HUBUNGAN ANTARA LOKASI LESI STROKE DENGAN FREKUENSI DENYUT JANTUNG DAN DEPRESI PADA PASIEN STROKE ISKEMIK AKUT
Oleh
SHEILA MARIA KRISTINA 137112009
PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALISNEUROLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK MEDAN
2019
HUBUNGAN ANTARA LOKASI LESI STROKE DENGAN FREKUENSI DENYUT JANTUNG DAN DEPRESI PADA PASIEN STROKE ISKEMIK
AKUT
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang sepengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah dituliskan atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, 16 April 2019
Sheila Maria Kristina
PANITIA TESIS AKHIR
1. Prof. DR. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K) 2. dr. Darlan Djali Chan, Sp.S
3. dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K) 4. dr. Rusli Dhanu, Sp.S(K)
5. Dr. dr. Kiking Ritarwan, MKT, Sp.S(K) (Penguji) 6. Dr. dr. Aldy Rambe, Sp.S(K)
7. Dr. dr. Puji Pinta O. Sinurat, Sp.S (K) (Penguji) 8. Dr. dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S (K) (Penguji) 9. dr. Iskandar Nasution, Sp.S, FINS
10. dr. Cut Aria Arina, Sp.S 11. dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S 12. dr. Alfansuri Kadri, Sp.S 13. dr. Aida Fitri, Sp.S (K)
14. dr. Irina Kemala Nasution, M.Ked(Neu), Sp.S 15. dr. Haflin Soraya Hutagalung, M.Ked(Neu), Sp.S 16. dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked(Neu), Sp.S
17. dr. RA. Dwi Pujiastuti, M. Ked(Neu), Sp.S
18. dr. Chairil Amin Batubara, M. Ked(Neu), Sp.S 19. dr. M. Yusuf,Sp.S FINS
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa, atas berkat, dan rahmat-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan tesis magister kedokteran klinik ini.
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi persyaratan penyelesaian Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya, kepada : 1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan kepada penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. dr. Hasan Sjahrir, Sp.S(K), selaku Guru Besar Tetap Departemen Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara / RSUP H.Adam Malik Medan yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini..
3. Dr. dr. Khairul P. Surbakti, Sp.S(K), sebagai Ketua Departemen / SMF Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan yang banyak memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
4. Dr. dr. Kiking Ritarwan, Sp.S(K), MKT, Ketua Program Studi Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara di saat penulis melakukan penelitian dan saat tesis ini selesai disusun yang banyak memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis dalam menyelesaikan tesis ini.
M.Ked(Neu), Sp.S selaku pembimbing penulis yang dengan sepenuh hati telah mendorong, membimbing, mengoreksi dan mengarahkan penulis mulai dari perencanaan, pembuatan dan penyelesaian tesis ini.
6. Guru-guru penulis: (Alm.) Prof. dr. DarulkutniNasution, Sp.S(K); dr.
Darlan Djali Chan, Sp.S; dr, Rusli Dhanu, Sp.S (K), dr. Yuneldi Anwar, Sp.S(K), Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe,Sp.S(K), Dr.dr. KikingRitarwan, MKT, Sp.S(K) Dr.dr. Khairul Putra Surbakti, Sp.S(K),Dr.dr. PujiPinta O. Sinurat, Sp.S(K); dr. IskandarNasution, Sp.S, FINS, Sp.S; dr. Cut Aria Arina, Sp.S; dr. Kiki M. Iqbal, Sp.S; dr. Alfansuri Kadri, Sp.S; dr.
Aida Fithrie, Sp.S(K); dr. Irina KemalaNasution, M. Ked(Neu) Sp.S; dr.
HaflinSoraya Hutagalung, M.Ked(Neu), Sp.S, dr. Fasihah Irfani Fitri, M.Ked(Neu), Sp.S, dr. RA. Dwipujiastuti, M.Ked(Neu) Sp.S, dr. Chairil Amin Batubara, M. Ked(Neu) Sp.S, dr. M Yusuf, Sp.S FINS dan guru lainnya yang tidakdapatpenulissebutkansatupersatu, yang telahbanyakmemberikanmasukanselamamengikuti Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi.
7. Dr. Ir. Erna Mutiara, M.Kes, selaku pembimbing statistik yang telah banyak meluangkan waktunya yang berharga untuk berdiskusi dan membimbing penulis dalam penulisan tesis ini.
8. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik.
9. Rekan-rekan sejawat peserta PPDS Departemen Neurologi FK-USU / RSUP. H. Adam Malik Medan yang telah memberikan masukan dan dorongan yang membangkitkan semangat penulis dalam penyelesaian tesis ini.
10. Para perawat dan pegawai di berbagai tempat dimana penulis pernah bertugas selama menjalani Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik ini, serta berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
Program Pendidikan Magister Kedokteran Klinik Spesialis Neurologi.
11. Semua pasien yang berobat ke Departemen Neurologi RSUP H. Adam Malik Medan yang telah bersedia berpartisipasi secara sukarela dalam penelitian ini.
12. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus saya ucapkan kepada kedua orang tua saya, Roganda Saragih dan Elysa br Pakpahan yang telah membesarkan saya dengan penuh kasih sayang, dan senantiasa memberi dukungan moril, tenaga dan materiil, bimbingan dan nasehat yang berharga serta doa yang tiada putus agar penulis dapat menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi.
13. Teristimewa kepada suami saya tercinta,dr. Erwin Hendrikus Purba, M.Kesyang selaludengansabardanpenuhpengertian mendampingidanmembantudenganpenuhcintadankasih sayang dalamsukadanduka, sayaucapkanterimakasih yang setulus-tulusnya.
14. Terima kasih kepada kedua anak saya tercinta Sherin Laura Purba dan Edbert Rajaya Purba yang telah dengan sepenuh hati mendampingi dan menghibur dengan sepenuh cinta, saya ucapkan terima kasih setulus – tulusnya.
15. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus juga saya ucapkan kepada kedua mertua saya,Jarpendi Purba dan Roslina Sembiring yang senantiasa memberi dukungan moril, tenaga dan materiil, bimbingan dan nasehat yang berharga serta doa yang tiada putus agar penulis dapat menyelesaikan Program Pendidikan Dokter Spesialis Neurologi
16. Kepada seluruh keluarga, rekan, dan sahabat yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu yang senantiasa membantu, memberi dorongan, pengertian, kasih sayang dan doa dalam menyelesaikan pendidikan ini, penulis haturkan terima kasih yang sebesar-besarnya.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis tanpa pamrih dalam
penelitian dan tulisan ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, 16 April 2019
Sheila Maria Kristina
Nama lengkap : dr. Sheila Maria Kristina,M.Ked(Neu) Tempat / tanggal lahir : Medan, 15 Juli 1988
Agama : Kristen Katolik
Nama Ayah : Roganda Saragih Nama Ibu : Elysa br. Pakpahan
Nama Suami : dr. Erwin Hendrikus Purba, M.Kes Nama Anak : 1. Sherin Laura Purba
2. Edbert Rajaya Purba
Riwayat Pendidikan
1. Sekolah Dasar di SD Methodist-7, tamat tahun 2000.
2. Sekolah Menengah Pertama di SMP Budi Murni-1 Medan, tamat tahun 2003.
3. Sekolah Menengah Umum di SMU St. Thomas-1Medan, tamat tahun 2006.
4. Fakultas Kedokteran di Universitas Sumatera Utara, tamat tahun 2012.
Riwayat Pekerjaan
Tahun 2013 – 2014 : Dokter Internship di RSUD Sidikalang, Dairi, Sumatera Utara
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... ix
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR SINGKATAN ... xiii
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR LAMPIRAN ... xv
ABSTRAK ... xvi
ABSTRACT ... xvii
BAB IPENDAHULUAN ... 1
I.1. LATAR BELAKANG... 1
I.2. RUMUSAN MASALAH ... 5
I.3. TUJUAN PENELITIAN ... 5
I.3.1. Tujuan Umum ... 5
I.3.2. Tujuan Khusus ... 5
I.4.HIPOTESIS ... 6
I.5. MANFAAT PENELITIAN... 7
I.5.1. Manfaat Penelitian untuk Penelitian ... 7
I.5.2. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan ... 7
I.5.3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat ... 7
BAB IITINJAUAN PUSTAKA ... 8
II.1. STROKE ISKEMIK ... 8
II.1.1. Definisi ... 8
II.1.2. Epidemiologi ... 8
II.1.3. Klasifikasi ... 10
II.1.4. Faktor Risiko Stroke ... 12
II.2. DEPRESI ... 14
II.2.1. Definisi ... 14
II.2.2. Etiologi ... 15
II.2.5. Hubungan Lokasi Lesi Stroke dengan Depresi ... 19
II.3. Denyut Jantung dan Stroke ... 22
II.3.1. Denyut Jantung pada Stroke ... 22
II.3.2. Hubungan Lokasi Lesi Stroke dengan Denyut Jantung ... 24
II.4. KERANGKA TEORI ... 28
II.5. KERANGKA KONSEP ... 29
BAB IIIMETODE PENELITIAN ... 31
III.1. TEMPAT DAN WAKTU... 31
III.2. SUBJEK PENELITIAN ... 31
III.2.1. Populasi Sasaran ... 31
III.2.2. Populasi Terjangkau ... 31
III.2.3. Besar Sampel ... 32
III.2.4. Kriteria Inklusi ... 33
III.2.5. Kriteria Eksklusi ... 33
III.3. BATASAN OPERASIONAL ... 34
III.4. RANCANGAN PENELITIAN ... 36
III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN... 36
III.5.1. Instrumen ... 36
III.5.2. Pengambilan Sampel ... 36
III.5.3. Kerangka Operasional ... 37
III.5.4. Variabel yang Diamati ... 38
III.5.5. Analisa Statistik ... 38
III.5.6. Jadwal Penelitian ... 39
III.5.7. Biaya Penelitian ... 40
III.5.8. Personalia Penelitian ... 40
BAB IVHASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 41
IV.1. HASIL PENELITIAN ... 41
IV.1.1. Karakteristik Demografik Subyek Penelitian ... 41
IV.1.2. Hubungan Frekuensi Denyut Jantung Berdasarkan Lokasi Lesi ... 43 IV.1.2.1. Hubungan Frekuensi Denyut Jantung Saat
IV.1.2.2. Hubungan Frekuensi Denyut Jantung Saat
Duduk Berdasarkan Lokasi Lesi ... 45
IV.1.2.3. Hubungan Frekuensi Denyut Jantung Saat Menahan Napas Berdasarkan Lokasi Lesi ... 46
IV.1.2.4. Hubungan Frekuensi Denyut Jantung Setelah Menahan Napas Berdasarkan Lokasi Lesi ... 47
IV.1.2.5. Perbandingan Frekuensi Denyut Jantung Antara Lokasi Lesi ... 47
IV.1.3. Hubungan Lokasi Lesi dengan Depresi ... 48
IV.2. PEMBAHASAN ... 50
IV.2.1. Karakteristik Demografik dan Klinis Subyek Penelitian ... 50
IV.2.2. Hubungan Frekuensi Denyut Jantung dengan Lokasi Lesi... 52
IV.2.2.1.Hubungan Frekuensi Denyut Jantung Saat Istirahat dengan Lokasi Lesi ... 54
IV.2.2.2.Hubungan Frekuensi Denyut Jantung Saat Duduk dengan Lokasi Lesi ... 54
IV.2.2.3. Hubungan Frekuensi Denyut Jantung Saat Menahan Napas dengan Lokasi Lesi ... 55
IV.2.2.4. Hubungan Frekuensi Denyut Jantung Setelah Menahan Napas dengan Lokasi Lesi ... 56
IV.2.3. Hubungan Depresidengan Lokasi Lesi Stroke ... 56
IV.2.4. Keterbatasan Penelitian ... 58
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN ... 59
V.1. KESIMPULAN ... 59
V.2. SARAN ... 60
DAFTAR PUSTAKA 60
LAMPIRAN
AF : Atrial Fibrilation
CT : Computed Tomography dkk : dan kawan-kawan DM tipe 2 : Diabetes Mellitus tipe 2
DSM : Diagnosticand Statistical Manual of Mental Disorders EKG : Elektrokardiografi
FK-USU : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara FSC : Frontal Subcortical Circuits
HAM-D : Hamilton Rating Scale of Depression ICD : International Classification of Diseases IL : Interleukin
LCSPTC : Limbic-cortical-striatal-pallidal-thalamis Circuits MoCA-INA : Montreal Cognitive Assessment-Indonesian Version MRI : Magnetic Resonance Imaging
Nakes : Tenaga Kesehatan
PERDOSSI : Perhimpunana Dokter Spesialis Saraf Indonesia PJK : Penyakit Jantung Koroner
PPDGJ III : Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
SAH : Subarachnoid Hemorrhage SC : Stroke Corner
SSP : Sistem Saraf Pusat
SPSS : Statistical Product and Science Service TIA : Transient Ischemic Attack
TNF : Tumor Necrosis Factor
TOAST : Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment
Tabel 1. Karakteristik Demografik Subyek Penelitian…………. 42 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Denyut Jantung Berdasarkan
Lokasi Lesi……….. 43 Tabel 3. Hubungan Frekuensi Denyut Jantung Saat Istirahat
dengan Lokasi Lesi……… 44 Tabel 4. Hubungan Frekuensi Denyut Jantung Saat Duduk
dengan Lokasi Lesi……… 45 Tabel 5. Hubungan Frekuensi Denyut Jantung Saat Menahan
Napas Berdasarkan Lokasi Lesi………. 46 Tabel 6. Hubungan Frekuensi Denyut Jantung Setelah
Menahan Napas Berdasarkan Lokasi Lesi……… 47 Tabel 7. Perbandingan Frekuensi Denyut Jantung Antara
Lokasi Lesi……….. 48 Tabel 8. Distribusi Frekuensi Lokasi Lesi Stroke Dengan
Kategori Depresi………. 49 Tabel 9. Hubungan Lokasi Lesi dengan Kategori Depresi…….. 50
Lampiran 1 Lembaran Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian Lampiran 2 Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP)
Lampiran 3 Lembar Pengumpulan Data
Lampiran 4 Hamilton Rating Scale of Depression
ABSTRAK
Hubungan Antara Lokasi Lesi Stroke dengan Frekuensi Denyut Jantung dan Depresi pada Pasien Stroke Iskemik Akut Latar Belakang
Stroke menyebabkan lesi pada sistem saraf pusat yang umumnya dapat menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskular dan fungsi otonom lain.Kontribusi dari komplikasi kardiak terhadap kematian pada pasien dengan stroke bervariasi dari berbagai penelitian, berkisar mulai dari 12,5% sampai dengan 22,7%.Sekuel dari stroke yang sering terjadi adalah depresi. Prevalensi dari klinis depresi bervariasi dari 20% sampai dengan 50% di antara pasien yang dirawat selama fase akut dan subakut.
Tujuan
Untuk mengetahui hubungan antara lokasi lesi stroke dengan frekuensi denyut jantung dan depresi pada pasien stroke iskemik akut.
Metode
Studi ini merupakan studi potong lintang dengan jumlah subjek 15 orang pada masing-masing kelompok pasien stroke iskemik akut yang telah dilakukan CT Scan kepala dan diketahui lokasi lesi stroke yang akan diteliti frekuensi denyut jantung pada saat istirahat, duduk, saat menahan napas dan setelah menahan napas serta kelompok pasien stroke yang akan diteliti apakah depresi atau tidak. Penelitian dilakukan di Rawat Inap Neurologi di RSUP H. Adam Malik. Data demografi disajikan secara deskriptif. Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi denyut jantung dan depresi dengan lokasi lesi stroke iskemik digunakan uji Mann- Whitney.
Hasil
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lokasi lesi stroke iskemik akut (hemisfer kiri vs hemisfer kanan) dengan frekuensi denyut jantung saat istirahat (p=0,309), frekuensi denyut jantung saat duduk (p=0,342), frekuensi denyut jantung saat menahan napas (p=0,675), dan frekuensi denyut jantung setelah menahan napas (p=0,256).pada penelitian ini juga tidak terdapat hubungan antara depresi dengan lokasi lesi pada pasien stroke iskemik akut (p=0,650). Jenis kelamin terbanyak pada penelitian ini adalah perempuan dengan rata-rata usia 54,8 tahun dan lokasi lesi stroke yang paling banyak dijumpai adalah hemisfer kanan terutama pada basal ganglia kanan.
Kesimpulan
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara frekuensi denyut jantung dan depresi dengan lokasi lesi stroke iskemik pada pasien stroke iskemik akut.
Kata kunci : Stroke Iskemik Akut – Lokasi Lesi – Depresi – Frekuensi Denyut jantung
ABSTRACT
Association Between Location of Stroke Lesion With Heart Rate and Depression in Acute Ischemic Stroke Patients.
Background
Stroke causes lesions in the central nervous system which generally can cause interference with cardiovascular function and other autonomic functions. The contribution of cardiac complications to mortality in patients with stroke varies from various studies, ranging from 12.5% to 22.7%. The sequel to a stroke that often occurs is depression. The prevalence of clinical depression varies from 20% to 50% among patients treated during the acute and subacute phases.
Purpose
To determine the relationship between the location of stroke lesions with heart rate and depression in acute ischemic stroke patients.
Method
This study is a cross-sectional study with 15 subjects in each group of acute ischemic stroke patients who have had a head CT scan and known the location of stroke lesions to be examined for heart rate at rest, sitting, while holding their breath and after holding their breath and the group of stroke patients to be studied whether depressed or not. The study was conducted in the Inpatient Neurology at H. Adam Malik General Hospital.
Demographic data is presented descriptively. To find out the relationship between heart rate frequency and depression with the location of ischemic stroke lesions, the Mann-Whitney test was used.
Results
There was no significant relationship between the location of acute ischemic stroke lesions (left hemisphere vs. right hemisphere) with resting heart rate frequency (p = 0.309), heart rate frequency when sitting (p = 0.342), heart rate when holding breath (p = 0.675), and heart rate frequency after holding breath (p = 0.256). In this study there was also no relationship between depression and the location of lesions in acute ischemic stroke patients (p = 0.650). The highest sex in this study were women with an average age of 54.8 years and the location of stroke lesions that were most commonly found in the right hemisphere, especially in the right basal ganglia.
Conclusion
There is no significant relationship between heart rate frequency and depression with the location of ischemic stroke lesions in acute ischemic stroke patients
Keywords : Acute Ischemic Stroke – Lesion Location – Depression –
Heart Rate
BAB I PENDAHULUAN
I.1. LATAR BELAKANG
Stroke merupakan penyebab kedua tersering penyebab kematian setelah penyakit jantung dan penyebab ketiga terbanyak kecacatan di seluruh dunia (Kenmogne-Domning dkk, 2018). Stroke tetap menjadi masalah kesehatan utama dan diperkirakan bahwa terdapat 700.000 insidensi stroke yang terjadi setiap tahun di Amerika Serikat, yang menyebabkan kematian sebanyak 160.000 setiap tahunnya, dengan 4,8 juta penderita stroke yang bertahan hidup saat ini (Goldstein dkk, 2006).
Antara tahun 1990 sampai 2010, tantangan akibat penyakit stroke iskemik dan hemoragik meningkat secara signifikan yaitu masing-masing mengalami peningkatan 37% dan 47%, peningkatan untuk angka kematian mencapai masing-masing 21% dan 20%, dan peningkatan akibat kecacatan seumur hidup yang ditimbulkan mencapai masing- masing 18% dan 14%. Pada tahun 2015, angka kematian yang berhubungan dengan stroke diperkirakan mencapai 6,7 juta kematian.
Permasalah neurologi di awal penyakit yang berperan dalam kematian mencapai 43,9% kasus.Jumlah penderita penyakit stroke di Indonesia tahun 2013 berdasarkan diagnosis Tenaga Kesehatan (Nakes) tahun 2014 diperkirakan sebanyak 1.236.825 orang (7,0‰) sedangkan berdasarkan diagnosis Nakes/gejala diperkirakan sebanyak 2.137.941
orang (12,1‰). Berdasarkan diagnosis Nakes maupun diagnosis/gejala, Provinsi Jawa Barat memiliki estimasi jumlah penderita terbanyak yaitu sebanyak 238.001 orang (7,4‰) dan 533.895 orang (16,6‰), sedangkan Provinsi Papua Barat memiliki jumlah penderita paling sedikit yaitu sebanyak 2.007 orang (3,6‰) dan 2.955 orang (5,3‰). Di Sumatera Utara sendiri sendiri estimasi jumlah penderita yaitu 92.078 orang (10,3‰) (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Stroke menyebabkan lesi pada sistem saraf pusat yang umumnya dapat menyebabkan gangguan pada fungsi kardiovaskular dan fungsi otonom lain. Kontribusi dari komplikasi kardiak terhadap kematian pada pasien dengan stroke bervariasi dari berbagai penelitian, berkisar mulai dari 12,5% sampai dengan 22,7%. Data dari the Virtual International Stroke Trials Archive tahun 2018, mengungkapkan komplikasi kardiak paling serius terjadi dalam 14 hari pertama setelah terjadi stroke.
Komplikasi yang terjadi berupa hipertensi, hipotensi, infark miokardium, abnormalitas repolarisasi, aritmia jantung, disfungsi ventrikel kiri dan henti jantung (Kenmogne-Domning dkk, 2018). Pada otak yang mengalami infark meningkatkan tonus simpatis yang menyebabkan peningkatan level dari katekolamin yang bersirkulasi yang berhubungan terjadinya komplikasi kardiak yang sering terjadi. Peningkatan tonus simpatis pada fase akut infark serebri berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk akibat komplikasi kardiak, namun durasi disfungsi otonom dan stabilitasnya belum dipelajari dengan baik. Kerusakan kontrol otonom
pada sistem regulasi kardiovaskular saat ini diperiksa dengan tes refleks kardiovaskular dengan perubahan denyut jantung pada saat istirahat dan setelah beberapa stimulus (Korpelainen dkk, 2004).
Selain itu salah satu sekuel dari stroke yang sering terjadi adalah depresi. Prevalensi dari klinis depresi bervariasi dari 20% sampai dengan 50% di antara pasien yang dirawat selama fase akut dan subakut. Depresi paska stroke dilaporkan memiliki efek negatif terhadap penyembuhan kognitif dan fungsional dan berhubungan dengan penarikan diri terhadap social setelah stroke begitu juga peningkatan mortalitas (Bhogal dkk, 2004).
Dari penelitian-penelitian yang dikumpulkan, gejala depresif dijumpai pada 33% (95% CI, 29% sampai dengan 36%) dari seluruh pasien stroke. Penelitian yang dikumpulkan memperkirakan penelitian berdasarkan populasi ada 33% pada fase akut dan fase subakut, dengan peningkatan sedikit mencapai 34% pada fase penyembuhan setelah stroke. Terdapat variasi dalam frekuensi depresi yang dikumpulkan pada penelitian yang berbasis rumah sakit (akut 36%, jangka subakut 32%, jangka panjang 34%) dan penelitian berdasarkan rehabilitasi (akut 30%, medium 36%, dan jangka panjang 34%) (Hackett dkk, 2005).
Hubungan antara lokasi lesi stroke dengan depresi telah banyak menjadi topik penelitian. Bagaimanapun, hubungan yang kompleks ini tidak diketahui secara pasti walaupun telah banyak penelitian dengan
jumlah yang banyak telah diperiksa hubungannya. Pada penelitian Robinson dkk tahun 2004, mengidentifikasi hubungan spesifik antara lokasi lesi pada serebri anterior kiri berhubungan secara signifikan memiliki depresi yang lebih tinggi daripada lokasi lesi pada posterior kiri.
Diagnosa gangguan depresi ditemukan hampir pada 70% pasien stroke dengan lesi pada frontal kiri. Penelitian Robinson tahun 2004 memperkirakan bahwa hanya 15% varian depresi dapat dijelaskan dengan keparahan gangguan intelektual, gangguan fisik, kualitas sosial, atau usia, dimana lokasi lesi dijelaskan pada 50% variannya. Berbeda dengan penelitian systematic review oleh Carson dkk tahun 2004, ditemukan pada data dari 34 penelitian yang dikumpulkan, lokasi lesi tidak berhubungan dengan depresi. Resiko relatif dari kasus depresi yang dikumpulkan setelah stroke hemisfer kiri dibandingkan dengan stroke hemisfer kanan yaitu 0,93 (95% CI, 0,83 sampai dengan 1,62). Penelitian review ini tidak memberikan dukungan terhadap hipotesis bahwa resiko terjadi depresi setelah stroke dipengaruhi oleh lokasi lesi (Bhogal dkk, 2004).
Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa pada beberapa penelitian terdapat hubungan lokasi lesi stroke dengan depresi dan frekuensi denyut jantung pada pasien stroke iskemik akut. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk meneliti depresi dan frekuensi denyut jantung pada pasien stroke iskemik akut di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan.
1.2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang penelitian penelitian terdahulu seperti yang telah diuraikan di atas, maka dirumuskanlah masalah sebagai berikut:
Apakah terdapat hubungan antara lokasi lesi stroke dengan frekuensi denyut jantung dan depresi pada pasien stroke iskemik akut?
1.3. TUJUAN PENELITIAN Penelitian ini bertujuan:
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui hubungan antara lokasi lesi stroke denganfrekuensi denyut jantung dan depresi pada pasien stroke iskemik akut.
1.3.2. Tujuan khusus
1. Untuk mengetahui hubungan lokasi lesi stroke dengan frekuensi denyut jantung pada saat istirahat/berbaring pada pasien stroke iskemik akut di RSUP H. Adam Malik Medan.
2. Untuk mengetahui hubungan lokasi lesi stroke dengan frekuensi denyut jantung pada saat duduk pada pasien stroke iskemik akut di RSUP H. Adam Malik Medan.
3. Untuk mengetahui hubungan lokasi lesi stroke dengan frekuensi denyut jantung pada saat menahan nafas 1 menit pada pasien stroke iskemik akut di RSUP H. Adam Malik Medan.
4. Untuk mengetahui hubungan lokasi lesi stroke dengan frekuensi denyut jantung pada saat setelah menahan nafas pada pasien stroke iskemik akut di RSUP H. Adam Malik Medan.
5. Untuk mengetahui hubungan lokasi lesi stroke dengan depresi pada pasien stroke iskemik akut di RSUP H. Adam Malik Medan.
6. Untuk mengetahui gambaran karakteristik demografi, frekuensi denyut jantung dan skala depresi penderita stroke iskemik akut pada penderita yang mengalami kejadian stroke iskemik akutdi RSUP. H. Adam Malik Medan.
1.4. HIPOTESIS
1. Ada hubungan antara lokasi lesi stroke dengan frekuensi denyut jantung pada pasien stroke iskemik akut.
2. Ada hubungan antara lokasi lesi stroke dengan depresi pada pasien stroke iskemik akut.
1.5. MANFAAT PENELITIAN
1.5.1. Manfaat Penelitian untuk Ilmu Pengetahuan
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi secara keilmuan tentang pemberian terapi ataupun pencegahan pada pasien stroke iskemik akut yang sudah diketahui lokasi lesi stroke dalam pencegahan terjadinya gangguan jantung atau kejadian depresi pada pasien stroke.
1.5.2. Manfaat Penelitian untuk Penelitian
Dengan mengetahui hubungan antara lokasi lesi stroke dengan depresi dan frekuensi denyut jantung dapat dijadikan dasar untuk penelitian selanjutnya tentang hubungan antara lokasi lesi stroke dengan frekuensi denyut jantung dan depresi pada pasien-pasien stroke iskemik akut.
1.5.3. Manfaat Penelitian untuk Masyarakat
Dengan mengetahui hubungan antara lokasi lesi stroke dengan depresi dan frekuensi denyut jantung pada pasien stroke iskemik akut maka keluarga atau caregiver pasien stroke dapat mewaspadai komplikasi-komplikasi yang timbul setelah stroke terutama masalah jantung dan depresi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1. STROKE ISKEMIK II.1.1. Definisi
Stroke iskemik adalah suatu episode disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark fokal pada serebral, spinal, atau retina (Sacoo dkk, 2013).
II.1.2. Epidemiologi
Secara umum, angka kematian stroke pada negara-negara Asia kecuali Jepang dan Singapura lebih tinggi daripada di negara Barat, namun ada baiknya menyebutkan bahwa Jepang memiliki mortalitas stroke yang tertinggi di dunia pada tahun 1965. Hal ini cepat menurun 80% selama periode 1965-1990. Angka kematian stroke di Jepang mirip dengan yang di negara-negara Barat. Menariknya, tren kematian stroke di Cina dan Korea Selatan sekarang menunjukkan karakteristik yang mirip dengan tren Jepang yang diamati di masa lalu. Dimana negara-negara Asia Timur memiliki angka kematian lebih tinggi pada stroke, tetapi kematian karena penyakit jantung koroner lebih rendah dari negara- negara Barat. Negara-negara Asia lainnya memiliki angka kematian yang lebih tinggi pada penyakit jantung koroner dan stroke daripada negara- negara Asia Timur atau negara-negara Barat (Ueshima dkk, 2008).
Prevalensi stroke di Indonesia berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7 per mil dan yang terdiagnosis tenaga kesehatan atau gejala sebesar 12,1 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi di Sulawesi Utara (10,8‰), diikuti DI Yogyakarta (10,3‰), Bangka Belitung dan DKI Jakarta masing-masing 9,7 per mil. Prevalensi stroke berdasarkan terdiagnosis tenaga kesehatan dan gejala tertinggi terdapat di Sulawesi Selatan (17,9‰), DI Yogyakarta (16,9‰), Sulawesi Tengah (16,6‰), sedangkan Sumatera Utara sendiri dengan prevalensi 6,0‰. Prevalensi penyakit stroke pada kelompok yang didiagnosis tenaga kesehatan serta yang didiagnosis tenaga kesehatan atau gejala meningkat seiring dengan bertambahnya umur, tertinggi pada umur ≥75 tahun (43,1‰ dan 67,0‰). Prevalensi stroke yang terdiagnosis tenaga kesehatan maupun berdasarkan diagnosis atau gejala sama tinggi pada laki-laki dan perempuan (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Berdasarkan penelitian pada 25 rumah sakit di Sumatera Utara didapatkan bahwa stroke terjadi pada perempuan (52,7%) tidak jauh berbeda dengan laki-laki (47,3%), dan rerata usia subjek penelitian ini adalah 59 tahun (rentang umur antara 20 tahun sampai 95 tahun), dan jumlah subjek terbanyak pada kelompok usia 40–59 tahun (46,5%) dan 60–79 tahun (42,5%). Hasil Computed Tomography (CT) scan kepala pada penelitian ini menunjukkan adanya infark serebri pada 302 (53,7%) pasien, hemoragik 152 (27%) pasien, dan infark hemoragik pada 12
(2,1%) pasien. Sembilan puluh enam pasien (17,1%) tidak menjalani CT scan kepala (Rambe dkk, 2013).
II.1.3. Klasifikasi
Klasifikasi stroke iskemik berdasarkan kriteria kelompok peneliti Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment (TOAST) (Sjahrir, 2003) :
a. Aterosklerosis Arteri Besar
Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (>50%) stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks disebabkan oleh proses aterosklerosis. Gejala klinik adalah gangguan kortikal (seperti hemiplegi, afasia, dan lain- lain). Gambaran CT sken otakatau Magnetic Resonance Imaging (MRI) menunjukkan adanya infark di kortikal, serebelum, batang otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar.
b. Kardioembolisme
Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari jantung terdiri dari :
1. Resiko tinggi
Prostetik katub mekanik
Mitral stenosis dengan atrial fibrilasi
Fibrilasi atrial
Atrial kiri / atrial appendage thrombus
Sick sinus syndrome
Miokard infark baru (< 4 minggu)
Thrombus ventrikel kiri
Kardiomiopati dilatasi
Segmen ventrikular kiri akinetik
Atrial myxoma
Infeksi endokarditis 2. Risiko sedang
Prolaps katub mitral
Kalsifikasi annulus mitral
Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial
Turbulensi atrial kiri
Aneurisma septal atrial
Paten foramen ovale
Atrial flutter
Lone atrial fibrillation
Katub kardiak bioprostetik
Trombotik endokarditis non bacterial
Gagal jantung kongestif
Segmen ventrikuler kiri hipokinetik
Miokard infark (> 4 minggu, < 6 bulan) c. Oklusi Arteri Kecil
Oklusi arteri kecil sering juga disebut infark lakunar.Pasien harus mempunyai satu gejala klinis sindrom lakunar dan tidak mempunyai gejala gangguan disfungsi kortikal serebral. Pasien biasanya mempunyai gambaran CT sken/ MRI kepala normal atau infark lakunar dengan diameter < 1,5 mm di daerah batang otak atau subkortikal.
d. Stroke Akibat dari Penyebab lain yang Menentukan 1. Non – Aterosklerosis Vaskulopati
Non inflamasi
Inflamasi non infeksi
Infeksi
2. Kelainan Hematologi atau Koagulasi
e. Stroke Akibat dari Penyebab lain yang Tidak Dapat Ditentukan Disini penyebab stroke tidak dapat ditentukan meskipun pemeriksaan telah dibuat secara lengkap. Pada kategori ini termasuk juga bila pasien menderita dua atau lebih penyebab potensial stroke, tetapi pemeriksa tidak dapat menentukan faktor mana penyebab timbulnya stroke.
II.1.4. Faktor Risiko Stroke
Menurut Goldstein dkk (2006), faktor resiko untuk terjadinya stroke pertama kali diklasifikasikan berdasarkan faktor potensial terhadap modifikasi (tidak dapat dimodifikasi/nonmodifiable, dapat dimodifikasi/modifiable, atau potensial untuk dimodifikasi/potentially
modifiable) dan bukti kepercayaan dari penelitian (terbukti baik/well documented, kurang terbukti/less well documented).
1. Non modifiable risk factors:
a. Usia b. Ras/etnis c. Jenis kelamin
d. Berat badan lahir rendah
e. Riwayat keluarga yang mengalami stroke/Transient Ischemic Attack (TIA)
2. Faktor resiko well-documented dan modifiable a. Penyakit Jantung
b. Hipertensi c. Merokok d. Diabetes
e. Stenosis arteri karotis asimtomatis f. Fibrilasi Atrium
g. Sickle cell diseases h. Dislipidemia
i. Faktor diet j. Obesitas k. Inaktifitas fisik
l. Terapi hormonal post-menopause
3. Faktor resiko less well-documented dan modifiable:
a. Sindroma metabolik b. Penyalahgunaan alkohol
c. Hiperhomosisteinemia d. Penyalahgunaan obat
e. Hiperkoagulabilitas
f. Penggunaan kontrasepsi oral g. Proses inflamasi
h. Migraine
i. Sleep-disordered breathing II.2. DEPRESI
II.2.1. Definisi
Depresi merupakan gangguan suasana hati atau mood yang dalam edisi Diagnosticand Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yang dikenal sebagai gangguan afektif (Hawari, 2010). Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta kekurangan energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktifitas. Di samping itu, gejala lainnya yaitu konsentrasi dan perhatian berkurang, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, pikiran bersalah dan tidak berguna, pandangan masa depan yang suram dan pesimistis, gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, tidur terganggu dan nafsu makan berkurang(International Classification of Diseases and Related Health Problems,1992).
II.2.2. Etiologi
Faktor penyebab depresi dapat dibagi menjadi faktor biologik, faktor genetik dan faktor psikososial (Sadock, 2009).
1. Faktor Biologik
Norepinefrin dan serotonin adalah dua jenis neurotransmiter yang paling sering dilibatkan dalam patofisiologi gangguan afektif. Walaupun norepinefrin dan serotonin merupakan amin biogenik berkaitan dengan patofisiologi depresi, dopamin juga diteoritiskan memegang peranan.
Menurut data, aktivititas dopamin berkurang pada keadaan depresi dan meningkat pada mania.
2. Faktor Genetik
Data genetik menunjukkan secara jelas bahwa faktor genetik terlibat dalam gangguan mood tetapi pola pewarisan genetik timbul oleh mekanisme yang kompleks.
3. Faktor Psikososial
a. Kejadian-kejadian dalam kehidupan dan stres lingkungan b. Faktor kepribadian premorbid
c. Faktor psikoanalitik dan psikodinamik II.2.3. Gejala Klinis
Depresi menurut International Classification of Diseases (ICD) 10 berdasarkan tingkat beratnya gejala dibedakan sebagai depresi ringan, sedang, berat tanpa gejala psikiatri sampai dengan depresi berat dengan gejala psikiatri (International Classification of Diseases and Related Health
Problems,1992). Pedoman Penggolongan Diagnostik Gangguan Jiwa III (PPDGJ III) menyebutkan pada depresi terdapat, Gejala utama meliputi (Maslim, 2013):
1. Perasaan depresif atau perasaan tertekan 2. Kehilangan minat dan semangat
3. Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah.
Gejala lain meliputi :
1. Konsentrasi dan perhatian berkurang 2. Perasaan bersalah dan tidak berguna 3. Tidur terganggu
4. Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
5. Perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri 6. Pesimistik
7. Nafsu makan berkurang
Kriteria diagnostik untuk tingkat gangguan depresi mayor menurut DSM- IV dibagi dua yaitu gangguan depresi mayor dengan psikotik dan nonpsikotik serta gangguan mayor dalam remisi parsial dan gangguan parsial dalam revisi penuh. Gangguan depresi mayor meliputi gangguan depresi ringan, sedang dan berat tanpa ciri psikotik yang dapat diuraikan sebagai berikut (Maslim, 2013) :
1. Ringan, jika ada beberapa gejala yang melebihi dari yang diperlukan untuk membuat diagnosis dan gejala hanya menyebabkan gangguan
ringan dalam fungsi pekerjaan atau dalam aktivitas yang biasa dilakukan.
2. Sedang, gangguan fungsional berada diantara ringan dan berat
3. Berat, tanpa ciri psikotik, beberapa gejala melabihi dari yang diperlukan untuk membuat diagnosis dan gejala dengan jelas mengganggu fungsi pekerjaan atau aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
Berpedoman pada PPDGJ III dijelaskan bahwa depresi digolongkan ke dalam depresi berat, sedang dan ringan sesuai dengan banyak dan beratnya gejala serta dampaknya terhadap fungsi kehidupan seseorang. Gejala tersebut terdiri atas gejala utama dan gejala lainnya yaitu :
1. Ringan, sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala depresi ditambah dua dari gejala di atas ditambah dua dari gejala lainnya namun tidak boleh ada gejala berat diantaranya. Lama periode depresi sekurang- kurangnya selama dua minggu. Hanya sedikit kesulitan kegiatan sosial yang umum dilakukan.
2. Sedang, sekurang-kurangnya harus ada dua dari tiga gejala utama depresi seperti pada episode depresi ringan ditambah tiga atau empat dari gejala lainnya. Lama episode depresi minimum dua minggu serta menghadapikesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial
3. Berat, tanpa gejala psikotik yaitu semua tiga gejala utama harus ada ditambah sekurang-kurangnya empat dari gejala lainnya. Lama episode sekurang-kurangnya dua minggu akan tetapi apabila gejala
sangat berat dan onset sangat cepat maka dibenarkan untuk menegakkan diagnosadalam kurun waktu dalam dua minggu. Orang sangat tidak mungkin akan mampu meneruskan kegiatan sosialnya (Maslim, 2013).
II.2.4. Pemeriksaan
Hamilton Rating Scale of Depression (HAM-D) merupakan standar baku untuk menilai depresi dan telah digunakan selama lebih dari 40 tahun. HAM-D pertama kali digunakan pada tahun 1950-an untuk menilai efektivitas obat antidepresan generasi pertama dan dipublikasikan pada tahun 1960 (Bagby dkk, 2004).
Hamilton Rating Scale of Depression (HAM-D) terdiri dari 21 pertanyaan, akan tetapi 4 pertanyaan terakhir (variasi diurnal, derealisasi / depersonalisasi, simtom paranoid dan simtom obsesif-kompulsif) sebaiknya tidak dihitung dalam nilai total, karena gejala-gejala tersebut sangat jarang terjadi dan tidak mempengaruhi tingkat keparahan depresi.
Oleh sebab itu, HAM-D dengan 17 item pertanyaan telah menjadi standar dalam penilaian depresi. Durasi pemeriksaan HAM-D membutuhkan waktu sekitar 12 menit. Masing-masing item pertanyaan memiliki nilai 0 – 4 (tidak ada gejala, ringan, sedang, berat) atau 0 – 2 (tidak ada dan ada), dengan rentang nilai dari keseluruhan 17 pertanyaan antara 0 – 54. Nilai 0 – 6 mengindikasikan tidak ada depresi, 7 – 17 depresi ringan, 18 – 24 depresi sedang, dan >24 depresi berat (Cusin dkk, 2009).
II.2.5. Hubungan Lokasi Lesi Stroke dengan Depresi
Depresi merupakan sekuel yang sering terjadi pada stroke.
Prevalensi depresi secara klinis bervariasi dari 20% sampai dengan 50%
di antara pasien yang dirawat pada fase akut dan subakut dari penyembuhan stroke. Depresi pasca stroke dilaporkan memberikan pengaruh buruk pada penyembuhan fungsional dan kognitif dari pasien, dan hal ini juga berpengaruh terhadap penarikan diri dari kehidupan sosial pasca stroke, sehingga meningkatkan mortalitas (Bhogal dkk, 2004).
Penelitian yang saat ini sudah dilakukan di Indonesia sendiri yang didapatkan adalah penelitian oleh Nasution dkk (2018) mengenai lokasi lesi hemisfer pada stroke iskemik pertama kali yang mempengaruhi fungsi kognitif, dimana didapatkan bahwa lesi yang terjadi pada hemisfer kiri menyebabkan penurunan nilai fungsi kognitif (berdasarkan skor Montreal Cognitive Assessment-Indonesian Version/MoCA-INA) dibandingkan dengan lesi hemisfer kanan, namun tidak signifikan secara statistik.
Namun penelitian untuk depresi sendiri berdasarkan lokasi lesi stroke belum ada.
Dua teori dari depresi paska stroke telah diberikan. Pernyataan pertama bahwa depresi yang terjadi setelah stroke atau setelah cedera otak merupakan reaksi psikologis dari konsekuensi klinis stroke. Yang kedua menyatakan bahwa depresi muncul sebagai akibat dari lesi otak yang spesifik dan diperkirakan mempengaruhi perubahan neurotransmitter di otak. Menurut penelitian Folstein et al tahun 2003 bahwa lebih banyak
pasien stroke yang mengalami depresi dibandingkan dengan pasien ortopedi yang mengalami kecacatan, sehingga membuktikan bahwa lesi di otak itu sendiri dapat mempengaruhi mood. Kemudian, bahwa perbedaan reaksi emosional tergantung dari hemisfer mana yang mengalami infark yang berhubungan dengan dasar organik dari depresi. Pada penelitian Robinson dkk (2004) menyatakan bahwa lesi pada serebri anterior kiri berhubungan dengan nilai depresi yang lebih tinggi dibandingkan lesi posterior serebri kiri. Diagnosa gangguan depresi dijumpai hampir 70%
dari pasien stroke dengan lesi frontal kiri. Penelitian ini juga menyatakan bahwa hanya 15% dari variasi depresi dapat dijelaskan dengan keparahan gangguan intelektual, gangguan fisik, kualitas dukungan sosial, atau usia, dimana lokasi lesi menjelaskan 50% dari variasi tersebut (Bhogal dkk, 2004).
Penelitian yang mencari tahu hubungan antara lesi fokal dengan gangguan depresi pertama kali untuk mengidentifikasi lokasi regio otak yang mengalami kerusakan berhubungan dengan depresi. Penelitian Robinson dkk (2004) ini mengetahui bahwa lesi yang melibatkan regio frontal kiri dari otak berhubungan dengan frekuensi depresi yang lebih besar dalam 2 bulan pertama setalah megalami stroke akut dibandingkan dengan lesi dari hemisfer kanan atau lesi posterior hemisfer kiri. Penelitian yang lain mengidentifikasi bahwa lesi pada lobus frontal lateral kiri, kaudatus atau putamen lebih signifikan menyebabkan depresi selama periode stroke akut dibandingkan dengan lesi dari hemisfer kanan.
Adanya dasar anatomi pada keadaan depresi ini. Terdapat pernyataan yang berkembang bahwa abnormalitas dari pelepasan protein proinflamasi yang diprovokasi oleh cedera otak atau disfungsi regional memegang peranan penting dalam disfungsi fisiologis dan neurokimia yang mendasari patofisiologi dari depresi. Terdapat data eksperimen pada manusia dan hewan yang menyatakan bahwa iskemia serebral mengakibatkan gangguan dari sitokin proinflamasi seperti Interleukin (IL) - 1,IL-6, dan IL-18 serta Tumor Necrosis Factor (TNF) alpha 20-22. Sitokin ini akan menghasilkan aktivasi dari indolamine 2,3-dioksigenase, yang memetabolisme triptofan menjadi kinurenin, yang akan mengurangi produksi serotonin. Kemudian, obat antidepresan menunjukkan terdapat efek antiinflamasi. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa level perifer IL-18 berkorelasi negatif dengan tingkat keparahan depresi pada pasien stroke akut. Hal ini menunjukkan bahwa proses inflamasi mengakibatkan depresi paska stroke. Mekanisme depresi ini pada pasien dengan stroke akut dan kronik harus dipertimbangkan secara berbeda dan hal ini berpengaruh terhadap penanganan intervensi. (Robinson and Spalletta, 2010)
Depresi paska stroke berhubungan dengan faktor-faktor neuroanatomi yaitu : (Feng, dkk, 2014)
1. Hipotesis lokasi lesi : beberapa penelitian menunjukkan bahwa hemisfer kiri, terutama lobus frontal kiri dan basal ganglia merupakan area kritikal dari depresi paska stroke. Beberapa peneliti menyimpulkan mereka sebagai Frontal Subcortical Circuits
(FSC) dan Limbic-cortical-striatal-pallidal-thalamis Circuits (LCSPTC). Penelitian Tang dkk (2014) mempelajari dari 591 pasien dan menemukan bahwa adanya infark pada FSC berhubungan signifikan dengan depresi post stroke. Terroni dkk (2014) menunjukkan bahwa infark pada LCSPTC, khususnya area pada korteks prefrontal medial kiri, berhubungan dengan depresi paska stroke.
2. Ukuran infark : ukuran infark merupakan karakteristik lesi yang lain yang mungkin berhubungan dengan adanya dan tingkat keparahan dari depresi paska stroke. Infark yang luas dapat mengakibatkan kerusakan yang lebih parah pada area kritikal yang berhubungan dengan modulasi behavior emosional dan perubahan biokimia.
Defisit neurologis yang berat menyebabkan infark yang besar yang dapat menjadi faktor sosia-psikologis yang penting yang berhubungan dengan depresi paska stroke.
3. Hipotesis depresi vaskular : pada tahun 90an, peneliti mengobservasi hiperintensitas pada white matter dan silent cerebral infarction berhubungan dengan frekuensi yang lebih tinggi dan tingkat keparahan yang lebih berat pada onset depresi pada usia tua. Berdasarkan pada penemuan ini, Krishnan dkk (2008) dan Alexopoulos dkk (2007) mengemukakan hipotesis depresi vaskular yang menekankan peran dari penyakit serebrovaskular khususnya small vessel disease dalam patogenesis depresi usia tua.
Berdasarkan hipotesis ini, silent lesion mengganggu jalur cortico- striato-pallido-thalamo-cortical dan kemudian menghasilkan gejala depresif, mirip dengan hipotesis lokasi lesi dari depresi paska stroke.
II.3 DENYUT JANTUNG DAN STROKE II.3.1 Denyut Jantung pada Stroke
Inervasi otonom kardiak berasal dari nuklei di batang otak (parasimpatis) dan spinal (simpatis). Dasar anatomi untuk pengaruh hemisfer serebri pada fungsi otonom adalah dimana adanya proyeksi dari nuklei otonom dari kortikal, amydaloid, hipotalamik, dan struktur limbik.
Infark serebri dianggap mengurangi inervasi otonom kardiak dengan memindahkan stimulasi suprasegmental ipsilateral dari nuklei otonom primer. Bukti tambahan lainnya bahwa adanya hubungan antara hipertensi sistemik dan kompresi neurovaskular pada nervus kranialis ke-9 dan 10 hanya pada sisi kiri medulla (Barron dkk, 2004).
Lateralisasi dari inervasi otonom perifer dari jantung telah dijelaskan. Pada percobaan binatang, ablasi pada ganglion stelata kiri meningkatkan ambang fibrilasi ventrikular dimana untuk ablasi ganglion stelata kanan menghasilkan efek yang berlawanan. Pada manusia, sebelum terapi dengan Beta Blocker, fibrilasi ventrikular berhubungan dengan sindroma pemanjangan interval QT pada Elektrokardiografi (EKG) telah sukses diterapi dengan ablasi ganglion stelata kiri. Diketahui juga bahwa nodus sinoatrial diinervasi oleh vagus kanan, dimana nodus
atrioventrikular menerima inervasi parasimpatis kebanyakan dari vagus kiri. Observasi ini dapat memprediksi efek parasimpatis dari lesi hemisfer kiri memiliki pengaruh yang kurang pada nodus sinoatrial daripada lesi hemisfer kanan. Infark hemisfer kanan berhubungan dengan penurunan aktivitas parasimpatis yang lebih besar dibandingkan dari infark pada hemisfer kiri (Barron dkk, 2004).
Penyakit serebrovaskular biasanya dapat menyebabkan komplikasi kardiovaskular, kemungkinan akibat adanya disregulasi dari sistem saraf otonom. Hal ini secara prognostik merupakan komplikasi yang tidak diharapkan kemungkinan akibat dari peningkatan tonus simpatis, tetapi mekanisme pasti dari ketidakseimbangan otonom dan patogenesis dari komplikasi ini masih belum jelas (Korpelainan dkk, 2004).
Pada otak yang mengalami iskemia, peningkatan tonus simpatetik menyebabkan peningkatan level katekolamin yang bersirkulasi dan berhubungan dengan komplikasi jantung seperti aritmia, perubahan EKG, dan iskemik jantung. Peningkatan tonus simpatis pada fase akut infark serebri berhubungan dengan terganggunya prognosis akibat dari komplikasi jantung, tetapi durasi disfungsi otonom dan stabilitasnya masih belum dipelajari dengan lengkap. Kemudian, kemungkinan perubahan pada aktivitas parasimpatis pada infark serebri dan perannya dalam menghasilkan gangguan otonom dan komplikasi jantung masih belum dipahami (Korpelainan dkk, 2004).
Kerusakan kontrol otonom dari sistem regulasi kardiovaskular dapat diperiksa dengan uji refleks kardiovaskular berdasarkan perubahan denyut jantung dan tekanan darah saat istirahat dan setelah dengan beberapa stimulus. Keabnormalan umumnya menunjukkan hipofungsi dari sistem saraf simpatis dari sistem saraf simpatis dan parasimpatis. Adanya penekanan pada refleks sepertinya berhubungan dengan komplikasi yang serius dan peningkatan angka mortalitas yang signifikan pada diabetes dan peminum alkohol (Korpelainen dkk, 2004).
II.3.2. Hubungan Lokasi Lesi Stroke dengan Denyut Jantung
Pada banyak spesies korteks insular memiliki peran penting dalam integrasi fungsi otonom. Organisasi viserotropik telah dikatakan terjadi pada insula dari tikus. Organisasi kronotropik kardiak diidentifikasi pada insula posterior rostral. Mikrostimulasi fasik pada insula kiri tikus menghasilkan gelombang QT memanjang, depresi gelombang ST, bradikardia, complete heart block, dan idioventricular rhythm ending pada asistol. Miositolisis muncul pada pemeriksaan enzim jantung dan level plasma noradrenaline meningkat, tanpa perubahan dari adrenalin (dimana pada percobaan tikus ini mengindikasikan asal dari neural dibandingkan dari adrenal). Stimulasi serebral dapat menghasilkan perubahan aritmia kardiak yang mematikan dapat terlihat setelah stroke ataupun kematian yang mendadak pada epilepsi (Oppenheimer, 2006).
Lesi yang utamanya terjadi insula posterior kanan pada tikus meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung tanpa mengganggu
sensitivitas baroreseptor. Berbeda hal dengan lesi insular posterior kiri tidak mengganggu variabel kardiovaskular, tetapi meningkatkan sensitivitas baroreseptor. Sebelumnya, telah disebutkan bahwa kerusakan pada hemisfer kanan pada oklusi arteri serebri media pada percobaan tikus meningkatkan interval QT dan plasma norepinefrin. Lesi kimiawi yang melibatkan pada insula kanan juga dapat meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah (Oppenheimer, 2006).
Pada manusia pemberian infus amylobarbital karotis kanan dapat menghasilkan bradikardi, dan infus pada karotis kiri menghasilkan takikardi. Sebagai tambahan, peningkatan insiden dari supraventrikular takikardi dilaporkan pada pasien dengan stroke pada arteri serebri media kanan. Investigasi pada manusia mengindikasikan bahwa stimulasi insular anterior kaudal kiri selama operasi pada epilepsi intractable meningkatkan frekuensi bradikardi dan respon depresor, dimana stimulasi pada regio yang serupa pada insula anterior kanan berhubungan dengan peningkatan denyut jantung dan tekanan darah diastolik. Walaupun kedua tipe respons tersebut muncul dari insula yang mana saja, proporsinya bervariasi, dan derajat bradikardi lebih besar pada stimulasi insular kiri.
Data ini mengindikasikan bahwa pada manusia, terjadi beberapa lateralisasi dari presentasi kardiovaskular dapat muncul dengan predominan simpatis dari regulasi kardiovaskular pada fungsi insular kanan dan regulasi neural-kardiak parasimpatis berperan pada insula kiri (Oppenheimer, 2006).
Efek dari gangguan pada fungsi hemisfer serebri pada sistem saraf otonom telah menjadi fokus pada banyak penelitian, khususnya dengan fungsi kardiovaskular. Bukti bahwa adanya interaksi hemisfer serebri dengan otonom termasuk perubahan EKG dengan variasi lesi neurologis, termasuk Subarachnoid Hemorrhage (SAH), perdarahan intraserebral, dan stroke iskemik, seperti aritmia jantung dan bahkan kematian berhubungan dengan kejang epileptik. Pada penelitian Lane dkk (2000) mengatakan bahwa efek yang berbeda infark serebri pada ritme jantung, Supraventrikular takikardi secara signifikan berhubungan dengan stroke pada hemisfer kanan, dimana pasien dengan stroke pada hemisfer kiri cenderung memiliki aritmia ventrikular. Peneliti juga berpendapat bahwa tonus parasimpatis berkurang secara ipsilateral pada sisi yang mengalami infark serebri, yang menghasilkan peningkatan relatif pada tonus simpatis pada sisi tersebut (Barron dkk, 2004).
II.4. KERANGKA TEORI
1
2
3 4
Stroke Iskemik Akut
Lesi Hemisfer Kiri
Kerusakan pada Frontal Subcortical Circuits (FSC) dan Limbic-cortical- striatal-pallidal- thalamis Circuits (LCSPTC)
Depresi
Lobus Frontal kiri
Lesi Hemisfer Kanan
Insular Kanan
Mengganggu regulasi kardiovaskular simpatis
Peningkatan tonus simpatis
Peningkatan Denyut Jantung
Insular Kiri
Mengganggu regulasi neural-kardiak parasimpatis
Dominan parasimpatis
Penurunan Denyut Jantung/Bradikardi
Mengganggu kontrol otonom
Mengganggu kontrol otonom
Keterangan :
1. Lesi yang melibatkan region frontal kiri berhubungan dengan frekuensi depresi yang lebihj tinggi dalam 2 bulan pertama setelah stroke akut dibanding dengan lesi pada hemisfer kanan ataupun lesi posterior hemisfer kiri. (Robinson and Spaletta, 2010)
2. Kerusakan pada lobus frontal kiri dan basal ganglia sebagai area kritikal dari depresi paska stroke, dimana peneliti menyimpulkan daerah tersebut sebagai FSC (FrontaL Subcortical Circuits) dan LCSPTC (Limbic-cortical-striatal-pallidal-thalamic circuits) yang terbukti sebagai kunci yang memodulasi behavior emosional pada subjek nonstroke berdasarkan penelitian-penelitian di daerah tersebut. (Feng dkk, 2014).
3. Berdasarkan penelitian-penelitian diketahui bahwa korteks insular memiliki peran penting dalam integrasi fungsi otonom. Lesi yang terjadi pada insula kiri akan meningkatkan sensitivitas baroreseptor dan system saraf parasimpatis akan lebih dominan, sehingga dapat menyebabkan bradikardi. (Oppenheimer, 2004)
4. Lesi yang terjadi pada insula kanan akan mengganggu akan mempengaruhi variabel dari kardiovaskular (denyut jantung dan tekanan darah) tanpa mengganggu sensitivitas baroreseptor (sistem saraf simpatis lebih dominan), serta meningkatkan norepinefrin, Hal ini akan meningkatkan denyut jantung dan tekanan darah.(Oppenheimer, 2004)
II.5. KERANGKA KONSEP
STROKE ISKEMIK AKUT
DEPRESI FREKUENSI DENYUT
JANTUNG LOKASI LESI STROKE
BAB III
METODE PENELITIAN
III.1. TEMPAT DAN WAKTU
Penelitian dilakukan di Departemen Neurologi FK – USU/ RSUP H.Adam Malik Medan dari tanggal 22 Agustus 2018 s/d 31 Januari 2019.
III.2. SUBJEK PENELITIAN
Subjek penelitian diambil dari populasi pasien yang dirawat inap ruangan Rindu A4 Departemen Neurologi dan Stroke Corner (SC).
Penentuan subjek penelitian dilakukan menurut metode sampling non random secara konsekutif.
III.2.1. Populasi Sasaran
Semua penderita stroke iskemik akut yang ditegakkan dengan pemeriksaan klinis.
III.2.2. Populasi Terjangkau
Semua penderitastroke iskemik akut yang dirawat di SMF Neurologi FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan.
III.2.3.Besar Sampel
Ukuran sampel dihitung menurut rumus pada satu populasi :
n1=n2 ≥ [𝑍(1−∝ 2 𝑃𝑜 1−𝑃𝑜 + 𝑍(1−𝛽 ) 𝑃𝑎(1−𝑃𝑎)]2 (𝑃𝑎−𝑃𝑜)2
Keterangan :
Perhitungan sampel untuk pasien stroke iskemik akut dengan perubahan frekuensi denyut jantung
𝑍(1−∝ 2) = deviat baku alpha, untuk ∝ = 0,10 maka nilai baku normalnya 1,282
𝑍(1−𝛽) = deviat baku alpha, untuk β = 0,20 maka nilai baku normalnya 0,842
𝑃0= proporsi kejadian komplikasi jantung pada pasien stroke iskemik akut
= 0,22(22%) (Kenmogni-Domning dkk, 2018)
𝑃𝑎= perkiraan proporsi kejadian komplikasi jantung = 0,50 (50%) (𝑃𝑎 − 𝑃𝑜) = beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar = 0,28
Sehingga,
n1=n2 ≥ [1,282 0,22 1−0.22 + 0,842 0,5(1−0,5)]2 0,28 2
Maka sampel minimal untuk kelompok pasien stroke iskemik dengan perubahan frekuensi denyut jantung sebanyak 15 orang (Lemeshow dkk, 1990).
Perhitungan sampel untuk pasien stroke iskemik akut dengan depresi
𝑍(1−∝ 2) = deviat baku alpha, untuk ∝ = 0,10 maka nilai baku normalnya 1,282
𝑍(1−𝛽) = deviat baku alpha, untuk β = 0,20 maka nilai baku normalnya 0,842
𝑃0= proporsi kejadian depresi pada pasien stroke iskemik akut = 0,21 (21%) (Robinson dkk,2010)
𝑃𝑎= perkiraan proporsi kejadian depresi = 0,50 (50%)
(𝑃𝑎 − 𝑃0) = beda proporsi yang bermakna ditetapkan sebesar = 0,29
Sehingga,
n1=n2 ≥ [1,282 0,21 1−0.21 + 0,842 0,5(1−0,5)]2 0,29 2
Maka sampel minimal untuk kelompok pasien stroke iskemik akut dengan depresi sebanyak 12 orang (Lemeshow dkk, 1990).
III.2.4. Kriteria Inklusi
1. Semua pasienstroke iskemik akutyang sudah dilakukan pemeriksaan Computed Tomography Scan (CT Scan) kepala untuk menentukan lokasi lesi yang dirawat inap di rawat inap neurologi (RA4) dan SC RSUP H. Adam Malik Medan
2. Memberikan persetujuan untuk ikut serta dalam penelitian.
III.2.5. Kriteria Eksklusi
2. Pasien dengan riwayat gangguan psikiatri sebelumnya.
3. Pasien dengan riwayat stroke sebelumnya.
4. Pasien dengan penyakit jantung sebelumnya (riwayat Atrial Fibrilation/AF, penyakit katup jantung, penyakit gangguan irama jantung, Penyakit Jantung Koroner/PJK, Penyakit Jantung Bawaan) dengan riwayat penggunaan obat jantung.
III.3. BATASAN OPERASIONAL
1. Stroke iskemik adalah episode disfungsi neurologis disebabkan infark fokal serebral,spinal dan infark retinal (Sacco dkk, 2013).
Dengan fase akut dari stroke selama 7 hari pertama dari onset stroke (Jauch dkk, 2013). Penegakan stroke iskemik dilakukan dengan Head CT Scan.
2. Lokasi lesi stroke merupakan lokasi dari stroke iskemik akut yang ditentukan dengan pembacaan Head CT Scan.
Lokasi lesi yang akan digunakan : Lobus frontal, Lobus parietal, Lobus temporal, Lobus oksipital, Basal Ganglia, Serebelum dan Batang otak yang semuanya akan terbagi atas hemisfer kiri dan hemisfer kanan.
3. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang mempunyai gejala utama afek depresif, kehilangan minat dan kegembiraan serta kekurangan energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah dan menurunnya aktifitas (International Classification of Diseases and Related Health Problems,1992).
Depresi diukur dengan menggunakan kuesioner Hamilton Rating Scale of Depression yang memiliki 17 item pertanyaan yang telah menjadi standar dalam penilaian depresi, dengan rentang nilai dari keseluruhan 17 pertanyaan antara 0 – 54. Nilai 0 – 6 mengindikasikan tidak ada depresi, 7 – 17 depresi ringan, 18 – 24 depresi sedang, dan >24 depresi berat (Cusin dkk, 2009).
Pada penelitian ini depresi akan diperiksa pada hari ke-7 fase akut stroke iskemik.
4. Denyut Jantung adalah jumlah denyutan jantung per satuan waktu, biasanya dalam menit.Denyut Jantung dihitung dengan menggunakan stetoskop selama 1 menit dengan berbagai stimulus yaitu:
- Saat istirahat/berbaring - Saat duduk
- Saat menahan nafas selama 1 menit - Setelah menahan nafas
5. Obat jantung adalah obat-obatan yang digunakan pada pasien aritmia jantung (obat antiaritmia) seperti beta blocker dan calcium channel blocker.
6. Penyakit Jantung adalah suatu kondisi yang melibatkan dari penyempitan atau penyumbatan pembuluh darah, selain itu juga termasukvkeadaan yang melibatkan otot jantung, katup jantung atau irama jantung (Mayo Clinic, 2018).
7. Gangguan psikiatri adalah suatu penyakit dengan manifestasi psikologis dan perilaku yang berhubungan dengan distress yang bermakna dan perubahan fungsional yang disebabkan oleh adanya gangguan psikologis, sosial, psikologis, genetik, fisik ataupun kimia (Sadock, 2010).
III.4.RANCANGAN PENELITIAN
Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan metode pengambilan data secara potong lintang dimana sumber data primer diperoleh dari ruang rawat inap Rindu A4 Departemen Neurologi dan SCRSUP H. Adam Malik Medan.
III.5. PELAKSANAAN PENELITIAN III.5.1 Instrumen
Kuesioner Pengumpulan Data untuk Frekuensi Denyut Jantung
Kuesioner Hamilton Rating Scale of Depression
Stetoskop merek Littmann Classic
Computed Tomography Scan (CT Scan) kepala : CT Scan yang
digunakan adalah X- Ray CT System, merk Hitachi seri W 450.
III.5.2. Pengambilan Sampel
Semua penderitastroke iskemik akutyang masuk ke ruang rawat inap neurologi, dan SC RSUP. H. Adam Malik Medan telah ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurologi dan pemeriksaan CT Scan kepala untuk menentukan lokasi lesi, kemudian
diambil secara konsekutif dan yang memenuhi kriteria inklusi serta tidak ada kriteria eksklusi, akan diperiksa yaitu :
1. Frekuensi denyut jantung.
Dengan cara mengukur frekuensi denyut jantung selama 1 menit dengan menggunakan stetoskop pada berbagai stimulus dengan selang waktu antar stimulus 10-15 menit, yaitu :
- saat istirahat/berbaring, - saat duduk,
- saat menahan nafas sampai dengan 1 menit, dan - setelah menahan nafas.
2. Depresi.
Dengan cara mengisi kuesioner Hamilton Rating Scale of Depression yang dilakukan pada hari ke-7 fase stroke iskemik akut.
III.5.3. Kerangka Operasional
Anamnese
Pemeriksaan Neurologis Pemeriksaan Penunjang
(CT Scan kepala untuk menentukan lokasi lesi)
Kriteria Inklusi Kriteria Ekslusi
Surat Persetujuan Ikut Penelitian
Pemeriksaan Frekuensi Denyut
Jantung dengan berbagai stimulus dan Depresi
Analisa Data III.5.4 Variabel yang diamati
Variabel bebas : Lokasi Lesi Stroke Iskemik Akut Variabel terikat : Frekuensi Denyut Jantung, Depresi III.5.5 Analisa Statistik
Data hasil penelitian akan dianalisa secara statistik dengan bantuan program komputer Windows SPSS (Statistical Product and Science Service). Analisa dan penyajian data dilakukan sebagai berikut :
Pasien Stroke Iskemik Akut
1. Untuk mengetahui hubungan lokasi lesi stroke dengan frekuensi denyut jantung pada saat istirahat/berbaring pada pasien stroke iskemik akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP.
H. Adam Malik Medan digunakanuji T atau uji Mann-Whitney.
2. Untuk mengetahui hubungan lokasi lesi stroke dengan frekuensi denyut jantung pada saat duduk pada pasien stroke iskemik akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan digunakanuji T atau ujiMann-Whitney.
3. Untuk mengetahui hubungan lokasi lesi stroke dengan frekuensi denyut jantung pada saat menahan nafas 1 menit pada pasien stroke iskemik akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan digunakan uji T atau ujiMann- Whitney.
4. Untuk mengetahui hubungan lokasi lesi stroke dengan frekuensi denyut jantung pada saat setelah menahan nafas pada pasien stroke iskemik akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan digunakanuji T atau ujiMann- Whitney.
5. Untuk mengetahui hubungan lokasi lesi stroke dengan depresi pada pasien stroke iskemik akut yang dirawat di ruangan rawat inap Neurologi RSUP. H. Adam Malik Medan digunakan ujiChi Square.
6. Untuk melihat gambaran karakteristik demografi, frekuensi denyut jantung dan skala depresi penderita stroke iskemik akut yang