 4 31 Kacang merah 24 ± 4 32 Kacang kedelai 16 ± 1 33 Coklat 40 ± 3 34 Popcorn 65 ± 5 35 Keripik kentang 56 ± 3

36 soft drink/soda 59 ± 3

37 Kerupuk 87 ± 2

38 Madu 15 ± 4

Sumber:Ostman, 2001.

Selain GI dilihat juga Glycemic Load (GL) berbeda dengan GI, GL tidak hanya menilai seberapa cepat glukosa dari suatu makan memasuki peredaran darah tetapi juga menilai seberapa banyak glukosa yang terkandung dari makanan tersebut sehingga GL lebih menilai secara keseluruhan (the whole package), semakin rendah GL semakin kecil suatu makanan yang disajikan memicu peningkatan gula darah secara berlebih, berikut parameter dari GL: Tinggi GL 20 atau lebih, sedang GL 11-19 dan rendah GL 10 atau kurang (Ostman, 2001).

GL dapat dihitung dengan cara mengkalikan GI dengan jumlah karbohidrat yang terkandung dari suatu makanan lalu dibagi seratus, sebagai contoh kita ambil wortel, wortel sebanyak 50 gram memiliki kandungan 5,3 gram karbohidrat (telah diketahui di atas bahwa GI wortel adalah 71), jadi nilai GL nya adalah: (71 x 5.3):100 = 3,76 Jadi wortel yang dikatakan memiliki GI yang tinggi ternyata memiliki GL yang rendah (Thompson 2006).

Karbohidrat setiap gramnya menghasilkan 4 kalori, karbohidrat lebih banyak dikonsumsi sehari-hari sebagai bahan makanan pokok, satu porsi nasi setara dengan ¾ gelas atau 100 gram, 1 gram karbohidrat menghasilkan 4 kkal, kebutuhan kalori berbeda dilihat dari jenis kelamin dan usia, untuk wanita usia 40-45 tahun 2200 kkal, usia 46-59 tahun 2100 kkal, 60 tahun keatas 1850 kkal sedangkan untuk jenis kelamin pria usia 40-45 tahun 2800 kkal, usia 46-59 tahun 2500 kkal dan usia diatas 60 tahun 2200 kkal, sedangkan kebutuhan karbohidrat adalah 60-70% dari energi total (Almatsier, 2006).

Penelitian Nyoman (2009) di Tanaban Bali meneliti konsumsi karbohidrat mendapatkan hasil p value 0.000 menyatakan ada pengaruh bermakna konsumsi karbohidrat dengan kejadian DM tipe 2 dengan hasil OR 10,8.

2.3. Landasan Teori

Pendekatan akan timbulnya penyakit Diabetes Mellitus dilakukan dengan

menggunakan sarang laba-laba (The Web Caution) yang menjelaskan bahwa

Dokumen terkait