• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR RISIKO PERSEROAN DAN ANAK USAHA

Dalam dokumen Final buku prospektus indosat (Halaman 133-151)

RISIKO UMUM

Risiko-risiko yang berkaitan dengan Indonesia

Perseroan didirikan di Indonesia dan sebagian besar bisnis, aset dan pelanggan Perseroan berada di Indonesia. Oleh karena itu, kondisi politik, ekonomi, hukum dan sosial di Indonesia, serta tindakan- tindakan dan kebijakan-kebijakan tertentu yang mungkin, atau mungkin tidak, diambil atau diadopsi oleh Pemerintah dapat memberikan dampak yang negatif bagi bisnis, keadaan keuangan, hasil usaha dan prospek Perseroan.

1. Perubahan ekonomi dalam negeri, regional atau global dapat memberikan dampak negatif bagi bisnis Perseroan

Pada awal 2008, krisis keuangan global yang sebagian dipicu oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat, telah menyebabkan runtuhnya beberapa lembaga keuangan besar di Amerika Serikat dan dengan cepat berkembang menjadi krisis kredit global. Kegagalan bank di Amerika Serikat diikuti oleh kegagalan beberapa bank Eropa dan menurunnya indeks saham di berbagai bursa efek, dan rontoknya harga pasar saham dan komoditas di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Selain itu, sejak 2010, krisis hutang negara di Eropa telah menimbulkan perhatian mengenai kemampuan dari sejumlah negara Eropa, termasuk Yunani, Irlandia, Italia, Portugal dan Spanyol, untuk terus memenuhi kewajiban hutang luar negeri mereka. Kondisi-kondisi ini dapat memperburuk keadaan ekonomi di Eropa dan seluruh dunia. Penurunan ekonomi dunia telah secara negatif mempengaruhi keadaan ekonomi Indonesia, yang mengakibatkan kemunduran dalam pertumbuhan ekonomi, menurunnya konsumsi rumah tangga dan melemahnya investasi yang diakibatkan hilangnya permintaan dari luar dan meningkatnya ketidakpastian dalam dunia ekonomi. Kondisi-kondisi ini telah dan mungkin terus berdampak negatif bagi bisnis dan konsumen Indonesia, yang dapat mengakibatkan berkurangnya permintaan untuk jasa telekomunikasi.

Ketidakstabilan nilai tukar masih akan terus menjadi salah satu risiko yang mungkin memberikan dampak negatif atas kinerja usaha Perseroan. Untuk satu tahun terakhir Rupiah anjlok lebih dari 10% dan saat ini melayang sekitar Rp13.500. Situasi ini memperlambat baik pelanggan dan pengeluaran perusahaan yang mungkin menghambat kinerja Perseroandan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Selain itu, memburuknya nilai tukar Rupiah dan Dolar AS juga berdampak negatif terhadap proitabilitas Perseroan karena saat ini Perseroan masih memiliki beberapa pinjaman terhutang yang tercatat dalam mata uang asing di buku Perseroan.

Hilangnya kepercayaan investor pada sistem keuangan di pasar yang sedang berkembang dan juga pasar lainnya, atau faktor-faktor lain, termasuk memburuknya keadaan ekonomi global, dapat mengakibatkan ketidakstabilan pada pasar uang Indonesia dan penurunan pertumbuhan ekonomi atau pertumbuhan ekonomi negatif di Indonesia. Ketidakstabilan yang meningkat atau pertumbuhan yang menurun atau negatif dapat memberikan dampak negatif yang material bagi bisnis, keadaan keuangan, hasil usaha dan prospek Perseroan.

2. Ketidakstabilan politik dan sosial dapat memberikan dampak negatif bagi Perseroan

Sejak tahun 1998, Indonesia telah mengalami proses perubahan tatanan demokrasi, yang mengakibatkan terjadinya peristiwa-peristiwa politik dan sosial yang menimbulkan ketidakpastian pada kerangka politik Indonesia. Peristiwa-peristiwa ini mengakibatkan ketidakstabilan politik dan juga beberapa kerusuhan sosial dan sipil pada peristiwa tertentu dalam beberapa tahun terakhir. Sebagai negara demokrasi yang masih cukup baru, Indonesia masih menghadapi berbagai macam masalah sosiopolitik dan dari waktu ke waktu telah mengalami ketidakstabilan politik dan keresahan sosial dan politik.

Pada tahun 2004, 2009 dan 2014, di Indonesia dilakukan pemilihan Presiden, Wakil Presiden dan perwakilan di MPR/DPR. Walaupun pemilihan umum di tahun 2004, 2009 dan 2014 telah dilakukan dengan damai, kampanye politik di Indonesia dapat menyebabkan ketidakpastian politik dan sosial di Indonesia. Pada bulan Oktober 2014, Joko Widodo dilantik sebagai Presiden Indonesia yang ketujuh. Tidak ada jaminan bahwa kebijakan-kebijakan atau peraturanperaturan baru tidak akan diperkenalkan yang akan mempengaruhi bisnis Perseroan di bawah kepresidenan yang baru.

Perkembangan politik dan sosial di Indonesia tidak dapat diprediksi di masa lalu, dan Perseroan tidak dapat memastikan kepada anda bahwa gangguan sosial dan sipil tidak akan terjadi di masa yang akan datang dan dalam skala yang lebih besar, atau bahwa gangguan tersebut tidak akan, secara langsung maupun tidak langsung, memiliki dampak negatif yang material pada bisnis, keadaan keuangan, hasil usaha dan prospek Perseroan.

3. Indonesia terletak pada zona gempa bumi dan memiliki risiko geologis yang signiikan yang

dapat menimbulkan keresahan sosial dan kerugian secara ekonomi

Banyak daerah di Indonesia yang rentan terhadap bencana alam seperti gempa bumi, tsunami, banjir, letusan vulkanik dan musim kemarau, pemadaman listrik atau peristiwa-peristiwa lainnya di luar kendali Perseroan.

Sebagai akibat dari bencana-bencana alam tersebut, Pemerintah harus mengeluarkan dana dalam jumlah yang besar untuk bantuan keadaan darurat dan penempatan kembali. Sebagian besar dari biaya ini telah ditanggung oleh pemerintah negara lain dan organisasi bantuan internasional. Perseroan tidak dapat menjamin bahwa bantuan tersebut akan terus diberikan, atau bahwa bantuan tersebut akan diberikan kepada para penerimanya pada waktunya. Apabila Pemerintah tidak dapat memberikan bantuan asing tersebut kepada masyarakat yang terkena dampak bencana tersebut pada waktunya, keresahan sosial dan politik dapat terjadi. Pada saat Pemerintah telah melaksanakan berbagai upaya untuk menutup kerugian yang ditimbulkan oleh bencana alam, seperti membentuk lembaga nasional untuk mengatasi bencana dan memasang sistem peringatan tsunami, upaya perbaikan dan bantuan tersebut kemungkinan akan terus membebani keuangan Pemerintah, dan dapat berakibat pada kemampuannya untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan hutang negara. Kegagalan Pemerintah untuk memenuhi kewajibannya tersebut, atau pernyataan Pemerintah atas adanya moratorium atas hutang negara, dapat menimbulkan wanprestasi terhadap sejumlah pinjaman dari pihak swasta termasuk pinjaman Perseroan, sehingga mengakibatkan dampak negatif dan material terhadap kegiatan usaha Perseroan.

Perseroan tidak dapat menjamin bahwa asuransi Perseroan akan cukup untuk melindungi Perseroan dari kemungkinan kerugian yang diakibatkan oleh bencana-bencana alam tersebut dan hal-hal lain yang terjadi diluar kendali Perseroan. Selain itu, Perseroan tidak dapat menjamin bahwa premi yang dibayarkan untuk polis asuransi-asuransi tersebut pada saat perpanjangan jumlahnya tidak akan meningkat secara substansial, sehingga dapat secara material mengakibatkan dampak terhadap keadaan keuangan dan hasil dari kegiatan operasional Perseroan. Perseroan juga tidak dapat menjamin bahwa kejadian geologis atau meteorologis di masa mendatang tidak akan menimbulkan dampak terhadap perekonomian Indonesia. Gempa bumi, kerusakan geologis atau bencana alam terkait cuaca lainnya di kota-kota yang memiliki populasi yang besar dan merupakan pusat keuangan di Indonesia dapat mengganggu perekonomian Indonesia dan menurunkan tingkat kepercayaan investor, sehingga menimbulkan dampak negatif yang material pada bisnis, keadaan keuangan, hasil operasional dan prospek Perseroan.

4. Gerakan dan kerusuhan buruh dapat memberikan dampak negatif bagi bisnis Perseroan

Liberalisasi peraturan yang mengijinkan pembentukan serikat pekerja, ditambah dengan keadaan perekonomian saat ini, telah menyebabkan, dan akan menyebabkan berlanjutnya gerakan dan keresahan tenaga kerja di Indonesia. Pada tahun 2000, Pemerintah menerbitkan peraturan ketenagakerjaan yang mengijinkan tenaga kerja untuk membentuk serikat pekerja tanpa intervensi dari pengusaha. Pada bulan Maret 2003, Pemerintah mengeluarkan undang-undang tenaga kerja, UU No. 13 Tahun 2003 (“UU Tenaga Kerja”), yang antara lain, meningkatkan jumlah uang pesangon, uang penghargaan masa

kerja dan uang ganti rugi pada pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja, dan mengharuskan pembentukan forum bipartit yang diikuti oleh pemberi kerja dan pekerja untuk Perusahaan yang memiliki 50 atau lebih pekerja. Untuk menegosiasikan perjanjian kerja bersama dengan Perusahaan tersebut, keanggotaan serikat pekerja harus lebih dari 50,0% dari jumlah total pekerja di Perusahaan tersebut. Sebagai tanggapan terhadap keberatan atas keabsahan UU Tenaga Kerja, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa UU Tenaga Kerja adalah sah, kecuali untuk beberapa ketentuan terkait, di antaranya, (i) hak pemberi kerja untuk menghentikan tenaga kerjanya yang melakukan pelanggaran serius; (ii) pengenaan sanksi pidana penjara, atau pengenaan denda terhadap tenaga kerja yang menghasut atau berpartisipasi dalam mogok kerja yang tidak sah atau mengajak tenaga kerja lain untuk berpartisipasi dalam mogok kerja; (iii) persyaratan yang membolehkan kesepakatan outsourcing atau subkontrak dengan perjanjian ketenagakerjaan waktu tertentu namun tidak mencantumkan ketentuan pengalihan perlindungan hak-hak bagi tenaga kerja; dan (iv) persyaratan dimana serikat pekerja yang keanggotaannya setidaknya 50% dari jumlah tenaga kerja (untuk Perusahaan yang memiliki lebih dari satu serikat pekerja) untuk dapat melakukan negosiasi dengan pemberi kerja. Pemerintah mengusulkan untuk mengubah UU Tenaga Kerja dengan cara dimana, menurut pandangan aktivis tenaga kerja, dapat berakibat pada menurunnya manfaat pensiun, peningkatan pemakaian tenaga kerja outsourcing dan larangan serikat tenaga kerja untuk melakukan mogok kerja. Rancangan perubahan undang-undang tersebut telah ditunda pembahasannya dan peraturan Pemerintah mengenai pemutusan hubungan kerja belum berlaku efektif.

Meskipun Perseroan telah memelihara hubungan baik dengan karyawan dan serikat buruh Perseroan, Perseroan tidak dapat memastikan kepada anda bahwa tidak akan terdapat pemogokan di masa yang akan datang. Setiap kerusuhan dan gerakan buruh dapat mengganggu bisnis Perseroan dan dapat memberikan dampak negatif bagi keadaan keuangan perusahaan-perusahaan Indonesia pada umumnya.

5. Depresiasi nilai Rupiah dapat memberikan dampak yang negatif bagi bisnis, keadaan keuangan, hasil usaha, dan prospek Perseroan

Salah satu dari penyebab yang paling utama atas terjadinya krisis ekonomi yang dimulai di Indonesia di pertengahan tahun 1997 adalah depresiasi dan ketidakstabilan nilai tukar Rupiah, sebagaimana diukur terhadap mata uang lainnya, seperti dolar AS. Walaupun Rupiah telah menguat secara tajam dari titik terendah sekitar Rp17.000 per Dolar AS pada tahun 1998, mata uang Rupiah dapat saja kembali mengalami ketidakstabilan di masa mendatang. Selama periode antara 1 Januari 2013 hingga 31 Desember 2016, nilai tukar tengah Rupiah terhadap Dolar AS berkisar dari titik terendah Rp14.728 per Dolar AS hingga mencapai titik tertinggi, yaitu Rp9.634 per Dolar AS. Selama tahun 2016 nilai tukar tengah Rupiah terhadap Dolar AS yang diumumkan oleh Bank Indonesia berkisar dari titik terendah sebesar Rp13.946 per Dolar AS hingga mencapai titik tertinggi, yaitu Rp12.926 per Dolar AS.

Perseroan tidak dapat memastikan bahwa depresiasi atau ketidakstabilan Rupiah terhadap mata uang asing, termasuk Dolar AS tidak akan terjadi lagi. Apabila Rupiah melemah lebih jauh dari nilai tukar pada tanggal 31 Desember 2016, kewajiban Perseroan atas hutang dagang, hutang pengadaan dan hutang pinjaman berdenominasi mata uang asing serta obligasi Perseroan dalam mata uang asing akan meningkat dalam Rupiah. Depresiasi atas Rupiah tersebut dapat berakibat pada bertambahnya kerugian pada nilai tukar valuta asing dan akan berdampak secara signiikan terhadap pendapatan lain- lain dan pendapatan bersih Perseroan.

Sebagai tambahan, walaupun Rupiah secara umum bebas dikonversi dan ditransfer (kecuali bank-bank Indonesia dapat menolak melakukan transfer Rupiah kepada pihak-pihak di luar Indonesia yang tidak mempunyai tujuan perdagangan atau investasi yang jelas), Bank Indonesia, dari waktu ke waktu, telah melakukan intervensi dalam pasar uang dalam rangka melanjutkan kebijakannya, baik dengan cara menjual Rupiah atau membeli Rupiah dengan menggunakan cadangan mata uang asing. Perseroan tidak dapat memberikan kepastian bahwa kebijakan nilai tukar mengambang dari Bank Indonesia tidak akan berubah, atau bahwa Pemerintah akan mengambil tindakan lain untuk menstabilkan, mempertahankan atau menguatkan nilai Rupiah, ataupun bahwa salah satu tindakan-tindakan ini, apabila dilakukan, dapat membuahkan hasil yang baik. Perubahan kebijakan nilai tukar mengambang dapat berakibat pada sangat meningginya tingkat suku bunga dalam negeri, kurangnya likuiditas,

diawasinya permodalan atau pertukaran valuta atau tidak diberikannya bantuan dana tambahan oleh para kreditur multinasional. Hal ini dapat berakibat menurunnya aktivitas ekonomi, resesi ekonomi, terjadinya cidera janji dalam pembayaran hutang atau berkurangnya penggunaan oleh pelanggan Perseroan, dan sebagai dampaknya, Perseroan juga akan mengalami kesulitan dalam membiayai pengeluaran barang modal dan dalam menjalankan strategi bisnis Perseroan. Setiap konsekuensi- konsekuensi tersebut dapat memberikan dampak negatif yang material bagi bisnis, keadaan keuangan, hasil usaha dan prospek Perseroan.

6. Penurunan peringkat kredit Pemerintah atau Perusahaan-Perusahaan di Indonesia dapat memberikan dampak negatif bagi bisnis Perseroan

Sejak tahun 1997, beberapa organisasi pemeringkat statistik yang diakui, termasuk Moody’s, Standard & Poor’s dan Fitch, menurunkan peringkat hutang negara (sovereign rating) Indonesia dan peringkat hutang dari berbagai instrumen kredit Pemerintah dan sejumlah besar bank dan Perusahaan lainnya di Indonesia. Pada tanggal 14 Maret 2016, hutang jangka panjang negara Indonesia dalam mata uang asing diberi peringkat “Baa3” oleh Moody’s, “BB+” oleh Standard & Poor’s, dan “BBB-” oleh Fitch. Peringkat ini mencerminkan penilaian atas kemampuan keuangan Pemerintah untuk membayar kewajiban dan kemampuannya untuk memenuhi komitmen keuangannya pada saat jatuh tempo. Meskipun peringkat hutang Indonesia menunjukkan tren yang positif, Perseroan tidak dapat memastikan bahwa Moody’s, Standard & Poor’s, Fitch atau organisasi pemeringkat statistik lainnya tidak akan menurunkan peringkat hutang Indonesia atau Perusahaan-Perusahaan Indonesia, termasuk Indosat. Setiap penurunan peringkat tersebut dapat memiliki dampak negatif bagi likuiditas di pasar uang Indonesia, kemampuan Pemerintah dan Perusahaan-Perusahaan Indonesia, termasuk Perusahaan, untuk memperoleh pendanaan tambahan serta tingkat suku bunga serta ketentuan-ketentuan komersial lainnya dimana pendanaan tambahan tersedia. Tingkat suku bunga mengambang atas hutang dalam mata uang Rupiah kemungkinan juga akan naik. Hal-hal tersebut dapat menimbulkan dampak material yang negatif terhadap kegiatan usaha, kondisi keuangan, hasil kegiatan operasional dan prospek Perseroan.

7. Perseroan didirikan di Indonesia, dan investor mungkin tidak dapat melakukan tindakan hukum atau melaksanakan keputusan terhadap Perseroan di negara lain, atau untuk memberlakukan putusan pengadilan asing terhadap Perseroan di Indonesia

Perseroan adalah perseroan terbatas yang didirikan di Indonesia, menjalankan usaha dalam kerangka hokum Indonesia dengan status sebagai perusahaan modal asing, dan hampir seluruh asset Perseroan berada di Indonesia. Selain itu, beberapa Komisaris Perseroan dan hampir seluruh Direktur Perseroan bertempat tinggal di Indonesia.

Penasihat hukum Indonesia Perseroan telah menyampaikan bahwa putusan pengadilan negara lain, tidak dapat diberlakukan di pengadilan Indonesia. Meskipun demikian, putusan tersebut dapat dijadikan bukti yang tidak bersifat inal dalam pemeriksaan perkara yang diajukan di pengadilan Indonesia. Kesimpulannya. penggugat tetap harus mengajukan gugatan terhadap Perseroan atau pihak yang bersangkutan di pengadilan Indonesia.

RISIKO USAHA

Risiko-risiko yang terkait dengan bisnis perseroan

1. Perseroan menjalankan usaha dalam keadaan dimana hukum dan perundang-undangan telah

mengalami reformasi yang signiikan. Reformasi ini telah menyebabkan semakin ketatnya

persaingan yang dapat mengakibatkan, antara lain, berkurangnya marjin dan pendapatan usaha, yang seluruhnya ini dapat memberikan dampak material yang negatif bagi Perseroan

Reformasi peraturan di sektor telekomunikasi Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah sejak tahun 1999 telah mendorong liberalisasi industri telekomunikasi, termasuk di antaranya kemudahan bagi para pemain baru untuk masuk ke sektor industri telekomunikasi dan perubahan struktur persaingan industri

telekomunikasi. Akan tetapi, beberapa tahun terakhir ini perubahan peraturan tersebut menjadi semakin banyak dan rumit sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu, seiring dengan terus berlangsungnya reformasi di sektor telekomunikasi Indonesia, para pesaing dengan sumber daya yang mungkin lebih besar dari Perseroan mulai memasuki sektor telekomunikasi Indonesia dan bersaing dengan Perseroan dalam menyediakan layanan telekomunikasi. Sebagai contoh, pada Februari 2006, Pemerintah, melalui Peraturan Kementerian Komunikasi dan Informasi (“Menkominfo”), telah menetapkan petunjuk perhitungan biaya untuk layanan interkoneksi. Menkominfo dalam menyetujui biaya interkoneksi untuk penyelenggara telekomunikasi dominan, juga melakukan perhitungan yang akan dijadikan referensi berdasarkan “biaya” sebagaimana yang dihitung olehnya, berdasarkan data jaringan dan biaya lainnya yang diajukan oleh penyelenggara telekomunikasi dominan. Sebaliknya, penyelenggara telekomunikasi yang tidak masuk dalam klasiikasi penyelenggara dominan dapat hanya memberitahukan kepada Menkominfo mengenai syarat dan ketentuan interkoneksi mereka, termasuk tarif, dan dapat menerapkan syarat dan ketentuan atau biaya tersebut kepada pelanggan tanpa persetujuan Menkominfo. Perbedaan perlakuan terhadap penyelenggara telekomunikasi dominan dan non-dominan dapat menciptakan peluang bagi pemain baru di bidang industry telekomunikasi, memperbesar keleluasan bagi mereka dalam memasuki pasar termasuk menetapkan biaya pungut yang rendah dan menawarkan harga yang lebih rendah kepada pelanggannya.

Sebagai tambahan, biaya interkoneksi Perseroan telah menurun dalam beberapa tahun terakhir, dan Perseroan memperkirakan penurunan ini akan terus berlanjut. Penurunan biaya interkoneksi ini dapat menurunkan pendapatan Perseroan dan juga biaya lalu lintas antaroperator. Pada tanggal 12 Desember 2011, Pemerintah, melalui Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (“BRTI”), menerbitkan surat No. 262/BRTI/XII/2011 dimana tarif SMS berubah dari basis “sender keeps all” kepada skema berbasis biaya, yang berlaku efektif sejak 1 Juni 2012. Berdasarkan skema berbasis biaya yang berlaku saat ini, Perseroan mencatat pendapatan dari biaya interkoneksi yang dibayar oleh operator lain saat salah satu dari pelanggan Perseroan menerima SMS dari pelanggan di jaringan lain. Apabila salah satu pelanggan Perseroan mengirim SMS kepada penerima di jaringan lain, Perseroan mencatatkan pendapatan sebesar tarif SMS yang dikenakan terhadap pelanggan Perseroan dan akan mencatatkan beban atas biaya interkoneksi yang dibayarkan kepada operator jaringan lain. Pada tahun 2014, Pemerintah mengeluarkan Surat No. 118/KOMINFO/DJPPI/PI.02.04/01/2014 tanggal 30 Januari 2014, sehubungan dengan penerapan biaya interkoneksi yang harus dilaksanakan oleh penyedia jasa telekomunikasi di tahun 2014. Sampai dengan akhir tahun 2016, tidak ada perubahan sehubungan dengan biaya interkoneksi. Perseroan tidak dapat memastikan bahwa Perseroan dapat menutup seluruh biaya interkoneksi yang dikeluarkan oleh Perseroan, dan sebagai akibatnya, Perseroan dapat mengalami penurunan pendapatan usaha dari jasa seluler. Di masa mendatang, Pemerintah mungkin akan mengumumkan atau memberlakukan perubahan peraturan lainnya, seperti perubahan kebijakan interkoneksi, kewajiban atas perkembangan jaringan, kebijakan penerimaan atau bea Pemerintah selain Pajak, yang mungkin dapat memberikan dampak negatif bagi bisnis atau ijin yang Perseroan miliki saat ini. Pemerintah saat ini sedang berdiskusi dengan para pemangku kepentingan industri telekomunikasi untuk peraturan-peraturan baru mengenai penyediaan jaringan, penyediaan jasa, interkoneksi, registrasi pelanggan, dan langkah-peraturan-peraturan lainnya untuk mengatasi perkembangan terakhir industri telekomunikasi. Peraturanperaturan baru diperkirakan akan diberlakukan pada tahun 2017.

Perseroan tidak dapat memberikan kepastian bahwa Perseroan akan berhasil bersaing dengan para penyelenggara telekomunikasi dalam negeri maupun asing atau bahwa pergantian, perubahan atau penafsiran peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini atau di kemudian hari oleh Pemerintah tidak akan memberikan dampak negatif yang material bagi bisnis, keadaan keuangan, hasil usaha dan prospek Perseroan.

2. Ketidakpastian penegakan hukum dapat mempengaruhi bisnis dan daya saing Perseroan

Pada tanggal 18 Januari 2012, Indar Atmanto, mantan Direktur Utama IM2, dituduh melakukan korupsi oleh Kejagung. Menurut Kejagung, terdapat kerugian Negara sebesar Rp1.358,3 miliar yang disebabkan oleh adanya perjanjian antara IM2 dan Perseroan, terkait dengan dugaan adanya penggunaan secara ilegal oleh IM2 atas pita frekuensi 2,1 GHz milik Perseroan. Kemudian, pada tanggal 24 Februari 2012, Menkominfo menerbitkan surat No. 65/M.KOMINFO/02/2012 yang menyatakan bahwa tidak terdapat pelanggaran hukum, kejahatan yang dilakukan, dan kerugian negara yang ditimbulkan dari perjanjian

antara Perseroan dan IM2. Lebih lanjut, Menkominfo juga mengirim surat kepada Kejagung secara langsung yang menyatakan bahwa baik Perseroan maupun IM2 tidak melanggar peraturan apapun dan kerja sama antara Perseroan dan IM2 adalah sah berdasarkan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, serta merupakan praktek umum dalam industri telekomunikasi. Selain itu, BRTI juga telah menyatakan kepada publik bahwa IM2 tidak melanggar undangundang atau peraturan apapun yang berlaku. Namun demikian, Kejagung mengabaikan surat-surat dari Menkominfo tersebut dan, pada tanggal 30 November 2012, menyebutkan mantan Direktur Utama Perseroan sebagai tersangka dan, pada tanggal 3 Januari 2013, juga menyebutkan IM2 dan Perseroan sebagai tersangka korporasi. Pada tanggal 8 Juli 2013, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa Indar Atmanto bersalah telah melakukan korupsi dan menghukum Indar Atmanto dengan pidana penjara selama empat tahun dan denda sebesar Rp200 juta (atau tambahan pidana penjara selama tiga bulan). Lebih lanjut, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menyatakan bahwa IM2 bertanggung jawab untuk melakukan restitusi atas kerugian negara yang disebabkan oleh transaksi tersebut dan mengenakan denda sebesar Rp1.358,3 miliar. Pada tanggal 11 Juli 2013, Indar Atmanto mengajukan banding terhadap keputusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi ke Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat. Pada tanggal 10 Januari 2014, Pengadilan Tinggi Jakarta Pusat menegaskan keputusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dan mengenakan hukuman yang lebih tinggi berupa pidana penjara selama delapan tahun dan denda sebesar Rp200 juta (atau tambahan pidana penjara selama tiga bulan). Namun demikian, Pengadilan Tinggi menyatakan bahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsi tidak dapat mengenakan denda kepada IM2 yang, sebagai suatu badan hukum terpisah, tidak didakwa secara terpisah dalam proses perkara Kejagung terhadap Indar Atmando, dan membatalkan keputusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terkait IM2. Pada tanggal 23 Januari 2014, Indar Atmanto mengajukan permohonan kasasi kepada Mahkamah Agung

Dalam dokumen Final buku prospektus indosat (Halaman 133-151)

Dokumen terkait