• Tidak ada hasil yang ditemukan

6.1 Sumberdaya

6.1.1 Faktor Sumberdaya

Sumberdaya merupakan faktor utama yang harus ada untuk memulai suatu usaha. Investor memutuskan untuk memulai suatu usaha bisnis apabila sudah diketahui adanya sumberdaya. Sumberdaya itu sendiri terdiri dari sumber daya alam, sumber daya manusia dan modal. Faktor sumberdaya alam biasanya bersangkutan dengan bahan baku. Bahan baku dalam agroindustri memiliki karakteristik unik, dimana kontinyuitas pasokan sangat tergantung pada musim, teknologi pascapanen dan manajemen pengadaannya. Sumberdaya manusia bersangkutan dengan pihak pengelola usaha mulai dari pengadaan bahan baku sampai dengan pemasaran produk, sedangkan sumber daya modal terkait dengan kebutuhan investasi dan modal kerja usaha.

Pengetahuan faktor sumberdaya dalam memulai suatu usaha sangat penting dan berkaitan langsung dengan penentu dayasaing usaha khususnya dayasaing minyak pala. Faktor sumberdaya dapat mempengaruhi harga dan kualitas dari produk yang dihasilkan, dimana keduanya merupakan penentu dayasaing suatu produk. Dari hasil braintroming dengan para pakar ditemukan 13 sub faktor penentu dayasaing minyak pala dari faktor sumberdaya. Hasil indentifikasi dan dan penjelasan dari masing-masing sub faktor sebagai berikut:

1) Ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) perusahaan penyulingan yang menguasai teknologi penyulingan minyak pala yang efisien.

Ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang menguasai teknologi penyulingan minyak pala yang efisein sangat menentukan peningkatan dayasaing minyak pala. Keterbatasan penguasaan teknologi penyuling yang efisein berdampak pada penurunan kualitas minyak pala dan rendemen produksi yang kecil, sehingga terjadi peningkatan biaya produksi. Untuk memperoleh keuntungan usaha, maka harga penjualan produk semakin besar, sementara kualitas rendah. Kondisi tersebut berakibat terjadinya penurunan nilai kompetitifnya dan kesulitan dalam menembus persaingan produk sejenis.

Sebagian besar petani dan penyuling tidak menghitung biaya sumber daya yang diperoleh tanpa pembayaran dan teknologi yang digunakan belum efisien. Penggunaan peralatan sederhana dan metode pemutuan yang belum baku juga menyebabkan penurunan mutu. Oleh karena itu, penggunaan teknologi semakin penting mengingat 60 persen proses produksi usaha kecil masih dilakukan secara sederhana.

2) Ketersediaan SDM perusahaan penyulingan yang menguasai manajemen produksi, pemasaran dan berjiwa wirausaha

Pengembangan SDM merupakan hal perlu diperhatikan dalam usaha berbasis pertanian dan usaha mikro, sebab jumlah SDM yang terbatas yang tidak diimbangi dengan kualitas dan pengetahuan berakibat ketidak berlanjutan usaha. Kunci pokok usaha mikro terletak pada kemampuan jumlah SDM yang terbatas untuk mengoptimalkan potensi yang ada sehingga pengembangan SDM diarahkan pada teknik pemasaran, pengenalan pasar dan jiwa wirausaha untuk negosiasi dan mencari peluang pasar. Dalam lingkup tata niaga yang paling pendek, kesiapan SDM tersebut dapat membentuk jaringan yang kuat sehingga pada saat terbentuk jaringan yang luas pelaku usaha telah siap. Hal ini dapat meningkatkan posisi tawar produk usahanya (minyak pala Indonesia) di pasar internasional.

Terkait dengan pengembangan SDM yang berjiwa usaha tersebut, pemerintah melalui instansi terkait melakukan upaya peningkatan pengetahuan, keterampilan dan profesionalisme SDM pelaku usaha kecil dan menengah dengan menggunakan pendekatan capacity building dan institution building (Kementrian UKM, 2005). Kegiatan yang dilaksanakan saat ini meliputi diklat teknis, manajerial serta kewirausahaan. Selain itu dalam upaya mendorong peran serta masyarakat dalam pembangunan SDM pelaku usaha minyak pala dapat dilakukan

56 dengan mengembangkan dan memfasilitasi kerjasama antar lembaga Diklat swasta dan dunia usaha.

3) Ketersediaan lahan untuk pengembangan perkebunan pala

Perusahaan penyuling pala di Indonesia sangat tergantung pada ketersediaan bahan baku atau buah pala. Ketersedian bahan baku itu tersendiri sangat tergantung pada produktivitas perkebunan pala. Oleh karena itu, pengembangan perkebunan pala yang berorientasi pada produktivitas akan berdampak pada jaminan ketersedian bahan baku tersebut. Jaminan ketersedian baku secata tidak langsung berdampak pada ketersedian minyak pala dalam pemenuhan permintaan pasar. Persaingan terjadi pada saat suatu usaha dapat mempertahankan kapasitas produksinya.

Mengacu pada Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan Nasional, 2002 yang disusun berdasarkan hasil evaluasi kesesuaian lahan, sumberdaya tanah, agroklimat dan ketinggian tempat, luasan lahan yang sesuai untuk budidaya tanaman pala dan luas areal perkebunan pala berdasarkan data BPS, 2004; masih terdapat 5,998,441 ha lahan yang potensial untuk perkebunan pala dan tersebar di enam provinsi (Tabel 11). Jika lahan tersebut dimanfaatkan secara optimal maka akan meningkatkan ketersediaan bahan baku.

Tabel 11 Lahan potensial untuk tanaman pala*)

Propinsi Kabupaten Lahan

sesuai (ha) Lahan dimanfaatkan (ha) Potensi Pemanfaatan Lampung Lampung Barat, Lampung

Selatan

171,942 10 171,932

Jawa Barat Bogor, Sukabumi, Cianjur, Sumedang, Kerawang, Subang, Tasiklamaya, Ciamis

736,750 2,054 734,696

Banten Pandeglang, Serang, Lebak 113,794 39 113,755

Maluku Halmahera Tengah, Maluku Tengah, Maluku Tenggara,

472,142 5,650 466,492

Maluku Utara

Maluku Utara 498,125 9,392 488,733

Papua Sorong, Manokwari, Paniai, Yapenwaropen, Fak-fak, Jayapura, Merauke, Jayawijaya

4,045,969 23,126 4,022,843

Jumlah 6,038,722 40,281 5,998,441

*) Sumber: Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas Pertanian Unggulan Nasional, 2002, dan BPS

Tabel 12 memperlihatkan kecenderungan menyusutnya luasan areal perkebunan pala milik pemerintah dan swasta. Jika dibandingkan data luas perkebunan pala antara tahun 1998 dan tahun 2004 (6 tahun) terlihat bahwa luas areal Perkebunan Besar Swasta (PBS) tidak menunjukkan adanya peningkatan. Perkebunan Rakyat (PR) menunjukkan sedikit peningkatan yaitu sebesar 4.28% sedangkan Perkebunan Negara (PN) justru mengalami penurunan yang signifikan yaitu sebesar 43,45%. Hal ini menunjukkan berkurangnya perhatian pemerintah dan minta investor untuk investasi pada perkebunan pala.

Tabel 12. Luas areal dan produksi perkebunan pala seluruh Indonesia (tahun 1998 – 2003).

Tahun Luas Areal (ha) Produksi (ton biji kering) PR PBN PBS Jumlah PR PBN PBS Jumlah 1998 58.828 534 182 59.544 18.359 9 60 19.428 1999 43.454 534 182 44.170 12.736 6 60 12.802 2000 63.349 502 182 64.033 19.817 153 40 20.010 2001 58.945 302 182 59.429 21.575 7 34 21.616 2002 61.090 302 166 61.558 23.112 9 36 23.157 2003 61.347 302 155 61.804 23.279 11 39 23.329

Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan (2004)

4) Iklim dan kondisi geografis yang mendukung budidaya tanaman pala Pala merupakan tanaman asli Indonesia sehingga iklim dan kondisi geografis Indonesia sangat mendukung budidaya tanaman pala. Produktivitas yang maksimal dan efisiensi yang tinggi tercapai apabila pengusahaan tanaman telah diselaraskan dengan kondisi lahan dan iklim. Kondisi lahan antara lain meliputi aerasi tanah, kapasitas pertukaran kation, kedalaman tanah, pH, salinitas, kemiringan dan tekstur sedangkan aspek lahan antara lain meliputi panjang hari, suhu rata-rata pertumbuhan, keberadaan air, suhu minimum dan maksimum (Prosea 1995). Menurut Sunarto (1993), lahan dan iklim yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman pala harus mampu digunakan untuk mendorong budidaya tanaman pala dalam rangka menjamin kontinyuitas dan kualitas bahan baku. Selain iklim, tanaman pala juga dipengaruhi oleh faktor tanah, ketinggian tempat, tinggi rendahnya air tanah dan faktor pengairan (Sunanto 1993). Terjaminnya

58 kontinuitas dan kaulitas bahan baku akan berdampak terjaganya kontinuitas dan kalitas minyak pala yang akan memdorong peningkatan dayasaing.

5) Ketersediaan bahan baku yang kontinyu

Industri/usaha penyulingan minyak pala akan berjalan dengan baik jika didukung oleh ketersediaan bahan baku yang kontinyu sehingga efisiensi produksi dan optimalisasi penggunaan alat penyulingan dapat dicapai. Berjalannya industri/usaha minyak pala yang didukung oleh ketersedian bahan baku yang kontinyu akan menentukan dayasaing minyak pala Indonesia.

6) Kualitas bahan baku yang seragam

Kualitas dan rendemen hasil penyulingan salah satunya ditentukan oleh kualitas pala yang dipergunakan sebagai bahan baku. Penanganan pascapanen sangat menentukan mutu produk, dengan penanganan yang tidak tepat berakibat ketidak-seragaman faktor mutu dan penurunan kuantitas produksi. Kualitas bahan baku yang tidak seragam menyebabkan rendemen dan mutu hasil penyulingan rendah serta bervariasi dan terjadi inefisiensi peralatan penyulingan dikarenakan dengan waktu penyulingan yang sama, rendemen yang diperoleh lebih rendah. Untuk itu kualitas bahan baku yang seragam mutlak diperlukan untuk meningkatkan mutu minyak pala yang dihasilkan. Dengan menerapkan teknologi produksi benih/bibit baik secara konvensional maupun kultur jaringan, teknik budidaya tanaman mengacu good agricultural practices, teknologi panen yang memperhatikan kandungan senyawa aktif yang berkhasiat dalam buah pala serta teknologi pascapanen yang baik diharapkan akan menghasilkan bahan baku yang memenuhi persyaratan.

7) Ketersediaan informasi pasar

Ketersediaan informasi pasar berupa volume kebutuhan, kualitas minyak pala yang dibutuhkan, waktu, pembeli, harga dan lain-lain sangat diperlukan oleh industri/pelaku usaha untuk menyusun perencanaan dan penjadwalan dari suatu proses produksi sampai dengan pemasaran hasil dengan baik. Disamping itu

informasi pasar sangat penting bagi pelaku usaha untuk perluasan pemasaran produk.

Peta peluang pasar yang cepat dan akurat hendaknya dapat disediakan bagi pelaku usaha. Sebagai contoh, pajak pertambahan nilai (value-added tax/VAT), diterapkan bagi eksport minyak pala dan minyak fuli ke Eropa yang besar pajaknya berbeda-beda antar negara. Eksport minyak pala dan minyak fuli ke Amerika Serikat juga mendapat perlakuan yang sama. Di Jepang setiap tahun pemerintah menerbitkan daftar kebutuhan produk import lengkap dengan volumenya. Untuk pasar Eropa dan Jepang, mempersyaratkan bahwa kapal pengangkut harus dilengkapi dengan sertifikat yang asli sedangkan untuk Uni Eropa, pengapalan harus langsung dari negara pengeksport (Dilon 2003).

8) Ketersediaan hasil-hasil penelitian untuk pengembangan minyak pala Berkembangnya suatu usaha dibidang agribisnis juga tergantung pada produktivitas yang dihasilkan lembaga penelitian. Hasil-hasil penelitian yang dibutuhkan dalam upaya meningkatkan dayasaing minyak pala berupa teknologi benih/bibit unggul tanaman pala, teknologi budidaya, teknologi panen, pasca panen, teknologi penyulingan, teknologi pengujian manfaat/khasiat minyak pala, pengemasan dan lain-lain. Ketersediaan hasil-hasil penelitian ini akan mendorong efisiensi mulai sub sistem hulu sampai dengan sub sistem hilir.

9) Pengembangan teknologi penyulingan yang efisien

Pengembangan dan penggunaan teknologi sangat penting mengingat 60 persen proses produksi minyak pala masih dilakukan secara sederhana. Pengembangan teknologi ditujukan untuk menurunkan biaya dalam semua aktivitas nilai. Dukungan teknologi amat dibutuhkan oleh pelaku usaha, terutama untuk peningkatan kualitas dan efisiensi produk. Dengan dukungan teknologi penyulingan yang efisien diharapkan dapat meningkatkan dayasaing minyak pala di pasar internasional (Amiaty 2006).

Proses penyulingan minyak pala yang saat ini dilakukan umumnya menggunakan teknologi tradisional yang membutuhkan waktu penyulingan panjang (30-48 jam). Dalam 20 tahun terakhir telah dikembangkan teknologi yang

60 dapat mencegah hilangnya komponen minyak atsiri yang dikenal dengan ekstraksi cair superkritis (Supercritical Fluid Extraction/SFE). Teknologi SFE menggunakan karbondioksida sebagai pelarut. Kelebihan penggunaan Karbondioksida adalah harganya murah, tidak mudah terbakar dan tidak meninggalkan residu. Mc Gaw (2000) melakukan penelitian tentang perbandingan teknologi ekstraksi menggunakan SFE dan destilasi uap untuk menghasilkan minyak pala. Hasil penelitian menunjukkan kondisi ekstraksi optimum untuk pala diperoleh pada temperatur 50oC dan tekanan 350 atm (rendemen 22%). Pada kondisi ini komponen inti seperti sabinen, alpha pinen, miristisin, beta mirsen tidak memberikan hasil yang berbeda nyata dibandingkan dengan rendemen minyak pala hasil penyulingan. Disamping itu, dengan SFE dimungkinkan untuk memperoleh komponen lain yang semula tidak diperoleh dengan penyulingan biasa, prosesnya ramah lingkungan, temperatur rendah selama proses ektraksi lebih mencegah hilangnya flavor produk, produk lebih stabil dan mempunyai daya simpan lebih lama, disamping bebas logam berat dan pestisida. Namun kendala umumnya adalah biaya untuk pengadaan SFE lebih tinggi dibandingkan dengan unit penyulingan. Hasil analisa ekonomi yang dilakukan oleh Mc.Gaw et al (1998) dalam McGaw, 2000 menyatakan bahwa alat SFE di Karibia lebih menguntungkan dibandingkan dengan teknologi penyulingan uap dengan tingkat Return of Investment (ROI) sebesar 39%.

10) Ketersediaan dan kemudahan akses terhadap sumberdaya pemodalan Ketersediaan modal akan mendorong tumbuh dan berkembangnya industri minyak pala mulai dari sub sistem hulu (benih, sarana budidaya), sub sistem budidaya dan sub sistem hilir (industri pengolahan dan pemasaran). Terbatasnya sumberdaya modal akan menghambat pengembangan minyak pala, dilain pihak ketergantungan petani kepada bantuan pemerintah sangat besar. Untuk memperkecil dampak ketergantungan tersebut maka sumber permodalan dapat berbentuk kredit perbankan yang dapat terjangkau petani/pelaku usaha dan prosedur sederhana, volume pendanaan yang mencukupi, suku bunga yang kondusif serta sistem agunan pinjaman yang dapat dipenuhi petani. Disamping itu

pemanfaatan lembaga keuangan mikro yang ada di pedesaan juga dapat menjadi alternatif.

Untuk mendukung penyediaan dana, upaya-upaya yang dapat dilakukan melalui keterkaitan antara program bank umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR), serta koperasi. Selain itu, pengembangan lembaga penjaminan kredit yang lebih terstruktur juga dapat dilakukan. Ketersediaan sumberdaya modal tidak akan berarti bila tidak didukung oleh kemudahan untuk memperoleh bantuan/pinjaman permodalan dari perbankan atau lembaga keuangan lainnya (Amiaty 2006).

11) Ketersediaan infrastruktur

Ketersedian infrastruktur berupa jalan berhubungan dengan kelancaran arus barang baik arus barang bahan baku dan arus barang barang jadi yang siap dipasarkan. Ketersedian infrastruktur yang baik akan mempelancar arus barang sehingga akan menjaga ketersedian barang baik bahan baku (buah pala) dan bahan jadi (minyak pala) secara tepat waktu dan kontinyu yang akan mendorong peningkatan dayasaing minyak pala.

12) Ketersediaan lembaga/asosiasi pelaku usaha minyak pala

Lembaga dan asosiasi pelaku usaha minyak pala sangat diperlukan sebagai wadah untuk bertukar pikiran antara pelaku usaha minyak pala. Melalui lembaga/ asosiasi akan diperoleh berbagai informasi dari berbagai pelaku usaha mengenai informasi pasar, teknologi proses dan informasi lainnya mengenai minyak pala. Melalui lembaga/asosiasi bisa juga dijadikan wadah untuk meningkatkan daya tawar usaha minyak pala di pasar domestik maupun dunia.

Organisasi internasional yang menangani minyak atsiri yaitu International Federation of Essential Oils and Aroma Traders (IFEAT), International Fragrance Association (IFRA), International Organization of Flavour Industry (IOFI) dan Research Institute for Fragrance Material (RIFM). Disamping itu juga terdapat badan yang menyusun standar untuk memantau kualitas dan perdagangan minyak atsiri yaitu International Organization for Standart (ISO), asosiasi internasional yang memantau toksisitas dan keamanan yang dikandung bahan baku. Untuk menjadi anggota dari organisasi tersebut Indonesia harus mempunyai

62 organisasi yang berhubungan dengan flavour dan fragrance. Di Indonesia saat ini terdapat Asosiasi Eksportir Pala Indonesia (AEPI) dan asosiasi Eksportir Minyak Atsiri Indonesia, sedangkan asosiasi untuk industri minyak pala belum terbentuk dan baru menjadi anggota IFEAT.

13) Ketersediaan eksportir yang mampu menciptakan pasar dan mencari niche (relung) pasar serta berjiwa export preneurship

Ketersedian eksportir yang mampu memciptakan pasar tergantung dari jiwa kewirausahaan eksportir tersebut. Agar mampu menciptakan pasar diperlukan asosiasi dari eksportir untuk menyatukan sumberdaya yang ada. Saat ini terdapat tujuh eksportir minyak pala yang terdaftar pada Badan Pengembangan Ekspor Nasional sebagaimana disajikan pada Lampiran 10. Keterkaitan para eksportir dalam jaringa kerjasama dapat menumbuhkan persaingan yang baik, dimana informasi pasar, teknologi dan produk dapat dikembangkan secara bersama.

Dokumen terkait