• Tidak ada hasil yang ditemukan

5.1. Faktor Risiko yang Bisa Dimodifikasi

Fakor risiko yang diteliti dalam penelitian ini adalah IMT, hipertensi, aktivitas fisik, karbohidrat dan serat.

5.1.1. IMT ≥ 23 kg/m²

Berdasarkan penelitian di RSU Hadrianus Sinaga Pangururan Samosir

bahwa yang mengalami Diabetes Mellitus karena IMT ≥ 23 kg/m² adalah 54 orang (78,3%) sedangkan orang yang tidak menderita DM tetapi memiliki IMT ≥ 23 kg/m² adalah 28 orang (40,6%). Hasil uji statistik menunjukkan nilai p adalah 0,000 dimana (p < 0,05 )yaitu ada pengaruh yang bermakna antara IMT ≥ 23 kg/m² terhadap Diabetes Mellitus. Nilai OR 5,2 ( 95%, CI: 2,49-11,2) hal ini berarti penderita DM tipe 2 kemungkinan IMT ≥ 23 kg/m² 5,2 kali lebih besar dibandingkan dengan kelompok kontrol.

Hasil ini tidak sesuai dengan penelitian Hartati (2004) yang dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang yaitu tidak ada pengaruh IMT dengan kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 , dengan hasil p value > 0,05.

IMT ≥ 23 kg/m² merupakan kelebihan lemak didalam tubuh, akibat dari kelebihan lemak orang masuk kriteria overweihgt (kelebihan berat badan) dan obesitas, keadaan inilah yang memungkinkan terjadinya resistensi insulin, dimana

insulin tidak mampu untuk mencukupi kelebihan lemak didalam tubuh, keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya DM tipe 2 ( Soegondo dkk, 2009).

Penelitian ini didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh National Health and NutritionsExamination Surveys ( NHANES) tahun 1992-2002 didapat kan 80 % dari responden dengan IMT > 18,5 kg/m² menderita DM (ADA, 2007).

Penelitian Kaban, dkk (2005) hubungan obesitas dengan DM diperoleh nilai p (0,000) dengan nilai OR sebesar 4,6 yang artinya orang yang obesitas kemungkinan 4,6 kali menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan orang yang tidak obesitas, Peningkatan IMT adalah membuat pertambahan jaringan lemak ditubuh, hal ini akan membuat pankreas akan bekerja lebih banyak untuk menghasilkan insulin yang akan diberikan bagi lemak yang bertambah, jika badan dalam keadaan berat badan normal, insulin yang dihasilkan pankreas dapat secara normal memberikan pada jaringan tubuh tanpa harus bekerja keras untuk menghasilkan tambahan insulin.

Peningkatan berat badan yang dilihat dari timbunan lemak diakibatkan oleh jumlah energi yang dikonsumsi melebihi energi yang dikeluarkan sehingga menimbulkan ketidakseimbangan energi yang dikeluarkan, keadaan ini akan mengakibatkan resistensi insulin yang berkembang menjadi DM tipe 2.

5.1.2. Hipertensi

Berdasarkan penelitian di Rumah Sakit Umum Hadrianus Sinaga Pangururan diketahui bahwa orang yang menderita hipertensi sebanyak 28 orang

(40,6%) yang menderita DM tipe 2 dan orang yang tidak menderita DM tipe 2 dengan hipertensi sebanyak 16 orang (23,2%).

Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,028 dimana < 0,05 hal ini menunjukkan ada pengaruh yang bermakna hipertensi terhadap DM tipe 2, hal ini tidak sesuai dengan penelitian Kaban dkk (2005) tidak ada hubungan hipertensi dengan kejadian DM tipe 2 dimana diperoleh nilai p= 0,073 (p > 0,05). Hasil OR 2,26 (95%, CI: 1,08-4,7) artinya penderita DM tipe 2 kemungkinan hipertensi 2,26 kali lebih besar dibandingkan kelompok kontrol.

Penelitian yang dilakukan oleh Rahmawati (2009) kontribusi orang yang hipertensi terhadap pasien DM komplikasi stroke diperoleh hasil OR 8,574

Belum ada penelitian yang mengatakan penyebab langsung terjadinya hipertensi terhadap DM namun masih merupakan faktor risiko yang berpotensi terhadap tingginya kasus DM,

artinya orang yang hipertensi 8,5 kali menderita DM komplikasi stroke.

5.1.3.

hipertensi sebagai faktor resiko DM .Penelitian ini didukung oleh Nyoman di Tabanan Bali, dimana orang yang hipertensi memiliki risiko DM tipe 2 sebesar 1,5-3 kali dibandingkan dengan orang yang tidak hipertensi.

Berdasarkan penelitian di Rumah Sakit Umum Hadrianus Sinaga Pangururan diketahui bahwa orang yang menderita DM tipe 2 dengan aktivitas fisik yang tidak baik sebanyak 55 orang (79,7%) dan orang yang tidak menderita DM tipe 2 dengan aktivitas fisik tidak baik sebanyak 43 orang (62,3%), hasil uji

statistikmenunjukkan nilai p value 0,024dimana < 0,05 hal ini menunjukkan ada pengaruh yang bermakna aktivitas fisik terhadap DM tipe 2. OR 2,37 (95% CI,: 1.1-5,06) hal ini berarti penderita DM tipe 2 kemungkinan hipertensi 2,3 kali dibandingkan kelompok kontrol.

Hasil penelitian ini sesuai dengan Kaban, dkk (2005) dimana aktivitas fisik diperoleh nilai p = 0,000 dimana > 0,05 menunjukkan ada pengaruh yang bermakna Aktivitas fisik terhadap DM tipe 2.

Penelitian ini juga didukung oleh Nyoman bahwa aktivitas fisik berpengaruh terhadap terjadinya DM diperoleh nilai p = 0,000 dimana > 0,05 menunjukkan ada pengaruh yang bermakna Aktivitas fisik terhadap DM tipe 2.

Olahraga menyebabkan sel-sel otot dan organ hati menjadi lebih sensitif terhadap insulin, sebagai hasilnya dapat menyimpan dan menggunakan glukosa dengan lebih efektif sehingga dapat menurunkan kadar glukosa, keadaan ini dapat berlanjut beberapa jam setelah olahraga, manfaat olahraga akan hilang apabila berhenti dalam 3 hari, hal ini menekankan pentingnya olahraga secara teratur dan berkesinambungan dan dalam jangka waktu yang panjang ( Suharto, 2004).

Jenis olahraga yang paling banyak dilakukan di Samosir adalah dengan jalan kaki yaitu sebanyak 54 (78,3%) pada kelompok kasus dan 65 (59,5%) pada kelompok kontrol. Olahraga tidak dilihat dari aktivitas fisik yang dilakukan sehari-hari tetapi kegiatan yang dilakukan dengan terencana, terstruktur, berulang dan bertujuan untuk memperbaiki atau menjaga kesegaran jasmani, olahraga selama 30-40 menit dapat meningkatkan pemasukan glukosa kedalam sel sebesar

7-20 kali lipat dibandingkan dengan tanpa olah raga, olahraga yang tepat untuk diabetes adalah jalan, jogging, renang, sepeda, aerobik (Soewondo, 2006).

Olahraga tidak saja untuk mengurangi berat badan tetapi juga membakar lemak dalam tubuh, dengan berkurangnya berat badan atau lemak dalam tubuh, insulin akan cukup terbagi keseluruh sel yang ada ditubuh.

5.1.4. Karbohidrat

Berdasarkan penelitian di Rumah Sakit Umum Hadrianus Sinaga Pangururan diketahui bahwa orang yang menderita DM tipe 2 dengan karbohidrat yang tidak baik sebanyak 58 orang (81,4%) dan orang yang tidak menderita DM tipe 2 dengan karbohidrat tidak baik sebanyak 44 orang (63,8%). Hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,007 dimana p value < 0,05 hal ini menunjukkan ada pengaruh yang bermakna Karbohidrat terhadap DM tipe 2. OR 2,9 (95% , CI : 1,3 -6,7) artinya Penderita DM tipe 2 kemungkinan karbohidrat tidak baik 2,9 kali dibandingkan kelompok kontrol

Penelitian ini didukung oleh Nyoman yang dilakukan di Tanaban Bali meneliti konsumsi karbohidrat mendapatkan hasil p value 0.000 dimana p value < 0,05 yang menyatakan ada hubungan bermakna konsumsi karbohidrat dengan DM tipe 2, nilai OR 10,28 dimana orang yang mengkonsumsi karbohidrat tinggi mempunyai faktor risiko 10,8 kali menderita DM tipe 2 (Nyoman, 2009).

Penelitian yang dilakukan sebelumnya mendukung bahwa diet karbohidrat tinggi disertai dengan rendahnya asupan serat dapat meningkatkan risiko 2,43 kali menderita Diabetes Mellitus tipe 2 (Gross at all, 2004).

Karbohidrat atau hidrat arang adalah suatu zat gizi yang fungsi utamanya sebagai penghasil energi, dimana setiap gramnya menghasilkan 4 kalori,walaupun lemak menghasilkan energi lebih besar, namun karbohidrat lebih banyak di konsumsi sehari-hari sebagai bahan makanan pokok, terutama pada negara sedang berkembang sekitar 70-80% dari total kalori, bahkan pada daerah-daerah miskin bisa mencapai 90% sedangkan pada negara maju karbohidrat dikonsumsi hanya sekitar 40-60%, hal ini disebabkan sumber bahan makanan yang mengandung karbohidrat lebih murah harganya dibandingkan sumber bahan makanan kaya lemak maupun protein (Supariasa, 2001).

Karbohidrat dapat dimetabolisme menjadi glukosa dalam waktu yang singkat kedalam darah dibanding dengan serat dan lemak, sehingga karbohidrat sangat berperan dalm meningkatkan kadar gula darah dan menjadi faktor risiko DM tipe 2, secara umum dinegara berkembang makanan pokok adalah nasi dalam mengkonsumsi nasi orang bisa satu kali makan satu atau dua piring, sehingga dengan satu atau dua piring satu kali makan jika dikalikan satu hari bisa sampai 4- 6 piring, sehingga karbohidrat dikatakan sebagai penyumbang DM tipe 2.

Adapun jenis karbohidrat yang mudah didapat di Samosir adalah beras, hal ini didukung oleh hasil wawancara peneliti dengan responden, dimana 138 responden kasus dan kontrol makanan pokoknya adalah nasi, selain nasi sumber karbohidrat kedua yang dikomsumsi oleh responden adalah gula, hasil distribusi frekuensi dari 138 responden 55 (39,8%) mengkonsumsi gula dengan mencampurkan gula kedalam minuman kopi dan teh.

5.1.5. Serat

Berdasarkan penelitian di Rumah Sakit Umum Hadrianus Sinaga Pangururan diketahui bahwa orang yang menderita DM tipe 2 dengan konsumsi yang tidak baik sebanyak 68 orang (98,6%) dan orang yang tidak menderita DM tipe 2 dengan serat tidak baik sebanyak 60 orang (87,0%), hasil uji statistik menunjukkan nilai p value 0,009 dimana p value < 0,05 hal ini menunjukkan ada pengaruh yang bermakna serat terhadap DM tipe 2. OR 10,2 (95% CI : 1,2 -82) artinya penderita DM tipe 2 kemungkinan serat tidak baik 10,2 kali dibandingkan kelompok kontrol.

Penelitian ini didukung oleh Hartati (2004) yang dilakukan di RSUD Tugurejo Semarang menjelaskan ada pengaruh asupan serat makanan terhadap kadar gula darah DM tipe 2 dengan hasil nilai p value < 0,005.

Penelitian Riskesdas (2007) faktor risiko DM yang makan buah dan sayur pada kelompok umur 25- 64 tahun responden terhadap terjadinya DM mempunyai nilai odd rasio 1,04 kali dari yang tidak makan buah dan sayur, dalam hal ini tidak dijelaskan sumber serat dari kacang-kacangan seperti kacang hiijau, kacang kedelai.

Penelitian Christina (2008) ada hubungan bermakna antara komsumsi serat dengan kejadian Obesitas, dimana orang yang mengkomsumsi serat < 25 gr/ hari mempunyai hubungan bermakna dengan nilai p 0,01.

Adapun manfaat serat salah satunya adalah membuat waktu pengosongan dilambung menjadi lebih lama, setelah komsumsi serat akan menyebabkan Chyme

yang berasal dari lambung berjalan lebih lambat keusus, hal ini menyebabkan makanan lebih lama dilambung sehingga perasaan kenyang setelah makan juga panjang, karbohidrat dan lemak yang tertahan dilambung belum dapat dicerna sebelum masuk keusus (Tala, 2009).

Serat sangat baik untuk mengurangi faktor risiko Dibetes Mellitus tipe 2 serat lama dicerna oleh usus sehingga menimbulkan rasa kenyang dan tidak menimbulkan rasa lapar dibandingkan dengan jenis makanan lemak dan protein , dengan serat makanan lambat diserap dan dirombak masuk kealiran darah untuk menurunkan kadar gula darah.

Hasil distribusi frekuensi jenis serat yang didapat melalui hasil wawancara dengan responden dapat dijelaskan bahwa yang terbanyak memakan jenis serat buah buahan adalah buah pisang sebanyak 23 responden (16,6%). Jenis serat sayuran yang terbanyak memakan jenis sayur daun ubi yaitu sebanyak 38 responden (27,5%) dan sumber serat kacang adalah kacang panjang 13 responden (9,4%).

Untuk mendapatkan hasil serat yang memenuhi jumlah serat (20 g/hari) sebaiknya memakan sumber serat kacang-kacangan karena mengandung serat yang tinggi, dapat dilihat perbedaan jika mengkonsumsi serat sumber daun ubi dalam 100 gram hanya mengandung 1 gr serat tetapi jika memakan kacang kedelai dalam 100 gram mengandung 4,9 gram serat atau kacang panjang setiap 100 gramnya mengandung 3,2 gr serat.

5.2. Faktor yang Paling Dominan Berpengaruh terhadap Kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2.

Dengan menggunakan uji regresi logistik diketahui dari beberapa faktor yang diteliti, faktor risiko yang paling dominan berpengaruh terhadap Diabetes Mellitus tipe 2 adalah IMT ≥ 23 kg/m² dengan nilai p = 0,000, Kekuatan hubungan dari yang terbesar keterkecil adalah IMT ≥ 23 kg/m² 5,815dan karbohidrat 4,709 .

Berdasarkan Indek Masa Tubuh apabila berat badan seseorang masuk dalam kriteria overweight (kelebihan berat badan) dan obesitas merupakan sama- sama menunjukkan adanya penumpukan lemak yang berlebihan didalam tubuh, Diabetes Mellitus tipe 2 cenderung meningkat seiring dengan peningkatan lemak yang diukur berdasarkan IMT, setiap peningkatan 1 kg berat badan meningkatkan risiko sebesar 4,5% untuk menderita Diabetes Mellitus tipe 2 (Webber, 2004).

IMT berlebih diakibatkan oleh kurangnya aktivitas yang dilakukan sedangkan jumlah makanan yang dimakan melebihi kebutuhan seseorang berdasarkan usia dan jenis kelamin.

Penelitian yang dilakukan sebelumnya mendukung bahwa IMT berlebih mempunyai pengaruh terhadap DM tipe 2 adalah penelitian yang dilakukan di Bali diperoleh hasil penelitian berat badan berlebih mempunyai risiko terhadap DM tipe 2 sebesar p = 0,01 dengan nilai OR 2,175-3,303.

Hasil Penelitian Kaban dkk (2005) di Sibolga Sumatera Utara bahwa pengaruh obesitas terhadap Diabetes Mellitus tipe 2 diperoleh hasil p = 0,000 dengan nilai OR 4.5.

5.3. Keterbatasan Penelitian

Dengan mempertimbangkan luasnya penelitianmaka keterbatasan peneliti disini adalah sebagai berikut:

5.3.1 Jenis Penelitian ini adalah disain kasus kontrol yang meneliti terjadinya suatu penyakit setelah responden mengalami sakit, kemudian meneliti penyebab atau faktor risikonya, dalam penelitian ini tidak diketahui berapa kali terjadi antara paparan dan akibat dan penelitian disini untuk menunjukkan adanya pengaruh.

5.3.2 Salah satu kelemahan kasus kontrol adalah keterbatasan dalam mengingat yang berhubungan dengan sakit dimasa lalu ( Recall Bias) upaya yang dilakukan dalam mengatasi hal ini adalah dengan mengambil kasus adalah kasus baru dan recall pertanyaan yang dilakukan adalah 1 kali 24 jam untuk makanan, aktivitas yang ditanya adalah aktivitas yang dilakukan selama recall 1 minggu.

5.3.3 Dalam ilmu pengetahuan peneliti lebih mendalami dengan membaca buku yang berhubungan dengan Diabetes Mellitus, jurnal penelitian, diskusi kelompok, diskusi dengan pembimbing.

Dokumen terkait