• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia"

Copied!
165
0
0

Teks penuh

(1)

STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING

MINYAK PALA INDONESIA

DEWI DARMAYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau kutipan dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, September 2007

(3)

ABSTRAK

DEWI DARMAYANTI. Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia. Dibawah Bimbingan: TAJUDDIN BANTACUT, SEMANGAT KETAREN, dan JONO M. MUNANDAR.

Meskipun Indonesia menguasai 65% pangsa pasar minyak pala dunia, namun rendahnya daya saing dan laju peningkatannya jika dibandingkan dengan negara pesaing membuat posisi kunci tersebut dikhawatirkan hilang dimasa mendatang.

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang berperan dalam peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia dan menetapkan strategi peningkatannya. Penelitian dilaksanakan dengan mengidentifikasi faktor-faktor penentu keunggulan bersaing minyak pala dengan menggunakan kerangka ”Diamond Porter” yang dilakukan melalui wawancara pakar dan pemangku kepentingan. Selanjutnya diidentifikasi struktur hubungannya dengan menggunakan metode Interpretive Structural Modelling (ISM). Berdasarkan faktor kunci yang teridentifikasi disusun skenario penetapan strategi peningkatan dayasaing dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) yang terdiri atas 5 tingkatan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa posisi industri minyak pala Indonesia di pasar dunia cukup dominan dengan pesaing utama Grenada. Pada saat ini posisi industri minyak pala Indonesia terancam oleh Grenada dari segi kelembagaan yang mapan, proses produksi dan rantai tataniaga yang lebih efisien serta mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah. Dalam rangka peningkatan mutu dan efisiensi produksi minyak pala, dari aspek budidaya perlu digunakan bibit unggul berupa tanaman pala cangkok dengan skala usaha minimal 1,4 ha/petani, pemupukan sesuai anjuran, pascapanen dilakukan dengan memetik buah pala destilasi umur 3-4 bulan langsung dari pohon, pengeringan biji dan fuli pala dilakukan sampai kadar air mencapai 12-13%, penyulingan dilakukan secara bertingkat dengan tekanan 0 s.d 1.5 atmosfir, pengemasan dengan menggunakan drum berlapis galvanis, pengangkutan harus menghindari panas matahari langsung, rantai pemasaran diperpendek menjadi petani – koperasi penanganan pascapanen dan pengolahan – negara konsumen.

Adapun faktor dan sub faktor kunci yang berperan dalam peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia terdiri atas faktor sumberdaya (6 sub faktor), permintaan (3 sub faktor), industri pendukung dan terkait (3 sub faktor), strategi perusahaan dan persaingan (2 sub faktor), peran kesempatan (2 sub faktor) dan peran pemerintah (4 sub faktor). Dari hasil analisis penetapan strategi peningkatan dayasaing dengan menggunakan AHP, terpilih 2 strategi prioritas untuk peningkatan dayasaing minyak pala yakni penciptaan iklim usaha yang kondusif dan pengembangan sarana dan prasarana pendukung usaha agroindustri minyak pala.

(4)

ABSTRACT

DEWI DARMAYANTI. The Strategy for Increasing Indonesia’s Nutmeg Oil Competitiveness. Supervised by TAJUDDIN BANTACUT, SEMANGAT KETAREN, and JONO M. MUNANDAR.

Despite being the market leader by controlling up to 65% of the world market of Nutmeg oil, Indonesia is concerned about loosing this position due to low competitiveness and its growth compared to their competitors.

This research has an objective to reveal key factors which determined competitiveness of nutmeg oil agro industry and the strategy to increase it. The research is conducted by identifying key factors by make use of the “Diamond Porter” framework through interview with experts and stake holders. The relation structure of key factors is identified using Interpretive Structural Modeling (ISM). Based on the identified key factors, the chosen strategy scenarios are determined using Analytical Hierarchy Process (AHP) method which consists of 5 levels.

The results show that nutmeg oil industrial position in world market was dominant compare with Grenada as main competitor. Nutmeg oil industrial position was corrupted by Grenada because of settle of nutmeg oil association, production process and marketing chain more efficien and also got full support from the govermenment. In term of quality improvement and efficiency of nutmeg oil processing, it is needed to use good quality of nursery, economic scale minimal 1,4 ha/farmer, fertilizing, nutmeg post harvest done direct pick from the plant after 3-4 month after flower, nutmeg and mace dried until water containt become 12-13%, destillation done with 0-1,5 atm pressure, packaging use conatiner covered by galvanis and transportation must to avoid direct sun rays , marketing chain should be more shorter become farmer post harvest and processing nutmeg cooperative – consumer

the key factors and sub factors which determined the competitiveness of the Indonesia’s nutmeg oil consist of resources condition (6 sub factors), demand condition (3 sub factors), supporting and related industry (3 sub factors), structure of firm and rivalry (2 sub factors), chances (2 sub factors) and government (4 sub factors). Result of the strategy analysis using AHP method has determined 2 priority strategy to increase competitiveness of Indonesia’s nutmeg oil are conducive business environment and supporting infrastructure development for nutmeg oil industries.

(5)

@Hak Cipta milik IPB, tahun 2007

Hak Cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING

MINYAK PALA INDONESIA

DEWI DARMAYANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Tesis : Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia

Nama : Dewi Darmayanti

NRP : F351020191

Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc. Anggota

Ir. Semangat Ketaren, MS Anggota

Diketahui, Ketua Program Studi

Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Irawadi Jamaran

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS

(8)

Kupersembahkan Untuk Suami tercinta

Syarifulmasa

dan putera putriku tercinta

(9)

RIWAYAT HIDUP

Dewi Darmayanti,

Lahir 21 Juni 1967 di

Tasikmalaya Propinsi Jawa Barat. Anak kedua dari pasangan Tarwa S. Darmawan dan Darliati Danu. Tahun 1986 penulis lulus dari Sekolah Menengah Farmasi Departemen Kesehatan Jakarta Pusat dan pada tahun 1991 meraih gelar Sarjana Biologi (Dra) jurusan mikrobiologi dari Fakultas Biologi Universitas Nasional Jakarta dengan judul skripsi: “Pengaruh Pemupukan N dan Pemberian Azospirillum braziliense pada tanaman Jagung (Zea mays)”.

(10)

ii

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena dengan izin dan perkenaan-Nya sehingga Tesis dengan judul Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia, dapat penulis selesaikan.

Penyusunan tesis ini adalah merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada program studi Teknologi Industri Pertanian, Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Ir. Tajuddin Bantacut, M.Sc, selaku ketua komisi pembimbing, Ir. Semangat Ketaren, MS, dan Dr. Ir. Jono M. Munandar, M.Sc selaku anggota atas bimbingan dan bantuan yang diberikan selama proses pembimbingan sampai selesainya Tesis ini.

2. Ir Pramono D. Fewidarto, MS selaku penguji luar komisi atas saran-saran yang telah diberikan untuk penyempurnaan tesis ini, serta seluruh staf pengajar pada Sekolah Pascasarjana Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor, atas ilmu yang telah diberikan.

3. Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Kepala Pusat Pengembangan Pelatihan Pertanian, serta Ibu Ir. Ella Rosilawati K, M.Si atas segala kemudahan yang diberikan juga kepada pimpinan lembaga serta dinas yang terkait dengan tema penelitian ini.

4. Semua nara sumber dan pakar seperti Ir. Semangat Ketaren, MS, T.R. Manurung, Ir. Resfolida, M.Si, Radiyanto Hadimulyono, SE, M.Si dan Bapak Mulyono atas semua informasi dan saran dalam penyusunan tesis ini. 5. Suami tercinta Syarifulmasa, mimih dan bapak, adinda Dadan Darmana atas

curahan waktu dan dorongan semangat dan doa, rekan-rekan mahasiswa Sekolah Pascasarjana IPB yang banyak memberikan bantuan dan motivasinya, terutama; Bu Dian, Pak Napisman, Pak Mulyadi, Siti Zakiah dan Doni Hidayat.

Sumbang saran guna penyempurnaan tesis ini sangat penulis harapkan sehingga penelitian ini dapat memberikan manfaat yang berarti kepada semua pihak yang terkait.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Tujuan……… 4

1.3 Manfaat Penelitian……… 4

1.4 Ruang Lingkup Penelitian ..……….. 4

II MINYAK PALA INDONESIA 2..1 Agroindustri Minyak Pala……….. 6

2.1.1 Bahan Baku……… 7

2.1.2 Teknologi Proses……… 10

2.1.3 Penggunaan Minyak Pala………. 12

2.2. Produksi Minyak Pala Indonesia………. 13

III DAYASAING MINYAK PALA 3.1 Konsep Dayasaing………... 15

3.2 Indikator Dayasaing……… 17

3.3 Faktor Penentu Dayasaing ………. 18

3.4 Dayasaing Minyak Pala Indonesia di Pasar Internasional…… 22

3.5 Penelitian Terdahulu tentang Dayasaing……… 25

IV METODOLOGI PENELITIAN…….……….. 27

4.1 Kerangka Pemikiran……… 27

4.2 Tahapan Penelitian……….. 28

4.2.1 Survey Pakar……….……….. 28

4.2.2 Analytical Hierarchy Process...………….. 32

4.3 Tempat dan Waktu Penelitian………. 37

4.4 Analisis Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala……... 38

4.4.1 Konstruksi Hirarki….……….……….. 38

4.4.2 Hubungan Antar Tingkat Hirarki...………….. 42

4.5 Analisis Nilai Tambah Metode Hayami ………... 42

V PROFIL INDUSTRI MINYAK PALA 5.1 Profil Perkebunan Pala ………..……… 44

5.2 Perusahaan Penyulingan ... 44

5.3 Lokasi Penyulingan ... 45

5.4 Bahan Baku Penyulingan ………... 46

5.5 Teknologi Penyulingan ………... 48

5.6 Pemasaran ………... 49

(12)

iv VI HASIL IDENTIFIKASI DAN MODEL STRUKTUR FAKTOR

PENENTU DAYASAING

6.1 Sumberdaya………... 54

6.1.1 Faktor Sumberdaya ... 54

6.1.2 Model Struktural Penentu Dayasaing Faktor Sumberdaya ... 62 6.2 Kondisi Permintaan……… 57

6.2.1 Faktor Kondisi Permintaan ... 65

6.2.2 Model Struktural Penentu Dayasaing Faktor Kondisi Permintaan... 68 6.3 Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung……… 72

6.3.1 Faktor Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung ... 72

6.3.2 Model Struktural Penentu Dayasaing Faktor Keberadaan Industri Terkait dan Pendukung... 75 6.4 Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan……… 77

6.4.1 Faktor Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan ... 77

6.4.2 Model Struktural Penentu Dayasaing Faktor Strategi Perusahaan, Struktur dan Persaingan ... 79 6.5 Peran Kesempatan………. 81

6.5.1 Faktor Peran Kesempatan ... 81

6.5.2 Model Struktural Penentu Dayasaing Faktor Peran Kesempatan... 83 6.6 Peran Pemerintah……… 85

6.6.1 Faktor Peran Pemerintah ... 85

6.6.2 Model Struktural Penentu Dayasaing Faktor Peran Pemerintah ... 89 VII STRATEGI PENINGKATAN DAYASAING MINYAK PALA 7.1 Skenario Peningkatan Dayasaing Minyak Pala ... 92

7.1.1 Prioritas Faktor Penentu ……… 92

7.1.2 Prioritas Aktor ……… 92

7.1.3 Prioritas Tujuan ……… 92

7.1.4 Prioritas Strategi ……… 94

7.2 Strategi Peningkatan Dayasaing………. 94

7.3 Kebijakan Peningkatan Dayasaing Minyak Pala....……… 98

VIII SIMPULAN DAN SARAN 102 8.1 Simpulan………. 102

8.2 Saran……… 103

DAFTAR PUSTAKA……… 104

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Luas areal perkebunan dan produksi pala di Indonesia tahun 2003. 9

2. Komposisi kimia biji pala ... 10 3. Standar mutu minyak pala Indonesia ... 12 4. Volume dan nilai ekspor minyak pala Indonesia tahun1998-2005 13 5. Nilai indeks RCA sepuluh negara eksportir minyak atsiri terbesar

(HS 3301) ...

22

6. Perkembangan RCA minyak pala (HS 3301295025) negara saingan Indonesia di pasar Amerika Serikat ...

23

7. Skala penilaian perbandingan Saaty ... 36 8. Kerangka analisis nilai tambah metode Hayami... 43

9. Perusahaan penyulingan di Provinsi Jawa Barat ... 45 10. Nilai tambah usaha penyulingan minyak pala (untuk 1 kali proses) 52

11 Lahan potensial untuk tanaman pala ... 56

12. Luas areal dan produksi perkebunan pala seluruh Indonesia menurut tahun...

57

13. Hasil Reachability Matriks final sub faktor penentu sumberdaya... 62

14. Hasil Reachability Matriks final sub faktor penentu permintaan... 69

15. Hasil Reachability Matriks final sub faktor penentu industri pendukung dan terkait...

75

16. Hasil Reachability Matriks final sub faktor penentu struktur dan strategi perusahaan dan persaingan...

80

17. Hasil Reachability Matriks final sub faktor penentu peran

kesempatan...

84

18. Hasil Reachability Matriks final sub faktor penentu pemerintah... 89

(14)

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Gambar buah pala dan bagian-bagiannya 8

2. Diagram alir penyulingan minyak pala... 11

3. The National Diamond System ………... 19

4. Rantai pemasaran minyak pala Grenada ... 23

5. Rantai tata niaga minyak pala Indonesia... 25

6. Kerangka pemikiran penelitian...………. 28

7. Diagram alir analisis hierarki proses……….. 34

8. Produktivitas perkebunan pala di Provinsi Jawa Barat ... 44

9. Diagram model struktural untuk faktor penentu sumberdaya…... 63

10. Matriks Driver Power (DP)-Dependence (D) untuk faktor penentu sumberdaya……… 64 11. Diagram model struktural untuk faktor penentu permintaan………. 70

12. Matriks Driver Power (DP)-Dependence (D) untuk faktor penentu permintaan……… 71 13. Diagram model struktural untuk faktor penentu industri pendukung dan terkait……….. 76 14. Matriks Driver Power (DP)-Dependence (D) untuk faktor penentu industri pendukung dan terkait………. 76 15. Diagram model struktural untuk faktor penentu strategi, struktur perusahaan dan persaingan……….. 80 16. Matriks Driver Power (DP)-Dependence (D) untuk faktor penentu strategi, struktur perusahaan dan persaingan………. 81 17. Diagram model struktural untuk faktor penentu peran kesempatan.. 84 18 Matriks Driver Power (DP)-Dependence (D) untuk faktor penentu

peran kesempatan………..

85

19. Diagram model struktural untuk faktor penentu peran pemerintah… 90 20. Matriks Driver Power (DP)-Dependence (D) untuk faktor penentu

peran pemerintah……… 91

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Perkembangan industri minyak atsiri Indonesia tahun 1998-2003... 104 2. Pohon industri minyak pala... 105 3. Luas areal, produksi dan produktivitas perkebunan Pala Indonesia.... 106 4. Negara tujuan ekspor minyak pala Indonesia tahun 2001-2005... 107 5. Perbedaan minyak pala Indonesia dengan Grenada... 108 6. Hasil identifikasi usaha penyulingan dan pemasok bahan baku

di kabupaten Bogor dan Sukabumi... 111

7. Informasi pakar pada penelitian strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia...

117

8. Kode program Matlab 7 (the Mathwork) untuk metode Interpretive Structural Modelling (ISM)...

118

9. SSIM Final sub faktor penentu dayasaing minyak pala Indonesia... 121 10. Daftar eksportir minyak pala Indonesia ……….. 11. Kode program matlab 7 (the Mathwork) untuk metode

Analytical Hierachy Process (AHP)... 125

12. Input gabungan pendapat pakar dengan metode AHP... 126

13. Diagram bobot prioritas dengan metode AHP berdasarkan penilaian masing-masing pakar dan gabungannya ……….……….

130

14 Matriks perumusan rekomendasi kebijakan peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia ...

135

(16)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam pembangunan nasional peranan agroindustri sebagai upaya peningkatan nilai tambah komoditas pertanian memberikan kontribusi yang sangat besar. Lima peran yang dapat diharapkan dalam pengembangan agroindustri di Indonesia, yakni sebagai penghasil devisa, penyerap tenaga kerja, pendorong pemerataan pembangunan, pemacu pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat, serta pendorong pengembangan wilayah (Didu 2000).

Salah satu produk agroindustri yang sangat potensial sebagai komoditas ekspor adalah minyak atsiri, karena memiliki kegunaan yang beragam seperti sebagai penambah rasa makanan, parfum, aroma terapi dan bahan baku industri farmasi. Pasar minyak atsiri dunia sekitar US$ 2,6 milyar, dengan pertumbuhan 7,5% per tahun (Gaw & Paltoo 2000). Perkembangan ekspor minyak atsiri Indonesia selama periode 1999 - 2003 cenderung berfluktuasi. Nilai ekspor tertinggi dicapai pada tahun 2002 sebesar US$ 53,98 juta dan terendah pada tahun 2000 sebesar US$ 43,55 juta. Potensi ekspor tersebut menunjukkan posisi pasar internasional komoditas minyak atsiri, dimana Indonesia sebagai salah satu negara eksportir minyak atsiri terbesar ketiga setelah Perancis dan China yang mencapai nilai ekspor sebesar US$ 47,9 juta (BPS 2003). Dengan demikian, perolehan devisa ekspor dari minyak atsiri memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi perekonomian nasional.

Nilai ekspor minyak atsiri terbesar diperoleh dari jenis minyak nilam (Patchouly oil) sebesar 45% dari total nilai ekspor, minyak pala (nutmeg oil) sebesar 27%, dan jenis minyak atsiri lainnya sebesar 21% (BPS 2004). Volume ekspor minyak pala pada tahun 2005 mencapai 977 ton atau senilai US$ 14.970.000 (BPS 2006), 65% dari pangsa pasar minyak pala di pasar internasional berasal dari Indonesia dan sisanya dipenuhi oleh produsen lain (Grenada, India dan negara lainnya).

(17)

fuli pala dilakukan dengan teknologi dan manajemen proses yang standar. Pemilihan biji pala sebagai bahan baku utama sangat tergantung pada kualitas buah dan teknik penanganan pascapanennya serta kontinyuitas ketersediaannya. Tanaman pala merupakan tanaman asli Indonesia dan tersebar hampir diseluruh propinsi. Propinsi terbesar penghasil pala di Indonesia adalah Sulawesi Utara, Nangroe Aceh Darussalam, Maluku Utara, Papua, Sumatera Barat, Maluku, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat (BPP 2004).

Berdasarkan daerah asalnya, biji pala dan fuli dibedakan menjadi dua jenis mutu, yaitu "East indian Nutmeg and Mace" dan "West indian Nutmeg and Mace". Pala yang berasal dari daerah Banda, Siauw, Penang, Padang dan Papua Nugini (Myristica argentea) dimasukkan dalarn kelompok "East indian Nutmeg and Mace", sedangkan pala yang berasal dari Grenada termasuk jenis "West indian Nutmeg and Mace" (Smith dan Anand 1984).

Sifat minyak pala tergantung kepada asal daerah, jenis tanaman penghasil, umur buah, mutu biji pala dan fuli serta metode penyulingan. Oleh karena itu sifat fisik dan kimia minyak pala dan fuli yang berasal dari "East indian" berbeda dengan minyak "West indian". Minyak pala "West indian" mempunyai bobot jenis, indeks bias, residu penguapan yang lebih rendah dan putaran optikyang lebih tinggi karena mengandung terpene dalam jumlah lebih besar. Minyak pala Indonesia mempunyai keunggulan karena memiliki aroma yang khas dan rendemen minyak yang tinggi, namun peranan Indonesia dalam mengendalikan pasar pala dunia tidak begitu nyata disebabkan kemampuan Indonesia dalam negosiasi dan diplomasi bisnis ekspor impor masih lemah. Justru Grenada (West indian) mempunyai andil dominan (Lutony dan Rahmayati 2002; Sunarto, diacu dalam Oryzanti 2003).

(18)

3 merupakan hal yang sangat penting bagi suatu perusahaan atau agroindustri (Simanjuntak 1992). Penciptaan dayasaing suatu komoditi untuk mendapatkan keuntungan dilakukan dengan peningkatan keunggulan komparatif maupun kompetitif produk di pasar internasional. Keunggulan (competitiveness) biasanya dinyatakan dalam bentuk keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Pada saat ini tersedia peluang pasar yang cukup besar bagi minyak pala Indonesia yang ditunjukkan dengan meningkatnya kebutuhan minyak atsiri dunia sejalan dengan berkembangnya industri pemakai, bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan dan semakin sadarnya penduduk untuk menggunakan minyak atsiri yang relatif aman bila dibandingkan dengan bahan serupa yang diproduksi secara sintetis. Indonesia memiliki lahan dan iklim yang sesuai untuk pengembangan tanaman pala. Berdasarkan Atlas Arahan Pewilayahan Komoditas Unggulan Nasional 2002, terdapat 6,038,722 ha lahan yang sesuai untuk perkebunan pala sedangkan yang sudah dimanfaatkan sebesar 40,281 ha, sehingga masih tersedia lebih kurang 5,988,441 ha untuk pengembangan perkebunan pala di Indonesia. Dari luas lahan tersebut, 40% luas lahan tersebut berada di Provinsi Papua. Namun peluang ini belum dimanfaatkan dengan baik terlihat dari kecilnya persentase pengolahan biji pala menjadi minyak pala rata-rata sebesar 14,58% dan sedikitnya investasi dibidang industri minyak pala (BPS 2003, diolah).

(19)

meningkatkan mutu minyak pala sehingga dayasaing minyak pala Indonesia di pasar internasional akan meningkat.

Berkaitan dengan hal tersebut, untuk mengetahui faktor dan sub faktor-faktor penentu dayasaing minyak pala Indonesia di pasar internasional, struktur model faktor penentu dayasaing dan menetapkan strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia maka dilakukan penelitian “Strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia ”.

1.2. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah :

(1) Mengidentifikasi faktor dan sub faktor penentu keunggulan bersaing minyak pala Indonesia.

(2) Menentukan model struktur faktor penentu yang paling berperan dalam meningkatkan dayasaing minyak pala Indonesia.

(3) Menetapkan strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia.

1.3. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah:

(1) Memberikan masukan bagi pengambil kebijakan (pemerintah atau departemen terkait) tentang faktor-faktor dan sub faktor penentu keunggulan bersaing minyak pala Indonesia yang paling berperan dalam meningkatkan dayasaingnya.

(2) Membantu perumusan strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia.

(3) Membantu perumusan langkah-langkah operasional dalam rangka meningkatkan dayasaing minyak pala Indonesia.

1.4. Ruang Lingkup dan Batasan Penelitian

(20)

5 penyulingan minyak pala, (3) pemilihan responden dan brainstorming untuk mengidentifikasi faktor dan sub faktor penentu dayasaing minyak pala Indonesia berdasarkan model ”Diamond Porter”, (4) Analisis ISM (Interpretative Structural Modelling) untuk membangun model struktural faktor penentu dayasaing, (5) Melakukan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk menyusun strategi kebijakan peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia.

(21)

II. MINYAK PALA INDONESIA

2.1. Agroindustri Minyak Pala

Minyak pala sebagai salah satu jenis produk minyak atsiri yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan komoditas ekspor. Volume ekspor minyak pala pada tahun 2005 mencapai 977 ton atau senilai US$ 14,970.000 (BPS 2006). Minyak pala merupakan hasil proses penyulingan biji dan fuli pala. Bahan baku penyulingan minyak pala adalah biji pala muda karena mempunyai kandungan minyak atsiri yang lebih tinggi. Sifat fisik minyak pala berwama kuning pucat sampai tak berwarna, mudah menguap, dan mempunyai bau khas pala (Dorsey 2001).

Agroindustri minyak pala merupakan kegiatan pemanfaatan buah pala sebagai bahan baku maupun penunjang produksi minyak atsiri. Sebagai bahan penunjang, minyak pala mempunyai beberapa kegunaan diantaranya adalah: (1) zat penyedap (flavoring agent), (2) zat pewangi (fragrance), (3) zat pengawet, dan (4) zat penghilang rasa sakit, sehingga banyak digunakan dalam industri makanan dan minuman, kosmetika dan parfum, serta industri farmasi (Anonim 2005).

Sebagian besar agroindustri minyak pala dikelola oleh industri kecil dengan modal investasi sebesar Rp. 200.000.000,- dan jumlah karyawan antara 4 – 9 orang (Hasil survey industri penyulingan rakyat 2005). Lokasi pengembangan industri penyulingan minyak pala ditemukan di beberapa daerah seperti Nangroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat dan Jawa Barat, sehingga ketersediaan produk tersebar di berbagai daerah tersebut. Sementara perkembangan industrinya bersifat pasang surut tergantung kondisi pasar atau permintaan.

(22)

7 memiliki prospek yang sangat baik, meskipun dikelola oleh industri kecil yang tersebar di seluruh sentra produksi.

Secara umum kegiatan industri kecil sangat mendominasi struktur perekonomian Indonesia. Menurut Hanan (2003), dari segi kuantitatif, pelaku usaha di Indonesia tercatat 41,36 juta unit dengan 99,9% diantaranya adalah usaha kecil menengah (UKM) yang mampu menyerap 99,45% dari seluruh jumlah tenaga kerja nasional (sekitar 76,97 juta orang). Khusus pada sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan, UKM menyerap tenaga kerja sekitar 49%. Dengan demikian, keberlanjutan industri kecil mendapat prioritas untuk dikembangkan dan didukung secara ekonomis maupun sosial politik (Hubeis, 1997).

2.1.1. Bahan baku

Tanaman pala (Myristica fragrans Houtt) merupakan salah satu tanaman asli Indonesia yang berasal dari Malaise archipel, yaitu gugusan kepulauan Banda dan Maluku (Sunanto 1993). Tanaman pala tergolong dalam famili Myristicaceae dengan kira-kira 200 species dan seluruhnya tersebut di daerah tropis. Jenis tanaman pala yang baik digunakan sebagai bahan baku industri minyak atsiri dilihat dari kuantitas dan kualitas produksinya adalah pala Banda, Sian, Patani, Ternate dan Pala Tidore. Syukur dan Hernani (2002), menyatakan ada beberapa species pala selain Myristica fragrans Houtt (Pala Banda), yaitu Myristica argentea Warb (Pala Papua), Myristica malabarica (Pala Malabar) dan Myristica succedena Blume (Pala Halmahera). Diantara jenis-jenis tersebut yang bermutu baik adalah Myristica fragrans Houtt.

(23)

dalam waktu yang lama akan berubah menjadi kuning tua hingga kuning orange seperti warna jerami. Menurut Somaatmadja dan Herman (1984), buah pala segar dapat dihas ilkan daging buah sebanyak 83.3%, fuli 3.22%, tempurung biji 3.94% dan daging biji sebanyak 9.54%.

Gambar 1. Buah Pala dan bagian-bagiannya

(24)

9 Tabel 1 Luas areal perkebunan dan produksi pala di Indonesia tahun 2003

No. Propinsi

Perkebunan Rakyat Perkebunan Negara Perkebunan Swasta Jumlah Luas (ha) Produksi (ton) Luas (ha) Produksi (ton) Luas (ha) Produksi (ton) Luas (ha) Produksi (ton)

1. NAD 11.551 4.965 0 0 0 0 11.551 4.965

2. Sumut 147 42 0 0 0 0 147 42

3. Sumbar 3.592 2.299 0 0 0 0 3.592 2.299

4. Lampung 10 3 0 0 0 0 10 3

5. Jabar 2.054 465 0 0 0 0 2.054 465

6. Banten 39 3 0 0 0 0 39 3

7. Jateng 384 9 302 11 0 0 686 20

8. Jatim 20 13 0 0 0 0 20 13

9. Bali 1 0 0 0 0 0 1 0

10. NTT 441 77 0 0 0 0 441 77

11. Kaltim 3 1 0 0 0 0 3 1

12. Sulut 16.870 7.524 0 0 0 0 16.870 7.524

13. Gorontalo 36 6 0 0 0 0 36 6

14. Sulteng 717 81 0 0 0 0 717 81

15. Sulsel 2.370 483 0 0 0 0 2.370 483

16. Sultra 141 28 0 0 0 0 141 28

17. Maluku 5.495 1.124 0 0 155 39 5.650 1.163

18. Mal.Ut 9.392 3.247 0 0 0 0 9.392 3.247

19. Papua 8.084 2.909 0 0 0 0 23.126 7.319

Indonesia 61.347 23.279 302 11 155 39 61.804 23.329

Sumber: Ditjen Bina Produksi Perkebunan (2004)

Menurut Ketaren (1985), minyak pala Indonesia berasal dari pala dan fuli “East India” yang terdiri dari 4 kelas mutu yang dicirikan oleh daerah penghasilnya yaitu:

- Pala Banda, tergolong pala yang bermutu terbaik dalam perdagangan dan mengandung lebih kurang 8 persen minyak atsiri.

- Pala Siam, mempunyai mutu hampir sama dengan pala Banda tetapi kadar minyaknya lebih kecil (6.5 persen).

- Pala Penang, bermutu baik sebelum perang dunia kedua, namun sekarang mutunya menurun karena sering diserang ulat dan jamur.

- Pala Dapur (Myristica argentea W) berbau kurang enak dan mempunyai kadar minyak atsiri yang rendah.

(25)

Tabel 2. Komposisi Kimia Biji Pala

Komponen Fuli Biji

Air 9,78-12,04 5,79-10,83

Protein 6,25-7,00 6,56-7,00

Minyak atsiri 6,27-8,25 2,56-6,94

Ekstrak alkohol 22,07-24,76 10,42-17,38

Minyak lemak 21,63-23,72 28,73-36,94

Pati 49,85-64,85 31,81-49,80

Serat Kasar 2,94-3,95 2,38-3,72

Abu 1,81-2,54 2,13-3,26

*) Winto. A.L. dan Winton K.B. di dalam Somaatmadja (1984)

2.1.2. Teknologi Proses

Minyak pala Indonesia diperoleh dengan cara melakukan penyulingan terhadap biji dan fuli pala. Biji yang biasa digunakan dalam penyulingan biji pala adalah biji muda karena mempunyai kandungan minyak pala yang lebih tinggi (Nurdjanah et al. 1990). Metode penyulingan yang digunakan dapat berupa penyulingan uap (steam destillation) maupun penyulingan dengan uap dan air (steam dan water destillation). Kadang-kadang penyulingan dengan air dan uap (kukus) menghasilkan minyak dengan mutu yang paling baik, sedangkan cara kohobasi menghasilkan minyak pala dengan mutu yang bervariasi dan berada dibawah standar mutu yang ada (Purseglove et al. 1981). Diagram alir penyulingan biji pala dapat dilihat pada Gambar 2.

(26)

11 Gambar 2. Diagram alir proses penyulingan minyak pala (Risfaheri dan Mulyono,

1992)

Minyak pala yang dihasilkan harus memenuhi standar mutu yang ditetapkan berdasarkan ciri-ciri fisik dan kimiawinya. Ciri-ciri fisik yang dijadikan ukuran penentuan mutu minyak pala adalah berat jenis, putaran optik, indeks bias, kelarutan dalam alkohol, dan sisa penguapan, sedangkan ciri kimiawinya adalah kandungan miristisin dalam senyawa aromatik dan kandungan alkohol dalam senyawa terpen. Mengingat bahwa produksi minyak pala di Indonesia hampir

Pencampuran (mixing) dalam ketel suling dengan perbandingan spesifik

Proses Penyulingan (48 jam)

Pengaliran

Pemisahan minyak dr air

Analisis Mutu

Pengeringan pala Fuli pala

Obat nyamuk bakar

Bungkil Uap panas

Biji pala (berumur 3-5 bulan)

Penimbangan Penggilingan Pengeringan

Penimbangan

Minyak dalam uap air

Penimbangan

Pengemasan

Distribusi dan pemasaran Minyak dalam botol

Penggilingan

Pupukkompos Boiler

(27)

seluruhnya diekspor, maka terdapat standar mutu atau persyaratan mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) tahun 1998 yang harus dipenuhi sebelum diekspor, seperti terlihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Standar mutu minyak pala Indonesia

Karakteristik Minyak

Pala* Minyak Pala** Minyak Pala***

Bobot Jenis 25o C/25o

C 0,847 – 0,919 0,840 – 0.925 0,847 – 0,919

Putaran Optik +10o

- +30o

+10o - +30o

+8o - +26o

Indeks Bias (n25D) 1,472 – 1,494 1,474 – 1,488 1,472 – 1,494

Kelarutan dalam alkohol 90% 1 : 3 Jernih, seterusnya Jernih

1 : 1 Jernih, seterusnya Jernih

1 : 3 Jernih, seterusnya Jernih

Sisa Penguapan 2.5% - 3%

Zat Asing :

- Lemak Negatif Negatif Negatif

-Alkohol Tambahan Negatif - Negatif

Minyak Pelikan Negatif - Negatif

Minyak Terpentin Negatif - Negatif

*)Standar Mutu Perdagangan (SP-29-1976)

**) Standar Mutu Menurut Ketentuan Balai Penelitian Kimia (Ketaren, 1990) ***) Standar Nasional Indonesia (SNI 06-3735-1998)

Disamping memenuhi persyaratan mutu diatas, minyak pala juga harus memenuhi kadar miristisin (dengan metode Ge) > 10%. Clevenger (1935) dalam Ditjen Industri Kecil (1983) meneliti kadar minyak yang dikandung oleh biji pala Banda, biji pala Padang dan biji pala yang berkerut (Shrivel) sebesar 4-10, 8-11,5 dan 11,5 – 21 ml/100 gram.

2.1.3. Penggunaan Minyak Pala

(28)

13 sistem saluran pencernaan; miristisin yang terkandung di dalam minyak pala merupakan zat yang dapat menyebabkan halusinasi(Travelgrenada 2005).Pada Lampiran 2 dapat ditunjukkan berbagai alternatif pemanfaatan dan pengolahan buah pala tersebut.

Oleoresin dan mentega pala merupakan hasil ekstraksi biji pala menggunakan pelarut organik. Oleoresin terdiri atas minyak atsiri, resin serta komponen-komponen pembentuk aroma lainnya yang tidak mudah menguap yang menentukan rasa khas rempah. Penggunaan oleoresin pada industri pangan mempunyai beberapa keuntungan sebagai berikut: (1) mutu produk lebih seragam dan terkontrol, (2) pemakaian lebih ekonomis dan efisien karena sudah berbentuk ekstrak rempah dan (3) mudah dalam penanganannya (Risfaheri dan Mulyono 1992).

2.2. Produksi Minyak Pala Indonesia

Volume dan nilai ekspor minyak pala Indonesia selama lima tahun terakhir berfluktuasi dengan volume ekspor terbesar terjadi pada tahun 2001 yaitu mencapai 495.021 kg atau senilai US$ 14,782.076. Volume dan nilai ekspor serta harga FOB minyak pala Indonesia selama delapan tahun terakhir dapat dilihat pada Tabel 4 berikut:

Tabel 4. Volume dan nilai ekspor minyak pala Indonesia tahun 1998 – 2005

Tahun Volume Ekspor (kg) Nilai Ekspor (US$ 000)

1998 382.100 10,014

1999 387.725 10,046

2000 350.544 9,110

2001 495.021 14,782

2002 295.089 9,273

2003 - 11,753

2004 955.000 11,165

2005 977.000 14,970

Sumber: BPS (2006)

(29)
(30)

III. DAYASAING MINYAK PALA

3.1. Konsep Dayasaing

Dayasaing merupakan kemampuan produsen untuk memproduksi suatu komoditas dengan mutu yang cukup baik dan biaya produksi yang cukup rendah dibanding produsen lain sehingga produsen memperoleh laba yang mencukupi dan dapat mempertahankan kelanjutan biaya produksinya (Simanjuntak 1992). Menurut Salvatore (1997) menyatakan bahwa dayasaing komoditas tercermin dari harga jual yang bersaing dan mutu yang baik. Dayasaing adalah keunggulan dari suatu perusahaan atau industri dalam menghadapi pesaingnya di pasar domestik atau internasional.

Dayasaing (competitiveness) seringkali dinyatakan dalam bentuk keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Suatu komoditi dianggap menguntungkan untuk diproduksi atau diusahakan dan dapat bersaing di pasar internasional apabila komoditi tersebut mempunyai keunggulan komparatif maupun keunggulan kompetitif. Keunggulan komparatif maupun kompetitif suatu aktivitas ekonomi dari suatu negara atau daerah menunjukkan keunggulan baik dalam potensi sumberdaya alam, penggunaan teknologi maupun kemampuan manajerial dalam aktivitas yang bersangkutan (Sudaryanto et al. 1993).

(31)

dayasaing (keunggulan) potensial dalam arti dayasaing akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami distorsi sama sekali.

Asumsi perekonomian yang tidak mengalami hambatan atau distorsi sama sekali sulit ditemukan dalam dunia nyata, khususnya di Indonesia sebagai negara yang berkembang. Oleh karena itu, keunggulan komparatif tidak dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur keuntungan suatu aktivitas ekonomi dari sudut pandang badan atau orang-orang yang berkepentingan langsung dengan suatu proyek. Konsep yang lebih cocok untuk mengukur kelayakan secara finansial adalah keunggulan kompetitif.

Konsep keunggulan kompetitif dikembangkan pertama kali oleh Porter pada tahun 1980 dengan bertitik tolak dari kenyataan bahwa keunggulan perdagangan antara negara dengan negara didalam perdagangan internasional secara spesifik untuk produk-produk tertentu sebenarnya tidak ada. Fakta yang ada adalah persaingan antara kelompok-kelompok kecil industri di satu negara dengan negara lainnya, bahkan antara kelompok industri yang ada dalam satu negara. Oleh karenanya, keunggulan kompetitif dapat dicapai di suatu negara dengan meningkatkan produktivitas penggunaan sumberdaya-sumberdaya yang ada (Warr 1994, diacu dalam Novianti 1995).

Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku (analisis finansial). Selanjutnya menurut Warr (1994) dalam Novianti (1995), keunggulan komparatif merupakan suatu ukuran dayasaing yang relevan bagi suatu negara sedangkan keunggulan kompetitif untuk suatu perusahaan atau individu.

(32)

17 Dayasaing internasional dari sebuah industri nasional didefinisikan dengan industri tersebut memiliki posisi pasar yang superior melalui laba yang tinggi dan pertumbuhan yang konstan dibandingkan dengan pesaingnya (Cho dan Moon 2003). Kesalahan konsep dalam dayasaing internasional adalah membagi dayasaing internasional menjadi dua golongan yaitu dayasaing harga (seperti upah minimal, tingkat kurs, produktivitas tenaga kerja dan dayasaing bukan harga (seperti kualitas, pemasaran, jasa dan diferensiasi pasar) (Francis dan Tharakan dalam Cho dan Moon, 2003).

3.2. Indikator Dayasaing

Salah satu cara untuk mengukur keunggulan komparatif adalah menggunakan indeks RCA (Revealed Comparative Advantage). Indeks RCA merupakan alat yang digunakan untuk mengevaluasi spesialisasi ekspor yang pada akhirnya dapat menjadi indikator dayasaing ekspor (Yamazawa dan Ukuda 1994, dalam Intal 1996). Apabila indeks RCA lebih besar atau kurang dari 1 mengindikasikan adanya keunggulan atau kelemahan dalam dayasaing komparatif yang pada akhirnya akan meningkatkan (menurunkan) dayasaing internasional. Peningkatan atau penurunan nilai indeks RCA dari waktu ke waktu mengindikasikan peningkatan atau penurunan dayasaing komparatif, yang pada akhirnya akan meningkatkan atau menurunkan tingkat dayasaing internasional. RCA diformulasikan sebagai berikut:

w wj

i ij

X X

X X

RCA= ... (1)

Dimana: X = ekspor, j = komoditi ke-j, i = negara ke-i, w = dunia.

Menurut Intal 1996, ada tiga tipe dayasaing yaitu dayasaing internasional, dayasaing domestik dan dayasaing komparatif. Dayasaing internasional adalah biaya unit untuk ekspor (unit cost on export/uce) :

(33)

Ucd = Puc/Pd = TC/PdQ ... (3) Dayasaing komparatif adalah biaya unit pada harga bayangan (unit cost on shadow prices/ucs):

Ucs = Pucs/Pws=TCS/PwsQ ... (4) Dimana:

Puc = unit biaya fisik (= TC/Q)

Pucs = unit biaya fisik pada harga bayangan (= TCS/Q) Pw = harga dunia

Pd = harga domestik (yang diproteksi) Pws = harga dunia bayangan

TC = biaya total

TCS = biaya total pada harga bayangan Q = jumlah yang diproduksi

Perbedaan antara biaya total dan biaya total bayangan adalah jumlah dari semua biaya tambahan pada harga yang dipengaruhi oleh distorsi pasar. Suatu produk dikatakan berdayasaing atau mempunyai keunggulan komparatif jika nilai Uce, Ucd atau Ucs lebih kecil dari 1.

3.3. Faktor Penentu Dayasaing

Menurut Porter (1990), teori perdagangan klasik yang berdasarkan pada keunggulan komparatif tidak menjelaskan secara memuaskan pola perdagangan negara miskin sumberdaya. Berdasarkan hal tersebut Porter menyusun model dayasaing internasional dalam bentuk model “Diamond Porter”.

(34)
[image:34.596.180.445.75.296.2]

19 Gambar 3. “The National Diamond System” (Porter,1990)

Masing-masing elemen dalam model diamond Porter dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut:

(i) Faktor Sumberdaya

a. Sumberdaya Manusia (jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimiliki, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah) dan etika kerja (termasuk moral).

b. Sumberdaya Fisik atau Alam (biaya, aksesibilitas, mutu dan ukuran lahan, kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis dan lain-lain).

c. Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) antara lain terdiri dari ketersediaan pengetahuan pasar, pengetahuan teknis dan pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan.

d. Sumberdaya Modal antara lain suku bunga yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber modal), aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan, tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter dan fiskal serta peraturan moneter dan fiskal.

Related and Supporting

Industries Structure of

Firms and Rivalry

Factor Conditions

Demand Conditions

(35)

e. Sumberdaya infrastruktur antara lain ketersediaan jenis, mutu dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi persaingan.

(ii) Kondisi permintaan

Terdiri dari komposisi permintaan domestik, jumlah permintaan dan pola pertumbuhan dan permintaan domestik internasional.

(iii) Industri Pendukung dan Industri Terkait

Terdiri atas industri kemasan, alat/mesin pengolahan, jasa trasnportasi dan lain-lain.

(iv) Persaingan, Struktur dan Strategi Perusahaan

Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu faktor pendorong bagi perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi. Struktur industri dan struktur perusahaan juga menentukan dayasaing yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perbaikan-perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri yang bersaing.

(v) Peran kesempatan

Merupakan faktor yang berada diluar kendali perusahaan dan atau pemerintah, tetapi dapat meningkatkan dayasaing global industri nasional. Beberapa keuntungan yang dapat mempengaruhi naiknya dayasaing global industri nasional adalah adanya penemuan baru yang murni, biaya perusahaan yang tidak berlanjut (misalnya terjadi perubahan harga minyak atau depresiasi mata uang), meningkatnya permintaan produk industri yang bersangkutan lebih tinggi dari peningkatan pasokan, politik yang diambil oleh negara lain serta berbagai faktor kesempatan lainnya.

(vi) Peran pemerintah

(36)

21 dapat mempengaruhi aksesibilitas pelaku-pelaku industri terhadap berbagai sumberdaya melalui kebijakan-kebijakannya, seperti sumberdaya alam, tenaga kerja, pembentukan modal, sumberdaya teknologi dan ilmu pengetahuan serta sumberdaya informasi. Pemerintah juga dapat mendorong peningkatan dayasaing melalui penetapan standar upah tenaga kerja minimum dan berbagai kebijakan terkait lainnya.

Model Diamond Porter ini dapat digunakan untuk menganalisis pengaruh terhadap model yang lain seperti analisis menggunakan SWOT, PEST atau ISM. Lebih jauh model ini dapat pula dikembangkan untuk analisis dayasaing yang rumit yang digunakan pada saat menyusun strategi, rencana dan keputusan membuat investasi tentang bisnis dan organisasi.

Intal (1996) dalam Munandar, 2001 menyusun formulasi strategi dayasaing Philipina untuk komoditas agroindustri didasarkan pada konsep ”dayasaing berlian Porter”. ”Berlian” terdiri dari dua bagian yaitu bagian dalam dan luar. ”Berlian” bagian dalam terdiri atas produktivitas (alokasi sumberdaya yang efisien), efikasi (rendahnya biaya traksaksi untuk melakukan usaha), inovasi dan nilai (akses teknologi dan etos kerja) sedangkan berlian bagian luar terdiri atas faktor kondisi (misalnya kuantitas, kualitas, pertumbuhan), teknologi (tingkat alih teknologi, adaptasi, penyerapan teknologi), kebijakan (makroekonomi dan sektoral) dan lembaga/industri pendukung (industri terkait dan infrastruktur). Intal 1996 juga menyatakan, faktor yang mempengaruhi dayasaing internasional dalam hubungannya dengan interdependensi makroekonomik, yaitu nilai tukar, produktivitas industri dan produktivitas pertanian (bahan baku untuk agroindustri) sedangkan faktor utama yang mempengaruhi keunggulan komparatif yaitu sumberdaya (manusia dan fisik) dan tingkat perubahan teknologi.

(37)

kebijakan harga input dan kuantitas permintaan domestik, dan; (4) faktor yang tidak dapat dikendalikan seperti lingkungan alam (Munandar 2001).

3.4. Dayasaing Minyak Pala Indonesia di Pasar Internasional

Berdasarkan persamaan indeks RCA (persamaan 1), keunggulan komparatif untuk sepuluh negara eksportir minyak atsiri terbesar di dunia dapat dilihat pada Tabel 5 berikut.

Tabel 5. Nilai indeks RCA sepuluh negara eksportir minyak atsiri terbesar (HS 3301)

No. Negara Tahun Trend

2001 2002 2003 2004 2005

1. Amerika Serikat 1.77 1.87 1.75 1.97 2.08 4.3%

2. Perancis 0.56 0.55 0.59 0.64 0.63 3.1%

3. Brazil 7.88 9.62 12.16 10.30 9.95 7.4%

4. Inggris 0.82 0.72 0.83 0.84 0.89 2.6%

5. Argentina 7.54 9.70 8.38 7.76 10.77 11.6%

6. China 4.12 3.52 2.43 2.73 2.50 -10.4%

7. Indonesia 10.6 9.37 8.32 8.24 11.10 2.7%

8. Jerman 0.27 0.28 0.28 0.36 0.39 10.2%

9. Italia 0.68 0.63 0.65 0.66 0.64 -1.4%

10. India 5.90 7.65 9.57 11.38 - 24.6%

Sumber: UN Comtrade (2006) diolah dalam Rusli 2006

Dari Tabel 5 terlihat bahwa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir (2001-2005), Indonesia memiliki indeks RCA yang cukup tinggi setingkat dengan Argentina dan Brazil. Namun demikian kecenderungan peningkatan indeks RCA yang terjadi, posisi Indonesia saat ini cukup mengkhawatirkan karena jika dibandingkan dengan dua negara tersebut, kecenderungan peningkatan indeks RCA Indonesia jauh lebih rendah yakni 2.7% dibanding 11.6% (Argentina) dan 7.4% (Brazil).

[image:37.596.127.487.249.388.2]
(38)

23 negatif pada dominasi pasar minyak pala Indonesia. Untuk itu dibutuhkan strategi khusus yang mampu mendongkrak dayasaing minyak pala Indonesia agar tetap mampu bersaing dimasa mendatang.

Tabel 6. Perkembangan RCA minyak pala (HS 3301295025) negara saingan Indonesia di Pasar Amerika Serikat

No. Negara Tahun Trend

2001 2002 2003 2004 2005

1. India 0.61 0.79 0.99 0.99 0.70 1.13%

2. Grenada 12.43 11.98 11.98 15.70 21.29%

3. Indonesia 5.58 6.64 6.65 6.65 8.34 8.45%

Sumber: US Census Bureau, Foreign Trade Statistics (2006) diolah dalam Rusli 2006

Grenada adalah pesaing Indonesia dalam perdagangan minyak pala di pasar internasional. Walaupun minyak pala Indonesia mempunyai keunggulan karena memiliki aroma yang khas dan rendemen minyak yang tinggi (Lampiran 4), namun peranan Indonesia dalam mengendalikan pasar pala dunia tidak begitu nyata disebabkan kemampuan Indonesia dalam negosiasi dan diplomasi bisnis ekspor impor masih lemah, justru Grenada mempunyai andil dominan (Lutony dan Rahmayati 2002; Sunarto dalam Oryzanti 2003). Produksi minyak pala Grenada pada tahun 2000 berjumlah 2.4 ton (US$ 193,11) dan meningkat dengan pesat menjadi 17.9 ton dengan nilai ekspor US$ 677,98 dan menurun menjadi 6.8 ton atau senilai US$ 482,77 pada tahun 2002 (Travel Grenada, 2005).

Pengumpul biji pala dr petani

Perwakilan di USA,

Eropa,

Pedagang dan pembeli internasiona

Outlet GNCA Konsumen

lokal industri

Unit Pengolahan

Koordinator pasar bahan

baku

Unit ekstraktor/

GCNA

Ekspor

(39)

Gambar 4. Rantai pemasaran minyak pala Grenada (GCNA 1999, dalam Rodriguez, 2003)

Disamping kemampuan diplomasi, Grenada yang memiliki kelembagaan minyak pala yang kuat. The Grenada Cooperative Nutmeg Association (GCNA) merupakan organisasi petani yang sangat penting di Grenada. GCNA memiliki 16 pangkalan penampungan dengan produksi rata-rata 20 ton/tahun dan 10 ton minyak fuli/tahun. Unit penyulingan ini beroperasi 24 jam/hari dengan kapasitas penuh 40 ton/tahun. Petani dan kelompok tani membawa biji pala ke lokasi pengolahan terdekat kemudian dipisahkan berdasarkan kualitas. Unit pengolahan juga berfungsi untuk proses pengeringan, gudang penyimpanan untuk selanjutnya dikemas, dijual, diolah atau disuling. Asosiasi ini juga memiliki tenaga ahli dibidang minyak atsiri yang membantu GCNA menghasilkan minyak pala yang berkualitas tinggi. Gambar 4 memperlihatkan rantai pemasaran minyak pala negara Grenada. Dengan pola kelembagaan seperti diatas maka ekonomi biaya tinggi akibat rantai pemasaran yang panjang dapat dihindari dan keuntungan yang diperoleh pelaku usaha terjamin .

(40)
[image:40.596.125.482.74.327.2]

25 Gambar 5. Rantai tata niaga industri minyak pala di Indonesia

3.5. Penelitian Terdahulu Tentang Dayasaing

Hasil penelitian Munandar (2001) tentang faktor-faktor penentu dayasaing ekspor minyak sawit dan teh Indonesia menggunakan metode ekonometrik. Model disusun berdasarkan ide umum bahwa dayasaing ekspor ditentukan oleh beberapa faktor antara lain kondisi, kebijakan, teknologi dan inovasi, dan perilaku konsumsi.

Hasil penelitian Haridian (2002) tentang sistem penunjang keputusan perencanaan dan pengembangan agroindustri pala terdiri dari aplikasi usahatani tanaman pala dengan basis model analisis pemilihan lokasi penanaman tanaman pala dan model kelayakan finansial usahatani tanaman pala dan aplikasi agroindustri manisan pala.

Nugraha (2003) melaporkan tentang studi pengembangan agroindustri minyak pala (Nutmeg Oil) di Kabupaten Bogor menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) menyimpulkan 3 faktor yang paling memberikan kontribusi terhadap pengembangan agroindustri minyak pala di Kabupaten Bogor yaitu pemasaran hasil produksi (bobot 0.215), manajemen operasi dan produksi

Petani

Bahan baku

Pedagang Pengumpul

Penampungan, pengumpulan

Penyuling

Destilasi (minyak atsiri kasar)

Industri besar

Pemurnian, fraksinasi, compounding,

blending Industri

pangan, Kosmetik,

toiletries, parfum

Pedagang perantara

Penampungan, pengumpulan, pencampuran

Eksportir

Pengumpulan, pencampuran,

(41)

(bobot 0.179) dan faktor mutu bahan baku (bobot 0.150) sedangkan strategi yang paling tepat dalam pengembangan agroindustri minyak pala adalah pembinaan yang lebih intensif oleh pemerintah kepada petani dan pengusaha minyak pala; strategi penerapan manajemen organisasi dan peningkatan luas areal tanaman pala. Berdasarkan hasil analisis sensitifitas, agroindustri minyak pala sensitif terhadap penurunan harga jual dan kenaikan harga bahan baku sebesar 5%.

Penelitian Gunawan (2004) tentang sistem penunjang keputusan pra rancang bangun industri intermediate minyak pala menggunakan Visual Basic 6.0 terdiri atas empat model yaitu Model Penyaringan Alternatif, Model Pemilihan Alternatif, Model Pemilihan Kelembagaan Industri dan Model Analisa Kelayakan Finansial. Berdasarkan hasil perhitungan analisa sensitifitas jika terjadi kenaikan sebesar 10% pada bahan baku dan penurunan harga jual produk sebesar 10%, industri intermadiate masih layak diinvestasikan.

Penelitian Sitorus, 2004 tentang penyulingan biji pala kering dari berbagai kelas mutu dan ukuran rajangan terhadap rendemen dan mutu minyak pala, menunjukkan bahwa kelas mutu biji pala dan ukuran perajangan berpengaruh sangat nyata terhadap rendemen minyak pala dan nilainya cenderung menurun dengan semakin tuanya biji pala. Biji pala dengan ukuran perajangan 10 mm menghasilkan rendemen 19.58%.

(42)

IV. METODOLOGI PENELITIAN

4.1. Kerangka Pemikiran

Minyak pala termasuk salah satu dari lima besar penghasil devisa Indonesia dari kelompok minyak atsiri. Sebagian besar industri penyulingan minyak pala (Nutmeg oil) di Indonesia umumnya berlokasi di pedesaan berupa industri skala kecil atau rumah tangga yang masih menggunakan teknologi penyulingan yang sederhana. Tertinggalnya teknologi penyulingan, lemahnya penerapan manajemen perusahaan dan rantai tata niaga yang panjang serta belum adanya kelembagaan minyak pala dapat mengakibatkan kemampuan industri minyak pala Indonesia sulit bersaing di pasar internasional.

Untuk menciptakan keunggulan bersaing minyak pala di pasar ekspor, diperlukan strategi yang dapat diterapkan oleh pelaku usaha dan stakeholder terkait dengan agroindustri minyak pala. Strategi tersebut dirancang melalui kajian posisi persaingan pasar Indonesia di pasar internasional serta identifikasi faktor dan sub faktor penentu dayasaing minyak pala Indonesia. Hasil identifikasi tersebut berupa faktor dan sub faktor yang paling mendorong dalam meningkatkan dayasaing digunakan sebagai dasar penyusunan strateginya.

(43)
[image:43.596.120.492.69.334.2]

Gambar 6 Kerangka pemikiran penelitian.

4.2. Tahapan Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, tahapan penelitian yang dilakukan dengan pengumpulan data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara langsung, survey sentra produksi minyak pala dan pengumpulan pendapat para pakar serta pelaku usaha minyak pala seperti petani, pedagang pengumpul, eksportir, instansi/lembaga terkait melalui wawancara mendalam.

Pengumpulan data melalui kuisioner yang berisi daftar pertanyaan mengenai permasalahan dan kondisi yang ada saat ini. Kuisioner yang digunakan dikelompokkan dalam 2 kategori, yaitu: (1) kuisioner umum untuk memperoleh data gambaran umum industri minyak pala, pemasalahan dan harapan responden pelaku usaha; dan (2) kuisioner utama survey pakar kelompok praktisi, akademisi yang memiliki keahlian dibidang minyak atsiri serta birokrat yang memiliki latar belakang dibidang pengolahan dan pemasaran hasil perkebunan dan produk agroindustri.

Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka, informasi dari instansi terkait seperti Departemen Pertanian, Departemen Perindustrian, Departemen

1. Identifikasi Sub Faktor Penentu Dayasaing minyak pala (wawancara pakar

& pelaku usaha)

3. Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala Indonesia

Alat Analisis : Analytical Hierarchy Process

(AHP) 1.1

Sumber daya

1.2.

Permintaan

1.3.

Industri Pendukung dan terkait

1.4. Strategi, struktur dan

persaingan perusahaan

1.5.

Peran Kesempatan

1.6.

Peran Pemerintah

2. Analisis Faktor dan Sub Faktor Penentu Dayasaing Minyak Pala Indonesia Alat Analisis: Interpretive Structural Modelling

(44)

29 Perdagangan, Dinas Perkebunan, Dinas Perindustrian, pelaku usaha minyak pala, Badan Pusat Statistik dan lain-lain.

4.2.1. Survey Pakar

Survey ini dilakukan dalam kegiatan akuisisi pengetahuan dari pakar atau ahli terkait yang didasarkan atas pertimbangan dan kriteria: 1) keberadaan responden, keterjangkauan dan kesediaan untuk diwawancarai; 2) reputasi, kedudukan dan telah menunjukkan kredibelitasnya sebagai ahli; 3) pengalaman pribadi yang menunjukkan bahwa seseorang tersebut mampu memberikan saran yang benar, membantu dan memecahkan permasalahan serta menguasai bidangnya. Dalam memberikan saran dan pemecahan masalah seorang ahli mempunyai karakteristik efektif, efisien dan sadar akan keterbatasannya. Kegiatan dan informasi yang digali dari survey pakar adalah:

1) Identifikasi Sub Faktor

Identifikasi dilakukan dengan pendekatan Model Diamond Porter melalui brainstorming dengan pakar, pengusaha minyak pala dan literatur

2) Analisis Faktor dan Sub Faktor Keunggulan Bersaing

Untuk menganalisis faktor dan sub faktor penentu dayasaing minyak pala Indonesia digunakan alat analisis Interpretive Structural Modelling (ISM). Perangkat lunak yang digunakan untuk mengolah data analisis ISM menggunakan Matlab 7.

(45)

Penggunaan kedua metode tersebut pada dasarnya untuk menentukan skala prioritas penciptaan keunggulan bersaing dengan memanfaatkan faktor-faktor penentu dengan bobot tertinggi dan sub faktor penentu yang menjadi kunci keberhasilan.

Untuk menentukan hierarki elemen kunci tahapannya adalah sebagai berikut:

a. Berdasarkan hasil identifikasi faktor dan sub faktor penentu dayasaing minyak pala Indonesia ditentukan hubungan kontekstual (perbandingan) antar elemen yaitu ”A” lebih mendorong dari ”B”

b. Menentukan notasi huruf kedalam matriks Structural Self Interaction Matrix (SSIM), Matriks ini mewakili elemen persepsi responden terhadap elemen hubungan yang dituju. Notasi-notasi huruf V, A, X dan O digunakan untuk melambangkan perbandingan antar elemen:

V adalah eij = 1 dan eji = 0 A adalah eij = 0 dan eji = 1 X adalah eij = 1 dan eji = 1 O adalah eij = 0 dan eji= 0

Simbol 1 adalah terdapat atau ada hubungan kontekstual, sedangkan simbol 0 adalah tidak terdapat atau tidak ada hubungan konstektual, antar elemen i dan j dan sebaliknya.

c. Menyusun Matriks Reachability (Reachability Matriks /RM) yang dilakukan dengan mengubah simbol-simbol SSIM kedalam sebuah matriks biner. Aturan konversi menerapkan:

• Jika hubungan Ei terhadap Ej = V dalam SSIM, maka elemen Eij=1 dan Eji=0 dalam RM.

• Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM, maka elemen Eij=0 dan Eji=1 dalam RM

• Jika hubungan Ei terhadap Ej = X dalam SSIM, maka elemen Eij=1 dan Eji=1 dalam RM

(46)

31 d. Menentukan aturan transitivitas, jika matriks (i,j) = 0 maka periksa aturan

transivitas matriksnya dengan aturan sebagai berikut:

Jika elemen (i,j)=1 dan elemen (j,k)=1 maka elemen (i,k) harus =1 e. Menentukan revisi final SSIM (Structural Self Interaction Matrix)

Jika matriks (i,,j) = 1 dan matriks (j,i) = 0 maka revisi (i,,j) = “V” Jika matriks (i,,j) = 0 dan matriks (j,i) = 1 maka revisi (i,,j) = “A” Jika matriks (i,,j) = 1 dan matriks (j,i) = 1 maka revisi (i,,j) = “X” Jika matriks (i,,j) = 0 dan matriks (j,i) = 0 maka revisi (i,,j) = “O” f. Menentukan Dependence (D) dengan rumus

Absis (i) =

= n

i1

matriks (i,j) ... (5)

g. Menentukan Driven Power (DP) dengan rumus

Ordinat (i) =

= n

j1

matriks (i,j) ... (6)

h. Memplot elemen ke dalam 4 sektor

Jika absis (i) <= jumlah elemen/2 dan ordinat (i)<= jumlah elemen/2 maka: sektor (i) = 1

Jika absis (i) >= jumlah elemen/2 dan ordinat (i)<= jumlah elemen/2 maka: sektor (i) = 2

Jika absis (i) >= jumlah elemen/2 dan ordinat (i) >= jumlah elemen/2 maka: sektor (i) = 3

Jika absis (i) <= jumlah elemen/2 dan ordinat (i) >= jumlah elemen/2 maka: sektor (i) = 4

Matriks Driver Power(DP)–Dependence(D) berguna untuk melihat tingkat daya dorong dan ketergantungan dari tiap-tiap sub faktor penentu. Secara garis besar klasifikasi sub elemen digolongkan kedalam 4 sektor yaitu:

(47)

b. Sektor 2: weak driver- strongly dependent variables (Dependent). Umumnya sub elemen yang masuk kedalam sektor ini tidak bebas. Sub elemen masuk sektor ini jika Nilai DP < 0.5X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah sub elemen.

c. Sektor 3: strong driver-strongly dependent variables (linkages). Sub elemen yang masuk kedalam sektor ini harus dikaji secara hati-hati, sebab hubungan antar sub elemen tidak stabil. Setiap tindakan pada sub elemen akan memberik an dampak terhadap sub elemen lainnya dan pengaruh umpan baliknya dapat memperbesar dampak. Sub elemen yang masuk kedalam sektor ini jika nilai DP > 0.5X dan nilai D > 0.5 X, X adalah jumlah sub elemen. d. Sektor 4: strong driver weak dependent variables (independent). Sub elemen

yang masuk kedalam sektor ini merupakan bagian sisa dari sistem dan disebut peubah bebas. Sub elemen masuk kedalam sektor 4 jika Nilai DP > 0.5X dan nilai D < 0.5 X, X adalah jumlah sub elemen.

4.2.2. Analytical Hierarchy Process

Proses Hierarki Analitik (Analytical Hierarchy Process/AHP) adalah suatu metode yang dapat digunakan oleh pengambil keputusan agar dapat memahami kondisi suatu sistem dan membantu dalam melakukan prediksi dan pengambilan keputusan (Saaty 1993). Metode AHP digunakan untuk memodelkan strategi peningkatan dayasaing minyak pala Indonesia dengan menggunakan penilaian komparasi berpasangan (pairwise comparisons) atau analisa pendapat terhadap semua pihak yang terlibat dengan permasalahan tersebut. Tolok ukur konsistensi pendapat yang diberikan oleh responden untuk semua pihak yang terlibat menggunakan rasio konsistensi (CR). Menurut Budiharsono (2001), dalam memecahkan masalah dengan menggunakan analisis AHP mempunyai keuntungan sebagai berikut :

i. Kesatuan (AHP memberi satu model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk berbagai permasalahan yang tak terstruktur).

(48)

33 iii. Saling ketergantungan (AHP dapat menangani saling ketergantungan

elemen dalam suatu sistem dan tak memaksakan pemikiran linier).

iv. Penyusunan hierarki (AHP mencerminkan kecenderungan untuk memilih elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan dan mengelompokkan unsur yang serupa dalam setiap tingkat).

v. Pengukuran (AHP memberi suatu skala untuk mengukur hal-hal terwujud untuk menetapkan prioritas).

vi. Konsistensi (AHP melacak kosistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas), vii. Sintesis (AHP menuntut taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap

alternatif).

viii. Tawar menawar (AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan tujuan-tujuan mereka).

ix. Penilaian dan konsensus (AHP tidak memaksa konsensus tetapi mensintesis suatu hasil yang refresentatif dari berbagai penilaian yang berbeda-beda) dan

x. Pengulangan proses (AHP memungkinkan orang-orang memperhalus definisi mereka pada suatu persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui pengulangan).

Diagram alir proses hierarki analitik disajikan pada Gambar 7 dengan penjabaran sebagai berikut:

1) Identifikasi Sistem

(49)

Hal yang dapat dilakukan dalam tahap identifikasi sistem sebelum tahap penyusunan hierarki adalah mempelajari literatur untuk memperkaya ide atau diskusi untuk mendapatkan semua konsep yang relevan dengan permasalahan.

[image:49.596.113.445.66.568.2]

Pendekatan sistem dilakukan dengan cara menganalisis faktor internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap dayasaing minyak pala serta asumsi-asumsi

Gambar 7. Diagram alir analisis hierarki proses (Saaty 1996)

Identifikasi sistem

Penyusunan hierarki

Penyusunan matrik pendapat Individu

Revisi pendapat

Penyusunan matriks gabungan

Perhitungan vektor prioritas

Pengolahan vertikal

Vektor prioritas sistem

Revisi Pendapat Mulai

Selesai CI;CR memenuhi ?

(50)

35 untuk masa yang akan datang. Pendekatan yang tepat diharapkan mampu mewujudkan tujuan-tujuan yang ingin dicapai para pelaku usaha minyak pala Indonesia.

2) Penyusunan Hierarki

Hierarki adalah abstraksi struktur suatu sistem yang mempelajari fungsi interaksi antar komponen dan juga dampak-dampaknya pada sistem. Abstraksi ini mempunyai bentuk yang saling berkaitan, tersusun dari suatu puncak atau sasaran utama (ultimate goal) turun ke sub-sub tujuan tersebut, lalu ke pelaku (aktor yang memberi dorongan), turun ke tujuan-tujuan pelaku dan kemudian kebijakan-kebijakannya, strategi-strategi dan akhirnya hasil dari strategi-strategi tersebut. Dengan demikian hierarki adalah suatu sistem dengan tingkat-tingkat (level) keputusan yang terstratifikasi dengan beberapa elemen keputusan pada setiap tingkat keputusan. Penyusunan hierarki atau struktur keputusan dilakukan untuk menggambarkan elemen sistem atau alternatif keputusan yang teridentifikasi. Abstraksi susunan hierarki keputusan menurut Saaty (1993) digambarkan sebagai berikut:

Level 1. Focus Sasaran Utama

Level 2. Forces F FF FFF ...

Level 3. Actors A AA AAA ...

Level 4. Objectives O OO OOO ...

Level 5. Scenario S SS SSS ...

(51)

3) Penyusunan Matrik Pendapat a. Komparasi Berpasangan

Didalam menentukan tingkat kepentingan (bobot) dari elemen-elemen keputusan yang ada pada setiap tingkat hierarki keputusan, penilaian pendapat (judgement) dilakukan dengan menggunakan fungsi berpikir yang dikombinasikan dengan intuisi, perasaan, dan penginderaan. Penilaian pendapat dilakukan dengan kombinasi berpasangan yaitu membandingkan setiap elemen dengan elemen lainnya pada setiap tingkat hierarki secara berpasangan sehingga didapat nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif.

[image:51.596.89.494.395.805.2]

Dalam pengkajian ini digunakan nilai skala komparasi 1 sampai dengan 9 (Tabel 7). Hasil penelitian Saaty pada tahun 1980 untuk berbagai permasalahan telah membuktikan bahwa nilai skala komparasi 1 sampai dengan 9 adalah yang terbaik, yaitu berdasarkan pertimbangan tingginya akurasi, yang ditunjukkan dengan nilai RMS (Root Mean SquareDeviation) dan MAD (Mean Absolute Deviation).

Tabel 7 Skala Penilaian Perbandingan Saaty*

Intensitas

Kepentingan Keterangan

1 Kedua elemen sama pentingnya

3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen yang lain

5 Elemen yang satu jelas penting dari elemen yang lain

7 Satu elemen sangat jelas lebih penting dari elemen yang lain

9 Satu elemen mutlak lebih penting dari elemen yang lain

2,4,6,8 Apabila ragu-ragu diantara kedua nilai pertimbangan yang berdekatan

1/(1-9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan skala 1-9

Sumber: Saaty (1980)

b. Matriks Pendapat Individu

(52)

37 c. Matriks Pendapat gabungan

Matriks pendapat gabungan (G) merupakan susunan matrik baru yang elemen matriksnya (Gij) berasal dari rata-rata geometrik elemen matriks pendapat individu (aij) yang rasio konsistensinya (CR) memenuhi persyaratan.

d. Pengolahan Horizontal

Pengolahan horizontal digunakan untuk menyusun prioritas elemen-elemen keputusan pada setiap tingkat hierarki keputusan. Perhitungan yang dilakukan pada pengolahan horizontal meliputi perkalian baris, Perhitungan vektor prioritas atau vektor eigen, perhitungan nilai eigen maksimum (? max), Perhitungan indeks konsistensi (CI), perhitungan rasio konsistensi (CR).

e. Pengolahan Vertikal

Pengolahan vertikal digunakan untuk menyusun prioritas pengaruh setiap elemen pada tingkat hierarki keputusan tertentu terhadap sasaran utama.

f. Revisi Pendapat

Penggunaan revisi pendapat sangat terbatas mengingat akan terjadi penyimpangan jawaban dari jawaban sebenarnya. Revisi pendapat dilakukan apabila rasio konsistensi (CR) pendapat cukup tinggi.

4.3. Tempat dan Waktu Penelitian

(53)

4.4. Analisis Strategi Peningkatan Dayasaing Minyak Pala

Konstruksi hirarki dalam analisis dayasaing minyak pala (Nutmeg oil) Indonesia dimaksudkan untuk menggali elemen-elemen yang dikandung dalam kompleksitas permasalahan agroindustri minyak pala. Konstruksi disusun berdasarkan analisis dan data yang diperoleh dari interview mendalam dengan pedagang bahan baku, pengusaha industri minyak pala, pakar (yang mewakili akademisi, praktisi dan birokrat), pemerintah daerah serta narasumber lainnya yang terkait, studi literatur serta hasil analisis ISM yang telah dilakukan sebelumnya.

Analisis diawali dengan menentukan tujuan utama (goal) dari kajian permasalahan peningkatan dayasaing, sedangkan faktor penentunya didekati dengan Model Diamond Porter. Analisis sub faktor penentu dayasaing didasarkan pada faktor yang paling mendorong dalam meningkatkan dayasaing minyak pala. Selanjutnya adalah menentukan aktor-aktor yang terkait dan terlibat dala m sistem yang sangat berpengaruh dan saling keterkaitan serta berperan sebagai sub faktor peningkatan dayasaing. Dalam analisis sistem, tujuan merupakan hasil akhir yang ingin dicapai oleh setiap aktor untuk melaksanakan rumusan alternatif strategi dalam peningkatan dayasaing. Alternatif-alternatif ini merupakan hasil sintesis dari interaksi berbagai faktor, sub faktor, aktor dan tujuan yang terkait dalam sistem untuk mencapai tujuan utama yaitu meningkatkan dayasaing minyak pala Indonesia.

4.4.1. Konstruksi Hirarki

1) Tujuan Utama

(54)

39 ada. Perencanaan peningkatan dayasaing minyak pala ditentukan dengan memperhatikan faktor-faktor penentu, sub faktor penentu, pelaku atau pelaksana dan tujuan peningkatan dayasaing yang ingin dicapai.

2) Faktor Penentu

Tahapan kedua dari pengembangan sistem ini adalah faktor penentu dalam strategi peningkatan dayasaing minyak pala berdasarkan teori Diamond Porter yang meliputi faktor sumberdaya

Gambar

Gambar buah pala dan bagian-bagiannya
Gambar 1. Buah Pala dan bagian-bagiannya
Tabel 1 Luas areal perkebunan dan produksi pala di Indonesia tahun 2003
Tabel 2. Komposisi Kimia Biji Pala
+7

Referensi

Dokumen terkait

Meskipun banyak terdapat indusui pengo- lahan minyak pala di Kabuparen Bogor, tetapi sebagian besar merupakan industri-industri skala kecil atau rumah tangga yang

hendaknya lebih fokus dalam mengembangkan industri hilir minyak sawit dibandingkan dengan ekspor minyak sawit mentah. Peningkatan nilai tambah ini akan memperkuat dayasaing

Semua angka RCA yang di peroleh adalah lebih besar dari satu yang menunjukkan bahwa produk ekspor kopi Indonesia memiliki dayasaing secara komparatif di pasar dunia,

Untuk meningkatkan posisi tawar dalam pasar minyak sawit dunia, Indonesia harus merevitalisasi industri minyak sawit dari sisi hulu sampai hilir.. Benih, pupuk,

Bagian tanaman pala yang mempunyai nilai ekonomis adalah Biji, fuli dan minyak pala yang merupakan komoditas ekspor dan banyak digunakan dalam industri makanan

Untuk meningkatkan posisi tawar dalam pasar minyak sawit dunia, Indonesia harus merevitalisasi industri minyak sawit dari sisi hulu sampai hilir.. Benih, pupuk,

Strategi yang menjadi prioritas dalam pengembangan industri produk olahan minyak pala dalam rangka pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Bogor adalah perluasan areal

Semua angka RCA yang di peroleh adalah lebih besar dari satu yang menunjukkan bahwa produk ekspor kopi Indonesia memiliki dayasaing secara komparatif di pasar dunia,