IDENTIFIKASI PERILAKU MENGGANGGU DI KELAS PADA SISWA MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) 1 MAGELANG
SKRIPSI
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendididikan Universitas Negeri Yogyakarta
untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan
Oleh
Taufiq Hendra Wicaksono NIM 08104244032
PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
MOTTO
“Dan ternyata, banyak sekali orang-orang yang sangat sibuk melakukan hal-hal yang tidak akan memberhasilkannya”
PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan kepada:
1. Bapak, Ibu dan keluarga atas segala ketulusan dan motivasinya.
IDENTIFIKASI PERILAKU MENGGANGGU SISWA MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 MAGELANG
Oleh
Taufiq Hendra Wicaksono NIM.08104244032
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik, tingkat, dan penyebab siswa melakukan perilaku mengganggu, serta untuk mengetahui upaya guru dalam meredakan perilaku mengganggu di kelas di MAN 1 Magelang.
Jenis penelitian ini adalah penelitian survey dengan pendekatan penelitian
kuantitatif. Setting penelitian ini adalah MAN 1 Magelang. Subjek dalam
penelitian ini adalah guru dan siswa MAN 1 Magelang dengan menggunakan
teknik stratified proportionate random sampling. Metode pengumpulan data yang
digunakan adalah angket untuk kemudian dilakukan skala pengukuran. Instrumen yang digunakan yaitu skala perilaku mengganggu di kelas. Analisis data yang digunakan yaitu kuantitatif deskriptif. Data yang diperoleh selanjutnya dihitung
dengan teknik persentase dan memperhitungkan mean atau rata-rata.
Hasil penelitian ini yaitu: (1) Perilaku mengganggu siswa di kelas yang paling dominan pada siswa MAN 1 Magelang adalah perilaku menggambar di kertas pada saat guru menerangkan pelajaran, mengerjakan tugas mata pelajaran lain saat pembelajaran berlangsung, menggunakan telepon genggam di kelas, lupa membawa pekerjaan rumah, mencontek ketika ulangan atau ujian, dan tidak memperhatikan pelajaran. (2) Tingkat perilaku mengganggu tertinggi terletak pada perilaku menggambar di kertas dengan rerata 3,29. Perilaku mengganggu dengan intensitas tertinggi (pada skala 5-6) yaitu menggambar di kertas (77 siswa atau 30%) dan berbicara diluar gilirannya (33 siswa atau 13%). Perilaku mengganggu yang dilakukan paling banyak siswa adalah perilaku buang angin di kelas (247 siswa atau 95%), tetapi intensitasnya rendah. Tingkat perilaku mengganggu siswa cenderung pada kategori rendah yaitu 77,7% dan cenderung pada kategori sedang yaitu 22,3%. (3) Sebagian besar siswa beralasan melakukan perilaku mengganggu di kelas karena bosan dan terbebani kurikulum. (4) Sebagian besar guru MAN 1 Magelang memiliki sedikit pengetahuan mengenai perilaku mengganggu dan belum mengetahui cara mengatasi perilaku mengganggu.
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat, karunia dan kasih sayang yang berlimpah
sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi
Perilaku Mengganggu Siswa Madrasah Aliyah Negeri 1 Magelang” ini dengan
baik. Keberhasilan penyusunan skripsi ini tentu tidak lepas dari bantuan,
bimbingan dan uluran tangan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu,
perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :
1. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta
yang telah memberikan izin penelitian.
2. Bapak Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah
memberikan izin penelitian.
3. Ibu Sri Iswanti, M.Pd, Dosen pembimbing I yang telah memberikan
masukan, kritik dan saran yang sangat berarti terhadap penelitian ini.
4. Ibu Farida Harahap, M.Si, Dosen pembimbing II yang telah memberikan
bimbingan, arahan, nasehat serta masukan selama penyelesaian skripsi ini.
5. Bapak Kepala MAN 1 Magelang yang telah memberikan izin penelitian.
6. Bapak Drs. Sukartono, Bapak Sulistyono, S.Pd, dan Bunda Ika
Sulistyowati, M.Pd, Guru MAN 1 Magelang yang membantu penulis
dalam melaksanakan penelitian dan memberikan informasi yang
bermanfaat.
7. Siswa kelas X, XI, dan XII MAN 1 Magelang yang telah membantu
penulis selama penelitian ini.
8. Ibu dan Bapak, terimakasih atas doa dan motivasinya.
9. Novita Budi Kurniatri, S.Pd yang telah membantu penelitian dan
memberikan dorongan motivasi dalam setiap tahap penulisan.
10.Semua teman-teman seperjuanganku anak-anak BK angkatan 2008,
terimakasih untuk bantuan dan motivasinya selama ini.
11.Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, yang telah
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan penelitian ini masih banyak
kekurangan. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua.
Yogyakarta, 28 Maret 2013
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PERNYATAAN... iii
HALAMAN PENGESAHAN ... iv
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori Perilaku Mengganggu di Kelas ... 11
1. Definisi Perilaku Mengganggu di Kelas ... 11
2. Teori-Teori Terkait dengan Perilaku Mengganggu ... 14
3. Karakteristik dan Indikator Perilaku Mengganggu di Kelas ... 18
5. Cara Mengatasi Perilaku Mengganggu Siswa di Kelas ... 28
B. Karakteristik Siswa Madrasah Aliyah ... 31
C. Peran Bimbingan dan Konseling dalam Meredakan Perilaku Mengganggu Siswa di Kelas ... 34
D. Kerangka Berpikir ... 36
BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 39
B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40
C. Variabel Penelitian ... 41
D. Metode Penentuan Sampel ... 42
E. Teknik Pengumpulan Data ... 45
F. Instrumen Penelitian ... 48
G. Uji Coba Instrumen ... 51
H. Teknik Analisis Data ... 56
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 61
1. Profil Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang ... 61
2. Deskripsi Karakteristik Subjek ... 63
B. Pembahasan ... 80
C. Keterbatasan Penelitian ... 85
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 86
B. Saran... 87
DAFTAR PUSTAKA ... 89
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Data Distribusi Guru MAN 1 Magelang ... 44
Tabel 2. Data Distribusi Siswa Kelas X, XI, XII MAN 1 Magelang ... 45
Tabel 3. Kisi-Kisi Skala Perilaku Mengganggu di Kelas pada Siswa
MAN 1 Magelang ... 50
Tabel 4. Uji Validitas Skala Perilaku Mengganggu di Siswa Kelas ... 54
Tabel 5. Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien
Reliabilitas ... 56
Tabel 6. Hasil Uji Reliabilitas Skala Perilaku Mengganggu Siswa ... 56
Tabel 7. Penilaian Guru terhadap Perilaku Mengganggu di Kelas ... 63
Tabel 8. Penilaian Guru terhadap Perilaku Mengganggu di Kelas
Berdasarkan Tiap Item pada Indikator ... 64
Tabel 9. Pengetahuan Guru Mengenai Perilaku Mengganggu Siswa
di kelas ... 67
Tabel 10. Sikap Guru terhadap Perilaku Mengganggu Siswa di Kelas ... 68
Tabel 11. Hambatan Guru dalam Menangani Perilaku Mengganggu Siswa
di Kelas ... 68
Tabel 12. Penilaian Siswa terhadap Perilaku Mengganggu Dirinya di Kelas 69
Tabel 13. Penilaian Siswa terhadap Perilaku Mengganggu Berdasarkan
Tiap Item pada Indikator ... 73
Tabel 14. Alasan Siswa Melakukan Perilaku Mengganggu di Kelas ... 76
Tabel 15. Sikap Siswa terhadap Siswa Lain yang Berperilaku Mengganggu
di Kelas ... 77
Tabel 16. Frekuensi Tingkat Perilaku Mengganggu Siswa di Kelas secara
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Tingkat Perilaku Mengganggu Berdasarkan Penilaian Guru
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Instrumen Guru ... 92
Lampiran 2. Instrument Siswa ... 95
Lampiran 3. Rekapitulasi Data Uji Coba Instrumen ... 98
Lampiran 4. Uji Validitas... 99
Lampiran 5. Uji Reliabilitas ... 100
Lampiran 6. Rekapitulasi Data Hasil Penelitian ... 102
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar yang meliputi guru
dan siswa yang saling bertukar informasi. Dalam hal pembelajaran, Nasution
(Sugihartono, dkk. 2007: 80) mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu
aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan
menghubungkan dengan anak didik sehingga terjadi proses belajar. Lingkungan
dalam pengertian ini tidak hanya ruang belajar, tetapi juga meliputi guru, alat
peraga, perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya yang relevan dengan
kegiatan belajar siswa.
Dalam proses pembelajaran di sekolah, khususnya di dalam kelas,
interaksi antara guru dan peserta didik menjadi salah satu faktor penting
tercapainya tujuan pembelajaran karena di dalam pembelajaran terjadi transfer
ilmu antara guru dengan peserta didiknya. Interaksi yang kurang baik antara guru
dan peserta didik seringkali menyebabkan gangguan-gangguan di dalam kelas
yang akan mempengaruhi jalannya proses dan hasil pembelajaran.
Gangguan-gangguan yang timbul saat pembelajaran di dalam kelas ini sering juga disebut
Disruptive behavior atau perilaku mengganggu menjadi masalah yang
penting bagi guru (DuPaul & Hoff, 1998: 6). Dewasa ini, di Amerika, perilaku
mengganggu di sekolah sudah menjadi masalah yang serius dan membutuhkan
perhatian khusus dari guru dan orangtua. Sejumlah responden di Amerika Serikat
menganggap perkelahian dan kekerasan sebagai masalah yang paling serius di
sekolah selain kurangnya kedisiplinan.
Dalam pembahasan yang sama, sejumlah responden di Amerika
menyampaikan tujuh masalah dan diminta untuk mengidentifikasi seberapa
serius masing-masing masalah di sekolah tersebut. Dari hasil identifikasi tersebut
didapatkan data bahwa masalah kedisiplinan dan merokok berada di peringkat
kedua masalah yang paling serius dengan persentase 76% setelah masalah
obat-obatan terlarang dengan persentase 80%. Meskipun para guru di Amerika masih
kurang yakin dengan hasil survei tersebut, hanya sebagian kecil guru dan
masyarakat yang tidak setuju bahwa masalah kedisplinan siswa dan kekerasan
adalah masalah yang signifikan di sekolah (Reed & Kirkpatrick, 1998: 23).
Haris (Pia Todras, 2007: 3) menyebutkan bahwa Metropolitan Life
Survey of the American Teacher (MLSAT) melakukan wawancara dengan 1000
guru, 1234 siswa, dan 100 polisi dan didapatkan hasil bahwa guru, siswa, dan
penegak hukum dalam hal ini kepolisian setuju bahwa disruptive (yang
mengganggu), misbehaving (kenakalan atau berperilaku tidak pantas), dan
aggressive student (siswa yang agresif) membuat kedisiplinan dan pembelajaran
konsentrasi seseorang. Sebagai tambahan, masalah kedisiplinan di dalam kelas
dan kekerasan di sekolah dapat menyebabkan para guru dan siswa menjadi stress.
Hal ini juga mengganggu proses belajar mengajar dan pada akhirnya akan
mempengaruhi prestasi akademik siswa.
Reed dan Kirkpatrick (1998: 25) melihat perilaku mengganggu di kelas
sebagai masalah yang lebih serius daripada masalah kekerasan. Reed dan
Kirkpatrick juga menyatakan bahwa jika ada salah satu siswa yang mengganggu
di kelas akan mempengaruhi konsentrasi siswa lain dalam mengikuti
pembelajaran. Hal ini akan mengakibatkan waktu menjadi terbuang percuma
karena perhatian guru juga akan tersita untuk mengatasi siswa yang mengganggu
tersebut.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa perilaku mengganggu
mendapatkan membutuhkan perhatian dari berbagai pihak mengingat banyaknya
dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari perilaku mengganggu di kelas.
Maka dari itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang perilaku mengganggu di
kelas.
Perilaku mengganggu di dalam kelas yang ditunjukkan siswa di Indonesia
tidak jauh berbeda dengan perilaku mengganggu di dalam kelas yang
ditunjukkan siswa di Amerika. Hal ini sejalan dengan pengalaman pribadi
peneliti saat masih menjadi siswa di sekolah. Pada saat menjadi siswa Sekolah
Dasar (SD), peneliti menjumpai ada teman sesama siswa tidak mengerjakan
berbicara dengan teman sebangku letika guru menjelaskan pelajaran, dan
menggambar di kertas ketika guru menerangkan pelajaran. Perilaku-perilaku
tersebut disebabkan oleh faktor yang berbeda, dari jenuh dengan metode
mengajar guru yang monoton atau tidak variatif, diajak berbicara dengan teman
sebangku, sampai memikirkan hal pribadi lainnya seperti kurangnya motivasi
belajar.
Pada saat menjadi siswa di Sekolah Menengah Pertama (SMP), peneliti
mempunyai pengalaman mengenai perilaku mengganggu di kelas seperti
menggambar di kertas saat pelajaran, tidak mengerjakan pekerjaan rumah,
terlambat masuk kelas, mencontek, melamun, dan membuat kegaduhan saat jam
kosong. Ketika peneliti duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA),
peneliti sering menjumpai banyak siswa yang sering datang terlambat,
membolos, dan mencontek. Peneliti juga pernah menjumpai siswa mengerjakan
pekerjaan rumah (PR) dikerjakan saat guru menerangkan pelajaran. Bahkan
sampai sekarang pun ketika peneliti duduk di bangku perguruan tinggi peneliti
masih menjumpai perilaku-perilaku mengganggu di kelas seperti yang
ditunjukkan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Hanya saja perilaku
mengganggu yang ditunjukkan oleh mahasiswa lebih kompleks dan terkadang
bisa mengelabuhi dosen pengajar, misalnya perilaku mencontek, menggunakan
telepon genggam di kelas, tidur di kelas, makan di kelas, menitipkan absen pada
teman, bahkan ada mahasiswa yang mengikuti kelas dalam keadaan mabuk
Pernyataan di atas diperkuat dengan hasil observasi dan wawancara pra
penelitian pada siswa dan guru yang dilaksanakan pada hari senin, tanggal 5
maret 2012 di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang yang terletak di
Jalan Sunan Bonang nomor 17 Magelang. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1
Magelang yang berdiri di bawah naungan Kementrian Agama mempunyai motto
yaitu senantiasa menjaga akhlak mulia dalam setiap perbuatan dan mempunyai
tujuan untuk menyeimbangkan pendidikan umum dan pendidikan agama. Jadi,
siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang diharapkan mempunyai
prestasi akademik dan akhlak atau perilaku yang baik. Namun, hal ini tidak
sejalan dengan perilaku yang ditunjukkan siswa pada saat pelajaran berlangsung.
Berdasarkan dari hasil observasi pra penelitian pada siswa kelas X-3 pada
mata pelajaran bahasa arab yang diampu oleh Bapak Huda, peneliti menemukan
permasalahan terkait perilaku mengganggu di dalam kelas. Adapun perilaku
mengganggu di kelas yang muncul di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1
Magelang meliputi mengobrol dengan teman sebangku saat guru menerangkan
pelajaran, tidur di kelas, menggunakan telepon genggam di kelas saat pelajaran,
terlambat masuk kelas, makan di kelas saat pembelajaran berlangsung,
menciptakan gaduh di kelas saat pembelajaran berlangsung sehingga
mengganggu konsentrasi siswa lain dan saat jam kosong sehingga mengganggu
kelas lain yang sedang belajar serta mengerjakan pekerjaan rumah (PR) di kelas
Beberapa siswa diwawancarai mengenai alasan mereka melakukan
perilaku mengganggu, sebagian besar dari siswa tersebut mengatakan bahwa
mereka merasa jenuh dan bosan dengan mata pelajaran tersebut. Beberapa siswa
mengatakan bahwa mereka juga terkadang terlambat masuk sekolah dengan
alasan bangun kesiangan dan ketinggalan angkutan umum.
Sedangkan dari hasil pra observasi kepada guru, didapatkan hasil bahwa
ada beberapa perilaku mengganggu yang luput dari perhatian guru. Salah satu
contoh perilaku mengganggu yang luput dari perhatian guru adalah melamun di
kelas. Perilaku mengganggu yang lain seperti menggunakan telepon genggam di
dalam kelas dan mengobrol dengan siswa lain saat pembelajaran akan
mendapatkan teguran dan sangsi langsung dari guru.
Sangsi yang diberikan oleh tiap guru berbeda-beda. Dari hasil wawancara
pra penelitian pada beberapa guru, didapatkan hasil bahwa semua guru
memberikan sangsi dengan mempertimbangkan perilaku yang ditunjukkan siswa
untuk meredakan perilaku mengganggu di dalam kelas. Adapun beberapa
perilaku mengganggu seperti melamun di kelas tidak mendapatkan sangsi karena
sebagian besar guru mengatakan bahwa perilaku tersebut adalah perilaku yang
wajar dan tidak mengganggu.
Perilaku mengganggu siswa MAN 1 Magelang juga menjadi tanggung
jawab guru Bimbingan dan Konseling MAN 1 Magelang. Upaya meredakan
perilaku mengganggu yang dilakukan oleh guru BK MAN 1 Magelang pun
layanan yang diberikan ketika dijumpai siswa melakukan perilaku mengganggu.
Belum banyak upaya meredakan dengan layanan preventif atau pencegahan. Hal
ini dibuktikan dengan hasil obeservasi dan wawancara pada guru BK MAN 1
Magelang pra penelitian pada hari senin tanggal 5 maret 2012. Dari hasil
observasi dan wawancara pra penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa siswa
yang melakukan perilaku mengganggu hanya diberikan sangsi berupa poin
pelanggaran. Sedangkan ketika dicermati, masih banyak perilaku mengganggu di
kelas yang belum terdeteksi atau terdaftar dalam buku pelanggaran. Tindak lanjut
diberikan apabila seorang siswa sudah mencapai jumlah poin pelanggaran
tertentu dari akumulasi pelanggaran-pelanggaran atau perilaku mengganggu yang
dilakukan. Walaupun ada kolaborasi dengan guru kelas pada program kerja BK,
tetapi belum ada bentuk tindakan yang jelas dalam menangani perilaku
mengganggu di kelas.
Dari latar belakang yang terpapar di atas, maka penulis tertarik untuk
mengidentifikasi perilaku mengganggu di dalam kelas pada siswa di Madrasah
Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang. Penelitian ini menjadi unik dan layak untuk
diteliti mengingat pentingnya memahami perilaku mengganggu di dalam kelas
bagi kesuksesan pendidikan nasional di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga
bisa menjadi dasar bagi penelitian-penelitian yang selanjutnya bagi jurusan
Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Negeri Yogyakarta mengenai
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, maka dapat ditarik identifikasi masalah
sebagai berikut :
1. Terdapat perilaku mengganggu di kelas yang meliputi: siswa yang sering
datang terlambat, membolos, dan mencontek, mengerjakan pekerjaan rumah
(PR) dikerjakan saat guru menerangkan pelajaran, tidak mengerjakan
pekerjaan rumah (PR), mengobrol dengan teman sebangku saat guru
menerangkan pelajaran, menggunakan telepon genggam di kelas, tidur di
kelas, melamun di kelas, makan di kelas, dan menitipkan absen pada teman,
menciptakan gaduh di kelas saat pembelajaran berlangsung sehingga
mengganggu konsentrasi siswa lain dan saat jam kosong sehingga
mengganggu kelas lain yang sedang belajar. Perilaku-perilaku tersebut terjadi
dalam proses pembelajaran.
2. Layanan Bimbingan dan Konseling MAN 1 Magelang dalam menangani
perilaku mengganggu di kelas tidak efektif.
3. Terdapat guru yang belum memahami adanya perilaku mengganggu di kelas
dan cara mengatasinya.
C. Batasan Masalah
Dari berbagai rumusan masalah yang telah dimunculkan dan agar
penelitian lebih terarah, maka peneliti akan membatasi permasalahan yang ada
yaitu identifikasi perilaku mengganggu di kelas (Disruptive Classroom Behavior)
D. Rumusan Masalah
Dari batasan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :
1. Apa saja bentuk perilaku mengganggu di kelas yang ditunjukkan siswa
Madrasah Aliyah negeri (MAN) 1 Magelang?
2. Bagaimana tingkat, frekuensi, dan intensitas perilaku mengganggu di kelas
pada siswa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang?
3. Mengapa siswa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang melakukan
perilaku mengganggu di kelas?
4. Bagaimana upaya guru di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang untuk
meredakan perilaku mengganggu di kelas?
E. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perilaku mengganggu yang ditunjukkan
siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang.
2. Untuk mengetahui penyebab siswa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1
Magelang melakukan perilaku mengganggu di kelas.
3. Untuk mengetahui tingkat, frekuensi, dan internsitas perilaku menggaggu di
kelas pada siswa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang.
4. Untuk mengetahui upaya guru di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1
F. Manfaat
Penelitian ini berusaha memaparkan kondisi yang ada di lapangan yang
berkaitan dengan identifikasi perilaku mengganggu di kelas pada siswa. Dengan
demikian, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :
1. Guru dan Sekolah
Dari penelitian ini diharapkan sekolah terutama Madrasah Aliyah
Negeri (MAN) 1 Magelang mengetahui gambaran perilaku mengganggu yang
sering muncul di kelas, sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi guru
dalam memberikan sangsi yang tepat agar menimbulkan efek jera pada pelaku
serta bagi sekolah dalam menetapkan kebijakan yang tepat mengenai perilaku
mengganggu siswa di kelas.
2. Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan
Dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian keilmuan
dalam usaha-usaha pengembangan ilmu Bimbingan dan Konseling khususnya
dalam bidang Layanan Belajar.
3. Peneliti
Melalui penelitian ini, peneliti akan mendapatkan tambahan wawasan
dan pengetahuan dalam bidang Layanan Belajar khususnya mengenai perilaku
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.Deskripsi Teori Perilaku Mengganggu di Kelas
1. Definisi Perilaku Mengganggu di Kelas
Disruptive classroom behaviors (DCB) menurut Rivers (Bidell &
Deacon, 2010: 3) dapat didefinisikan sebagai perilaku tampak yang terjadi di
dalam kelas yang menganggu guru dan atau siswa yang lain, contohnya yaitu
menolak berpartisipasi atau bekerjasama dalam kegiatan kelas, mengabaikan hak
orang lain, tidak memperhatikan pelajaran, membuat keributan dan
meninggalkan tempat duduk tanpa ijin. Kaplan, Gheen, dan Migley (Pia Todras,
2007: 4) menggambarkan disruptive behavior (perilaku mengganggu) meliputi
berbicara di luar gilirannya, menggoda, bersikap tidak sopan pada orang lain, dan
meninggalkan tempat duduk tanpa ijin dari guru yang mengajar. Selain itu,
tindakan yang lebih serius seperti kekerasan dan perusakan juga termasuk di
dalam ruang lingkup perilaku mengganggu.
Ada beberapa sebutan berbeda tapi merujuk hal yang sama dengan
disruptive behavior yaitu : troublesome behavior (perilaku yang merepotkan) dan
disturbing behavior (perilaku yang menganggu atau meresahkan). Disruptive
behavior antara siswa biasa berbeda dengan yang terjadi pada siswa
berkebutuhan khusus yang mengalami ADHD (Attention Deficit Hiperactivity
Distruptive Behavior Disorder (DBD) merupakan gejala penyimpangan perilaku
yang umum pada anak ADHD, OD dan ODD, dimulai dari mereka kecil dan
akan meningkat pada masa remaja dan dewasa (Zimmerman, 1995: 145).
Disruptive behavior yang dimaksud dalam penelitian ini juga berbeda dengan
indikator yang terjadi pada siswa yang mempunyai gangguan perilaku (behavior
problems) yang berifat patologis seperti: externalizing behavior (perilaku
berlebihan), antisosial, maupun deliquency (menyimpang). Siswa ini sering
disebut sebagai siswa ”nakal” dan kategori perilaku mengganggu yang mereka
tampakkan bisa digolongkan berat atau bisa dikategorikan sebagai perilaku
misbehavior atau misconduct (Bidell dan Deacon, 2010: 10).
Oleh karena itu ada beberapa istilah yang terkait dengan indikator yang
sama dan sering dikategorikan sebagai hal yang sama tetapi sesungguhnya
kategorinya lebih berat daripada disruptive behavior yang dimaksud dalam
penelitian ini yaitu :
a. Misbehavior
Misbehavior (kelakuan burukatau perbuatan yang tidak baik) menurut
Charles (Pia Todras, 2007: 4) adalah perilaku yang dianggap tidak pantas
untuk setting atau situasi tertentu. Dalam model Charles, misbehavior
(perbuatan tidak baik) digolongkan menjadi lima jenis yang meliputi
aggression (berperilaku agresif atau menyerang), immorality (berperilaku
tidak sopan), defiance of authority (menentang otoritas), class disruptions
disekitarnya). Aggression (berperilaku agersif atau menyerang) mengacu pada
serangan fisik dan verbal atau ucapan yang ditunjukkan pada guru atau siswa
yang lain. Immorality (berperilaku tidak sopan) mengacu pada tindakan
seperti mencontek, berbohong, dan mencuri. Defiance of authority
(menentang otoritas) diartikan seperti menolak melakukan perintah dari guru.
Class disruptions (gangguan kelas) mengacu pada tindakan-tindakan seperti
berbicara terlalu keras, berjalan berkeliling ruangan yang dapat mengganggu
proses belajar mengajar, dan berulang kali meminta ijin meninggalkan kelas.
Sedangkan clowning around (berperilaku yang mengundang tawa
disekitarnya) terdiri dari bermain-main, melamun, tidak mengerjakan PR
(pekerjaan rumah), dan membuang-buang waktu.
b. Misconduct
Misconduct (kelakuan jahat) biasanya dikaitkan dengan penyimpangan
perilaku pada remaja yang mengalami gangguan deliquency atau antisosial.
Bentuk perilakunya adalah : melakukan kekerasan, penodongan, pelecehan
seksual, melakukan tindakan yang melanggar hukum dan sebagainya
(Cooperkline, 2009: 60).
Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
disruptive behavior in the classroom merupakan perilaku yang mengganggu
tindakan pengajaran, mengganggu siswa lain dalam proses belajar mengajar baik
disebabkan oleh banyak faktor yang tidak hanya berasal dari diri mereka tapi
juga bisa disebabkan orang lain, situasi atau waktu yang ada.
2. Teori-teori Terkait dengan Perilaku Menganggu
a. Teori Behavioristik
Zimmerman (1995: 9-10) menjelaskan bahwa konsep utama dalam teori
pendekatan behavioristik didasarkan pada paradigma stimulus, respon, dan
reinforcement (penguatan) dimana perilaku manusia dianggap berada di bawah
kendali dari lingkungan eksternal. Studi pembelajaran pendekatan behavioristik
menekankan pada perilaku terbuka yang dapat diamati dan diukur. Dalam teori
behavioristik tidak ada proses berpikir atau mekanisme internal. Stimulus
adalah kondisi, peristiwa atau perubahan lingkungan dari individu yang
menghasilkan perubahan perilaku. Dengan memberikan penghargaan pada
siswa yang melakukan perilaku baik (menurut persepsi guru), siswa akan terus
menunjukkan perilaku yang mengarah pada penghargaan tersebut.
Menurut teori Behavioristik Skinner, pengkondisian instrumental adalah
contoh klasik dari teori belajar Behavioristik. Skinner (Zimmerman, 1995: 12)
menggambarkan perilaku instrumental sebagai perilaku sukarela yang
diterapkan di lingkungan. Skinner mengecualikan pengalaman subyektif dari
teori dan membahas manipulasi perilaku melalui stimulasi dan penguatan.
Skinner percaya bahwa kita dikendalikan oleh pengalaman masa lalu kita
melalui penguatan dan hukuman. Pendekatan Skinner menginstruksikan
pada peserta didik dan dengan memberikan umpan balik langsung tentang
kebenaran respon yang ditimbulkan, sehingga respon yang benar merupakan
respon yang diperkuat dan yang tidak benar dihilangkan.
Membentuk perilaku dengan menggunakan langkah-langkah kecil dan
memperkuat respon yang benar akan meningkatkan keberhasilan pembelajaran.
Dengan membuat setiap langkah berurutan sekecil mungkin, frekuensi
penguatan dapat ditingkatkan hingga puncak produksi (Skinner, 1954: 94).
Dalam studi penelitian menggunakan teori Behavioristik, disruptive (yang
mengganggu) biasanya ditentukan oleh guru. Tujuan keseluruhan dari guru
adalah untuk menciptakan lingkungan kelas yang positif. Perilaku yang
ditargetkan untuk dimodifikasi perilaku adalah perilaku yang mengganggu
seluruh kelas yang meliputi perilaku berbicara di luar gilirannya, membuat
kebisingan yang tidak perlu, yang keluar dari kursi tanpa izin, berkelahi,
memaki dan berdebat dengan guru (Poteet, 1984: 8). Setelah itu, guru akan
menargetkan memodifikasi perilaku yang diinginkan. Berbagai metode dapat
digunakan untuk menghilangkan perilaku disruptive (mengganggu) dan
memperkuat perilaku produktif.
Pendukung teknik modifikasi perilaku telah mengidentifikasi perilaku
dan masalah yang membutuhkan campur tangan. Perilaku yang membutuhkan
campur tangan adalah dimana klien meminta sendiri untuk dilakukan
modifikasi perilaku atau orang tersebut berperilaku berbeda dari lingkungannya
menargetkan perilaku yang lebih spesifik untuk modifikasi perilaku seperti
ketidakpatuhan, yang didefinisikan sebagai penolakan untuk mengikuti arah
tertentu dan kegagalan untuk merespon dengan cepat sebuah perintah.
Sedangkan perilaku seperti memukul, menendang, menggigit, menggaruk,
melemparkan sebuah benda yang mengenai seseorang, menaiki meja, berulang
melompat, berteriak keras, meludah, merobohkan, merusak benda, dan lain-lain
semuanya diidentifikasi sebagai agresif dan atau perilaku mengganggu dalam
penelitian lain (Zimmerman, 1995: 15).
b. Teori Kognitif
Bruner dan Gagne (Zimmerman, 1995 : 19) menjelaskan bahwa teori
kognitif melihat pembelajaran sebagai perolehan atau reorganisasi struktur
kognitif melalui proses dan menyimpan informasi. Siswa tidak secara pasif
bereaksi terhadap stimulus, tetapi merupakan peserta aktif dalam proses
pembelajaran. Ini adalah kemampuan pemrosesan informasi pelajar dalam
menentukan cara belajar mereka sendiri dan itu adalah tugas guru untuk
mengembangkan cara-cara yang merangsang peserta didik menggunakan
kemampuan untuk memproses informasi yang dipelajari.
Perhatian utama dalam teori kognitif adalah proses pembelajaran dan
penerimaan informasi. Karena siswa harus menjadi peserta aktif dalam proses
ini, seorang siswa yang hanya menolak untuk berpartisipasi akan dianggap
mengganggu. Siswa juga dapat dianggap mengganggu apabila memproses
mengganggu akan dianggap sebagai tindakan yang impulsif atau tindakan yang
diambil tanpa berpikir (Zimmerman, 1995: 19).
c. Teori Humanistik
Dalam kaitannya dengan perilaku mengganggu, Zimmerman (1995: 30)
menjelaskan bahwa teori humanistik menganggap disruptive (yang
mengganggu) satu orang belum tentu mengganggu orang lain. Karena
perspektif humanistik memperhitungkan individu serta kelompok, maka
keputusan mengenai apa yang dianggap disruptive (mengganggu) ditentukan
oleh kelompok. Dengan kata lain disruptive (yang mengganggu) adalah
individu yang tidak mematuhi aturan kelas. Tidak menghormati orang lain baik
secara perasaan ataupun dengan menggunakan properti juga akan dianggap
disruptive (mengganggu). Pelanggaran terhadap hak setiap individu biasanya
akan dipandang sebagai perilaku mengganggu. Neil (Zimmerman, 1995, 30)
mengatakan, ”Adalah bebas bagi individu untuk melakukan apa yang dia suka
selama tidak melanggar pada kebebasan orang lain.”
Apapun yang terjadi di kelas yang akan membuat individu merasa tidak
aman atau terancam juga akan dianggap disruptive (mengganggu). Situasi ini
juga dapat terjadi dalam bentuk perilaku fisik, misalnya individu yang
menyerang individu lain, atau dalam bentuk emosional, misalnya individu yang
Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku mengganggu di kelas dapat
dipandang dari teori Behavioristik, Kognitif, dan Humanistik. Teori
Behavioristik memandang perilaku mengganggu di kelas ditentukan oleh guru
berdasarkan perilaku yang ditunjukkan siswa. Guru memegang peran penting
dalam menguatkan dan meredakan perilaku mengganggu di kelas. Teori
Behavioristik memandang perilaku mengganggu sebagai perilaku yang tampak
dan mudah dinilai orang lain, misalnya berbicara di luar gilirannya, membuat
kebisingan yang tidak perlu, yang keluar dari kursi tanpa izin, berkelahi, memaki
dan berdebat dengan guru Dengan kata lain teori Behavioristik memandang dari
sudut pandang eksternal siswa. Teori Kognitif memandang siswa yang menolak
berpastisipasi dalam pembelajaran sebagai siswa yang disruptive (mengganggu).
Dengan kata lain teori Kognitif memandang dari sudut pandang internal siswa.
Sedangkan teori Humanistik memandang perilaku mengganggu dari sudut
pandang relasi antar individu dan kelompok. Pelanggaran terhadap hak setiap
individu dianggap sebagai disruptive (mengganggu).
3. Karakteristik dan IndikatorPerilaku Mengganggu di Kelas
Secara umum perilaku menganggu dapat dikarakteristikkan dalam
banyak indikator. Perilaku-perilaku yang meliputi datang terlambat, meminta ijin
ke toilet berulang kali, tidak mengikuti pelajaran atau membolos dari kelas,
berbicara ketika diminta menulis, memainkan korek api di kelas, menolak untuk
mengerjakan tugas dari guru, melempar pensil, berbicara ketika guru
rumah (PR), berpakaian aneh ataupun berdandan berlebihan,
menggoyang-goyangkan kursi, merokok di kelas, menolak hukuman yang diberikan, dan
meninggalkan kelas lebih awal merupakan perilaku yang dapat diindikasikan
sebagai perilaku mengganggu. (Mick McManus, 1995: 68).
Karakteristik perilaku mengganggu bisa jadi berbeda pada setiap
tingkatan umur. Arbuckle dan Little (2004: 62) menyebutkan perilaku
mengganggu yang sering muncul pada anak setingkat Sekolah Dasar (SD) yang
meliputi menuntut permintaan harus segera dipenuhi atau tidak bisa menunggu
untuk diperhatikan, mengganggu kegiatan siswa lain, tidak dapat melakukan
kegiatan secara mandiri atau menuntut perhatian yang berlebihan dari guru,
membantah ketika ditegur, melarikan diri dari kelas, tidak bergaul baik dengan
siswa lain, menolak untuk mematuhi aturan yang ditetapkan guru, mengabaikan
perasaan oranglain, dan berbohong.
Perilaku mengganggu yang ditunjukkan remaja (termasuk di dalamnya
siswa SMP, SMA, dan setingkatnya yaitu MA dan SMK) meliputi makan di
kelas, minum di kelas, mencontek ketika ulangan, tidak mengerjakan pekerjaan
rumah (PR), meninggalkan tempat duduk tanpa ijin, tidak mengerjakan pekerjaan
rumah (PR), lupa membawa pekerjaan rumah (PR), terlambat masuk kelas,
merokok di kelas, meninggalkan tempat duduk tanpa ijin, membolos, berdebat
dengan guru, memalsukan tanda tangan orangtua, tidak memperhatikan pelajaran,
melempar sesuatu, dan bertukar catatan kertas (Slomo Romi, 2004: 84). Kamps,
seperti mengekspresikan agresi pada guru atau siswa lain, membuat pernyataan
yang negatif di kelas, membuat kebisingan yang tidak perlu di kelas,
mengekspresikan tidak menghormati guru atau siswa lain, berbicara diluar
gilirinnya, secara konsisten menatap arah lain selain kepada guru atau papan tulis
juga termasuk perilaku mengganggu yang sering muncul di kalangan remaja.
Di perguruan tinggi, Reed dan Kirkpatrick (1998: 35) mengutip daftar
perilaku mengganggu yang disusun oleh Montana State University (1995).
Beberapa perilaku yang ada dalam daftar diantaranya adalah memonopoli diskusi
kelas, meremehkan siswa lain, menolak untuk berpartisipasi dalam aktivitas kelas,
terlambat masuk kelas, membuat kebisingan, dan mengajukan pertanyaan yang
tidak relevan. Reed dan Kirkpatrick memperingatkan bahwa pendidik dalam hal
ini guru harus menyadari bahwa perilaku mengganggu di dalam kelas tergantung
pada penafsiran atau interpretasi guru. Guru yang satu mungkin menganggap
perilaku tersebut adalah perilaku yang bisa diterima, sedangkan guru yang lain
mungkin menganggap bahwa perilaku tersebut adalah perilaku mengganggu.
Wallis (Pia Todras, 2007: 6) menyatakan bahwa siswa berperilaku
mengganggu adalah hasil dari kurangnya aturan etika di sekolah. Ia menegaskan
bahwa siswa berperilaku mengganggu ini muncul disebabkan karena kebijakan
sekolah yang lemah dan tidak ditegakkan secara berkelanjutan. Meskipun
perilaku yang mengganggu dan tidak sopan secara signifikan mengganggu
pembelajaran, hal tersebut sering tidak diakui dan belum terselesaikan oleh
ketidaksopanan di sekolah maka akan muncul berbabai permasalahan, yaitu
sebagai berikut : membeda-bedakan teman, perkelahian, keterlambatan masuk
kelas, menunjukkan diskriminasi gender (jenis kelamin), pembolosan, penolakan
untuk berpartisipasi dalam aktivitas kelas, dan penggunaan kata-kata yang kotor.
Division of Student Affairs University of Southern California (2004: 2)
dalam booklet yang diterbitkannya dengan judul Disruptive and Threatening
Student Behavior menjelaskan bahwa perilaku mengganggu dan mengancam
terbagi menjadi 3 tingkatan yang berbeda, yaitu :
a. Tingkat pertama, yang adalah masalah yang tidak serius, mencakup setiap
situasi yang dapat ditangani secara informal antara guru dan siswa, yang
mengarah ke penyelesaian masalah yang cepat.
b. Tingkat kedua melibatkan masalah yang sedang berlangsung, atau kejadian
yang lebih serius di dalam kelas. Dalam situasi ini, Guru dapat berkonsultasi
dengan Bidang Kesiswaan. Jika diperlukan, tim penilai dari kesiswaan akan
membantu guru dalam mengevaluasi dan menyelesaikan situasi.
c. Tingkat Ketiga adalah yang paling serius dan paling berbahaya dari beberapa
tingkat perilaku mengganggu yang lain. Jika terjadi perilaku pada tingkat ini,
maka guru harus segera menghubungi Departemen Keamanan Publik.
Dalam pembahasan yang sama, Howard Seeman (2009: 18) menyebutkan
beberapa perilaku mengganggu di kelas secara umum, diantaranya adalah tidak
menghormati hak-hak dari sudut pandang siswa lain, memonopoli diskusi,
konstan yang mengganggu pengajaran guru, tidur atau melamun di kelas,
membaca atau membahas topik lain saat guru mengajar, makan di kelas,
membuat kebisingan dengan kertas atau dengan menekan pena atau pensil,
datang ke kelas terlambat atau meninggalkan kelas lebih awal, menggunakan
pager, ponsel, dan iPod di dalam kelas, terlalu banyak menuntut waktu dan
perhatian dari guru, kebersihan pribadi yang buruk (misalnya, bau badan yang
berlebihan), menulis pesan teks satu sama lain selama guru mengajar.
Pada kategori yang berat, perilaku menganggu selain merugikan guru
juga merugikan siswa lain dan pelaku itu sendiri. Menurut Reed dan Kirkpatrick
(Pia Todras, 2007: 5), guru takut berurusan dengan defiance (penentangan),
aggression (penyerangan), dan immorality (ketidaksopanan). Namun, sebagian
besar perilaku mengganggu pada kategori class disruptions (gangguan kelas)
ataupun clowning around (perilaku yang mengundang tawa sekitarnya) dapat
ditangani langsung oleh guru. Meskipun kedua kategori perilaku tersebut tampak
seperti perilaku yang kurang mengancam, tetapi secara langsung siswa telah
kehilangan banyak waktu untuk belajar dan guru kehilangan banyak waktu untuk
mengajar.
Volenski dan Rockwood (Reed & Kirkpatrick, 1998: 2) mendefinisikan
siswa yang mengganggu sebagai siswa yang menentang guru mereka dan
mengabaikan aturan yang diberlakukan di sekolah. Siswa tersebut menunjukkan
perilaku yang menentang, tidak termotivasi dan tidak patuh. Karena siswa
banyak waktu pada kegiatan non akademik. Oleh karena itu, mereka biasanya
kurang memiliki pentingnya keterampilan akademik. Hal ini akan mempersulit
para guru membantu siswa tersebut dalam belajar agar bisa mengembangkan diri
dan menyelesaikan sekolah dengan sukses.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku
mengganggu di kelas dapat dikategorikan dalam empat indikator, yaitu
kegiatan-kegiatan yang mengganggu pembelajaran, tidak ikut serta dalam aktivitas kelas,
kegiatan yang tidak relevan dengan pembelajaran, dan keterlambatan maupun
ketidakhadiran.
4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Mengganggu Siswa di Kelas
Perilaku mengganggu siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Eileen S. Flicker & Jannet Andron Hoffman (2006: 12) menyebutkan beberapa
faktor yang menyebabkan anak berperilaku mengganggu yang meliputi faktor
emosional yang mencakup di dalamnya kepribadian temperamental, kemarahan,
penentangan, ketegasan, frustrasi, kecemasan, ketakutan, kebosanan,
overstimulasi, kebutuhan akan perhatian, kecemburuan, dan rendah diri. Faktor
fisiologis yang mencakup di dalamnya gizi buruk, kelaparan, kelelahan, penyakit,
dan alergi. Kedua faktor tersebut dapat disimpulkan sebagai faktor internal atau
faktor yang berasal dari dalam diri individu.
Menurut Anhenbach, Howell, McConaughy, & Stanger; Coie & Dodge;
Loeber & Farrington; McLoyd; Patterson, Reid, & Dishion; Wolverton, Litcher,
disebabkan dari faktor dalam rumah, masyarakat, dan sekolah. Menurut
Anhenbach, dkk; Coie & Dodge; Loeber & Farrington; McLoyd; Patterson, dkk;
Wolverton, dkk, pengalaman anak di rumah secara signifikan dapat
mempengaruhi perilaku mereka di sekolah, khususnya bagi korban perceraian,
kemiskinan, kurangnya keterlibatan orang tua, kurangnya pengawasan,
kurangnya perhatian dan dorongan, penelantaran orangtua, kontrol berlebihan
dan hukuman fisik dapat berakibat buruk terhadap individu atau kemampuannya
untuk tampil di sekolah.
Anak-anak dari keluarga yang sangat dysfunctional (tidak berfungsi
dengan baik) akan sangat rentan terhadap kesulitan penyesuaian di sekolah.
Menurut Edwars (Pia Todras, 2007: 13) empat aspek utama dari
kesulitan-kesulitan penyesuaian adalah kerusakan pada konsep diri, kurangnya perhatian,
kurangnya kasih sayang, dan kontrol yang berlebihan. Perkembangan konsep diri
anak-anak dimulai jauh sebelum mereka mulai sekolah dan didorong oleh
pengalaman mereka selama di rumah. Beberapa keluarga disfungsional hanya
memberikan sedikit atau bahkan tidak memberikan dukungan emosional kepada
anak untuk mengembangkan akal sehat atau logika dan kontrol diri atas
kehidupannya sendiri. Hal inilah yang dapat menyebabkan anak-anak yang
mengalami masalah kepribadian serius dan keberhasilan sekolah yang terbatas.
Kurangnya perhatian di rumah adalah faktor lain yang dapat
menyebabkan beberapa anak menunjukkan masalah di sekolah. Orangtua
dan tidak mengganggu. Akan tetapi, perhatian orangtua hanya diberikan ketika
anak melakukan kenakalan. Perilaku orangtua yang demikian akan mendorong
anak untuk berperilaku tidak baik di sekolah karena anak mengganggap bahwa
satu-satunya cara mereka mendapatkan perhatian yang mereka butuhkan adalah
dengan melakukan kenakalan.
Pia Todras (1997: 15) menyatakan bahwa kurangnya kasih sayang juga
dapat menyebabkan anak melakukan perilaku yang tidak baik di sekolah. Apabila
orangtua tidak memberikan kasih sayang yang cukup pada anak akan
menyebabkan anak merasa tidak dicintai karena mereka mungkin
mempertimbangkan besarnya perhatian yang mereka terima dari orang tua
sebagai indikasi bagaimana mereka dicintai. Anak-anak yang merasakan
kurangnya kasih sayang dapat menggunakan perilaku mengganggu untuk
memenuhi kebutuhan ini. Kontrol orangtua yang berlebihan juga dapat
menyebabkan perilaku anak yang mengganggu di sekolah. Kontrol orangtua
yang berlebihan tidak mengajarkan anak mereka untuk bersikap mandiri.
Orangtua yang demikian seringkali tidak melihat pemikiran anak secara mandiri
dan sering melihatnya sebagai tindakan pemberontakan dari anak. Orang tua
seperti itu sering menghukum atau menyalahkan anak-anak mereka, yang pada
akhirnya dapat menyebabkan anak-anak untuk menunjukkan gejala
pemberontakan, agresi, kekerasan, atau perilaku kriminal.
Kohn (1999: 20) menegaskan bahwa penggunaan reward and punishment
negatif terhadap perilaku siswa. Meskipun ada pembenaran untuk menggunakan
teknik modifikasi perilaku pada situasi tertentu, guru biasanya hanya mengatasi
perilaku pada saat itu dan bukan penyebabnya. Jadi, apabila tidak ada usaha dari
diri siswa mengatasi masalahnya yang mendasar, maka rencana modifikasi
perilaku pun menjadi tidak efektif lagi.
Eileen S. Flicker & Jannet Andron Hoffman (2006: 12) menambahkan
bahwa faktor lingkungan meliputi pengaruh pergaulan, lingkungan tempat
tinggal yang buruk, kemiskinan, kekerasan dalam masyarakat dan di media, serta
terorisme dan perang. Faktor lain yang juga mempengaruhi perilaku mengganggu
adalah gender (jenis kelamin). Pia Todras (2007: 7) menegaskan bahwa
perbedaan jenis kelamin secara konsisten muncul ketika menguji tentang perilaku
mengganggu siswa. Anak laki-laki sering dianggap lebih mengganggu
dibandingkan anak perempuan. Satu penjelasan yang mungkin dari fenomena ini
adalah bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki gejala yang berbeda
yang mengacu pada perilaku mengganggu. Anak laki-laki pada umumnya
menunjukkan perilaku eksternal seperti mencuri, berbohong, berkelahi, dan
merusak. Sedangkan anak perempuan umumnya menampilkan perilaku internal
seperti cemas, malu, menarik diri dari lingkungan, hipersensitive, dan mengeluh
tentang fisiknya. Orang dewasa sering lebih menyadari kelakuan buruk anak
laki-laki karena perilaku tersebut mengganggu, dan mereka mungkin mengabaikan
kelakuan tidak baik yang ditunjukkan anak perempuan karena tidak agresif dan
Dugaan orangtua, guru, dan teman sebaya juga dapat menjelaskan
beberapa perbedaan gender atau jenis kelamin dalam perilaku yang dirasakan.
Perilaku yang dianggap sesuai untuk satu gender dapat dianggap tidak sesuai
bagi gender yang lain. Anak perempuan dikenal lebih pasif dan memenuhi
tuntutan. Sedangkan anak laki-laki biasanya dikenal lebih aktif dan agresif
dibanding anak perempuan, dan lebih memungkinkan untuk melanggar norma
yang berlaku di masyarakat. Mungkin juga sekolah membentuk norma-norma
perilaku dan kebijakan-kebijakan yang cenderung lebih sering dilanggar oleh
anak laki-laki, dan oleh karena itu anak laki-laki lebih dikenal sebagai penentang
aturan.
Berbeda dengan kecenderungan umum, Webster dan Stratton (1999: 13)
berpendapat bahwa orangtua cenderung berpersepsi berbeda pada perilaku
mengganggu antar gender atau jenis kelamin. Menurut Webster dan Stratton,
ayah cenderung lebih toleran terhadap sikap agresi pada anak laki-laki, tetapi
mempersepsikan masalah pada perilaku internal anak perempuan. Sedangkan ibu
(dan guru) tidak mempersepsikan perilaku internal anak perempuan sebagai
sebuah masalah. Salah satu alasan bahwa anak perempuan tidak diakui memiliki
masalah perilaku mungkin karena ayah hanya menghabiskan sedikit waktu
dengan anak perempuannya, dan ibu mungkin mungkin mengabaikan perilaku
tersebut karena mengganggapnya sebagai hal yang normal terjadi.
Penjelasan lain mengenai perbedaan gender atau jenis kelamin adalah
anak perempuan. Anak perempuan biasanya diberi nasehat dengan lebih lembut
dan tidak kasar. Jadi, ada kemungkinan besar perilaku-perilaku ekstenal yang
ditunjukkan anak laki-laki terkait dengan perlakuan agresif yang mereka
dapatkan daripada perempuan (Webster & Stratton, 1999: 14).
Dari paparan beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
perilaku mengganggu di kelas dipengaruhi oleh faktor dari dalam individu
meliputi emosional yang mencakup di dalamnya kepribadian temperamental,
kemarahan, penentangan, ketegasan, frustrasi, kecemasan, ketakutan, kebosanan,
overstimulasi, kebutuhan akan perhatian, kecemburuan, dan rendah diri. Faktor
fisiologis yang mencakup di dalamnya gizi buruk, kelaparan, kelelahan, penyakit,
dan alergi. Sedangkan faktor dari luar individu meliputi faktor dari dalam rumah,
masyarakat, dan sekolah yang mencakup didalamnya perceraian, kemiskinan, kurangnya keterlibatan orang tua, kurangnya pengawasan, kurangnya perhatian
dan dorongan, penelantaran orangtua, kontrol berlebihan, hukuman fisik, pengaruh pergaulan, lingkungan tempat tinggal yang buruk, kekerasan dalam
masyarakat dan di media, terorisme dan perang dan gender (jenis kelamin).
5. Cara mengatasi perilaku mengganggu siswa di kelas
Perilaku mengganggu di kelas dapat diatasi dengan beberapa cara.
Zimmerman (1995) mengemukakan 3 pendekatan dalam mengatasi perilaku
mengganggu di kelas, yaitu melalui pendekatan behavioristik, kognitif, dan
a. Pendekatan Behavioristik
1) Penguatan (Reinforcement)
Reinforcement (penguatan) adalah prosedur untuk mempertahankan
atau meningkatkan perilaku. Penguatan positif adalah pemberian stimulus
respon, dan berfungsi untuk meningkatkan atau mempertahankan respon
yang diharapkan. Seorang guru akan memberikan penghargaan pada siswa
yang menunjukkan perilaku yang diharapkan agar kemudian siswa lain
mengulangi perilaku tersebut atau melakukan perilaku yang serupa dengan
perilaku yang diharapkan. Uang, kasih sayang, restu, senyuman, dan
perhatian adalah contoh yang umum dari penguatan positif (Joyce and Weil,
1986 : 114). Sedangkan Penguatan negatif adalah stimulus yang diberikan
untuk menghilangkan suatu respon (Zimmerman, 1995: 11).
2) Hukuman (Punishment)
Pemberian hukuman bertujuan untuk menurunkan kemungkinan
terulangnya perilaku yang tidak diinginkan. Hukuman dari sekolah, skorsing,
dan dimarahi guru adalah contoh dari hukuman di sekolah (Zimmerman,
1995: 13).
3) Kontrak Perilaku (Behavior contract)
Kontrak perilaku didefinisikan sebagai persetujuan resmi antara klien
dengan individu yang mempengaruhi perilaku klien tersebut. Individu yang
sebaya klien. Hackney (Zimmerman, 1995: 13) menyebutkan beberapa
tujuan dari kontrak perilaku, yaitu untuk mendapatkan komitmen untuk
mengubah perilaku dan untuk mendapatkan persetujuan mengenai perubahan
perilaku yang dihasilkan.
4) Peragaan (Modeling)
Penanganan lain yang dapat digunakan untuk meredakan perilaku
mengganggu di kelas adalah dengan menggunakan modeling (peragaan).
Peragaan perilaku didasarkan pada konsep bahwa banyak perilaku dapat
dipelajari dengan efektif modeling (peragaan) atau meniru. Bandura
(Zimmerman, 1995: 14) mengemukakan agar modeling (peragaan) dapat
berhasil, maka model yang digunakan sebaiknya teman sebaya atau orang
dewasa yang mendatangkan perilaku yang diinginkan.
b. Pendekatan Kognitif
Banyak aplikasi dari pendekatan kognitif yang berhubungan dengan
perilaku mengganggu. Misalnya saja seseorang guru menceritakan
pengalamannya tentang perilaku mengganggu pada siswa. dengan bercerita
pada siswa, secara tidak langsung alam pikiran siswa akan memproses,
menggambarkan dan belajar apa yang telah diceritakan. tujuan dari
pendekatan kognitif sendiri adalah membantu siswa belajar membangun
sebuah cara-cara belajar, melatih siswa untuk mengenal apa yang harus
mereka pelajari, serta meningkatkan frekuensi dan kualitas pembelajaran
c. Pendekatan Humanistik
Bagi pendidik yang menerapkan pendekatan humanistik, seorang siswa
mengganggu adalah sebuah indikasi bahwa siswa tersebut tidak senang atau
mengalami pertentangan. Guru seharusnya memperlakukan siswa tersebut
dengan empati. Cara ini dapat mendorong siswa agar mau berbicara dan
berbagi tentang perasaannya. Dengan ditemukannya pemecahan masalah
siswa, perilaku mengganggu tidak akan ditunjukkan lagi (Zimmerman, 1995:
14).
B. Karakteristik Siswa Madrasah Aliyah (MA)
Secara umum, karakteristik siswa Madrasah Aliyah (MA) tidak jauh
berbeda dengan sekolah umum jenjang sekolah menengah yang diselenggarakan
oleh Kementrian Pendidikan Nasional yang mana siswanya berada pada fase
perkembangan remaja. Masa remaja merupakan salah satu fase dalam rentang
perkembangan manusia (12-18 tahun). Masa remaja mempunyai ciri yang
berbeda dengan masa sebelum atau sesudahnya, yang meliputi masa remaja
sebagai periode penting, periode peralihan, periode perubahan, masa mencari
identitas, masa yang tidak realistik, dan sebagai masa ambang dewasa (Rita Eka,
dkk, 2008: 124-126).
Dalam tiap fase perkembangan, terdapat tugas-tugas perkembangan yang
harus dilewati oleh individu yang mengalaminya. Rita Eka dkk (2008 : 152)
menyebutkan tugas perkembangan yang harus dilakukan pada masa remaja
mencapai peran social pria dan wanita, menerima keadaan fisik, mengharapkan
dan mencapai perilaku social yang bertanggungjawab, mempersiapkan karir,
mempersiapkan perkawinan dan keluarga, serta sistem etis sebagai pegangan
untuk berperilaku mengembangkan ideologi. Setiap remaja harus melewati
tahap-tahap perkembangan tersebut karena apabila salah satu tugas
perkembangan tidak dapat dilakukan maka remaja tersebut akan mengalami
hambatan dalam melewati tugas perkembangan dalam fase perkembangan
berikutnya.
Dalam pasal 18 ayat 3 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan salah satu jenjang pendidikan menengah
di Indonesia adalah Madrasah Aliyah (MA), disamping Sekolah Menengah Atas
(SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan
(MAK). Tujuan yang ingin dicapai oleh Madrasah Aliyah (MA) tidak terlepas
dari tujuan pendidikan nasional karena Madrasah Aliyah (MA) merupakan sub
system dari Sistem Pendidikan Nasional. Akan tetapi secara spesifik, berdasarkan
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 370 tahun 1993 tentang
Madrasah Aliyah, dijelaskan bahwa tujuan pendidikan Madrasah Aliyah yaitu :
a. meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi.
b. Meningkatkan pengetahuan siswa untuk mengembangkan diri sejalan
dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian yang dijiwai ajaran
c. Meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam
mengadakan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam
sekitarnya yang dijiwai ajaran agama islam.
Melihat karakteristik dan tujuan Madrasah Aliyah (MA) yang telah
diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Madrasah Aliyah
(MA) sama dengan tujuan pendidikan sekolah umum jenjang sekolah menengah
yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional. Namun, karena
Madrasah Aliyah (MA) merupakan lembaga pendidikan yang berciri khas agama
islam, maka diberikan tujuan tambahan, yaitu mengembangkan siswa sebagai
pribadi muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, taat menjalankan
syariat Islam, dan berakhlak mulia. Pengembangan pribadi muslim inilah yang
menjadi ciri khas pada kurikulum Madrasah Aliyah (MA) yang mana di
dalamnya ditambahkan dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).
Dengan demikian, jika dibandingkan dengan sekolah menengah yang
diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional yang lain, maka
Madrasah Aliyah (MA) memiliki beban alokasi waktu dan pelajaran yang lebih
besar. Hal ini dapat membedakan performansi berbeda antara siswa Madrasah
Aliyah (MA) dengan siswa sekolah menengah yang diselenggarakan oleh
Kementrian Pendidikan Nasional yang lain.
Karakteristik lain yang membedakan siswa Madrasah Aliyah (MA)
dengan siswa sekolah menengah yang diselenggarakan oleh Kementrian
(MA) yang bertujuan menerapkan syariat Islam mengharuskan siswanya juga
berpenampilan islami pula. Siswa diharuskan memakai seragam yang menutup
auratnya, yang mana siswa perempuan diharuskan memakai jilbab dan seragam
panjang dengan kriteria tertentu.
C. Peran Bimbingan dan Konseling dalam Meredakan Perilaku Mengganggu
Siswa di Kelas
Dalam kaitannya dengan pendidikan, bimbingan dan konseling
merupakan bagian dari keseluruhan program dan merupakan sub sistem (tim
dosen PPB FIP UNY, 2000: 13). Dengan demikian, keseluruhan program di
sekolah sebagai lembaga formal penyelenggara pendidikan tidak bisa lepas dari
peran bimbingan dan konseling, salah satunya pada program pembelajaran di
kelas. Hal ini sejalan dengan program kerja bimbingan dan konseling pada
layanan bimbingan dan konseling belajar dimana salah satu tujuan layanan
bimbingan dan konseling belajar adalah untuk memfasilitasi siswa agar
memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang
dialaminya (Dikti, 2008: 199).
Pada situasi pembelajaran, permasalahan belajar seperti tidak
memperhatikan pelajaran yang diberikan guru, mengobrol dengan teman satu
meja, dan makan di kelas dapat menjadi hambatan bagi siswa dalam
mendapatkan pembelajaran yang baik. Dalam kondisi pembelajaran yang
disebutkan di atas, maka guru bimbingan dan konseling dapat berkolaborasi
kenal dengan istilah disruptive classroom behavior (perilaku mengganggu di
kelas). guru bimbingan dan konseling mendapatkan informasi dari guru
mengenai perilaku mengganggu yang dilakukan siswa di kelas, seperti siapa saja
yang melakukan perilaku mengganggu di kelas dan apa bentuk perilaku
mengganggu yang dilakukan. Ini dapat menjadi masukan bagi guru bimbingan
dan konseling untuk membuat strategi layanan bagi siswa tersebut. Layanan yang
dapat diberikan guru bimbingan dan konseling pada siswa yang mengganggu
adalah sebagai berikut:
1. Bimbingan kelompok
Bimbingan kelompok adalah suatu pertemuan dua orang atau lebih,
yang ditujukan untuk saling tukar pengalaman dan pendapat, dan biasanya
menghasilkan keputusan bersama (Dewa Ketut Sukardi, 2008: 220).
Bimbingan kelompok ini diberikan kepada siswa-siswa yang melakukan
perilaku mengganggu yang sama atau sejenis.
2. Konseling individu dan kelompok
Layanan ini ditujukan untuk membantu siswa yang mengalami
kesulitan dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya. Melalui konseling,
siswa dibantu mengidentifikasi masalah, penyebab, penemuan alternatif
pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan yang tepat (Dikti, 2008:
3. Kolaborasi dengan guru mata pelajaran atau wali kelas
Guru bimbingan dsan konseling berkolaborasi dengan guru dan wali
kelas dalam rangka memperoleh informasi mengenai siswa, membantu
memecahkan masalah siswa, dan mengidentifikasi aspek-aspek bimbingan
yang dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran (Dikti, 2008 : 226).
D. Kerangka Berpikir
Pembelajaran merupakan proses interaksi antara siswa dengan guru dan
sumber belajar dalam suatu lingkungan belajar. Dalam pembelajaran, interaksi
antara guru dan siswa menjadi sangat penting untuk mencapai tujuan
pembelajaran. Interaksi yang kurang baik antara guru dan siswa akan
menyebabkan gangguan-gangguan perilaku yang ditunjukkan siswa selama
pembelajaran berlangsung. Gangguan ini disebut disruptive classroom behavior.
Beberapa teori psikologi memandang perilaku mengganggu di kelas
dalam sudut pandang yang berbeda. Dipandang dari teori Behavioristik, perilaku
mengganggu di kelas ditentukan oleh persepsi guru berdasarkan perilaku yang
ditunjukkan siswa. Guru memegang peran penting dalam menguatkan dan
meredakan perilaku mengganggu di kelas. Jadi, teori Behavioristik memandang
perilaku mengganggu di kelas dari sudut pandang eksternal siswa. Teori Kognitif
memandang dari sudut pandang internal siswa. Sedangkan Teori Humanistik
memandang perilaku mengganggu dari sudut pandang relasi antar individu dan
kelompok. Pelanggaran terhadap hak setiap individu dianggap sebagai disruptive
Perilaku mengganggu di kelas dapat ditunjukkan dalam berbagai
karakteristik dan indikator. Perilaku mengganggu yang ditunjukkan siswa
Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan
Mahasiswa di Perguruan Tinggi bisa jadi berbeda satu sama lain. Indikator
perilaku mengganggu di kelas yang umum ditunjukkan oleh siswa yaitu meminta
ijin ke toilet berulang kali, tidak mengikuti pelajaran atau membolos dari kelas,
berbicara ketika diminta menulis, memainkan korek api di kelas, menolak untuk
mengerjakan tugas dari guru, melempar pensil, berbicara ketika guru
menerangkan, menggambar di buku yang tidak tepat, berpakaian aneh ataupun
berdandan berlebihan, menggoyang-goyangkan kursi, merokok di kelas, menolak
hukuman yang diberikan, meninggalkan kelas lebih awal, makan di kelas, minum
di kelas, mencontek ketika ulangan, meninggalkan tempat duduk tanpa ijin, tidak
mengerjakan pekerjaan rumah (PR), lupa membawa pekerjaan rumah (PR),
terlambat masuk kelas, merokok di kelas, meninggalkan tempat duduk tanpa ijin,
berdebat dengan guru, memalsukan tanda tangan orangtua, tidak memperhatikan
pelajaran, melempar sesuatu, tidur di kelas, melamun, mengajukan pertanyaan
yang tidak relevan dan bertukar catatan kertas. Dari indikator perilaku
mengganggu tersebut maka dapat diketahui tingkat perilaku mengganggu yang
ada di suatu sekolah.
Untuk meredakan perilaku mengganggu di kelas, guru mata pelajaran
dapat berkolaborasi dengan guru bimbingan dan konseling untuk mencari
mempermudah guru bimbingan dan konseling dalam mendapatkan informasi
mengenai siswa yang mengganggu guna merencanakan layanan yang sesuai dan
mengidentifikasi aspek-aspek bimbingan yang dapat dilakukan oleh guru kelas.
Perilaku mengganggu di kelas menjadi layak untuk diangkat menjadi
penelitian mengingat besarnya pengaruh perilaku mengganggu terhadap
pembelajaran. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi guru dalam
memprioritaskan perilaku mengganggu yang harus segera ditangani dan berguna
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pada umumnya penelitian memiliki berbagai teknik atau cara untuk
mendekati obyek yang akan diteliti karena penentuan pendekatan yang
diambil memberikan petunjuk yang jelas bagi rencana penelitian yang akan
digunakan. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.
Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 45) pendekatan kuantitatif artinya data
atau informasi yang dikumpulkan diwujudkan dalam bentuk kuantitatif atau
angka-angka sehingga analisisnya berdasarkan angka tersebut dengan
menggunakan analisis statistik.
Jenis penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah
penelitian survey. Menurut John J. Shaughnesessy, dkk (2007: 201) penelitian
survey memberikan data yang akurat untuk mendiskripsikan suatu fenomena, selain itu hubungan-hubungan prediktif dapat diidentifikasi dengan
mengakses korelasi diantara variabel yang terjadi secara alamiah.
Senada dengan hal di atas, Suharsimi Arikunto (2010: 153)
menyebutkan bahwa penelitian survey adalah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui status gejala, tetapi juga bermaksud menentukan kesamaan status
dengan cara membandingkannya dengan standar yang sudah dipilih atau
ditentukan, disamping itu juga membuktikan atau membenarkan suatu
hipotesis.
Berdasarkan pendapat tersebut, maka penelitian ini menggunakan
kuantitatif karena pada penelitian ini proses menemukan pengetahuan, data
yang digunakan berupa angka sebagai alat untuk menemukan keterangan
mengenai apa yang diteliti, serta mengungkap fenomena perilaku
mengganggu di kelas pada siswa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1
Magelang dengan menggali gejala dan ciri yang ada dan dibandingkan
dengan standar yang telah ditentukan. Menurut Suharsimi Arikunto (2010:
152) dikatakan teknik survey karena penelitian ini tidak melakukan
perubahan tindakan (tidak ada perlakuan khusus terhadap variabel yang
diteliti, dan hanya mengumpulkan data dari subyek tertentu).
B. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1
Magelang yang terletak di Jalan Sunan Bonang No.17 Magelang. Peneliti
memilih Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Magelang sebagai tempat
penelitian karena Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang merupakan
sekolah setara Sekolah Menengah Atas yang dibekali ilmu agama yang
lebih daripada sekolah yang setingkatnya sehingga Madrasah Aliyah Negeri
(MAN) 1 Magelang dianggap sekolah yang lebih religious dibandingkan
sekolah lain pada umumnya. Beban kurikulum yang lebih banyak
memungkinkan terdapatnya perilaku mengganggu yang lebih bervariatif
dari segi bentuk perilaku maupun intensitasnya. Jadi, peneliti
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian dilaksanakan pada Nopember sampai Januari 2013.
C. Variabel Penelitian
Suharsimi Arikunto (2002: 96) mengemukakan bahwa variabel adalah
obyek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian. Pengertian penelitian
adalah gejala-gejala yang menunjukkan variasi baik dalam jenis maupun
tingkatannya yang menjadi titik perhatian dalam penelitian. Sugiyono (2007:
2) menjelaskan bahwa variabel penelitian yaitu segala sesuatu yang berbentuk
apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh
informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Selanjutnya
menurut Sutrisno Hadi (2001: 224) menjelaskan bahwa variabel adalah
gejala-gejala yang menunjukkan variasi, baik dalam jenis maupun
tingkatannya. Variabel juga diartikan sebagai semua faktor yang bervariasi.
Dengan demikian dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan
yang dimaksud dengan variabel penelitian adalah obyek dalam penelitian
yang memiliki ciri khusus dan bervariasi yang dapat diobservasi dan diukur.
Dalam penelitian ini terdapat variabel tunggal yaitu perilaku mengganggu di
kelas pada siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang. perilaku
menganggu di kelas yang dimaksudkan dalam penelitian ini yaitu perilaku
yang tidak sesuai atau tidak relevan dengan pembelajaran, tidak ikut serta
dalam aktivitas kelas, tidak terkecuali pada tindakan terlambat maupun tidak