• Tidak ada hasil yang ditemukan

Infeksi Coronavirus lebih sering terjadi pada musim dingin dan semi. Hal ini juga berkaitan dengan agresivitas perpindahan populasi. Selain itu, terkait dengan karakteristik Coronavirus yang lebih menyukai suhu dingin dan kelembaban yang tidak terlalu tinggi (Harapan et al., 2020).

Menurut Cai (2020) ditemukan adanya peningkatan risiko COVID-19 pada pasien dengan penyakit komorbid seperti hipertensi dan diabetes melitus. Jenis kelamin laki-laki, dan perokok aktif juga meningkatkan risiko COVID-19. Pada perokok, hipertensi, dan diabetes melitus, diduga ada peningkatan ekspresi reseptor

14 ACE2. Terkait dugaan ini, European Society of Cardiology (ESC) menegaskan bahwa belum ada bukti meyakinkan untuk menyimpulkan manfaat positif atau negatif obat golongan ACE-i atau ARB, sehingga pengguna kedua jenis obat ini sebaiknya tetap melanjutkan pengobatannya. Pasien kanker dan penyakit hati kronik lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2.

Pada pasien kanker diasosiasikan dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang berlebihan, supresi induksi agen proinflamasi, dan adanya gangguan maturasi sel dendritic sehingga mempermudah coronavirus berkembang. Pasien dengan sirosis atau penyakit hati kronik juga mengalami penurunan respons imun, sehingga lebih mudah terjangkit COVID-19, dan dapat mengalami tampilan klinis yang lebih buruk. Studi Guan, et al.. menemukan bahwa dari 261 pasien COVID-19 yang memiliki komorbid, 10 pasien di antaranya adalah dengan kanker dan 23 pasien dengan hepatitis B (Xia et al., 2020).

Pasien HIV dengan infeksi saluran napas akut umumnya memiliki risiko mortalitas yang lebih besar dibanding pasien yang tidak HIV. Namun, hingga saat ini belum ada studi yang mengaitkan HIV dengan infeksi SARS-CoV-2.

Hubungan infeksi SARS-CoV-2 dengan hipersensitivitas dan penyakit autoimun juga belum dilaporkan (Xia et al., 2020).

Sampai saat ini belum ada studi yang menghubungkan riwayat penyakit asma dengan kemungkinan terinfeksi SARS-CoV-2. Suatu studi meta-analisis yang dilakukan oleh Yang, et al. (2020) menunjukkan bahwa pasien COVID-19 dengan riwayat penyakit sistem respirasi akan cenderung memiliki manifestasi klinis yang lebih parah.

15 Tenaga medis merupakan salah satu populasi yang berisiko tinggi tertular.

Di Italia, berdasarkan penelitian oleh Bellizzi dijumpai sekitar 9% kasus COVID-19 adalah tenaga medis (Bellizzi et al, 2020). Di China, ditemukan mortalitas pada tenaga kesehatan yang terinfeksi COVID-19 sebesar 0,6% dari lebih dari 3.300 tenaga medis yang terinfeksi (Wang J et al., 2020).

Beberapa faktor risiko lain yang ditetapkan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) adalah kontak erat, termasuk tinggal satu rumah dengan pasien COVID-19 dan riwayat perjalanan ke area terjangkit. Berada dalam satu lingkungan namun tidak kontak dekat (dalam radius 2 meter) dianggap sebagai risiko rendah.

Kekurangan vitamin D mungkin menjadi faktor penyebab COVID19 menjadi parah. Respon imun yang lemah dari sistem kekebalan bawaan pada orang lanjut usia dapat meningkatkan viral load.

Kekurangan sel B memori menyebabkan aktivasi berlebihan dari sistem kekebalan adaptif dengan menghasilkan sitokin inflamasi lebih banyak atau yang dikenal dengan badai sitokin. Proses ini diperparah oleh rendahnya tingkat vitamin D. Vitamin D berperan dalam meningkatkan sistem kekebalan bawaan sementara, pada saat yang sama, sebagian menekan imunitas adaptif (Xia et al., 2020).

16 2.4 Gejala Klinis

Semua orang secara umum rentan terinfeksi. Pneumonia Coronavirus jenis baru dapat terjadi pada pasien immunocompromis dan populasi normal, bergantung paparan jumlah virus (PDPI , 2020).

Jika kita terpapar virus dalam jumlah besar dalam satu waktu, dapat menimbulkan penyakit walaupun sisitem imun tubuh berfungsi normal. Pada orang-orang dengan system imun lemah seperti orang tua, wanita hamil, dan kondisi lainnya, penyakit dapat secara progresif lebih cepat dan lebih parah (PDPI, 2020).

Infeksi Coronavirus menimbulkan sistem kekebalan tubuh yang lemah terhadap virus ini sehingga dapat terjadi re-infeksi. Berdasarkan gejala klinis didapati berbagai keluhan yang timbul, diantaranya dapat terlihat pada tabel dibawah ini (PDPI, 2020),

Tabel 2.1 Perjalanan Penyakit COVID-19

17 2.5 Pemeriksaan Penunjang (PDPI, 2020)

Metode penegakan diagnosis yang diterapkan saat ini masih sangat tidak ideal untuk peringatan dini pasien. Untuk kondisi darurat saat ini, model diagnostik yang memungkinkan untuk skrining cepat sangat diperlukan. Penegakan diagnosis COVID-19 dapat dilakukan melalui screening awal menggunakan skor EWS.

Untuk pasien yang memenuhi kriteria diagnostik, pengujian SARS-CoV-2 dapat dilakukan dengan pengumpulan spesimen dari saluran pernapasan atas (swab nasofaring dan orofaring) dan jika mungkin, saluran pernapasan bagian bawah dengan spesimen dari dahak, aspirasi trakea, atau Lavage Bronchoalveolar (BAL).

Pemeriksaan spesimen saluran napas atas dengan swab tenggorok (nasofaring dan orofaring). Pemeriksaan ini dilakukan dengan RT-PCR SARS-CoV-2. Apabila RT-PCR SARS-CoV-2 tidak ada, dapat dilakukan tes serologi.

Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila menggunakan endotrakeal tube dapat berupa aspirat endotrakeal).

Pemeriksaan kimia darah seperti darah perifer lengkap dapat menunjukkan kadar hemoglobin ditemui menurun, hal ini diakibatkan karena Coronavirus menyerang heme pada hemoglobin. Virus juga menangkap porfirin dan menghambat metabolisme heme, sehingga mendukung kerusakan organ.

Leukosit dapat ditemukan meningkat, kadar limfosit dan trombosit ditemui menurun karena kerusakan T Limfosit akibat badai sitokin yang terjadi sehingga permeabilitas kapiler alveolar meningkat dan terjadi udem intertisial. Kerusakan jaringan kolateral juga mengakibatkan vasodilatasi.

18 Pada kebanyakan pasien LED dan CRP meningkat jika disertai infeksi bakteri. CRP merupakan protein yang diproduksi hepar yang meningkat sebagai respon terhadap inflamasi. Peningkatan CRP sebanding dengan sekresi sitokin proinflamasi IL-6 yang dapat menjadi factor risiko keparahan pada pneumonia (Wang G et al., 2020).

Peningkatan ratio netrofil limfosit pada kerusakan T limfosit akibat proses inflamasi mengindikasikan prognosis yang buruk. Pasien yang disertai infeksi bakteri dan daya tahan yang tubuh rendah terjadi peningkatan risiko keparahan.

Peningkatan prokalsitonin (PCT) ditemui pada pasien yang bergejala berat.

Procalsitonin adalah biomarker sepsis. PCT tidak meningkat secara signifikan dalam COVID-19 tidak seperti CRP. sehingga dapat digunakan untuk penilaian klinis menyingkirkan kemungkinan infeksi bakteri pada pasien COVID dan untuk memandu inisiasi dan penghentian antibiotik (Li L et al., 2020).

Protein Coronavirus menyerang heme di hemoglobin, sehingan fibrinogen keluar mengisi kapiler, sehingga fibrin terakumulasi di jaringan alveolar sehingga terjadi koagulasi dan peningkatan kadar ferritin.

Laktat dehidrogenase (LDH) adalah enzim intraseluler yang ditemukan pada hampir semua sistem organ. Meskipun LDH secara tradisional digunakan sebagai penanda kerusakan jantung, sejak tahun 1960-an nilai abnormal diketahui dapat terjadi akibat cedera berbagai organ dan penurunan oksigenasi dengan peningkatan regulasi jalur glikolitik. Perubahan pH ekstraseluler menjadi asam dikarenakan peningkatan laktat dari infeksi. Jaringan cedera memicu aktivasi metaloprotease dan meningkatkan angiogenesis yang dimediasi makrofag. Infeksi

19 berat dapat menyebabkan kerusakan jaringan yang dimediasi oleh sitokin dan pelepasan LDH. Karena LDH ada di jaringan paru- paru, pasien dengan infeksi COVID-19 yang parah melepaskan jumlah LDH yang lebih besar ke dalam sirkulasi, mengakibatkan kerusakan vaskular dan berkembang menjadi ARDS.

Kadar LDH yang meningkat, menunjang kecurigaan sepsis. Peningkatan kadar LDH berkorelasi dengan tingkat keparahan. Peningkatan LDH dikaitkan dengan peningkatan >16 kali lipat kemungkinan kematian. Dengan demikian, LDH pasien harus dimonitor secara ketat untuk setiap tanda perkembangan penyakit atau dekompensasi.

Pemeriksaan radiologi penunjang yang dilakukan diantaranya: foto toraks, CT-scan toraks dan USG toraks. Pada pencitraan dapat menunjukkan: opasitas bilateral, konsolidasi subsegmental, lobar atau kolaps paru atau nodul, tampilan groundglass sebagaimana terlihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.5 CT Scan Pasien COVID 19

Gambaran rontgen torak pada seorang wanita berusia 55 tahun. Foto toraks menunjukkan perkembangan infiltrasi perihilar bilateral yang menonjol dan

20 kekeruhan yang tidak jelas pada paru-paru bilateral, yang perlahan-lahan diselesaikan pada gambar tindak lanjut.

Gambar 2.6 Rontgen Pasien COVID 19

2.6 Komplikasi

Komplikasi COVID-19 mencakup gangguan fungsi paru-paru, jantung, otak, hepar, ginjal, dan sistem koagulasi. COVID-19 dapat mencetuskan terjadinya miookarditis, kardiomiopati, aritmia ventrikular, dan instabilitas hemodinamik.

Serangan serebrovaskular dan ensefalitis pun dapat terjadi sampai 8%.

Tromboemboli vena dan arteri dapat terjadi pada 10-25% pasien COVID-19 (Wilersinga et al., 2020).

Tabel 2.2 Komplikasi COVID-19

Frekuensi Komplikasi

Sering dijumpai  Sindrom distres pernapasan akut

 Sepsis dan DIC

 Gagal hepar dan ginjal akut

 Emboli pulmonal Jarang dijumpai  Rhabdomiolisis

 Sindrom inflammatorik multisistem

 Aspergillosis

 Pankreatitis, komplikasi neurologis

21 Selain gejala pernapasan akut yang umum (seperti demam, batuk, dan dispnea), pasien COVID-19 mungkin juga menderita tanda dan kerusakan di banyak sistem organ lain karena reseptor angiotensin converting enzyme 2 (ACE2) dapat diekspresikan di paru-paru, ginjal, saluran gastrointestinal, hati, sel endotel vaskular, dan sel otot polos arteri. Semua organ ini menjadi target infeksi SARS-CoV-2 seperti terlihat pada gambar 2.7 (Zheng et al, 2020). SARS-SARS-CoV-2 menggunakan reseptor ACE2 untuk mendapatkan akses seluler pada manusia (Zhou et al., 2020).

Gambar 2.7 Skema mengenai komplikasi potensial COVID-19 yang mempengaruhi berbagai sistem organ

22 2.7 Manifestasi Kardiovaskular COVID-19

Wabah virus corona, seperti Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dikaitkan secara signifikan terhadap morbiditas kardiovaskular (Zheng et al., 2020). Komplikasi kardiovaskular yang umum pada SARS adalah hipotensi, miokarditis, aritmia, dan kematian jantung mendadak. Pemeriksaan diagnostik dapat menunjukkan perubahan elektrokardiografi, gangguan diastolik ventrikel kiri (LV) subklinis, dan peningkatan troponin (Yu et al., 2006)

COVID-19 tampaknya memiliki manifestasi kardiak yang sebanding dengan wabah virus corona sebelumnya. Manifestasi cedera miokard sering terjadi pada saat awal dan rawatan di rumah sakit. Biasanya, pasien dengan cedera miokard mempunyai usia yang lebih tua dan memiliki lebih banyak komorbiditas dan faktor risiko kardiovaskular (Lala et al., 2020)

Mekanisme cedera miokard akibat COVID-19 terjadi akibat kematian sel miosit jantung dikarenakan terjadinya hipoksia. Hipoksia sendiri diakibatkan karena kelebihan kalsium intraseluler yang dimediasi oleh respon sel T saat badai sitokin (Zhou et al, 2020). Peningkatan biomarker jantung, termasuk troponin T, telah terbukti berkorelasi linier sebagai penanda peradangan yang menyebabkan cedera miokard (Bandyopadhyay et al, 2020). Peningkatan kadar troponin dikaitkan dengan pemakaian ventilasi mekanis dan kematian di rumah sakit yang lebih tinggi (Guo et al., 2019).

Miokarditis fulminan telah dilaporkan sebagai komplikasi COVID-19 berkaitan dengan peningkatan troponin jantung, myoglobin, dan N-terminal

pro-B-23 type natriuretic peptide (NT-proBNP). Pada pemeriksaan lain, dapat ditemukan hipertrofi ventrikel kiri, penurunan fraksi ejeksi, dan hipertensi pulmonal.

Miokarditis diduga terkait dengan mekanisme badai sitokin atau ekspresi ACE2 di miokardium (Zeng et al, 2020).

SARS-CoV dapat menurunkan jalur ACE2 pada miokard dan paru sehingga memediasi inflamasi miokard, edema paru, dan gagal napas akut. Hipertensi merupakan faktor predisposisi pada pasien usia tua untuk menjadi pneumonia dan miokarditis berat yang ditandai dengan peningkatan kadar troponin sebagai penanda sensitif cedera miokard (Saus et al, 2020).

Chen et al. (2020) melaporkan sekitar 20% pasien dengan tanda-tanda kerusakan miokardium ditandai dengan peningkatan kadar NT-proBNP dan troponin I (TnI) selama Januari-Februari di RS Tongii, Wuhan. Diperkirakan sekitar 12% pasien COVID-19 tanpa penyakit jantung iskemik sebelumnya akan memiliki peningkatan kadar troponin atau risiko henti jantung selama rawatan.

Peningkatan kadar TnI bersamaan dengan marker proinflammatorik seperti IL-6, LDH, dan D-dimer indikatif terhadap insidensi badai sitokin atau limfohistiositosis hemofagositik sekunder. Beberapa peneliti meyakini mekanisme potensial kerusakan miokardium ini dimediasi oleh respons sel T helper terhadap kelebihan efluks kalsium intrasellular akibat hipoksia yang memicu kematian kardiomiosit.

Oleh karena itu, sangat direkomendasikan untuk memonitor ketat kadar NT-proBNP dan TnI plasma pada pasien COVID-19 (Zheng et al., 2020).

Terdapat banyak hubungan potensial antara infeksi virus sistemik dengan sindrom iskemik koroner akut. Beberapa bukti menunjukkan bahwa COVID-19

24 aktif meningkatkan risiko infark miokard akut (IMA) dan stroke iskemik (Modin et al., 2020). Destabilisasi plak dan ketidakseimbangan pasokan-kebutuhan adalah mekanisme di mana COVID-19 dapat memicu sindrom koroner akut (SKA) (Giustino et al., 2020) Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa banyak pasien dengan SKA tidak menerima perawatan medis pada saat gelombang pertama pandemi, mungkin dikarenakan ketakutan tertular COVID-19 (Bhatt et al., 2020) Oleh karena itu, sebagian dari kematian mendadak yang tidak dapat dijelaskan di rumah pada pasien suspek COVID 19 dapat berkaitan dengan IMA tipe 3.

Aritmia adalah manifestasi umum CVD pada pasien COVID-19. (Giustino et al., 2020) Bradiaritmia khusus pada COVID-19 belum dapat dijelaskan. Data frekuensi aritmia maligna seperti takikardia ventrikel dan fibrilasi atrium pada pasien COVID-19 masih terbatas. Studi klinis kecil memperkirakan kejadian FA awitan baru antara 3,6% dan 6,7% pada pasien dengan COVID-19 (Bhatla et al., 2020)

Salah satu studi terhadap 121 pasien COVID-19 menunjukkan mayoritas tipe aritmia yang dialami, antara lain 87 orang (71.9%) dengan sinus takikardia yang tidak berkaitan dengan demam, 18 orang (14.9%) dengan bradikardia, dan satu orang dengan fibrilasi atrium paroksismal. Studi lainnya juga menemukan aritmia terjadi pada 23 dari 138 pasien (16.7%) yang masuk ke ruang ICU.

Dikarenakan data tersedia masih terbatas, tipe aritmia dan perubahan elektrokardiogram pada pasien yang terinfeksi SARS-CoV-2 masih belum bisa dipastikan, sehingga monitoring ketat melalui elektrokardiogram rutin pada pasien COVID-19 penting untuk melihat perubahan yang terjadi (Zheng et al., 2020).

25 Studi awal dari China menunjukkan bahwa dekompensasi gagal jantung (Heart Failure, HF) adalah salah satu komplikasi paling umum dari COVID-19 (Chen et al. 2020). Gagal jantung dan COVID-19 dapat dikaitkan melalui infiltrasi virus langsung, peradangan, atau fibrosis Jantung. Peningkatan kebutuhan metabolisme COVID-19 juga dapat mencetuskan HF subklinis atau memperburuk HF yang sudah ada sebelumnya (Freaney et al. 2020). Peningkatan kadar serum B-type natriuretic peptide (BNP) dikaitkan dengan peningkatan kematian secara signifikan (Shoar et al. 2020) Sebuah meta-analisis menunjukkan bahwa HF merupakan komplikasi pada 11,5% pasien COVID-19 (Vakili et al., 2020).

Penyakit tromboemboli vena semakin diakui sebagai kontributor utama terhadap perburukan cepat pada pasien COVID-19 yang dirawat inap (Kollias et al., 2020). Beberapa penelitian yang lebih kecil melaporkan insiden kejadian tromboemboli berkisar antara 25% hingga 31% (Klok et al. 2020). Perbandingan antara 150 pasien dengan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) COVID-19 dan 145 pasien ARDS non-COVID-19 menyimpulkan bahwa kejadian tromboemboli vena, terutama tromboemboli paru, secara signifikan lebih sering pada Pasien COVID-19 dengan ARDS. Helms et al (2020) juga melaporkan hubungan antara penanda inflamasi dan protrombotik dengan penyakit tromboemboli vena dan mortalitas.

Saat ini, masih belum jelas apakah COVID-19 dapat menyebabkan cedera miokard persisten dan/atau jika dikaitkan dengan peningkatan risiko jangka panjang untuk berkembangnya penyakit arteri koroner dan gagal jantung. Tindak lanjut ekstensif (jantung) pasien COVID-19 diperlukan untuk mengurangi potensi efek kesehatan fisik dan mental jangka panjang yang merugikan (Del et al., 2020).

26 Lebih lanjut, 11 kematian (11%) akibat henti jantung dilaporkan terjadi pada pasien yang sebelumnya tidak memiliki riwayat penyakit jantung iskemik. Hal ini diduga akibat imbalans rasio ventilasi-perfusi pulmonal dan penurunan kapasitas vaskularisasi pulmonal. Faktor patofisiologik terlibat dalam kondisi ini termasuk oklusi mikrovaskularisasi dan reduksi sejumlah gas residu fungsional, yang memicu peningkatan resistensi pembuluh darah pulmonal sehingga terjadi hipertensi pulmonal dan cor pulmonale. Meskipun pemahaman mengenai patofisiologi henti jantung pada pasien COVID-19 masih terbatas, penting untuk selalu waspada terhadap kondisi ini (Zheng et al., 2020).

27 Gambar 2.8 Hipotesis Mekanisme Pengaruh COVID-19 Terhadap Kardiovaskular.

SARS-CoV-2 menempel pada enzim angiotensin-converting enzyme 2 untuk memasuki sel inang termasuk pneumosit tipe 2, makrofag, sel endotel, perisit, dan miosit jantung, yang menyebabkan peradangan dan kegagalan multiorgan. Secara khusus, infeksi sel endotel atau perisit dapat menyebabkan disfungsi mikrovaskular dan makrovaskular yang berat. Lebih lanjut, dalam hubungannya dengan reaktivitas imun yang berlebih, hal ini berpotensi mengganggu stabilitas plak aterosklerotik

28 yang dapat berkembang menjadi sindrom koroner akut. Infeksi saluran pernapasan, terutama pneumosit tipe 2, oleh sindrom pernapasan akut berat coronavirus 2 dimanifestasikan oleh perkembangan peradangan sistemik dan aktivasi sel imun yang berlebihan, yang mengarah ke 'badai sitokin', sehingga menghasilkan peningkatan kadar sitokin seperti IL-6, IL-7, IL-22, dan CXCL10. Selanjutnya, terdapat kemungkinan bahwa sel T dan makrofag yang teraktivasi dapat menginfiltrasi miokardium yang terinfeksi, mengakibatkan perkembangan miokarditis fulminan dan kerusakan jantung yang parah. Proses ini dapat lebih diperparah oleh badai sitokin. Invasi virus juga dapat menyebabkan kerusakan sel miosit jantung yang secara langsung menyebabkan disfungsi miokard dan berkontribusi pada perkembangan aritmia. CXCL10, C-X-C motif chemokine ligand 10; IL-6, interleukin 6; SARS-CoV-2, severe acute respiratory syndrome coronavirus 2.

2.8 Gambaran EKG pada Pasien COVID-19 dan Implikasi Klinis Selama

Dokumen terkait