• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Mengganggu Siswa

BAB II KAJIAN PUSTAKA

4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Mengganggu Siswa

Perilaku mengganggu siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Eileen S. Flicker & Jannet Andron Hoffman (2006: 12) menyebutkan beberapa faktor yang menyebabkan anak berperilaku mengganggu yang meliputi faktor emosional yang mencakup di dalamnya kepribadian temperamental, kemarahan, penentangan, ketegasan, frustrasi, kecemasan, ketakutan, kebosanan, overstimulasi, kebutuhan akan perhatian, kecemburuan, dan rendah diri. Faktor fisiologis yang mencakup di dalamnya gizi buruk, kelaparan, kelelahan, penyakit, dan alergi. Kedua faktor tersebut dapat disimpulkan sebagai faktor internal atau faktor yang berasal dari dalam diri individu.

Menurut Anhenbach, Howell, McConaughy, & Stanger; Coie & Dodge; Loeber & Farrington; McLoyd; Patterson, Reid, & Dishion; Wolverton, Litcher, & McCoy (Pia Todras, 2007 : 10-11) perilaku mengganggu di dalam kelas

disebabkan dari faktor dalam rumah, masyarakat, dan sekolah. Menurut Anhenbach, dkk; Coie & Dodge; Loeber & Farrington; McLoyd; Patterson, dkk; Wolverton, dkk, pengalaman anak di rumah secara signifikan dapat mempengaruhi perilaku mereka di sekolah, khususnya bagi korban perceraian, kemiskinan, kurangnya keterlibatan orang tua, kurangnya pengawasan, kurangnya perhatian dan dorongan, penelantaran orangtua, kontrol berlebihan dan hukuman fisik dapat berakibat buruk terhadap individu atau kemampuannya untuk tampil di sekolah.

Anak-anak dari keluarga yang sangat dysfunctional (tidak berfungsi dengan baik) akan sangat rentan terhadap kesulitan penyesuaian di sekolah. Menurut Edwars (Pia Todras, 2007: 13) empat aspek utama dari kesulitan-kesulitan penyesuaian adalah kerusakan pada konsep diri, kurangnya perhatian, kurangnya kasih sayang, dan kontrol yang berlebihan. Perkembangan konsep diri anak-anak dimulai jauh sebelum mereka mulai sekolah dan didorong oleh pengalaman mereka selama di rumah. Beberapa keluarga disfungsional hanya memberikan sedikit atau bahkan tidak memberikan dukungan emosional kepada anak untuk mengembangkan akal sehat atau logika dan kontrol diri atas kehidupannya sendiri. Hal inilah yang dapat menyebabkan anak-anak yang mengalami masalah kepribadian serius dan keberhasilan sekolah yang terbatas.

Kurangnya perhatian di rumah adalah faktor lain yang dapat menyebabkan beberapa anak menunjukkan masalah di sekolah. Orangtua seringkali mengabaikan tingkah laku anak ketika mereka berperilaku dengan baik

dan tidak mengganggu. Akan tetapi, perhatian orangtua hanya diberikan ketika anak melakukan kenakalan. Perilaku orangtua yang demikian akan mendorong anak untuk berperilaku tidak baik di sekolah karena anak mengganggap bahwa satu-satunya cara mereka mendapatkan perhatian yang mereka butuhkan adalah dengan melakukan kenakalan.

Pia Todras (1997: 15) menyatakan bahwa kurangnya kasih sayang juga dapat menyebabkan anak melakukan perilaku yang tidak baik di sekolah. Apabila orangtua tidak memberikan kasih sayang yang cukup pada anak akan menyebabkan anak merasa tidak dicintai karena mereka mungkin mempertimbangkan besarnya perhatian yang mereka terima dari orang tua sebagai indikasi bagaimana mereka dicintai. Anak-anak yang merasakan kurangnya kasih sayang dapat menggunakan perilaku mengganggu untuk memenuhi kebutuhan ini. Kontrol orangtua yang berlebihan juga dapat menyebabkan perilaku anak yang mengganggu di sekolah. Kontrol orangtua yang berlebihan tidak mengajarkan anak mereka untuk bersikap mandiri. Orangtua yang demikian seringkali tidak melihat pemikiran anak secara mandiri dan sering melihatnya sebagai tindakan pemberontakan dari anak. Orang tua seperti itu sering menghukum atau menyalahkan anak-anak mereka, yang pada akhirnya dapat menyebabkan anak-anak untuk menunjukkan gejala pemberontakan, agresi, kekerasan, atau perilaku kriminal.

Kohn (1999: 20) menegaskan bahwa penggunaan reward and punishment (penghargaan dan hukuman) yang berlebihan dari guru juga dapat berpengaruh

negatif terhadap perilaku siswa. Meskipun ada pembenaran untuk menggunakan teknik modifikasi perilaku pada situasi tertentu, guru biasanya hanya mengatasi perilaku pada saat itu dan bukan penyebabnya. Jadi, apabila tidak ada usaha dari diri siswa mengatasi masalahnya yang mendasar, maka rencana modifikasi perilaku pun menjadi tidak efektif lagi.

Eileen S. Flicker & Jannet Andron Hoffman (2006: 12) menambahkan bahwa faktor lingkungan meliputi pengaruh pergaulan, lingkungan tempat tinggal yang buruk, kemiskinan, kekerasan dalam masyarakat dan di media, serta terorisme dan perang. Faktor lain yang juga mempengaruhi perilaku mengganggu adalah gender (jenis kelamin). Pia Todras (2007: 7) menegaskan bahwa perbedaan jenis kelamin secara konsisten muncul ketika menguji tentang perilaku mengganggu siswa. Anak laki-laki sering dianggap lebih mengganggu dibandingkan anak perempuan. Satu penjelasan yang mungkin dari fenomena ini adalah bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki gejala yang berbeda yang mengacu pada perilaku mengganggu. Anak laki-laki pada umumnya menunjukkan perilaku eksternal seperti mencuri, berbohong, berkelahi, dan merusak. Sedangkan anak perempuan umumnya menampilkan perilaku internal seperti cemas, malu, menarik diri dari lingkungan, hipersensitive, dan mengeluh tentang fisiknya. Orang dewasa sering lebih menyadari kelakuan buruk anak laki-laki karena perilaku tersebut mengganggu, dan mereka mungkin mengabaikan kelakuan tidak baik yang ditunjukkan anak perempuan karena tidak agresif dan mengganggu.

Dugaan orangtua, guru, dan teman sebaya juga dapat menjelaskan beberapa perbedaan gender atau jenis kelamin dalam perilaku yang dirasakan. Perilaku yang dianggap sesuai untuk satu gender dapat dianggap tidak sesuai bagi gender yang lain. Anak perempuan dikenal lebih pasif dan memenuhi tuntutan. Sedangkan anak laki-laki biasanya dikenal lebih aktif dan agresif dibanding anak perempuan, dan lebih memungkinkan untuk melanggar norma yang berlaku di masyarakat. Mungkin juga sekolah membentuk norma-norma perilaku dan kebijakan-kebijakan yang cenderung lebih sering dilanggar oleh anak laki-laki, dan oleh karena itu anak laki-laki lebih dikenal sebagai penentang aturan.

Berbeda dengan kecenderungan umum, Webster dan Stratton (1999: 13) berpendapat bahwa orangtua cenderung berpersepsi berbeda pada perilaku mengganggu antar gender atau jenis kelamin. Menurut Webster dan Stratton, ayah cenderung lebih toleran terhadap sikap agresi pada anak laki-laki, tetapi mempersepsikan masalah pada perilaku internal anak perempuan. Sedangkan ibu (dan guru) tidak mempersepsikan perilaku internal anak perempuan sebagai sebuah masalah. Salah satu alasan bahwa anak perempuan tidak diakui memiliki masalah perilaku mungkin karena ayah hanya menghabiskan sedikit waktu dengan anak perempuannya, dan ibu mungkin mungkin mengabaikan perilaku tersebut karena mengganggapnya sebagai hal yang normal terjadi.

Penjelasan lain mengenai perbedaan gender atau jenis kelamin adalah bahwa anak laki-laki biasanya lebih sering mendapatkan hukuman fisik daripada

anak perempuan. Anak perempuan biasanya diberi nasehat dengan lebih lembut dan tidak kasar. Jadi, ada kemungkinan besar perilaku-perilaku ekstenal yang ditunjukkan anak laki-laki terkait dengan perlakuan agresif yang mereka dapatkan daripada perempuan (Webster & Stratton, 1999: 14).

Dari paparan beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa perilaku mengganggu di kelas dipengaruhi oleh faktor dari dalam individu meliputi emosional yang mencakup di dalamnya kepribadian temperamental, kemarahan, penentangan, ketegasan, frustrasi, kecemasan, ketakutan, kebosanan, overstimulasi, kebutuhan akan perhatian, kecemburuan, dan rendah diri. Faktor fisiologis yang mencakup di dalamnya gizi buruk, kelaparan, kelelahan, penyakit, dan alergi. Sedangkan faktor dari luar individu meliputi faktor dari dalam rumah, masyarakat, dan sekolah yang mencakup didalamnya perceraian, kemiskinan, kurangnya keterlibatan orang tua, kurangnya pengawasan, kurangnya perhatian dan dorongan, penelantaran orangtua, kontrol berlebihan, hukuman fisik,  pengaruh pergaulan, lingkungan tempat tinggal yang buruk, kekerasan dalam masyarakat dan di media, terorisme dan perang dan gender (jenis kelamin).

Dokumen terkait