• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

BAB II LANDASAN TEORI

A. Kesejahteraan Psikologis

3. Faktor Yang Mempengaruhi Kesejahteraan Psikologis

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis individu. Faktor tersebut antara lain usia, jenis kelamin, kebudayaan, status sosial, dan pengalaman/sejarah hidup (Ryff & Singer, 1996). Ryff (2014) menambahkan bahwa terdapat enam lingkup

penelitian baru yang ditemukan berdasarkan lebih dari 350 jurnal ilmiah sepanjang tahun 1989 hingga 2014 yang berfokus pada pembentukan

well-being individu yaitu perkembangan dan penuaan; kepribadian;

pengalaman keluarga; keterikatan dengan pekerjaan dan kehidupan lain; penelitian terhadap kesehatan dan biologis; serta studi mengenai intervensi dan klinis.

a. Usia

Ryff dan Singer (1996) pada penelitian kesejahteraan psikologis terhadap segala usia menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan otonomi menunjukkan skor yang tinggi pada usia dewasa muda hingga dewasa tengah. Disisi lain, dimensi pertumbuhan pribadi dan tujuan dalam hidup menunjukkan skor yang rendah pada rentang usia dewasa tengah hingga usia lanjut. Sedangkan dimensi lainnya, seperti penerimaan diri dan hubungan yang positif dengan orang lain menunjukkan tidak ada perbedaan yang berarti pada ketiga rentang usia.

b. Jenis Kelamin

Penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Singer (1996) menemukan bahwa wanita dalam segala rentang usia secara konsisten memiliki rata-rata yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi daripada laki-laki. Hal ini dibuktikan dari berbagai hasil

penelitian mengenai depresi yang menunjukkan bahwa wanita lebih memiliki psikologis yang kuat dalam menghadapi depresi berkaitan dengan dimensi well-being (Ryff & Singer, 1996). c. Kebudayaan

Banyak diskusi yang melibatkan perbedaan kontras antara budaya individualistik (independent) dengan kolektif (interdependent) (Ryff & Singer, 1996). Pada budaya Barat yang cenderung individual, dimensi seperti penerimaan diri atau otonomi lebih memiliki skor yang lebih tinggi. Sedangkan pada budaya Timur yang cenderung kolektif, skor tinggi muncul pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain (Ryff & Singer, 1996).

Penelitian terhadap kesejahteraan psikologis dengan menggunakan self-report pada orang-orang dewasa tengah di negara Amerika dan Korea menunjukkan bahwa masyarakat Amerika lebih melihat pada kualitas yang positif dalam dirinya dibandingkan masyarakat di Korea. Pada masyarakat Korea, dimensi hubungan yang positif dengan orang lain menunjukkan skor yang lebih tinggi daripada skor dimensi penerimaan diri dan pertumbuhan diri (Ryff & Singer, 1996).

d. Status Sosial

Perbedaan status sosial-ekonomi biasanya didefinisikan dalam hal pendidikan, pendapatan, dan jabatan dalam pekerjaan

(Ryff & Singer, 1996). Berdasarkan penelitian yang dilakukan, seseorang, baik laki-laki dan perempuan, yang memiliki pendidikan yang tinggi memiliki skor yang tinggi pada dimensi tujuan dalam hidup dan perkembangan pribadi.

Berdasarkan dari literatur perkembangan ilmu menunjukkan bahwa kedudukan dalam status sosial berhubungan dengan kesehatan fisik maupun psikologis. Temuan ini menyatakan bahwa rendahnya posisi dalam status sosial berkaitan dengan menurunnya kesehatan fisik dan kesejahteraan psikologis (Ryff & Singer, 1996).

e. Pengalaman dan Sejarah Hidup

Ryff dan Singer (1996) berpendapat bahwa pengalaman hidup dan bagaimana individu mengartikan pengalaman tersebut merupakan kunci yang mampu mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya serta memberikan gambaran yang sangat berguna untuk memahami well-being manusia yang bervariasi. Sebagai contoh, ada variasi dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan dalam hidup, penerimaan diri, dan depresi dalam persepsi orangtua terhadap bagaimana

mereka membesarkan anak dan bagaimana anak

membandingkan dirinya dengan orangtuanya (Ryff & Singer, 1996).

Pada lansia wanita, ditemukan permasalahan terhadap kesehatan fisik mereka. Penilaian ini berdasarkan bagaimana pandangan mereka dengan membandingkan dirinya dengan lansia lain dan ditemukan variasi dalam dimensi pertumbuhan pribadi, hubungan yang positif dengan orang lain, otonomi, depresi, dan kecemasan (Ryff & Singer, 1996).

f. Perkembangan dan Penuaan

Penelitian yang berkaitan mengenai perkembangan dan penuaan berusaha untuk mencari tahu bagaimana orang dewasa mempersepsikan diri mereka ketika mereka menjadi tua nanti (subjective aging) (Ryff, 2014). Mereka yang masih berada pada masa dewasa awal dan masa dewasa tengah memandang dirinya masih dapat mengembangkan dirinya dari waktu ke waktu. Sedangkan, mereka yang sudah berada pada masa dewasa akhir, memikirkan untuk berusaha mengantisipasi menurunnya well-being yang dimiliki di masa mendatang (Ryff, 2014). Ryff (2014) menambahkan perbedaan antara seberapa tua yang mereka rasakan dengan seberapa tua mereka seharusnya, menunjukkan hasil bahwa well-being yang tinggi ditunjukkan pada mereka yan merasa muda namun tidak ingin menjadi muda.

Individu yang dapat beradaptasi dengan masa transisi pada kehidupan masa dewasanya juga berkaitan dengan well-being

yang dimiliki (Ryff, 2014). Transisi pada masa dewasa akhir dapat diartikan juga sebagai perpindahan yang biasanya diartikan sebagai perpindahan rumah menuju ke panti jompo. Mereka yang mampu melakukan adaptasi melalui proses psikologis seperti perbandingan sosial, persepsi diri yang fleksibel, mampu mengatasi permasalahan yang dimiliki serta dapat melakukan tugas perkembangan di masa dewasa akhir akan cenderung memiliki tingkat well-being yang lebih tinggi daripada mereka yang tidak dapat beradaptasi dengan tugas perkembangan masa dewasa akhir (Ryff, 2014).

g. Kepribadian

Para psikolog memberikan perhatian yang cukup besar terhadap bagaimana well-being berkaitan dengan perbedaan pada individu seperti sifat-sifat individu (Ryff, 2014). Pada penelitian awal mengenai well-being yang menggunakan model kepribadian Big Five, menemukan hasil bahwa keterbukaan pada openness to experience berhubungan dengan pertumbuhan

personal growth, agreeableness berhubungan dengan positive relations with others, dan extraversion, conscientiousness, dan neuroticism berhubungan dengan environmental mastery, purpose in life, dan self-acceptance (Rfyy, 2014).

Ryff (2014) menambahkan berbagai variabel psikologis lain yang berkaitan dengan kepribadian, telah dikaitan dengan well-

being. Sebagai contoh, sikap optimis, mampu memprediksi

tingginya well-being dengan pengaruh yang dimediasi oleh

sense of control. Selain sikap optimis, telah banyak variabel

yang berkaitan dengan perbedaan individu yang dihubungkan dengan well-being seperti empati dan kecerdasan emosional (Ryff, 2014).

h. Pengalaman Keluarga

Keterlibatan orang dewasa dan peran di dalam lingkungan memiliki pengaruh yang besar dalam mengembangkan well-

being yang dimiliki, salah satunya peran dalam keluarga (Ryff,

2014). Ryff (2014) menambahkan, individu yang memiliki peran tersebut cenderung memiliki tingkat yang tinggi dalam dimensi tujuan dalam hidup dan penerimaan diri. Selain itu, individu yang menikah secara konsisten memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih baik dari pada individu yang bercera, janda/duda, dan tidak menikah. Meskipun pada wanita yang tidak menikah memiliki nilai yang lebih tinggi pada dimensi otonomi dan pertumbuhan pribadi daripada wanita yang menikah.

Orang dewasa yang juga memiliki peran sebagai orang tua juga mampu meningkatkan kesejahteraan psikologis yang dimiliki, terutama jika anak-anak mereka dapat tumbuh dengan baik (Ryff, 2014). Namun, bagi mereka yang kehilangan anak

di masa dewasa cenderung mengalami permasalahan terhadap tingkat kesejahteraan psikologis yang dimiliki. Ryff (2014) menambahkan orang dewasa yang kehilangan orang tuanya di masa kecil atau yang mengalami kekerasan fisik maupun psikologis di masa kecil, cenderung memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang rendah.

i. Keterikatan dengan Pekerjaan dan Kehidupan Lain

Bagaimana individu menyelesaikan pekerjaan dan mengejar karir memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap kesejahteraan psikologis yang dimiliki sesuai dengan jenis pekerjaan atau karir mereka (Ryff, 2014). Penelitian mengenai beban kerja yang dialami seseorang menemukan hasil bahwa beban kerja berkontribusi terhadap depresi yang dialami individu (Ryff, 2014). Peran dalam pekerjaan maupun peran dalam keluarga memiliki keterkaitan terhadap kesejahteraan psikologis individu. Pria dan wanita yang memiliki peran yang berbeda di pekerjaan dan keluarga berkontribusi terhadap perbedaan kesejahteraan psikologis yang dimiliki (Ryff, 2014). Ryff (2014) menambahkan bahwa pekerjaan yang dibayar dan yang tidak dibayar juga berhubungan dengan kesejahteraan psikologis. Pada wanita yang bekerja dengan tidak dibayar cenderung memiliki penerimaan diri dan penguasaan lingkungan yang lebih rendah, sedangkan pada pria yang

bekerja dengan dibayar cenderung lebih memiliki nilai yang tinggi pada dimensi pertumbuhan pribadi. Pekerjaan sebagai relawan memiliki keterkaitan dengan tingginya kesejahteraan psikologis yang dimiliki, sedangkan pekerjaan yang berkaitan dengan keagamaan cenderung memiliki nilai yang tinggi pada tujuan dalam hidup dan pertumbuhan pribadi namun memiliki nilai yang rendah pada dimensi otonomi (Ryff, 2014).

j. Kesehatan

Beberapa penelitian mengenai kesehatan menunjukkan hasil bahwa mereka yang menderita penyakit fisik dan cacat memiliki keterkaitan dengan kesejahteraan psikologis yang dimiliki (Ryff, 2014). Beberapa individu menunjukkan bahwa mereka mampu mengelola kembali dan mendapatkan kesejahteraan psikologis setelah melewati masa sakit

k. Studi Klinis

Ryff (2014) berpendapat bahwa kesejahteraan yang bersifat

eudaimonic tidak bisa dipahami hanya sebagai kebalikan dari

tekanan psikologis. Keduanya merupakan indikator yang penting untuk memahami kesehatan mental secara menyeluruh. Dalam penelitian mengenai gangguan mental tertentu seperti

schizophrenia, depresi, gangguan panik, cyclothymia,

agoraphobia, dan post-traumatic stress disorder menemukan

risiko gangguan mental tersebut yang ditunjukkan melalui dimensi penerimaan diri, pertumbuhan pribadi, tujuan dalam hidup, dan penguasaan lingkungan tiap individu (Ryff, 2014).

Kesejahteraan psikologis dianggap sebagai kemajuan besar dalam studi mengeni intervensi klinis dan menjadi teknik baru untuk melakukkan treatment kepada pasien (Ryff, 2014). Ryff (2014) menambahkan kesejahteraan psikologis dianggap dapat mencegah dan meningkatkan resiliensi individu terhadap gejala gangguan mental. Sebagai contoh, program pelatihan dengan meditasi dianggap mampu untuk meningkatkan aspek

eudaimonia dalam kesejahteraan psikologis (Ryff, 2014).

Dokumen terkait