• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.6 Faktor Risiko Diabetes Mellitus

2.6.2 Faktor Risiko yang dapat dimodifikasi

2.6.2 Faktor Risiko yang dapat dimodifikasi

Faktor risiko yang dapat di modifikasi (Modifiable risk factor) artinya faktor risiko ini akan bisa di hindari dengan memodifikasi atau di siasati dengan tindakan tertentu sehingga faktor risiko itu menjadi tidak ada lagi. Faktor risiko yang bisa di modifikasi :

1) Obesitas (IMT lebih dari 25kg/m2)

Obesitas adalah ketidakseimbangan antara konsumsi kalori dengan kebutuhan energi yang disimpan dalam bentuk lemak (jaringan subkutan tirai usus, organ vital jantung, paru-paru, dan hati). Obesitas juga didefinisikan sebagai kelebihan berat badan (Gusti & Erna, 2014). Indeks masa tubuh orang dewasa normalnya ialah antara 18,5-25 kg/m2

. JIka lebih dari 25 kg/m2 maka dapat dikatakan seseorang tersebut mengalami obesitas.

Sebuah penelitian dilakukan oleh Shara dan Soedijono pada tahun 2012 untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian Diabetes Mellitus Tipe 2 di Puskesmas Kecamatan Cengkareng, Jakarta Barat. Dengan disai studi cross sectional didapatkan bahwa usia, riwayat keluarga, aktfivitas fisik, tekanan darah, stres dan kadar kolestrol berhubungan dengan kejaidan DM Tipe 2. Variabel yang sangat memiliki

28

hubungan dengan kejadian DM Tipe 2 adalah Indekx Massa Tubuh.

Pada pasien Diabetes tipe 2, pankreas yang memproduksi insulin sebagian rusak. Sehingga insulin tidak dapat dihasilkan dalam jumlah yang cukup. Kegemukan melambangkan seperti seakan-akan lubang kunci pada sel-sel berubah bentuk sehingga diperlukan lebih banyak insulin. Namun peningkatan kebutuhan insulin tersebut tidak dapat dipenuhi. Sebagai akibatnya, konsentrasi glukosa darah menjadi tinggi (Soegondo, 2008).

Ambilan (uptake) glukosa oleh sel yang meliputi sel otak, sel darah merah, sel mukosa usus, tubulus renalis, dan plasenta. Di bawah pengaruh insulin, sel-sel tersebut menggunakan glukosa sebagai bahan bakar dan bukan lemak atau protein. Efek samping utama yang ditimbulkan oleh insulin adalh hipoglikemia. Pada saat melakukan aktivitas fisik atau latihan fisik, akan terjadi mekanisme lain yang digunakan oleh otot yang sedang melakukan exercise (latihan fisik) untuk mengambil glukosa tanpa bergantung pada insulin (Jordan, 2002).

2) Obesitas abdominal

Kelebihan lemak di sekitar otot perut berkaitan dengan gangguan metabolik, sehingga mengukur lingkar perut merupakan salah

29

satu cara untuk mengukur lemak perut (Balkau, 2014). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Trisnawati dkk pada tahun 2013 di Puskesmas Kecamatan Denpasar Selatan menunjukkan bahwa orang yang mengalami obesitas abdominal (Lingkar perut pria >90 cm dan wanita >80 cm) berisiko 5,19 kali menderita Diabetes Mellitus Tipe 2 (95% CI 2,31-11,68).Hal ini dapat dijelaskan bahwa obesitas sentral khususnya di perut yang digambarkan oleh lingkar pinggang lebih sensitif dalam memprediksi gangguanm akibat resistensi insulin pada DM tipe 2 (Trisnawati dkk, 2013).

Pada orang yang obes, terjadi peningkatan pelepasan asam lemak bebas (Free Fatty Acid/FFA) dari lemak visceral (lemak pada rongga perut) yang lebih resisten terhadap efek metabolik insulin dan lebih sensitif terhadap hormon lipolitik. Peningkatan FFA menyebabkan hambatan kerja insulin sehingga terjadi kegagalan uptake glukosa ke dalam sel yang memicu peningkatan produksi glukosa hepatik melalui proses glukoneosis (Kemenkes RI, 2008).

Peningkatan jumlah lemak abdominal mempunyai korelasi positif dengan hiperinsulin dan berkorelasi negatif dengan sensitivitas insulin (Kemenkes RI, 2008). Itulah sebabnya mengapa obesitas abdominal menjadi berisiko terhadap kejadian

30

Diabetes Mellitus. Untuk megukur obesitas abdominal ialah dengan cara mengukur lingkar perutnya. Obesitas abdominal ialah jika lingkar perut pada laki-laki >90 cm, sedangkan pada wanita >80 cm.

3) Kurangnya aktifitas Fisik

Kurang aktivitas fisik dan obesitas merupakan faktor yang paling penting dalam peningkatan kejadian Diebets Mellitus tipe 2 di seluruh dunia (Rios, 2010). Menurut WHO yang dimaksud dengan aktifitas fisik adalah kegiatan paling sedikit 10 menit tanpa henti dengan melakukan kegiatan fisik ringan, sedang dan berat. Aktifitas berat adalah pergerakan tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga cukup banyak (pembakaran kalori) sehingga nafas jauh lebih cepat dari biasanya. Contohnya mengangkat air, mendaki, berjalan cepat, mengangkat beban, tenis tunggal, badminton tunggal, marathon, mencangkul dan menebang pohon. Aktivitas sedang adalah pergerakan tubuh yang menyebabkan pengeluaran tenaga cukup besar atau dengan kata lain adalah bergerak yang menyebabkan nafas lebih sedikit lebih cepat dari biasanya. Contohnya pekerjaan rumah tangga (mencuci baju dengan tangan, mengepel, menimba air), tenis ganda, badminton ganda, berenang dan berjalan membawa beban. Sedangkan contoh aktifitas ringan adalah berjalan dan

31

pekerjaan kantor seperti mengetik. Dengan kata lain, aktivitas fisik adalah setiap gerakan tubuh yang meningkatkan pengeluaran tenaga/energi dan pembakaran energi. Aktivitas fisik dikategorikan cukup apabila seseorang melakukan latihan fisik atau olah raga selama 30 menit setiap hari atau minimal 3-5 hari dalam seminggu (Kemenkes RI, 2011).

Latihan olah raga secara teratur dapat membantu meningkatkan sensitivitas tubuh terhadap insulin, yang membantu menjaga kadar gula darah dalam kisaran normal. Menurut sebuah penelitian yang dilakukan pada pria yang diikuti selama 10 tahun, untuk setiap 500 kkal yang dibakar per minggu melalui latihan, ada penurunan 6% risiko relatif untuk pengembangan Diabetes. Penelitian itu juga mencatat manfaat yang lebih besar pada pria yang lebih gemuk. Penggolongan aktivitas fisik menurut WHO yang sesuai dengan pengendalian faktor risiko DM adalah dengan melakukan latihan fisik sedang sampai berat selama 30 menit atau lebih secara terus menerus dan dilakukan seminggu tiga kali merupakan aktivitas fisik yang dapat meningkatkan kebugaran jasmani (Kemenkes RI, 2008).

Kegiatan fisik dan olahraga teratur sangatlah penting selain untuk menghidari kegemukan, juga untuk mencegah terjadinya diabete Mellitus tipe 2. Pada waktu bergerak, otot-otot memakai

32

lebih banyak glukosa daripada pada waktu tidak bergerak. Dengan demikian kosentrasi glukosa darah akan turun. Melalui olahraga/kegiatan jasmani, insulin akan bekerja lebih baik, sehingga glukosa dapat masuk ke dalam sel-sel otot untuk dibakar (Soegondo, 2008).

Hasil penelitian Fitriyani di Kota Cilegon padatahun 2012 menunjukkan bahwa orang yang aktivitas sehari-harinya ringan memiliki risiko 2,68 kali untuk menderita DM tipe 2 dibandingkan dengan orang yang aktivitas fisik sehari-harinya sedang dan berat.

4) Hipertensi (lebih dari 140/90 mmHg)

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik yang tingginya tergantung usia individu yang terkena. Tekanan darah berfluktuasi dalam batas-batas tertentu, tergantung posisi tubuh, usiadan tingkat stres yang di alami. Hipertensi dengan peningkatan tekanan sistol tanpa disertai eningkatan diastol lebih sering terjadi pada lansia, sedangkan hipertensi peningkatan tekanan diastol tanpa disertai peningkatan tekanan sistol lebih sering terdapat pada dewasa muda. (Tambayong, 1999).

33

Tabel 2.6.1

Hipertensi Menurut Kelompok Usia

Keompok Usia Normal (mm Hg) Hipertensi (mm Hg)

Bayi 80/40 90/60 Anak 7-11 tahun 100/60 120/80 Remaja 12-17 tahun 115/70 130/80 Dewasa 20-45 tahun 45-65 tahun >65 tahun 120-125/75-80 135-140/85 159/85 135/90 140/90-160/95 160/95 Sumber: (Tambayong, 1999)

Hubungan antara hipertensi dengan Diabetes Mellitus sangat kuat karena beberapa kriteria yang sering ada pada pasien hipertensi yaitu peningkatan tekanan darah, obesitas, dislipidemia dan peningkatan glukosa darah . Hipertensi adalah suatu faktor resiko yang utama untuk penyakit kardiovaskular dan komplikasi mikrovaskular seperti nefropati dan retinopati. Prevalensi populasi hipertensi pada Diabetes adalah 1,5-3 kali lebih tinggi daripada kelompok pada non Diabetes. Diagnosis dan terapi hipertensi sangat penting untuk mencegah penyakit kardiovaskular pada individu dengan Diabetes. Pada Diabetes tipe 1, adanya hipertensi sering diindikasikan adanya Diabetes nefropati.

34

Selain menjadi faktor risiko Diabetes Mellitus tipe 2, hipertensi juga merupakan kondisi umum yang biasanya berdampingan dengan DM dan memperburuk komplikasi DM dan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular (Mangesha, 2007). Berdasarkan penelitian kohort yang dilakukan oleh David Conen dkk (2007) pada wanita yang sehat menunjukkan bahwa tekanan darah tinggi (selama 10 tahun masa pengamatan) bisa berkembang menjadi Diabetes Mellitus tipe 2. Disimpulkan bahwa wanita yang memiliki tekanan darah tinggi memiliki risiko yang tinggi terkena Diabetes Mellitus tipe 2 dibandingkan dengan wanita yang tekanan darahnya normal.

Disfungsi endotel bisa menjadi salah satu patofisiologi umum yang menjelaskan hubungan kuat antara tekanan darah dan Kejadian Diabetes Mellitus tipe 2. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa penanda disfungsi endotel berhubungan dengan omset Diabetes dan disfungsi endotel berkaitan erat dengan tekanan darah dan hipertensi (Conen dkk, 2007).

Beberapa literatur mengaitkan hipertensi dengan resistensi insulin. Pengaruh hipertensi terhadap kejadian Diabetes melitus disebabkan oleh penebalan pembuluh darah arteri yang menyebabkan diameter pembuluh darah menjadi menyempit. Hal ini akan menyebabkan proses pengangkutan glukosa dari dalam

35

darah menjadi terganggu. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wiardani dkk tahun 2010, membuktikan bahwa orang yang hipertensi berisiko 2,3 kali untuk terkena Diabetes Mellitus tipe 2.

5) Dislipidemia(HDL < 35mg/dl dan atau trigliserida >250mg/dl)

Dislipidemia adalah suatu perubahan kadar normal komponen lipid darah, dapat meningkat (misalnya kolesterol, trigliserid, LDL dan lainnya) atau menurun (misalnya HDL) (Tapan, 2005).

Dislipidemia merupakan salah satu faktor risiko utama aterosklerosis dan penyakit jantung koroner. Dislipidemia adalah salah satu komponen dalam trias sindrom metabolik selain Diabetes dan hipertensi (Pramono, 2009).

6) Pola Konsumsi tidak sehat (unhealthy diet)

Pemberian makanan yang sebaik-baiknya harus memperhatikan kemampuan tubuh seseorang untuk mencerna makanan, usia, jenis kelamin, jenis aktivitas, dan kondisi tertentu seperti sakit, hamil, menyusui. Untuk hidup dan meningkatkan kualitas hidup, setiap orang memerlukan 5 kelompok zat gizi (karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral) dalam jumlah yang cukup, tidak berlebihan dan tidak juga kekurangan. Di samping itu,

36

manusia memerlukan air dan serat untuk memperlancar berbagai proses faali dalam tubuh (Kemenkes RI, 2002).

Peningkatan asupan buah-buahan dan sayuran telah disahkan sebagai kebijakan kesehatan masyarakat untuk indikator pola hidup sehat. Pengurangan asupan lemak dan peningkatan serat telah dilihat sebagai alasan umumuntuk peningkatan konsumsi buah dan sayuran. Peningkatan asupan serat dapat memperbaiki kontrol glikemik pada Diabetes (Jenkins, 2003).

Diet sehat yang berkaitan dengan penyakit Diabetes adalah konsumsi sayur dan buah sebagai asupan serat untuk membantu metabolisme. Sedangkan konsumsi gula atau makanan yang terlalu manis dengan jumlah yang sangat berlebihan dapat menimbulkan risiko Diabetes Mellitus. Penelitian yang dilakukan oleh Sufiati dan Erma pada tahun 2012, membuktikan bahwa asupan serat berhubungan erat dengan kadar gula darah, kolesterol total dan status gizi pada penderita Diabetes Mellitus.

Serat pangan adalah salah satu faktor yang mempengaruhi glukosa post-prandial dan respon insulin. Efek dari berbagai komponen serat makanan berperan dalam pencegahan dan manajemen dari berbagai penyakit, termasuk Diabetes tipe 2, sejak tahun tujuh puluhan. Serat bisa meningkatkan sensitivitas insulin. Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa asupan

37

serat makanan yang relatif rendah secara signifikan meningkatkan risiko Diabetes Mellitus tipe 2 (Steyn, 2004).

Hanya karbohidrat yang akan mengakibatkan glukosa darah meningkat. Karbohidrat sendiri terdiri dari karbohidrat kompleks dan sederhana. Karbohidrat kompleks misalnya terdapat dalam nasi, kentang, mie, ubi. Sedangkan contoh karbohidrat sederhana seperti gula pasir, glukosa, maltose, dan laktosa. Karbohidrat kompleks diubah dalam usus melalui proses pencernaan menjadi bagian lebih kecil seperti glukosa. Kedua macam karbohidrat ini mempunyai dampak yang sama terhadap konsentrasi glukosa dalam darah (Soegondo, 2008).

Penyakit kronik seperti Diabetes Mellitus tipe 2 muncul sebagai akibat dari perubahan gaya hidup. Kebiasaan dan rutinitas yang merugikan memiliki kekuatan untuk merusak kesehatan. Gaya hidup sedentarial (banyak duduk), kebiasaan merokok, minum alkohol, diet tinggi lemak dan kurang serat, obesitas, stress serta mengkonsumsi narkoba dan bahan kimia pengawet bisa menjadi faktor penyebab terjadinya penyakit kronik termasuk Diabetes Mellitus (Suharjo & Cahyono, 2008).

Makan-makanan manis yang berlebihan tidak akan menyebabkan penyakit DM, tetapi jika konsumsinya sangat berlebihan akan menyebabkan kegemukan dan menderita DM (Erik, 2005).

38

Konsumsi gula yang berlebihan akan menyebabkan konsumsi energi yang berlebih dan disimpan dalam jaringan tubuh/lemak. Apabila hal ini berlangsung lama dapat mengakibatkan kegemukan (Kemenkes RI, 2002).

Tabel 2.6.2

Anjuran Jumlah Porsi Menurut Kecukupan Energi pe Hari untuk Kelompok Wanita Dewasa Usia 29 - >65 tahun

Bahan Makanan Ukuran Porsi

Nasi 4 porsi

Sayuran dan Buah

3-5 porsi

(1 p buah = 1 buah /50 gr pisang) (1 p sayur = 100 gram sayur) Tempe (Protein Nabati) 3 porsi

(1 p = 2 potong sedang) Daging (Protein Hewani) 3 porsi

(1 p = 1 potong sedang/ 50 gr) Susu 1 porsi (1 p = 1 gls/ 200 gr) Minyak 3-4 porsi (1 p = 1 sdm) Gula 2 porsi (1p = 1 sdm)

Sumber: (Kemenkes RI, 2002)

7) Merokok

Merokok merupakan faktor risiko terkenal dalam banyak penyakit, termasuk berbagai jenis kanker dan penyakit kardiovaskular termasuk Diabetes Mellitus. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa merokok merupakan faktor risiko untuk Diabetes Mellitus tipe 2. Merokok telah diidentifikasi sebagai

39

faktor risiko yang memungkinkan untuk terjadinya resistensi insulin. Merokok juga telah terbukti menurunkan metabolisme glukosa yang dapat menyebabkan timbulnya Diabetes Mellitus tipe 2. Ada juga beberapa bukti yang menunjukkan bahwa merokok meningkatkan risiko Diabetes melalui mekanisme indeks massa tubuh. Merokok juga telah dikaitkan dengan risiko pankreatitis kronis dan kanker pankreas, menunjukkan bahwa asap rokok dapat menjadi racun bagi pancreas (ASH, 2012).

Merokok meningkatkan kejadian Diabetes dan memperburuk homeostasis glukosa dan komplikasi Diabetes kronis. Dalam komplikasi mikrovaskuler, onset dan perkembangan nefropati Diabetes sangat berhubungan dengan merokok. Merokok dikaitkan dengan resistensi insulin, peradangan dan dyslipidemia. Dalam komplikasi makrovaskuler, merokok dikaitkan dengan kejadian 2 sampai 3 kali lebih tinggi PJK dan kematian. Namun, pencegahan merokok dan berhenti merokok mungkin tidak cukup ditekankan dalam Diabetes klinik (Chang, 2012).

Pada penelitian dengan disain studi case control di daerah pedesaan Kancheepuram District of Tamil Nadu ditemukan bahwa orang yang merokok> 10 batang / hari berisiko lebih tinggi (OR = 7.15) bila dibandingkan dengan perokok ringan.

40

Ditemukan pula bahwa ada 5 kali peningkatan risiko Diabetes pada perokok lebih dari 20 tahun (Venkatachalam, 2012).

Sebuah tinjauan sistematis dilakukan terhadap 25 studi menemukan bahwa ada hubungan antara merokok aktif dan peningkatan risiko Diabetes. Risiko yang berhubungan dengan merokok Diabetes meningkat dengan jumlah rokok yang dihisap. The Cancer Prevention Study 1, sebuah studi kohort menemukan bahwa wanita yang merokok lebih dari 40 batang sehari memiliki 74% peningkatan risiko Diabetes, sedangkan risiko pada laki-laki meningkat 45% . Ada juga beberapa bukti, termasuk sebuah studi kohort tahun 2011 lebih dari 10.000 orang, yang menunjukkan bahwa paparan asap rokok dapat menjadi faktor risiko untuk pengembangan Diabetes Mellitus tipe 2 (ASH, 2012).

Dokumen terkait