• Tidak ada hasil yang ditemukan

II.1. STROKE ISKEMIK

II.1.4. Faktor Risiko Stroke

Menurut Goldstein dkk (2006), faktor resiko untuk terjadinya stroke pertama kali diklasifikasikan berdasarkan faktor potensial terhadap modifikasi (tidak dapat dimodifikasi/nonmodifiable, dapat dimodifikasi/modifiable, atau potensial untuk dimodifikasi/potentially

modifiable) dan bukti kepercayaan dari penelitian (terbukti baik/well documented, kurang terbukti/less well documented).

1. Non modifiable risk factors:

a. Usia b. Ras/etnis c. Jenis kelamin

d. Berat badan lahir rendah

e. Riwayat keluarga yang mengalami stroke/Transient Ischemic Attack (TIA)

2. Faktor resiko well-documented dan modifiable a. Penyakit Jantung

b. Hipertensi c. Merokok d. Diabetes

e. Stenosis arteri karotis asimtomatis f. Fibrilasi Atrium

g. Sickle cell diseases h. Dislipidemia

i. Faktor diet j. Obesitas k. Inaktifitas fisik

l. Terapi hormonal post-menopause

3. Faktor resiko less well-documented dan modifiable:

a. Sindroma metabolik b. Penyalahgunaan alkohol

c. Hiperhomosisteinemia d. Penyalahgunaan obat

e. Hiperkoagulabilitas

f. Penggunaan kontrasepsi oral g. Proses inflamasi

h. Migraine

i. Sleep-disordered breathing II.2. DEPRESI

II.2.1. Definisi

Depresi merupakan gangguan suasana hati atau mood yang dalam edisi Diagnosticand Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yang dikenal sebagai gangguan afektif (Hawari, 2010). Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta kekurangan energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktifitas. Di samping itu, gejala lainnya yaitu konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, pikiran bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang(International Classification of Diseases and Related Health Problems,1992).

II.2.2. Etiologi

Faktor penyebab depresi dapat dibagi menjadi faktor biologik, faktor genetik dan faktor psikososial (Sadock, 2009).

1. Faktor Biologik

Norepinefrin dan serotonin adalah dua jenis neurotransmiter yang paling sering dilibatkan dalam patofisiologi gangguan afektif. Walaupun norepinefrin dan serotonin merupakan amin biogenik berkaitan dengan patofisiologi depresi, dopamin juga diteoritiskan memegang peranan.

Menurut data, aktivititas dopamin berkurang pada keadaan depresi dan meningkat pada mania.

2. Faktor Genetik

Data genetik menunjukkan secara jelas bahwa faktor genetik terlibat dalam gangguan mood tetapi pola pewarisan genetik timbul oleh mekanisme yang kompleks.

3. Faktor Psikososial

a. Kejadian-kejadian dalam kehidupan dan stres lingkungan b. Faktor kepribadian premorbid

c. Faktor psikoanalitik dan psikodinamik II.2.3. Gejala Klinis

Depresi menurut International Classification of Diseases (ICD) 10 berdasarkan tingkat beratnya gejala dibedakan sebagai depresi ringan, sedang, berat tanpa gejala psikiatri sampai dengan depresi berat dengan gejala psikiatri (International Classification of Diseases and Related Health

Problems,1992). Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) menyebutkan pada depresi terdapat, Gejala utama meliputi (Maslim, 2013):

1. Perasaan depresif atau perasaan tertekan 2. Kehilangan minat dan semangat

3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah.

Gejala lain meliputi :

1. Konsentrasi dan perhatian berkurang 2. Perasaan bersalah dan tidak berguna 3. Tidur terganggu

4. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang

5. Perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri 6. Pesimistik

7. Nafsu makan berkurang

Kriteria diagnostik untuk tingkat gangguan depresi mayor menurut DSM- IV dibagi dua yaitu gangguan depresi mayor dengan psikotik dan nonpsikotik serta gangguan mayor dalam remisi parsial dan gangguan parsial dalam revisi penuh. Gangguan depresi mayor meliputi gangguan depresi ringan, sedang dan berat tanpa ciri psikotik yang dapat diuraikan sebagai berikut (Maslim, 2013) :

1. Ringan, jika ada beberapa gejala yang melebihi dari yang diperlukan untuk membuat diagnosis dan gejala hanya menyebabkan gangguan

ringan dalam fungsi pekerjaan atau dalam aktivitas yang biasa dilakukan.

2. Sedang, gangguan fungsional berada diantara ringan dan berat

3. Berat, tanpa ciri psikotik, beberapa gejala melabihi dari yang diperlukan untuk membuat diagnosis dan gejala dengan jelas mengganggu fungsi pekerjaan atau aktivitas sosial yang biasa dilakukan.

Berpedoman pada PPDGJ III dijelaskan bahwa depresi digolongkan ke dalam depresi berat, sedang dan ringan sesuai dengan banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap fungsi kehidupan seseorang. Gejala tersebut terdiri atas gejala utama dan gejala lainnya yaitu :

1. Ringan, sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala depresi ditambah dua dari gejala di atas ditambah dua dari gejala lainnya namun tidak boleh ada gejala berat diantaranya. Lama periode depresi sekurang- kurangnya selama dua minggu. Hanya sedikit kesulitan kegiatan sosial yang umum dilakukan.

2. Sedang, sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala utama depresi seperti pada episode depresi ringan ditambah tiga atau empat dari gejala lainnya. Lama episode depresi minimum dua minggu serta menghadapikesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial

3. Berat, tanpa gejala psikotik yaitu semua tiga gejala utama harus ada ditambah sekurang-kurangnya empat dari gejala lainnya. Lama episode sekurang-kurangnya dua minggu akan tetapi apabila gejala

sangat berat dan onset sangat cepat maka dibenarkan untuk menegakkan diagnosadalam kurun waktu dalam dua minggu. Orang sangat tidak mungkin akan mampu meneruskan kegiatan sosialnya (Maslim, 2013).

II.2.4. Pemeriksaan

Hamilton Rating Scale of Depression (HAM-D) merupakan standar baku untuk menilai depresi dan telah digunakan selama lebih dari 40 tahun. HAM-D pertama kali digunakan pada tahun 1950-an untuk menilai efektivitas obat antidepresan generasi pertama dan dipublikasikan pada tahun 1960 (Bagby dkk, 2004).

Hamilton Rating Scale of Depression (HAM-D) terdiri dari 21 pertanyaan, akan tetapi 4 pertanyaan terakhir (variasi diurnal, derealisasi / depersonalisasi, simtom paranoid dan simtom obsesif-kompulsif) sebaiknya tidak dihitung dalam nilai total, karena gejala-gejala tersebut sangat jarang terjadi dan tidak mempengaruhi tingkat keparahan depresi.

Oleh sebab itu, HAM-D dengan 17 item pertanyaan telah menjadi standar dalam penilaian depresi. Durasi pemeriksaan HAM-D membutuhkan waktu sekitar 12 menit. Masing-masing item pertanyaan memiliki nilai 0 – 4 (tidak ada gejala, ringan, sedang, berat) atau 0 – 2 (tidak ada dan ada), dengan rentang nilai dari keseluruhan 17 pertanyaan antara 0 – 54. Nilai 0 – 6 mengindikasikan tidak ada depresi, 7 – 17 depresi ringan, 18 – 24 depresi sedang, dan >24 depresi berat (Cusin dkk, 2009).

II.2.5. Hubungan Lokasi Lesi Stroke dengan Depresi

Depresi merupakan sekuel yang sering terjadi pada stroke.

Prevalensi depresi secara klinis bervariasi dari 20% sampai dengan 50%

di antara pasien yang dirawat pada fase akut dan subakut dari penyembuhan stroke. Depresi pasca stroke dilaporkan memberikan pengaruh buruk pada penyembuhan fungsional dan kognitif dari pasien, dan hal ini juga berpengaruh terhadap penarikan diri dari kehidupan sosial pasca stroke, sehingga meningkatkan mortalitas (Bhogal dkk, 2004).

Penelitian yang saat ini sudah dilakukan di Indonesia sendiri yang didapatkan adalah penelitian oleh Nasution dkk (2018) mengenai lokasi lesi hemisfer pada stroke iskemik pertama kali yang mempengaruhi fungsi kognitif, dimana didapatkan bahwa lesi yang terjadi pada hemisfer kiri menyebabkan penurunan nilai fungsi kognitif (berdasarkan skor Montreal Cognitive Assessment-Indonesian Version/MoCA-INA) dibandingkan dengan lesi hemisfer kanan, namun tidak signifikan secara statistik.

Namun penelitian untuk depresi sendiri berdasarkan lokasi lesi stroke belum ada.

Dua teori dari depresi paska stroke telah diberikan. Pernyataan pertama bahwa depresi yang terjadi setelah stroke atau setelah cedera otak merupakan reaksi psikologis dari konsekuensi klinis stroke. Yang kedua menyatakan bahwa depresi muncul sebagai akibat dari lesi otak yang spesifik dan diperkirakan mempengaruhi perubahan neurotransmitter di otak. Menurut penelitian Folstein et al tahun 2003 bahwa lebih banyak

pasien stroke yang mengalami depresi dibandingkan dengan pasien ortopedi yang mengalami kecacatan, sehingga membuktikan bahwa lesi di otak itu sendiri dapat mempengaruhi mood. Kemudian, bahwa perbedaan reaksi emosional tergantung dari hemisfer mana yang mengalami infark yang berhubungan dengan dasar organik dari depresi. Pada penelitian Robinson dkk (2004) menyatakan bahwa lesi pada serebri anterior kiri berhubungan dengan nilai depresi yang lebih tinggi dibandingkan lesi posterior serebri kiri. Diagnosa gangguan depresi dijumpai hampir 70%

dari pasien stroke dengan lesi frontal kiri. Penelitian ini juga menyatakan bahwa hanya 15% dari variasi depresi dapat dijelaskan dengan keparahan gangguan intelektual, gangguan fisik, kualitas dukungan sosial, atau usia, dimana lokasi lesi menjelaskan 50% dari variasi tersebut (Bhogal dkk, 2004).

Penelitian yang mencari tahu hubungan antara lesi fokal dengan gangguan depresi pertama kali untuk mengidentifikasi lokasi regio otak yang mengalami kerusakan berhubungan dengan depresi. Penelitian Robinson dkk (2004) ini mengetahui bahwa lesi yang melibatkan regio frontal kiri dari otak berhubungan dengan frekuensi depresi yang lebih besar dalam 2 bulan pertama setalah megalami stroke akut dibandingkan dengan lesi dari hemisfer kanan atau lesi posterior hemisfer kiri. Penelitian yang lain mengidentifikasi bahwa lesi pada lobus frontal lateral kiri, kaudatus atau putamen lebih signifikan menyebabkan depresi selama periode stroke akut dibandingkan dengan lesi dari hemisfer kanan.

Adanya dasar anatomi pada keadaan depresi ini. Terdapat pernyataan yang berkembang bahwa abnormalitas dari pelepasan protein proinflamasi yang diprovokasi oleh cedera otak atau disfungsi regional memegang peranan penting dalam disfungsi fisiologis dan neurokimia yang mendasari patofisiologi dari depresi. Terdapat data eksperimen pada manusia dan hewan yang menyatakan bahwa iskemia serebral mengakibatkan gangguan dari sitokin proinflamasi seperti Interleukin (IL) -1,IL-6, dan IL-18 serta Tumor Necrosis Factor (TNF) alpha 20-22. Sitokin ini akan menghasilkan aktivasi dari indolamine 2,3-dioksigenase, yang memetabolisme triptofan menjadi kinurenin, yang akan mengurangi produksi serotonin. Kemudian, obat antidepresan menunjukkan terdapat efek antiinflamasi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa level perifer IL-18 berkorelasi negatif dengan tingkat keparahan depresi pada pasien stroke akut. Hal ini menunjukkan bahwa proses inflamasi mengakibatkan depresi paska stroke. Mekanisme depresi ini pada pasien dengan stroke akut dan kronik harus dipertimbangkan secara berbeda dan hal ini berpengaruh terhadap penanganan intervensi. (Robinson and Spalletta, 2010)

Depresi paska stroke berhubungan dengan faktor-faktor neuroanatomi yaitu : (Feng, dkk, 2014)

1. Hipotesis lokasi lesi : beberapa penelitian menunjukkan bahwa hemisfer kiri, terutama lobus frontal kiri dan basal ganglia merupakan area kritikal dari depresi paska stroke. Beberapa peneliti menyimpulkan mereka sebagai Frontal Subcortical Circuits

(FSC) dan Limbic-cortical-striatal-pallidal-thalamis Circuits (LCSPTC). Penelitian Tang dkk (2014) mempelajari dari 591 pasien dan menemukan bahwa adanya infark pada FSC berhubungan signifikan dengan depresi post stroke. Terroni dkk (2014) menunjukkan bahwa infark pada LCSPTC, khususnya area pada korteks prefrontal medial kiri, berhubungan dengan depresi paska stroke.

2. Ukuran infark : ukuran infark merupakan karakteristik lesi yang lain yang mungkin berhubungan dengan adanya dan tingkat keparahan dari depresi paska stroke. Infark yang luas dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih parah pada area kritikal yang berhubungan dengan modulasi behavior emosional dan perubahan biokimia.

Defisit neurologis yang berat menyebabkan infark yang besar yang dapat menjadi faktor sosia-psikologis yang penting yang berhubungan dengan depresi paska stroke.

3. Hipotesis depresi vaskular : pada tahun 90an, peneliti mengobservasi hiperintensitas pada white matter dan silent cerebral infarction berhubungan dengan frekuensi yang lebih tinggi dan tingkat keparahan yang lebih berat pada onset depresi pada usia tua. Berdasarkan pada penemuan ini, Krishnan dkk (2008) dan Alexopoulos dkk (2007) mengemukakan hipotesis depresi vaskular yang menekankan peran dari penyakit serebrovaskular khususnya small vessel disease dalam patogenesis depresi usia tua.

Berdasarkan hipotesis ini, silent lesion mengganggu jalur cortico-striato-pallido-thalamo-cortical dan kemudian menghasilkan gejala depresif, mirip dengan hipotesis lokasi lesi dari depresi paska stroke.

II.3 DENYUT JANTUNG DAN STROKE II.3.1 Denyut Jantung pada Stroke

Inervasi otonom kardiak berasal dari nuklei di batang otak (parasimpatis) dan spinal (simpatis). Dasar anatomi untuk pengaruh hemisfer serebri pada fungsi otonom adalah dimana adanya proyeksi dari nuklei otonom dari kortikal, amydaloid, hipotalamik, dan struktur limbik.

Infark serebri dianggap mengurangi inervasi otonom kardiak dengan memindahkan stimulasi suprasegmental ipsilateral dari nuklei otonom primer. Bukti tambahan lainnya bahwa adanya hubungan antara hipertensi sistemik dan kompresi neurovaskular pada nervus kranialis ke-9 dan 10 hanya pada sisi kiri medulla (Barron dkk, 2004).

Lateralisasi dari inervasi otonom perifer dari jantung telah dijelaskan. Pada percobaan binatang, ablasi pada ganglion stelata kiri meningkatkan ambang fibrilasi ventrikular dimana untuk ablasi ganglion stelata kanan menghasilkan efek yang berlawanan. Pada manusia, sebelum terapi dengan Beta Blocker, fibrilasi ventrikular berhubungan dengan sindroma pemanjangan interval QT pada Elektrokardiografi (EKG) telah sukses diterapi dengan ablasi ganglion stelata kiri. Diketahui juga bahwa nodus sinoatrial diinervasi oleh vagus kanan, dimana nodus

atrioventrikular menerima inervasi parasimpatis kebanyakan dari vagus kiri. Observasi ini dapat memprediksi efek parasimpatis dari lesi hemisfer kiri memiliki pengaruh yang kurang pada nodus sinoatrial daripada lesi hemisfer kanan. Infark hemisfer kanan berhubungan dengan penurunan aktivitas parasimpatis yang lebih besar dibandingkan dari infark pada hemisfer kiri (Barron dkk, 2004).

Penyakit serebrovaskular biasanya dapat menyebabkan komplikasi kardiovaskular, kemungkinan akibat adanya disregulasi dari sistem saraf otonom. Hal ini secara prognostik merupakan komplikasi yang tidak diharapkan kemungkinan akibat dari peningkatan tonus simpatis, tetapi mekanisme pasti dari ketidakseimbangan otonom dan patogenesis dari komplikasi ini masih belum jelas (Korpelainan dkk, 2004).

Pada otak yang mengalami iskemia, peningkatan tonus simpatetik menyebabkan peningkatan level katekolamin yang bersirkulasi dan berhubungan dengan komplikasi jantung seperti aritmia, perubahan EKG, dan iskemik jantung. Peningkatan tonus simpatis pada fase akut infark serebri berhubungan dengan terganggunya prognosis akibat dari komplikasi jantung, tetapi durasi disfungsi otonom dan stabilitasnya masih belum dipelajari dengan lengkap. Kemudian, kemungkinan perubahan pada aktivitas parasimpatis pada infark serebri dan perannya dalam menghasilkan gangguan otonom dan komplikasi jantung masih belum dipahami (Korpelainan dkk, 2004).

Kerusakan kontrol otonom dari sistem regulasi kardiovaskular dapat diperiksa dengan uji refleks kardiovaskular berdasarkan perubahan denyut jantung dan tekanan darah saat istirahat dan setelah dengan beberapa stimulus. Keabnormalan umumnya menunjukkan hipofungsi dari sistem saraf simpatis dari sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Adanya penekanan pada refleks sepertinya berhubungan dengan komplikasi yang serius dan peningkatan angka mortalitas yang signifikan pada diabetes dan peminum alkohol (Korpelainen dkk, 2004).

II.3.2. Hubungan Lokasi Lesi Stroke dengan Denyut Jantung

Pada banyak spesies korteks insular memiliki peran penting dalam integrasi fungsi otonom. Organisasi viserotropik telah dikatakan terjadi pada insula dari tikus. Organisasi kronotropik kardiak diidentifikasi pada insula posterior rostral. Mikrostimulasi fasik pada insula kiri tikus menghasilkan gelombang QT memanjang, depresi gelombang ST, bradikardia, complete heart block, dan idioventricular rhythm ending pada asistol. Miositolisis muncul pada pemeriksaan enzim jantung dan level plasma noradrenaline meningkat, tanpa perubahan dari adrenalin (dimana pada percobaan tikus ini mengindikasikan asal dari neural dibandingkan dari adrenal). Stimulasi serebral dapat menghasilkan perubahan aritmia kardiak yang mematikan dapat terlihat setelah stroke ataupun kematian yang mendadak pada epilepsi (Oppenheimer, 2006).

Lesi yang utamanya terjadi insula posterior kanan pada tikus meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung tanpa mengganggu

sensitivitas baroreseptor. Berbeda hal dengan lesi insular posterior kiri tidak mengganggu variabel kardiovaskular, tetapi meningkatkan sensitivitas baroreseptor. Sebelumnya, telah disebutkan bahwa kerusakan pada hemisfer kanan pada oklusi arteri serebri media pada percobaan tikus meningkatkan interval QT dan plasma norepinefrin. Lesi kimiawi yang melibatkan pada insula kanan juga dapat meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah (Oppenheimer, 2006).

Pada manusia pemberian infus amylobarbital karotis kanan dapat menghasilkan bradikardi, dan infus pada karotis kiri menghasilkan takikardi. Sebagai tambahan, peningkatan insiden dari supraventrikular takikardi dilaporkan pada pasien dengan stroke pada arteri serebri media kanan. Investigasi pada manusia mengindikasikan bahwa stimulasi insular anterior kaudal kiri selama operasi pada epilepsi intractable meningkatkan frekuensi bradikardi dan respon depresor, dimana stimulasi pada regio yang serupa pada insula anterior kanan berhubungan dengan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah diastolik. Walaupun kedua tipe respons tersebut muncul dari insula yang mana saja, proporsinya bervariasi, dan derajat bradikardi lebih besar pada stimulasi insular kiri.

Data ini mengindikasikan bahwa pada manusia, terjadi beberapa lateralisasi dari presentasi kardiovaskular dapat muncul dengan predominan simpatis dari regulasi kardiovaskular pada fungsi insular kanan dan regulasi neural-kardiak parasimpatis berperan pada insula kiri (Oppenheimer, 2006).

Efek dari gangguan pada fungsi hemisfer serebri pada sistem saraf otonom telah menjadi fokus pada banyak penelitian, khususnya dengan fungsi kardiovaskular. Bukti bahwa adanya interaksi hemisfer serebri dengan otonom termasuk perubahan EKG dengan variasi lesi neurologis, termasuk Subarachnoid Hemorrhage (SAH), perdarahan intraserebral, dan stroke iskemik, seperti aritmia jantung dan bahkan kematian berhubungan dengan kejang epileptik. Pada penelitian Lane dkk (2000) mengatakan bahwa efek yang berbeda infark serebri pada ritme jantung, Supraventrikular takikardi secara signifikan berhubungan dengan stroke pada hemisfer kanan, dimana pasien dengan stroke pada hemisfer kiri cenderung memiliki aritmia ventrikular. Peneliti juga berpendapat bahwa tonus parasimpatis berkurang secara ipsilateral pada sisi yang mengalami infark serebri, yang menghasilkan peningkatan relatif pada tonus simpatis pada sisi tersebut (Barron dkk, 2004).

II.4. KERANGKA TEORI

Keterangan :

1. Lesi yang melibatkan region frontal kiri berhubungan dengan frekuensi depresi yang lebihj tinggi dalam 2 bulan pertama setelah stroke akut dibanding dengan lesi pada hemisfer kanan ataupun lesi posterior hemisfer kiri. (Robinson and Spaletta, 2010)

2. Kerusakan pada lobus frontal kiri dan basal ganglia sebagai area kritikal dari depresi paska stroke, dimana peneliti menyimpulkan daerah tersebut sebagai FSC (FrontaL Subcortical Circuits) dan LCSPTC (Limbic-cortical-striatal-pallidal-thalamic circuits) yang terbukti sebagai kunci yang memodulasi behavior emosional pada subjek nonstroke berdasarkan penelitian-penelitian di daerah tersebut. (Feng dkk, 2014).

3. Berdasarkan penelitian-penelitian diketahui bahwa korteks insular memiliki peran penting dalam integrasi fungsi otonom. Lesi yang terjadi pada insula kiri akan meningkatkan sensitivitas baroreseptor dan system saraf parasimpatis akan lebih dominan, sehingga dapat menyebabkan bradikardi. (Oppenheimer, 2004)

4. Lesi yang terjadi pada insula kanan akan mengganggu akan mempengaruhi variabel dari kardiovaskular (denyut jantung dan tekanan darah) tanpa mengganggu sensitivitas baroreseptor (sistem saraf simpatis lebih dominan), serta meningkatkan norepinefrin, Hal ini akan meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah.(Oppenheimer, 2004)

II.5. KERANGKA KONSEP

STROKE ISKEMIK AKUT

DEPRESI FREKUENSI DENYUT

JANTUNG LOKASI LESI STROKE

BAB III

METODE PENELITIAN

III.1. TEMPAT DAN WAKTU

Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK – USU/ RSUP H.Adam Malik Medan dari tanggal 22 Agustus 2018 s/d 31 Januari 2019.

III.2. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian diambil dari populasi pasien yang dirawat inap ruangan Rindu A4 Departemen Neurologi dan Stroke Corner (SC).

Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling non random secara konsekutif.

III.2.1. Populasi Sasaran

Semua penderita stroke iskemik akut yang ditegakkan dengan pemeriksaan klinis.

III.2.2. Populasi Terjangkau

Semua penderitastroke iskemik akut yang dirawat di SMF Neurologi FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.

III.2.3.Besar Sampel

Ukuran sampel dihitung menurut rumus pada satu populasi :

n1=n2[𝑍(1−∝ 2 𝑃𝑜 1−𝑃𝑜 + 𝑍(1−𝛽 ) 𝑃𝑎(1−𝑃𝑎)]2 (𝑃𝑎−𝑃𝑜)2

Keterangan :

Perhitungan sampel untuk pasien stroke iskemik akut dengan perubahan frekuensi denyut jantung

𝑍(1−∝ 2) = deviat baku alpha, untuk ∝ = 0,10 maka nilai baku normalnya 1,282

𝑍(1−𝛽) = deviat baku alpha, untuk β = 0,20 maka nilai baku normalnya 0,842

𝑃0= proporsi kejadian komplikasi jantung pada pasien stroke iskemik akut

= 0,22(22%) (Kenmogni-Domning dkk, 2018)

𝑃𝑎= perkiraan proporsi kejadian komplikasi jantung = 0,50 (50%) (𝑃𝑎 − 𝑃𝑜) = beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar = 0,28

Sehingga,

n1=n2[1,282 0,22 1−0.22 + 0,842 0,5(1−0,5)]2 0,28 2

Maka sampel minimal untuk kelompok pasien stroke iskemik dengan perubahan frekuensi denyut jantung sebanyak 15 orang (Lemeshow dkk, 1990).

Perhitungan sampel untuk pasien stroke iskemik akut dengan depresi

𝑍(1−∝ 2) = deviat baku alpha, untuk ∝ = 0,10 maka nilai baku normalnya 1,282

𝑍(1−𝛽) = deviat baku alpha, untuk β = 0,20 maka nilai baku normalnya 0,842

𝑃0= proporsi kejadian depresi pada pasien stroke iskemik akut = 0,21 (21%) (Robinson dkk,2010)

𝑃𝑎= perkiraan proporsi kejadian depresi = 0,50 (50%)

(𝑃𝑎 − 𝑃0) = beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar = 0,29

Sehingga,

n1=n2[1,282 0,21 1−0.21 + 0,842 0,5(1−0,5)]2 0,29 2

Maka sampel minimal untuk kelompok pasien stroke iskemik akut dengan depresi sebanyak 12 orang (Lemeshow dkk, 1990).

III.2.4. Kriteria Inklusi

1. Semua pasienstroke iskemik akutyang sudah dilakukan pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT Scan) kepala untuk menentukan lokasi lesi yang dirawat inap di rawat inap neurologi (RA4) dan SC RSUP H. Adam Malik Medan

2. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian.

III.2.5. Kriteria Eksklusi

2. Pasien dengan riwayat gangguan psikiatri sebelumnya.

3. Pasien dengan riwayat stroke sebelumnya.

4. Pasien dengan penyakit jantung sebelumnya (riwayat Atrial Fibrilation/AF, penyakit katup jantung, penyakit gangguan irama jantung, Penyakit Jantung Koroner/PJK, Penyakit Jantung Bawaan) dengan riwayat penggunaan obat jantung.

III.3. BATASAN OPERASIONAL

1. Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan infark fokal serebral,spinal dan infark retinal (Sacco dkk, 2013).

Dengan fase akut dari stroke selama 7 hari pertama dari onset stroke (Jauch dkk, 2013). Penegakan stroke iskemik dilakukan dengan Head CT Scan.

2. Lokasi lesi stroke merupakan lokasi dari stroke iskemik akut yang ditentukan dengan pembacaan Head CT Scan.

Lokasi lesi yang akan digunakan : Lobus frontal, Lobus parietal, Lobus temporal, Lobus oksipital, Basal Ganglia, Serebelum dan Batang otak yang semuanya akan terbagi atas hemisfer kiri dan hemisfer kanan.

3. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta kekurangan energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktifitas (International Classification of Diseases and Related Health Problems,1992).

Depresi diukur dengan menggunakan kuesioner Hamilton Rating Scale of Depression yang memiliki 17 item pertanyaan yang telah menjadi standar dalam penilaian depresi, dengan rentang nilai dari keseluruhan 17 pertanyaan antara 0 – 54. Nilai 0 – 6 mengindikasikan tidak ada depresi, 7 – 17 depresi ringan, 18 – 24 depresi sedang, dan >24 depresi berat (Cusin dkk, 2009).

Depresi diukur dengan menggunakan kuesioner Hamilton Rating Scale of Depression yang memiliki 17 item pertanyaan yang telah menjadi standar dalam penilaian depresi, dengan rentang nilai dari keseluruhan 17 pertanyaan antara 0 – 54. Nilai 0 – 6 mengindikasikan tidak ada depresi, 7 – 17 depresi ringan, 18 – 24 depresi sedang, dan >24 depresi berat (Cusin dkk, 2009).

Dokumen terkait