• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAHASAN 5.1 Data Deskriptif

5.2. Hasil Uji Bivariat dan Multivariat

Dibandingkan dengan yang selamat, nilai tengah usia pasien yang meninggal pada penelitian ini lebih tinggi yaitu adalah 54 (21-78) untuk kelompok meninggal dan 55 (23-86) namun tidak signifikan secara statistic (p=0.854). Usia lanjut (usia 60-70 tahun) dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian yang signifikan (RR, 2,31; 95% CI, 1,99-2,67). Analisis lain menunjukkan bahwa kemungkinan kematian untuk pasien dalam kelompok usia yang lebih tua (yaitu, 65 tahun) adalah lima kali lebih tinggi dibandingkan pada kelompok usia yang lebih muda (OR = 5,34, 95% CI 1,71-16,68, p = 0,004) (Albalawi et al, 2021). Jenis kelamin laki-laki juga berkorelasi dengan tingkat kematian yang lebih tinggi daripada jenis kelamin perempuan (RR: 1,30; 95% CI, 1,17 -1,44) (Shin et al.,

59 2021).Hal ini berbeda dari penelitian ini yang tidak dijumpainya hubungan yang signifikan antara usia, dan jenis kelamin terhadap mortalitas.

Mehreen et al. (2020) melaporkan dari hasil uji bivariat dengan batas nilai p bermakna <0.05, terdapat tiga variabel demografi yang bermakna dalam menentukan mortalitas yaitu rerata usia (p < 0.001, OR of 1.18; 95% CI: 1.08–

1.29), hipertensi (p = 0.006, OR of 1.11; 95% CI:1.03–1.20), dan diabetes mellitus (p = 0.003, OR: 1.34; 95% CI: 1.10–1.64). Dan pada uji multivariat, Diabetes mellitus tetap menjadi faktor mortalitas independen p = 0.038, (adjusted OR: 1.24;

95% CI:1.01–1.52). Ketiga variabel ini, pada penelitian ini tidak dijumpai hasil yang bermakna berhubungan dengan kematian. Hal ini dapat diakibatkan oleh jumlah sampel yang belum presentatif atau populasi yang berbeda dari penelitian sebelumnya.

Pada penelitian ini, dari hasil uji bivariat data klinis dan laboratorium, dijumpai variabel yang bermakna secara signifikan berhubungan dengan mortalitas selama rawatan adalah laju nadi (p=0.001), netrofil (p=0.001), limfosit (p=0.001), RNL (p=0.001), ureum (p=0.005), kreatinin (p=<0.0001), kalium (p=0.006), Troponin I (p=0.025), dan D Dimer (p=0.007). Hal ini sejalan dengan yang dilaporkan oleh Albawi et al. (2021) bahwa terdapat 6 laboratorium yang berhubungan dengan mortalitas yaitu leukosit (OR = 1.11, 95% CI 1.02–1.21, p = 0.018), neutrofil (OR = 1.11, 95% CI 1.02–1.22, p = 0.020), CKMB (OR = 1.02, 95% CI 1.00–1.03, p = 0.030), CRP (OR = 1.01, 95% CI 1.00–1.01, p = 0.002), ureum (OR = 1.06, 95% CI 1.01–1.11, p = 0.026), and laktat dehidrogenase (OR = 1.00, 95% CI 1.00–1.01, p = 0.020). peningkatan Troponin I ≥ 0.05 dikaitkan

60 dengan peningkatan risiko kematian akibat COVID- 19 (OR 4.077, 95% CI 1.778‒

9.349; p<0,001).

Karakteristik EKG yang mempunyai hubungan bermakna dengan mortalitas dari hasil uji bivariat pada penelitian ini adalah, adanya irama sinus takikardi p=0,005 (OR: 3.569; 95%CI: 1.523–8.364), gelombang, Gelombang Q-Patologis p=0.012 (OR:6.987; 95% CI 1.569 – 31.124, QRS ≥110 ms p=0.005 (OR:10.577;

95%CI 1.943-57.586), RBBB p=0.02 (OR: 8.148; 95%CI 1.418-46.833), Gelombang T-Inversi p=0.001 (OR: 4.810; 95% CI: 1.906 – 12.136), ada tidaknya abnormalitas EKG p=0.001 (OR: 6.995; 95% CI: 2.297 – 21.301), ≥ 3 Abnormalitas EKG p=0.001 (OR: 10.833; 95% CI:3.806 – 30.837). Dari hasil multivariat dijumpai gambaran EKG yang bermakna yaitu laju QRS > 100 kali per menit, p = 0.029; OR = 3.467; 95%CI = 1.135 – 10.593, lebih dari 3 abnormalitas EKG dengan nilai p = 0.015; OR = 5.177; 95%CI = 1.380 – 19.41

Penelitian-penelitian yang telah menganalisa gambaran EKG dengan mortalitas mempunyai hasil yang sedikit berbeda-beda. Mccullough et al (2021) memaparkan dari hasil bivariat didapatkan gambaran yang berbeda yaitu AES (OR 3.92, 95% CI 2.13-7.18, P <0.001), abnormal axis (OR 3.37, 95% CI 2.11-5.38, P

< 0.001), RBBB atau IVB (OR 5.17, 95% CI 3.03-8.81, P < 0.001), T inversi terlokalisir (OR 2.65, 95% CI 1.50-4.70, P < 0.001), dan repolarisasi abnormal nonspesifik (OR 1.86, 95% CI 1.18-2.92, P = 0.007). Temuan EKG tambahan yang terkait dengan kematian adalah hipertrofi ventrikel kiri dan kanan dan infark miokard gelombang Q sebelumnya. Setelah dilakukan uji multivariat, EKG yang tetap mempunyai hubungan bermakna yaitu AES (OR: 2.57, 95% CI 1.23-5.36, P

61

= 0.01), a RBBB atau IVB (OR: 2.61, 95% CI 1.32-5.18, P = 0.002), T inversi terlokalisir (OR: 3.49, 95% CI 1.56-7.80, p = 0.002), dan repolarisasi abnormal nonspesifik (OR 2.31, 95% CI 1.27-4.21, p = 0.006).

Aghajani et al (2021) melaporkan adanya sinus takikardia (RR: 2.342; p

<0,001), aritmia supraventrikular (RR=1,688; p=0,001), aritmia ventrikel (RR=1,854; p=0,011), penundaan konduksi interventrikular (RR = 1,608; p=0,009), dan perkembangan gelombang R abnormal (RR = 1,766; p=0,001) pada saat masuk merupakan faktor prognostik independen untuk kematian di rumah sakit.

Pishgahi et al (2020), dengan jumlah sampel lebih sedikit (119 sampel) mendapati hasil yang berbeda dari 2 penelitian diatas. Dari hasil univariat didapatkan gambaran EKG yang bermakna adalah adanya VES (p=0.003), LAD (p=0.039), Gel P pulmonal (p<0.001), inversi gelombang T (p=0.002), ST depresi (p=0.027) dan AVB (p=0.002). Sedangkan hasil uji multivariat didapatkan VES p=0.007 (HR:18.44 95%CI: 2.20-154.30) dan gelombang P pulmonal dengan p=0.019 (HR:17.63 95%CI: 1.59-195.22).

Sinus takikardi umum terjadi pada pasien dengan kondisi medis yang berat dan secara signifikan terkait dengan kematian pasien COVID-19. Seorang pasien dengan COVID-19 berat dapat terjadi sinus takikardia dikarenakan demam, peradangan sistemik, sesak napas, hipoksia, dan dehidrasi. Adanya takikardia sinus yang tidak ditangani dapat menyebabkan iskemia jantung, penurunan curah jantung, kardiomiopati, henti jantung, dan kematian (Henning et al., 2020). Oleh karena itu, sinus takikardia tampaknya menjadi tanda peringatan bahwa kondisi pasien dapat memburuk dan pasien mengembangkan bentuk COVID-19 yang lebih

62 parah dandapat digunakan sebagai indikator dalam penanganan pasien COVID-19 (Aghajani et al., 2021)

Adanya gelombang P pulmonal merupakan konsekuensi dari peningkatan resistensi pembuluh darah paru dan dilatasi atrium kanan. Adanya gelombang P pulmonal merupakan konsekuensi dari peningkatan resistensi pembuluh darah paru dan dilatasi atrium kanan (Vieillard-Baron et al., 2001).

Peningkatan resistensi pembuluh darah paru dapat bersifat kronis atau akut.

Penyakit paru yang mendasari dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah salah satu penyebab kronis peningkatan resistensi pembuluh darah paru dan pembentukan gelombang P pulmonal. Di sisi lain, penyakit seperti emboli paru akut dapat menyebabkan pembentukan gelombang P pulmonal di EKG. Dengan kata lain, ketika emboli terbentuk, kita akan menyaksikan ketegangan jantung kanan dan kor pulmonal akut (Bĕlohlávek et al, 2013). Penyebab terjadinya emboli paru pada penderita COVID -19 yaitu karena tingginya afinitas virus COVID-19 terhadap endotel vaskular, menyebabkan cedera endotel dan membuka jalan bagi thrombosis (Wan et al., 2020).

Pada pasien dengan elevasi segmen ST, perbedaan antara IMAEST, cedera miokard, dan miokarditis mungkin tidak dapat dilakukan secara ketat berdasarkan interpretasi EKG, yang dapat membuat hal ini sangat menantang bagi klinisi.

IMAEST disarankan dengan elevasi segmen ST fokal, sementara cedera miokard menunjukkan elevasi segmen ST yang menyebar atau meluas. Presentasi klinis dapat memberikan petunjuk diagnostik dan membantu dalam perbedaan IMAEST versus cedera miokard/miokarditis. Nyeri dada adalah presentasi yang sering pada

63 pasien IMAEST, sementara kurang umum dengan cedera miokard/miokarditis yang lebih sering melibatkan dispnea dan gejala lain yang konsisten dengan infeksi virus akut. Sementara itu, adanya gelombang Q patologis mengindikasikan adanya infark miokard sebelumnya. Sehingga, secara tidak langsung dapat berkontribusi dalam menentukan prognostik pasien COVID-19

Dalam penelitian ini terdapat 3 pasien dengan EKG ST elevasi, 2 pasien dengan gambaran EKG ST elevasi saat admisi yang saat itu dilakukan intervensi koroner perkutan, satu pasien terbentuk saat rawatan yang ditatalaksana dengan fibrinolitik. 2 pasien dilaporkan meninggal yaitu 1 pasien dengan tindakan IKP.

Gelombang Q patologis pada elektrokardiogram (EKG) secara historis dianggap mewakili miokardium yang rusak dan mati. Bukti yang lebih baru menunjukkan bahwa gelombang Q mungkin terdapat pada miokardium yang masih viabel (Schinkel et al. 2002). Sementara itu, gelombang QRS yang lebar dapat berhubungan dengan kejadian gagal jantung dengan prevalensi kejadian 14%-47%

(Kashani et al. 2005). Hal ini secara tidak langsung berhubungan dengan komorbid penyakit jantung pada pasien COVID-19 yang dapat mempengaruhi prognostik pasien.

Gelombang T abnormal adalah temuan lain yang terkait langsung dengan kematian pasien COVID-19 di rumah sakit. Inversi gelombang T telah dilaporkan pada 27% pasien dengan miokarditis dan gelombang T ini dikaitkan dengan edema jantung pada posisi yang sesuai pada MRI Jantung (De Lazzari et al., 2016). Oleh karena itu, adanya gelombang T abnormal pada pasien COVID-19 mungkin disebabkan oleh cedera miokard akut akibat virus yang secara langsung menyerang

64 jaringan jantung, yang dapat secara serius mempengaruhi luaran penyakit.

Diperlukan studi yang lebih komprehensif untuk membuktikan hipotesis ini.

65 BAB VI

PENUTUP

Dokumen terkait