• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI PERILAKU MENGGANGGU SISWA MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 MAGELANG.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "IDENTIFIKASI PERILAKU MENGGANGGU SISWA MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 MAGELANG."

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI PERILAKU MENGGANGGU DI KELAS PADA SISWA MADRASAH ALIYAH NEGERI (MAN) 1 MAGELANG

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendididikan Universitas Negeri Yogyakarta

untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Taufiq Hendra Wicaksono NIM 08104244032

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

“Dan ternyata, banyak sekali orang-orang yang sangat sibuk melakukan hal-hal yang tidak akan memberhasilkannya”

(6)

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada:

1. Bapak, Ibu dan keluarga atas segala ketulusan dan motivasinya.

(7)

IDENTIFIKASI PERILAKU MENGGANGGU SISWA MADRASAH ALIYAH NEGERI 1 MAGELANG

Oleh

Taufiq Hendra Wicaksono NIM.08104244032

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik, tingkat, dan penyebab siswa melakukan perilaku mengganggu, serta untuk mengetahui upaya guru dalam meredakan perilaku mengganggu di kelas di MAN 1 Magelang.

Jenis penelitian ini adalah penelitian survey dengan pendekatan penelitian

kuantitatif. Setting penelitian ini adalah MAN 1 Magelang. Subjek dalam

penelitian ini adalah guru dan siswa MAN 1 Magelang dengan menggunakan

teknik stratified proportionate random sampling. Metode pengumpulan data yang

digunakan adalah angket untuk kemudian dilakukan skala pengukuran. Instrumen yang digunakan yaitu skala perilaku mengganggu di kelas. Analisis data yang digunakan yaitu kuantitatif deskriptif. Data yang diperoleh selanjutnya dihitung

dengan teknik persentase dan memperhitungkan mean atau rata-rata.

Hasil penelitian ini yaitu: (1) Perilaku mengganggu siswa di kelas yang paling dominan pada siswa MAN 1 Magelang adalah perilaku menggambar di kertas pada saat guru menerangkan pelajaran, mengerjakan tugas mata pelajaran lain saat pembelajaran berlangsung, menggunakan telepon genggam di kelas, lupa membawa pekerjaan rumah, mencontek ketika ulangan atau ujian, dan tidak memperhatikan pelajaran. (2) Tingkat perilaku mengganggu tertinggi terletak pada perilaku menggambar di kertas dengan rerata 3,29. Perilaku mengganggu dengan intensitas tertinggi (pada skala 5-6) yaitu menggambar di kertas (77 siswa atau 30%) dan berbicara diluar gilirannya (33 siswa atau 13%). Perilaku mengganggu yang dilakukan paling banyak siswa adalah perilaku buang angin di kelas (247 siswa atau 95%), tetapi intensitasnya rendah. Tingkat perilaku mengganggu siswa cenderung pada kategori rendah yaitu 77,7% dan cenderung pada kategori sedang yaitu 22,3%. (3) Sebagian besar siswa beralasan melakukan perilaku mengganggu di kelas karena bosan dan terbebani kurikulum. (4) Sebagian besar guru MAN 1 Magelang memiliki sedikit pengetahuan mengenai perilaku mengganggu dan belum mengetahui cara mengatasi perilaku mengganggu.

(8)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala nikmat, karunia dan kasih sayang yang berlimpah

sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi yang berjudul “Identifikasi

Perilaku Mengganggu Siswa Madrasah Aliyah Negeri 1 Magelang” ini dengan

baik. Keberhasilan penyusunan skripsi ini tentu tidak lepas dari bantuan,

bimbingan dan uluran tangan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu,

perkenankanlah penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta

yang telah memberikan izin penelitian.

2. Bapak Ketua Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan yang telah

memberikan izin penelitian.

3. Ibu Sri Iswanti, M.Pd, Dosen pembimbing I yang telah memberikan

masukan, kritik dan saran yang sangat berarti terhadap penelitian ini.

4. Ibu Farida Harahap, M.Si, Dosen pembimbing II yang telah memberikan

bimbingan, arahan, nasehat serta masukan selama penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak Kepala MAN 1 Magelang yang telah memberikan izin penelitian.

6. Bapak Drs. Sukartono, Bapak Sulistyono, S.Pd, dan Bunda Ika

Sulistyowati, M.Pd, Guru MAN 1 Magelang yang membantu penulis

dalam melaksanakan penelitian dan memberikan informasi yang

bermanfaat.

7. Siswa kelas X, XI, dan XII MAN 1 Magelang yang telah membantu

penulis selama penelitian ini.

8. Ibu dan Bapak, terimakasih atas doa dan motivasinya.

9. Novita Budi Kurniatri, S.Pd yang telah membantu penelitian dan

memberikan dorongan motivasi dalam setiap tahap penulisan.

10.Semua teman-teman seperjuanganku anak-anak BK angkatan 2008,

terimakasih untuk bantuan dan motivasinya selama ini.

11.Semua pihak yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu, yang telah

(9)

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan penelitian ini masih banyak

kekurangan. Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi semua.

Yogyakarta, 28 Maret 2013

(10)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori Perilaku Mengganggu di Kelas ... 11

1. Definisi Perilaku Mengganggu di Kelas ... 11

2. Teori-Teori Terkait dengan Perilaku Mengganggu ... 14

3. Karakteristik dan Indikator Perilaku Mengganggu di Kelas ... 18

(11)

5. Cara Mengatasi Perilaku Mengganggu Siswa di Kelas ... 28

B. Karakteristik Siswa Madrasah Aliyah ... 31

C. Peran Bimbingan dan Konseling dalam Meredakan Perilaku Mengganggu Siswa di Kelas ... 34

D. Kerangka Berpikir ... 36

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 39

B. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 40

C. Variabel Penelitian ... 41

D. Metode Penentuan Sampel ... 42

E. Teknik Pengumpulan Data ... 45

F. Instrumen Penelitian ... 48

G. Uji Coba Instrumen ... 51

H. Teknik Analisis Data ... 56

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian ... 61

1. Profil Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang ... 61

2. Deskripsi Karakteristik Subjek ... 63

B. Pembahasan ... 80

C. Keterbatasan Penelitian ... 85

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 86

B. Saran... 87

DAFTAR PUSTAKA ... 89

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Data Distribusi Guru MAN 1 Magelang ... 44

Tabel 2. Data Distribusi Siswa Kelas X, XI, XII MAN 1 Magelang ... 45

Tabel 3. Kisi-Kisi Skala Perilaku Mengganggu di Kelas pada Siswa

MAN 1 Magelang ... 50

Tabel 4. Uji Validitas Skala Perilaku Mengganggu di Siswa Kelas ... 54

Tabel 5. Pedoman untuk Memberikan Interpretasi terhadap Koefisien

Reliabilitas ... 56

Tabel 6. Hasil Uji Reliabilitas Skala Perilaku Mengganggu Siswa ... 56

Tabel 7. Penilaian Guru terhadap Perilaku Mengganggu di Kelas ... 63

Tabel 8. Penilaian Guru terhadap Perilaku Mengganggu di Kelas

Berdasarkan Tiap Item pada Indikator ... 64

Tabel 9. Pengetahuan Guru Mengenai Perilaku Mengganggu Siswa

di kelas ... 67

Tabel 10. Sikap Guru terhadap Perilaku Mengganggu Siswa di Kelas ... 68

Tabel 11. Hambatan Guru dalam Menangani Perilaku Mengganggu Siswa

di Kelas ... 68

Tabel 12. Penilaian Siswa terhadap Perilaku Mengganggu Dirinya di Kelas 69

Tabel 13. Penilaian Siswa terhadap Perilaku Mengganggu Berdasarkan

Tiap Item pada Indikator ... 73

Tabel 14. Alasan Siswa Melakukan Perilaku Mengganggu di Kelas ... 76

Tabel 15. Sikap Siswa terhadap Siswa Lain yang Berperilaku Mengganggu

di Kelas ... 77

Tabel 16. Frekuensi Tingkat Perilaku Mengganggu Siswa di Kelas secara

(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Tingkat Perilaku Mengganggu Berdasarkan Penilaian Guru

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Instrumen Guru ... 92

Lampiran 2. Instrument Siswa ... 95

Lampiran 3. Rekapitulasi Data Uji Coba Instrumen ... 98

Lampiran 4. Uji Validitas... 99

Lampiran 5. Uji Reliabilitas ... 100

Lampiran 6. Rekapitulasi Data Hasil Penelitian ... 102

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembelajaran adalah proses interaksi antara peserta didik dengan

pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar yang meliputi guru

dan siswa yang saling bertukar informasi. Dalam hal pembelajaran, Nasution

(Sugihartono, dkk. 2007: 80) mendefinisikan pembelajaran sebagai suatu

aktivitas mengorganisasi atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan

menghubungkan dengan anak didik sehingga terjadi proses belajar. Lingkungan

dalam pengertian ini tidak hanya ruang belajar, tetapi juga meliputi guru, alat

peraga, perpustakaan, laboratorium, dan sebagainya yang relevan dengan

kegiatan belajar siswa.

Dalam proses pembelajaran di sekolah, khususnya di dalam kelas,

interaksi antara guru dan peserta didik menjadi salah satu faktor penting

tercapainya tujuan pembelajaran karena di dalam pembelajaran terjadi transfer

ilmu antara guru dengan peserta didiknya. Interaksi yang kurang baik antara guru

dan peserta didik seringkali menyebabkan gangguan-gangguan di dalam kelas

yang akan mempengaruhi jalannya proses dan hasil pembelajaran.

Gangguan-gangguan yang timbul saat pembelajaran di dalam kelas ini sering juga disebut

(16)

Disruptive behavior atau perilaku mengganggu menjadi masalah yang

penting bagi guru (DuPaul & Hoff, 1998: 6). Dewasa ini, di Amerika, perilaku

mengganggu di sekolah sudah menjadi masalah yang serius dan membutuhkan

perhatian khusus dari guru dan orangtua. Sejumlah responden di Amerika Serikat

menganggap perkelahian dan kekerasan sebagai masalah yang paling serius di

sekolah selain kurangnya kedisiplinan.

Dalam pembahasan yang sama, sejumlah responden di Amerika

menyampaikan tujuh masalah dan diminta untuk mengidentifikasi seberapa

serius masing-masing masalah di sekolah tersebut. Dari hasil identifikasi tersebut

didapatkan data bahwa masalah kedisiplinan dan merokok berada di peringkat

kedua masalah yang paling serius dengan persentase 76% setelah masalah

obat-obatan terlarang dengan persentase 80%. Meskipun para guru di Amerika masih

kurang yakin dengan hasil survei tersebut, hanya sebagian kecil guru dan

masyarakat yang tidak setuju bahwa masalah kedisplinan siswa dan kekerasan

adalah masalah yang signifikan di sekolah (Reed & Kirkpatrick, 1998: 23).

Haris (Pia Todras, 2007: 3) menyebutkan bahwa Metropolitan Life

Survey of the American Teacher (MLSAT) melakukan wawancara dengan 1000

guru, 1234 siswa, dan 100 polisi dan didapatkan hasil bahwa guru, siswa, dan

penegak hukum dalam hal ini kepolisian setuju bahwa disruptive (yang

mengganggu), misbehaving (kenakalan atau berperilaku tidak pantas), dan

aggressive student (siswa yang agresif) membuat kedisiplinan dan pembelajaran

(17)

konsentrasi seseorang. Sebagai tambahan, masalah kedisiplinan di dalam kelas

dan kekerasan di sekolah dapat menyebabkan para guru dan siswa menjadi stress.

Hal ini juga mengganggu proses belajar mengajar dan pada akhirnya akan

mempengaruhi prestasi akademik siswa.

Reed dan Kirkpatrick (1998: 25) melihat perilaku mengganggu di kelas

sebagai masalah yang lebih serius daripada masalah kekerasan. Reed dan

Kirkpatrick juga menyatakan bahwa jika ada salah satu siswa yang mengganggu

di kelas akan mempengaruhi konsentrasi siswa lain dalam mengikuti

pembelajaran. Hal ini akan mengakibatkan waktu menjadi terbuang percuma

karena perhatian guru juga akan tersita untuk mengatasi siswa yang mengganggu

tersebut.

Berdasarkan uraian di atas, dapat diketahui bahwa perilaku mengganggu

mendapatkan membutuhkan perhatian dari berbagai pihak mengingat banyaknya

dampak negatif yang dapat ditimbulkan dari perilaku mengganggu di kelas.

Maka dari itu, peneliti tertarik untuk meneliti tentang perilaku mengganggu di

kelas.

Perilaku mengganggu di dalam kelas yang ditunjukkan siswa di Indonesia

tidak jauh berbeda dengan perilaku mengganggu di dalam kelas yang

ditunjukkan siswa di Amerika. Hal ini sejalan dengan pengalaman pribadi

peneliti saat masih menjadi siswa di sekolah. Pada saat menjadi siswa Sekolah

Dasar (SD), peneliti menjumpai ada teman sesama siswa tidak mengerjakan

(18)

berbicara dengan teman sebangku letika guru menjelaskan pelajaran, dan

menggambar di kertas ketika guru menerangkan pelajaran. Perilaku-perilaku

tersebut disebabkan oleh faktor yang berbeda, dari jenuh dengan metode

mengajar guru yang monoton atau tidak variatif, diajak berbicara dengan teman

sebangku, sampai memikirkan hal pribadi lainnya seperti kurangnya motivasi

belajar.

Pada saat menjadi siswa di Sekolah Menengah Pertama (SMP), peneliti

mempunyai pengalaman mengenai perilaku mengganggu di kelas seperti

menggambar di kertas saat pelajaran, tidak mengerjakan pekerjaan rumah,

terlambat masuk kelas, mencontek, melamun, dan membuat kegaduhan saat jam

kosong. Ketika peneliti duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA),

peneliti sering menjumpai banyak siswa yang sering datang terlambat,

membolos, dan mencontek. Peneliti juga pernah menjumpai siswa mengerjakan

pekerjaan rumah (PR) dikerjakan saat guru menerangkan pelajaran. Bahkan

sampai sekarang pun ketika peneliti duduk di bangku perguruan tinggi peneliti

masih menjumpai perilaku-perilaku mengganggu di kelas seperti yang

ditunjukkan siswa Sekolah Menengah Atas (SMA). Hanya saja perilaku

mengganggu yang ditunjukkan oleh mahasiswa lebih kompleks dan terkadang

bisa mengelabuhi dosen pengajar, misalnya perilaku mencontek, menggunakan

telepon genggam di kelas, tidur di kelas, makan di kelas, menitipkan absen pada

teman, bahkan ada mahasiswa yang mengikuti kelas dalam keadaan mabuk

(19)

Pernyataan di atas diperkuat dengan hasil observasi dan wawancara pra

penelitian pada siswa dan guru yang dilaksanakan pada hari senin, tanggal 5

maret 2012 di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang yang terletak di

Jalan Sunan Bonang nomor 17 Magelang. Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1

Magelang yang berdiri di bawah naungan Kementrian Agama mempunyai motto

yaitu senantiasa menjaga akhlak mulia dalam setiap perbuatan dan mempunyai

tujuan untuk menyeimbangkan pendidikan umum dan pendidikan agama. Jadi,

siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang diharapkan mempunyai

prestasi akademik dan akhlak atau perilaku yang baik. Namun, hal ini tidak

sejalan dengan perilaku yang ditunjukkan siswa pada saat pelajaran berlangsung.

Berdasarkan dari hasil observasi pra penelitian pada siswa kelas X-3 pada

mata pelajaran bahasa arab yang diampu oleh Bapak Huda, peneliti menemukan

permasalahan terkait perilaku mengganggu di dalam kelas. Adapun perilaku

mengganggu di kelas yang muncul di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1

Magelang meliputi mengobrol dengan teman sebangku saat guru menerangkan

pelajaran, tidur di kelas, menggunakan telepon genggam di kelas saat pelajaran,

terlambat masuk kelas, makan di kelas saat pembelajaran berlangsung,

menciptakan gaduh di kelas saat pembelajaran berlangsung sehingga

mengganggu konsentrasi siswa lain dan saat jam kosong sehingga mengganggu

kelas lain yang sedang belajar serta mengerjakan pekerjaan rumah (PR) di kelas

(20)

Beberapa siswa diwawancarai mengenai alasan mereka melakukan

perilaku mengganggu, sebagian besar dari siswa tersebut mengatakan bahwa

mereka merasa jenuh dan bosan dengan mata pelajaran tersebut. Beberapa siswa

mengatakan bahwa mereka juga terkadang terlambat masuk sekolah dengan

alasan bangun kesiangan dan ketinggalan angkutan umum.

Sedangkan dari hasil pra observasi kepada guru, didapatkan hasil bahwa

ada beberapa perilaku mengganggu yang luput dari perhatian guru. Salah satu

contoh perilaku mengganggu yang luput dari perhatian guru adalah melamun di

kelas. Perilaku mengganggu yang lain seperti menggunakan telepon genggam di

dalam kelas dan mengobrol dengan siswa lain saat pembelajaran akan

mendapatkan teguran dan sangsi langsung dari guru.

Sangsi yang diberikan oleh tiap guru berbeda-beda. Dari hasil wawancara

pra penelitian pada beberapa guru, didapatkan hasil bahwa semua guru

memberikan sangsi dengan mempertimbangkan perilaku yang ditunjukkan siswa

untuk meredakan perilaku mengganggu di dalam kelas. Adapun beberapa

perilaku mengganggu seperti melamun di kelas tidak mendapatkan sangsi karena

sebagian besar guru mengatakan bahwa perilaku tersebut adalah perilaku yang

wajar dan tidak mengganggu.

Perilaku mengganggu siswa MAN 1 Magelang juga menjadi tanggung

jawab guru Bimbingan dan Konseling MAN 1 Magelang. Upaya meredakan

perilaku mengganggu yang dilakukan oleh guru BK MAN 1 Magelang pun

(21)

layanan yang diberikan ketika dijumpai siswa melakukan perilaku mengganggu.

Belum banyak upaya meredakan dengan layanan preventif atau pencegahan. Hal

ini dibuktikan dengan hasil obeservasi dan wawancara pada guru BK MAN 1

Magelang pra penelitian pada hari senin tanggal 5 maret 2012. Dari hasil

observasi dan wawancara pra penelitian tersebut didapatkan hasil bahwa siswa

yang melakukan perilaku mengganggu hanya diberikan sangsi berupa poin

pelanggaran. Sedangkan ketika dicermati, masih banyak perilaku mengganggu di

kelas yang belum terdeteksi atau terdaftar dalam buku pelanggaran. Tindak lanjut

diberikan apabila seorang siswa sudah mencapai jumlah poin pelanggaran

tertentu dari akumulasi pelanggaran-pelanggaran atau perilaku mengganggu yang

dilakukan. Walaupun ada kolaborasi dengan guru kelas pada program kerja BK,

tetapi belum ada bentuk tindakan yang jelas dalam menangani perilaku

mengganggu di kelas.

Dari latar belakang yang terpapar di atas, maka penulis tertarik untuk

mengidentifikasi perilaku mengganggu di dalam kelas pada siswa di Madrasah

Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang. Penelitian ini menjadi unik dan layak untuk

diteliti mengingat pentingnya memahami perilaku mengganggu di dalam kelas

bagi kesuksesan pendidikan nasional di Indonesia. Selain itu, penelitian ini juga

bisa menjadi dasar bagi penelitian-penelitian yang selanjutnya bagi jurusan

Psikologi Pendidikan dan Bimbingan Universitas Negeri Yogyakarta mengenai

(22)

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang di atas, maka dapat ditarik identifikasi masalah

sebagai berikut :

1. Terdapat perilaku mengganggu di kelas yang meliputi: siswa yang sering

datang terlambat, membolos, dan mencontek, mengerjakan pekerjaan rumah

(PR) dikerjakan saat guru menerangkan pelajaran, tidak mengerjakan

pekerjaan rumah (PR), mengobrol dengan teman sebangku saat guru

menerangkan pelajaran, menggunakan telepon genggam di kelas, tidur di

kelas, melamun di kelas, makan di kelas, dan menitipkan absen pada teman,

menciptakan gaduh di kelas saat pembelajaran berlangsung sehingga

mengganggu konsentrasi siswa lain dan saat jam kosong sehingga

mengganggu kelas lain yang sedang belajar. Perilaku-perilaku tersebut terjadi

dalam proses pembelajaran.

2. Layanan Bimbingan dan Konseling MAN 1 Magelang dalam menangani

perilaku mengganggu di kelas tidak efektif.

3. Terdapat guru yang belum memahami adanya perilaku mengganggu di kelas

dan cara mengatasinya.

C. Batasan Masalah

Dari berbagai rumusan masalah yang telah dimunculkan dan agar

penelitian lebih terarah, maka peneliti akan membatasi permasalahan yang ada

yaitu identifikasi perilaku mengganggu di kelas (Disruptive Classroom Behavior)

(23)

D. Rumusan Masalah

Dari batasan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat

dirumuskan permasalahannya sebagai berikut :

1. Apa saja bentuk perilaku mengganggu di kelas yang ditunjukkan siswa

Madrasah Aliyah negeri (MAN) 1 Magelang?

2. Bagaimana tingkat, frekuensi, dan intensitas perilaku mengganggu di kelas

pada siswa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang?

3. Mengapa siswa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang melakukan

perilaku mengganggu di kelas?

4. Bagaimana upaya guru di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang untuk

meredakan perilaku mengganggu di kelas?

E. Tujuan

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk perilaku mengganggu yang ditunjukkan

siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang.

2. Untuk mengetahui penyebab siswa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1

Magelang melakukan perilaku mengganggu di kelas.

3. Untuk mengetahui tingkat, frekuensi, dan internsitas perilaku menggaggu di

kelas pada siswa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang.

4. Untuk mengetahui upaya guru di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1

(24)

F. Manfaat

Penelitian ini berusaha memaparkan kondisi yang ada di lapangan yang

berkaitan dengan identifikasi perilaku mengganggu di kelas pada siswa. Dengan

demikian, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi :

1. Guru dan Sekolah

Dari penelitian ini diharapkan sekolah terutama Madrasah Aliyah

Negeri (MAN) 1 Magelang mengetahui gambaran perilaku mengganggu yang

sering muncul di kelas, sehingga menjadi bahan pertimbangan bagi guru

dalam memberikan sangsi yang tepat agar menimbulkan efek jera pada pelaku

serta bagi sekolah dalam menetapkan kebijakan yang tepat mengenai perilaku

mengganggu siswa di kelas.

2. Jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan

Dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian keilmuan

dalam usaha-usaha pengembangan ilmu Bimbingan dan Konseling khususnya

dalam bidang Layanan Belajar.

3. Peneliti

Melalui penelitian ini, peneliti akan mendapatkan tambahan wawasan

dan pengetahuan dalam bidang Layanan Belajar khususnya mengenai perilaku

(25)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A.Deskripsi Teori Perilaku Mengganggu di Kelas

1. Definisi Perilaku Mengganggu di Kelas

Disruptive classroom behaviors (DCB) menurut Rivers (Bidell &

Deacon, 2010: 3) dapat didefinisikan sebagai perilaku tampak yang terjadi di

dalam kelas yang menganggu guru dan atau siswa yang lain, contohnya yaitu

menolak berpartisipasi atau bekerjasama dalam kegiatan kelas, mengabaikan hak

orang lain, tidak memperhatikan pelajaran, membuat keributan dan

meninggalkan tempat duduk tanpa ijin. Kaplan, Gheen, dan Migley (Pia Todras,

2007: 4) menggambarkan disruptive behavior (perilaku mengganggu) meliputi

berbicara di luar gilirannya, menggoda, bersikap tidak sopan pada orang lain, dan

meninggalkan tempat duduk tanpa ijin dari guru yang mengajar. Selain itu,

tindakan yang lebih serius seperti kekerasan dan perusakan juga termasuk di

dalam ruang lingkup perilaku mengganggu.

Ada beberapa sebutan berbeda tapi merujuk hal yang sama dengan

disruptive behavior yaitu : troublesome behavior (perilaku yang merepotkan) dan

disturbing behavior (perilaku yang menganggu atau meresahkan). Disruptive

behavior antara siswa biasa berbeda dengan yang terjadi pada siswa

berkebutuhan khusus yang mengalami ADHD (Attention Deficit Hiperactivity

(26)

Distruptive Behavior Disorder (DBD) merupakan gejala penyimpangan perilaku

yang umum pada anak ADHD, OD dan ODD, dimulai dari mereka kecil dan

akan meningkat pada masa remaja dan dewasa (Zimmerman, 1995: 145).

Disruptive behavior yang dimaksud dalam penelitian ini juga berbeda dengan

indikator yang terjadi pada siswa yang mempunyai gangguan perilaku (behavior

problems) yang berifat patologis seperti: externalizing behavior (perilaku

berlebihan), antisosial, maupun deliquency (menyimpang). Siswa ini sering

disebut sebagai siswa ”nakal” dan kategori perilaku mengganggu yang mereka

tampakkan bisa digolongkan berat atau bisa dikategorikan sebagai perilaku

misbehavior atau misconduct (Bidell dan Deacon, 2010: 10).

Oleh karena itu ada beberapa istilah yang terkait dengan indikator yang

sama dan sering dikategorikan sebagai hal yang sama tetapi sesungguhnya

kategorinya lebih berat daripada disruptive behavior yang dimaksud dalam

penelitian ini yaitu :

a. Misbehavior

Misbehavior (kelakuan burukatau perbuatan yang tidak baik) menurut

Charles (Pia Todras, 2007: 4) adalah perilaku yang dianggap tidak pantas

untuk setting atau situasi tertentu. Dalam model Charles, misbehavior

(perbuatan tidak baik) digolongkan menjadi lima jenis yang meliputi

aggression (berperilaku agresif atau menyerang), immorality (berperilaku

tidak sopan), defiance of authority (menentang otoritas), class disruptions

(27)

disekitarnya). Aggression (berperilaku agersif atau menyerang) mengacu pada

serangan fisik dan verbal atau ucapan yang ditunjukkan pada guru atau siswa

yang lain. Immorality (berperilaku tidak sopan) mengacu pada tindakan

seperti mencontek, berbohong, dan mencuri. Defiance of authority

(menentang otoritas) diartikan seperti menolak melakukan perintah dari guru.

Class disruptions (gangguan kelas) mengacu pada tindakan-tindakan seperti

berbicara terlalu keras, berjalan berkeliling ruangan yang dapat mengganggu

proses belajar mengajar, dan berulang kali meminta ijin meninggalkan kelas.

Sedangkan clowning around (berperilaku yang mengundang tawa

disekitarnya) terdiri dari bermain-main, melamun, tidak mengerjakan PR

(pekerjaan rumah), dan membuang-buang waktu.

b. Misconduct

Misconduct (kelakuan jahat) biasanya dikaitkan dengan penyimpangan

perilaku pada remaja yang mengalami gangguan deliquency atau antisosial.

Bentuk perilakunya adalah : melakukan kekerasan, penodongan, pelecehan

seksual, melakukan tindakan yang melanggar hukum dan sebagainya

(Cooperkline, 2009: 60).

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

disruptive behavior in the classroom merupakan perilaku yang mengganggu

tindakan pengajaran, mengganggu siswa lain dalam proses belajar mengajar baik

(28)

disebabkan oleh banyak faktor yang tidak hanya berasal dari diri mereka tapi

juga bisa disebabkan orang lain, situasi atau waktu yang ada.

2. Teori-teori Terkait dengan Perilaku Menganggu

a. Teori Behavioristik

Zimmerman (1995: 9-10) menjelaskan bahwa konsep utama dalam teori

pendekatan behavioristik didasarkan pada paradigma stimulus, respon, dan

reinforcement (penguatan) dimana perilaku manusia dianggap berada di bawah

kendali dari lingkungan eksternal. Studi pembelajaran pendekatan behavioristik

menekankan pada perilaku terbuka yang dapat diamati dan diukur. Dalam teori

behavioristik tidak ada proses berpikir atau mekanisme internal. Stimulus

adalah kondisi, peristiwa atau perubahan lingkungan dari individu yang

menghasilkan perubahan perilaku. Dengan memberikan penghargaan pada

siswa yang melakukan perilaku baik (menurut persepsi guru), siswa akan terus

menunjukkan perilaku yang mengarah pada penghargaan tersebut.

Menurut teori Behavioristik Skinner, pengkondisian instrumental adalah

contoh klasik dari teori belajar Behavioristik. Skinner (Zimmerman, 1995: 12)

menggambarkan perilaku instrumental sebagai perilaku sukarela yang

diterapkan di lingkungan. Skinner mengecualikan pengalaman subyektif dari

teori dan membahas manipulasi perilaku melalui stimulasi dan penguatan.

Skinner percaya bahwa kita dikendalikan oleh pengalaman masa lalu kita

melalui penguatan dan hukuman. Pendekatan Skinner menginstruksikan

(29)

pada peserta didik dan dengan memberikan umpan balik langsung tentang

kebenaran respon yang ditimbulkan, sehingga respon yang benar merupakan

respon yang diperkuat dan yang tidak benar dihilangkan.

Membentuk perilaku dengan menggunakan langkah-langkah kecil dan

memperkuat respon yang benar akan meningkatkan keberhasilan pembelajaran.

Dengan membuat setiap langkah berurutan sekecil mungkin, frekuensi

penguatan dapat ditingkatkan hingga puncak produksi (Skinner, 1954: 94).

Dalam studi penelitian menggunakan teori Behavioristik, disruptive (yang

mengganggu) biasanya ditentukan oleh guru. Tujuan keseluruhan dari guru

adalah untuk menciptakan lingkungan kelas yang positif. Perilaku yang

ditargetkan untuk dimodifikasi perilaku adalah perilaku yang mengganggu

seluruh kelas yang meliputi perilaku berbicara di luar gilirannya, membuat

kebisingan yang tidak perlu, yang keluar dari kursi tanpa izin, berkelahi,

memaki dan berdebat dengan guru (Poteet, 1984: 8). Setelah itu, guru akan

menargetkan memodifikasi perilaku yang diinginkan. Berbagai metode dapat

digunakan untuk menghilangkan perilaku disruptive (mengganggu) dan

memperkuat perilaku produktif.

Pendukung teknik modifikasi perilaku telah mengidentifikasi perilaku

dan masalah yang membutuhkan campur tangan. Perilaku yang membutuhkan

campur tangan adalah dimana klien meminta sendiri untuk dilakukan

modifikasi perilaku atau orang tersebut berperilaku berbeda dari lingkungannya

(30)

menargetkan perilaku yang lebih spesifik untuk modifikasi perilaku seperti

ketidakpatuhan, yang didefinisikan sebagai penolakan untuk mengikuti arah

tertentu dan kegagalan untuk merespon dengan cepat sebuah perintah.

Sedangkan perilaku seperti memukul, menendang, menggigit, menggaruk,

melemparkan sebuah benda yang mengenai seseorang, menaiki meja, berulang

melompat, berteriak keras, meludah, merobohkan, merusak benda, dan lain-lain

semuanya diidentifikasi sebagai agresif dan atau perilaku mengganggu dalam

penelitian lain (Zimmerman, 1995: 15).

b. Teori Kognitif

Bruner dan Gagne (Zimmerman, 1995 : 19) menjelaskan bahwa teori

kognitif melihat pembelajaran sebagai perolehan atau reorganisasi struktur

kognitif melalui proses dan menyimpan informasi. Siswa tidak secara pasif

bereaksi terhadap stimulus, tetapi merupakan peserta aktif dalam proses

pembelajaran. Ini adalah kemampuan pemrosesan informasi pelajar dalam

menentukan cara belajar mereka sendiri dan itu adalah tugas guru untuk

mengembangkan cara-cara yang merangsang peserta didik menggunakan

kemampuan untuk memproses informasi yang dipelajari.

Perhatian utama dalam teori kognitif adalah proses pembelajaran dan

penerimaan informasi. Karena siswa harus menjadi peserta aktif dalam proses

ini, seorang siswa yang hanya menolak untuk berpartisipasi akan dianggap

mengganggu. Siswa juga dapat dianggap mengganggu apabila memproses

(31)

mengganggu akan dianggap sebagai tindakan yang impulsif atau tindakan yang

diambil tanpa berpikir (Zimmerman, 1995: 19).

c. Teori Humanistik

Dalam kaitannya dengan perilaku mengganggu, Zimmerman (1995: 30)

menjelaskan bahwa teori humanistik menganggap disruptive (yang

mengganggu) satu orang belum tentu mengganggu orang lain. Karena

perspektif humanistik memperhitungkan individu serta kelompok, maka

keputusan mengenai apa yang dianggap disruptive (mengganggu) ditentukan

oleh kelompok. Dengan kata lain disruptive (yang mengganggu) adalah

individu yang tidak mematuhi aturan kelas. Tidak menghormati orang lain baik

secara perasaan ataupun dengan menggunakan properti juga akan dianggap

disruptive (mengganggu). Pelanggaran terhadap hak setiap individu biasanya

akan dipandang sebagai perilaku mengganggu. Neil (Zimmerman, 1995, 30)

mengatakan, ”Adalah bebas bagi individu untuk melakukan apa yang dia suka

selama tidak melanggar pada kebebasan orang lain.”

Apapun yang terjadi di kelas yang akan membuat individu merasa tidak

aman atau terancam juga akan dianggap disruptive (mengganggu). Situasi ini

juga dapat terjadi dalam bentuk perilaku fisik, misalnya individu yang

menyerang individu lain, atau dalam bentuk emosional, misalnya individu yang

(32)

Jadi dapat disimpulkan bahwa perilaku mengganggu di kelas dapat

dipandang dari teori Behavioristik, Kognitif, dan Humanistik. Teori

Behavioristik memandang perilaku mengganggu di kelas ditentukan oleh guru

berdasarkan perilaku yang ditunjukkan siswa. Guru memegang peran penting

dalam menguatkan dan meredakan perilaku mengganggu di kelas. Teori

Behavioristik memandang perilaku mengganggu sebagai perilaku yang tampak

dan mudah dinilai orang lain, misalnya berbicara di luar gilirannya, membuat

kebisingan yang tidak perlu, yang keluar dari kursi tanpa izin, berkelahi, memaki

dan berdebat dengan guru Dengan kata lain teori Behavioristik memandang dari

sudut pandang eksternal siswa. Teori Kognitif memandang siswa yang menolak

berpastisipasi dalam pembelajaran sebagai siswa yang disruptive (mengganggu).

Dengan kata lain teori Kognitif memandang dari sudut pandang internal siswa.

Sedangkan teori Humanistik memandang perilaku mengganggu dari sudut

pandang relasi antar individu dan kelompok. Pelanggaran terhadap hak setiap

individu dianggap sebagai disruptive (mengganggu).

3. Karakteristik dan IndikatorPerilaku Mengganggu di Kelas

Secara umum perilaku menganggu dapat dikarakteristikkan dalam

banyak indikator. Perilaku-perilaku yang meliputi datang terlambat, meminta ijin

ke toilet berulang kali, tidak mengikuti pelajaran atau membolos dari kelas,

berbicara ketika diminta menulis, memainkan korek api di kelas, menolak untuk

mengerjakan tugas dari guru, melempar pensil, berbicara ketika guru

(33)

rumah (PR), berpakaian aneh ataupun berdandan berlebihan,

menggoyang-goyangkan kursi, merokok di kelas, menolak hukuman yang diberikan, dan

meninggalkan kelas lebih awal merupakan perilaku yang dapat diindikasikan

sebagai perilaku mengganggu. (Mick McManus, 1995: 68).

Karakteristik perilaku mengganggu bisa jadi berbeda pada setiap

tingkatan umur. Arbuckle dan Little (2004: 62) menyebutkan perilaku

mengganggu yang sering muncul pada anak setingkat Sekolah Dasar (SD) yang

meliputi menuntut permintaan harus segera dipenuhi atau tidak bisa menunggu

untuk diperhatikan, mengganggu kegiatan siswa lain, tidak dapat melakukan

kegiatan secara mandiri atau menuntut perhatian yang berlebihan dari guru,

membantah ketika ditegur, melarikan diri dari kelas, tidak bergaul baik dengan

siswa lain, menolak untuk mematuhi aturan yang ditetapkan guru, mengabaikan

perasaan oranglain, dan berbohong.

Perilaku mengganggu yang ditunjukkan remaja (termasuk di dalamnya

siswa SMP, SMA, dan setingkatnya yaitu MA dan SMK) meliputi makan di

kelas, minum di kelas, mencontek ketika ulangan, tidak mengerjakan pekerjaan

rumah (PR), meninggalkan tempat duduk tanpa ijin, tidak mengerjakan pekerjaan

rumah (PR), lupa membawa pekerjaan rumah (PR), terlambat masuk kelas,

merokok di kelas, meninggalkan tempat duduk tanpa ijin, membolos, berdebat

dengan guru, memalsukan tanda tangan orangtua, tidak memperhatikan pelajaran,

melempar sesuatu, dan bertukar catatan kertas (Slomo Romi, 2004: 84). Kamps,

(34)

seperti mengekspresikan agresi pada guru atau siswa lain, membuat pernyataan

yang negatif di kelas, membuat kebisingan yang tidak perlu di kelas,

mengekspresikan tidak menghormati guru atau siswa lain, berbicara diluar

gilirinnya, secara konsisten menatap arah lain selain kepada guru atau papan tulis

juga termasuk perilaku mengganggu yang sering muncul di kalangan remaja.

Di perguruan tinggi, Reed dan Kirkpatrick (1998: 35) mengutip daftar

perilaku mengganggu yang disusun oleh Montana State University (1995).

Beberapa perilaku yang ada dalam daftar diantaranya adalah memonopoli diskusi

kelas, meremehkan siswa lain, menolak untuk berpartisipasi dalam aktivitas kelas,

terlambat masuk kelas, membuat kebisingan, dan mengajukan pertanyaan yang

tidak relevan. Reed dan Kirkpatrick memperingatkan bahwa pendidik dalam hal

ini guru harus menyadari bahwa perilaku mengganggu di dalam kelas tergantung

pada penafsiran atau interpretasi guru. Guru yang satu mungkin menganggap

perilaku tersebut adalah perilaku yang bisa diterima, sedangkan guru yang lain

mungkin menganggap bahwa perilaku tersebut adalah perilaku mengganggu.

Wallis (Pia Todras, 2007: 6) menyatakan bahwa siswa berperilaku

mengganggu adalah hasil dari kurangnya aturan etika di sekolah. Ia menegaskan

bahwa siswa berperilaku mengganggu ini muncul disebabkan karena kebijakan

sekolah yang lemah dan tidak ditegakkan secara berkelanjutan. Meskipun

perilaku yang mengganggu dan tidak sopan secara signifikan mengganggu

pembelajaran, hal tersebut sering tidak diakui dan belum terselesaikan oleh

(35)

ketidaksopanan di sekolah maka akan muncul berbabai permasalahan, yaitu

sebagai berikut : membeda-bedakan teman, perkelahian, keterlambatan masuk

kelas, menunjukkan diskriminasi gender (jenis kelamin), pembolosan, penolakan

untuk berpartisipasi dalam aktivitas kelas, dan penggunaan kata-kata yang kotor.

Division of Student Affairs University of Southern California (2004: 2)

dalam booklet yang diterbitkannya dengan judul Disruptive and Threatening

Student Behavior menjelaskan bahwa perilaku mengganggu dan mengancam

terbagi menjadi 3 tingkatan yang berbeda, yaitu :

a. Tingkat pertama, yang adalah masalah yang tidak serius, mencakup setiap

situasi yang dapat ditangani secara informal antara guru dan siswa, yang

mengarah ke penyelesaian masalah yang cepat.

b. Tingkat kedua melibatkan masalah yang sedang berlangsung, atau kejadian

yang lebih serius di dalam kelas. Dalam situasi ini, Guru dapat berkonsultasi

dengan Bidang Kesiswaan. Jika diperlukan, tim penilai dari kesiswaan akan

membantu guru dalam mengevaluasi dan menyelesaikan situasi.

c. Tingkat Ketiga adalah yang paling serius dan paling berbahaya dari beberapa

tingkat perilaku mengganggu yang lain. Jika terjadi perilaku pada tingkat ini,

maka guru harus segera menghubungi Departemen Keamanan Publik.

Dalam pembahasan yang sama, Howard Seeman (2009: 18) menyebutkan

beberapa perilaku mengganggu di kelas secara umum, diantaranya adalah tidak

menghormati hak-hak dari sudut pandang siswa lain, memonopoli diskusi,

(36)

konstan yang mengganggu pengajaran guru, tidur atau melamun di kelas,

membaca atau membahas topik lain saat guru mengajar, makan di kelas,

membuat kebisingan dengan kertas atau dengan menekan pena atau pensil,

datang ke kelas terlambat atau meninggalkan kelas lebih awal, menggunakan

pager, ponsel, dan iPod di dalam kelas, terlalu banyak menuntut waktu dan

perhatian dari guru, kebersihan pribadi yang buruk (misalnya, bau badan yang

berlebihan), menulis pesan teks satu sama lain selama guru mengajar.

Pada kategori yang berat, perilaku menganggu selain merugikan guru

juga merugikan siswa lain dan pelaku itu sendiri. Menurut Reed dan Kirkpatrick

(Pia Todras, 2007: 5), guru takut berurusan dengan defiance (penentangan),

aggression (penyerangan), dan immorality (ketidaksopanan). Namun, sebagian

besar perilaku mengganggu pada kategori class disruptions (gangguan kelas)

ataupun clowning around (perilaku yang mengundang tawa sekitarnya) dapat

ditangani langsung oleh guru. Meskipun kedua kategori perilaku tersebut tampak

seperti perilaku yang kurang mengancam, tetapi secara langsung siswa telah

kehilangan banyak waktu untuk belajar dan guru kehilangan banyak waktu untuk

mengajar.

Volenski dan Rockwood (Reed & Kirkpatrick, 1998: 2) mendefinisikan

siswa yang mengganggu sebagai siswa yang menentang guru mereka dan

mengabaikan aturan yang diberlakukan di sekolah. Siswa tersebut menunjukkan

perilaku yang menentang, tidak termotivasi dan tidak patuh. Karena siswa

(37)

banyak waktu pada kegiatan non akademik. Oleh karena itu, mereka biasanya

kurang memiliki pentingnya keterampilan akademik. Hal ini akan mempersulit

para guru membantu siswa tersebut dalam belajar agar bisa mengembangkan diri

dan menyelesaikan sekolah dengan sukses.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku

mengganggu di kelas dapat dikategorikan dalam empat indikator, yaitu

kegiatan-kegiatan yang mengganggu pembelajaran, tidak ikut serta dalam aktivitas kelas,

kegiatan yang tidak relevan dengan pembelajaran, dan keterlambatan maupun

ketidakhadiran.

4. Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Mengganggu Siswa di Kelas

Perilaku mengganggu siswa dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Eileen S. Flicker & Jannet Andron Hoffman (2006: 12) menyebutkan beberapa

faktor yang menyebabkan anak berperilaku mengganggu yang meliputi faktor

emosional yang mencakup di dalamnya kepribadian temperamental, kemarahan,

penentangan, ketegasan, frustrasi, kecemasan, ketakutan, kebosanan,

overstimulasi, kebutuhan akan perhatian, kecemburuan, dan rendah diri. Faktor

fisiologis yang mencakup di dalamnya gizi buruk, kelaparan, kelelahan, penyakit,

dan alergi. Kedua faktor tersebut dapat disimpulkan sebagai faktor internal atau

faktor yang berasal dari dalam diri individu.

Menurut Anhenbach, Howell, McConaughy, & Stanger; Coie & Dodge;

Loeber & Farrington; McLoyd; Patterson, Reid, & Dishion; Wolverton, Litcher,

(38)

disebabkan dari faktor dalam rumah, masyarakat, dan sekolah. Menurut

Anhenbach, dkk; Coie & Dodge; Loeber & Farrington; McLoyd; Patterson, dkk;

Wolverton, dkk, pengalaman anak di rumah secara signifikan dapat

mempengaruhi perilaku mereka di sekolah, khususnya bagi korban perceraian,

kemiskinan, kurangnya keterlibatan orang tua, kurangnya pengawasan,

kurangnya perhatian dan dorongan, penelantaran orangtua, kontrol berlebihan

dan hukuman fisik dapat berakibat buruk terhadap individu atau kemampuannya

untuk tampil di sekolah.

Anak-anak dari keluarga yang sangat dysfunctional (tidak berfungsi

dengan baik) akan sangat rentan terhadap kesulitan penyesuaian di sekolah.

Menurut Edwars (Pia Todras, 2007: 13) empat aspek utama dari

kesulitan-kesulitan penyesuaian adalah kerusakan pada konsep diri, kurangnya perhatian,

kurangnya kasih sayang, dan kontrol yang berlebihan. Perkembangan konsep diri

anak-anak dimulai jauh sebelum mereka mulai sekolah dan didorong oleh

pengalaman mereka selama di rumah. Beberapa keluarga disfungsional hanya

memberikan sedikit atau bahkan tidak memberikan dukungan emosional kepada

anak untuk mengembangkan akal sehat atau logika dan kontrol diri atas

kehidupannya sendiri. Hal inilah yang dapat menyebabkan anak-anak yang

mengalami masalah kepribadian serius dan keberhasilan sekolah yang terbatas.

Kurangnya perhatian di rumah adalah faktor lain yang dapat

menyebabkan beberapa anak menunjukkan masalah di sekolah. Orangtua

(39)

dan tidak mengganggu. Akan tetapi, perhatian orangtua hanya diberikan ketika

anak melakukan kenakalan. Perilaku orangtua yang demikian akan mendorong

anak untuk berperilaku tidak baik di sekolah karena anak mengganggap bahwa

satu-satunya cara mereka mendapatkan perhatian yang mereka butuhkan adalah

dengan melakukan kenakalan.

Pia Todras (1997: 15) menyatakan bahwa kurangnya kasih sayang juga

dapat menyebabkan anak melakukan perilaku yang tidak baik di sekolah. Apabila

orangtua tidak memberikan kasih sayang yang cukup pada anak akan

menyebabkan anak merasa tidak dicintai karena mereka mungkin

mempertimbangkan besarnya perhatian yang mereka terima dari orang tua

sebagai indikasi bagaimana mereka dicintai. Anak-anak yang merasakan

kurangnya kasih sayang dapat menggunakan perilaku mengganggu untuk

memenuhi kebutuhan ini. Kontrol orangtua yang berlebihan juga dapat

menyebabkan perilaku anak yang mengganggu di sekolah. Kontrol orangtua

yang berlebihan tidak mengajarkan anak mereka untuk bersikap mandiri.

Orangtua yang demikian seringkali tidak melihat pemikiran anak secara mandiri

dan sering melihatnya sebagai tindakan pemberontakan dari anak. Orang tua

seperti itu sering menghukum atau menyalahkan anak-anak mereka, yang pada

akhirnya dapat menyebabkan anak-anak untuk menunjukkan gejala

pemberontakan, agresi, kekerasan, atau perilaku kriminal.

Kohn (1999: 20) menegaskan bahwa penggunaan reward and punishment

(40)

negatif terhadap perilaku siswa. Meskipun ada pembenaran untuk menggunakan

teknik modifikasi perilaku pada situasi tertentu, guru biasanya hanya mengatasi

perilaku pada saat itu dan bukan penyebabnya. Jadi, apabila tidak ada usaha dari

diri siswa mengatasi masalahnya yang mendasar, maka rencana modifikasi

perilaku pun menjadi tidak efektif lagi.

Eileen S. Flicker & Jannet Andron Hoffman (2006: 12) menambahkan

bahwa faktor lingkungan meliputi pengaruh pergaulan, lingkungan tempat

tinggal yang buruk, kemiskinan, kekerasan dalam masyarakat dan di media, serta

terorisme dan perang. Faktor lain yang juga mempengaruhi perilaku mengganggu

adalah gender (jenis kelamin). Pia Todras (2007: 7) menegaskan bahwa

perbedaan jenis kelamin secara konsisten muncul ketika menguji tentang perilaku

mengganggu siswa. Anak laki-laki sering dianggap lebih mengganggu

dibandingkan anak perempuan. Satu penjelasan yang mungkin dari fenomena ini

adalah bahwa anak laki-laki dan anak perempuan memiliki gejala yang berbeda

yang mengacu pada perilaku mengganggu. Anak laki-laki pada umumnya

menunjukkan perilaku eksternal seperti mencuri, berbohong, berkelahi, dan

merusak. Sedangkan anak perempuan umumnya menampilkan perilaku internal

seperti cemas, malu, menarik diri dari lingkungan, hipersensitive, dan mengeluh

tentang fisiknya. Orang dewasa sering lebih menyadari kelakuan buruk anak

laki-laki karena perilaku tersebut mengganggu, dan mereka mungkin mengabaikan

kelakuan tidak baik yang ditunjukkan anak perempuan karena tidak agresif dan

(41)

Dugaan orangtua, guru, dan teman sebaya juga dapat menjelaskan

beberapa perbedaan gender atau jenis kelamin dalam perilaku yang dirasakan.

Perilaku yang dianggap sesuai untuk satu gender dapat dianggap tidak sesuai

bagi gender yang lain. Anak perempuan dikenal lebih pasif dan memenuhi

tuntutan. Sedangkan anak laki-laki biasanya dikenal lebih aktif dan agresif

dibanding anak perempuan, dan lebih memungkinkan untuk melanggar norma

yang berlaku di masyarakat. Mungkin juga sekolah membentuk norma-norma

perilaku dan kebijakan-kebijakan yang cenderung lebih sering dilanggar oleh

anak laki-laki, dan oleh karena itu anak laki-laki lebih dikenal sebagai penentang

aturan.

Berbeda dengan kecenderungan umum, Webster dan Stratton (1999: 13)

berpendapat bahwa orangtua cenderung berpersepsi berbeda pada perilaku

mengganggu antar gender atau jenis kelamin. Menurut Webster dan Stratton,

ayah cenderung lebih toleran terhadap sikap agresi pada anak laki-laki, tetapi

mempersepsikan masalah pada perilaku internal anak perempuan. Sedangkan ibu

(dan guru) tidak mempersepsikan perilaku internal anak perempuan sebagai

sebuah masalah. Salah satu alasan bahwa anak perempuan tidak diakui memiliki

masalah perilaku mungkin karena ayah hanya menghabiskan sedikit waktu

dengan anak perempuannya, dan ibu mungkin mungkin mengabaikan perilaku

tersebut karena mengganggapnya sebagai hal yang normal terjadi.

Penjelasan lain mengenai perbedaan gender atau jenis kelamin adalah

(42)

anak perempuan. Anak perempuan biasanya diberi nasehat dengan lebih lembut

dan tidak kasar. Jadi, ada kemungkinan besar perilaku-perilaku ekstenal yang

ditunjukkan anak laki-laki terkait dengan perlakuan agresif yang mereka

dapatkan daripada perempuan (Webster & Stratton, 1999: 14).

Dari paparan beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa

perilaku mengganggu di kelas dipengaruhi oleh faktor dari dalam individu

meliputi emosional yang mencakup di dalamnya kepribadian temperamental,

kemarahan, penentangan, ketegasan, frustrasi, kecemasan, ketakutan, kebosanan,

overstimulasi, kebutuhan akan perhatian, kecemburuan, dan rendah diri. Faktor

fisiologis yang mencakup di dalamnya gizi buruk, kelaparan, kelelahan, penyakit,

dan alergi. Sedangkan faktor dari luar individu meliputi faktor dari dalam rumah,

masyarakat, dan sekolah yang mencakup didalamnya perceraian, kemiskinan, kurangnya keterlibatan orang tua, kurangnya pengawasan, kurangnya perhatian

dan dorongan, penelantaran orangtua, kontrol berlebihan, hukuman fisik,  pengaruh pergaulan, lingkungan tempat tinggal yang buruk, kekerasan dalam

masyarakat dan di media, terorisme dan perang dan gender (jenis kelamin).

5. Cara mengatasi perilaku mengganggu siswa di kelas

Perilaku mengganggu di kelas dapat diatasi dengan beberapa cara.

Zimmerman (1995) mengemukakan 3 pendekatan dalam mengatasi perilaku

mengganggu di kelas, yaitu melalui pendekatan behavioristik, kognitif, dan

(43)

a. Pendekatan Behavioristik

1) Penguatan (Reinforcement)

Reinforcement (penguatan) adalah prosedur untuk mempertahankan

atau meningkatkan perilaku. Penguatan positif adalah pemberian stimulus

respon, dan berfungsi untuk meningkatkan atau mempertahankan respon

yang diharapkan. Seorang guru akan memberikan penghargaan pada siswa

yang menunjukkan perilaku yang diharapkan agar kemudian siswa lain

mengulangi perilaku tersebut atau melakukan perilaku yang serupa dengan

perilaku yang diharapkan. Uang, kasih sayang, restu, senyuman, dan

perhatian adalah contoh yang umum dari penguatan positif (Joyce and Weil,

1986 : 114). Sedangkan Penguatan negatif adalah stimulus yang diberikan

untuk menghilangkan suatu respon (Zimmerman, 1995: 11).

2) Hukuman (Punishment)

Pemberian hukuman bertujuan untuk menurunkan kemungkinan

terulangnya perilaku yang tidak diinginkan. Hukuman dari sekolah, skorsing,

dan dimarahi guru adalah contoh dari hukuman di sekolah (Zimmerman,

1995: 13).

3) Kontrak Perilaku (Behavior contract)

Kontrak perilaku didefinisikan sebagai persetujuan resmi antara klien

dengan individu yang mempengaruhi perilaku klien tersebut. Individu yang

(44)

sebaya klien. Hackney (Zimmerman, 1995: 13) menyebutkan beberapa

tujuan dari kontrak perilaku, yaitu untuk mendapatkan komitmen untuk

mengubah perilaku dan untuk mendapatkan persetujuan mengenai perubahan

perilaku yang dihasilkan.

4) Peragaan (Modeling)

Penanganan lain yang dapat digunakan untuk meredakan perilaku

mengganggu di kelas adalah dengan menggunakan modeling (peragaan).

Peragaan perilaku didasarkan pada konsep bahwa banyak perilaku dapat

dipelajari dengan efektif modeling (peragaan) atau meniru. Bandura

(Zimmerman, 1995: 14) mengemukakan agar modeling (peragaan) dapat

berhasil, maka model yang digunakan sebaiknya teman sebaya atau orang

dewasa yang mendatangkan perilaku yang diinginkan.

b. Pendekatan Kognitif

Banyak aplikasi dari pendekatan kognitif yang berhubungan dengan

perilaku mengganggu. Misalnya saja seseorang guru menceritakan

pengalamannya tentang perilaku mengganggu pada siswa. dengan bercerita

pada siswa, secara tidak langsung alam pikiran siswa akan memproses,

menggambarkan dan belajar apa yang telah diceritakan. tujuan dari

pendekatan kognitif sendiri adalah membantu siswa belajar membangun

sebuah cara-cara belajar, melatih siswa untuk mengenal apa yang harus

mereka pelajari, serta meningkatkan frekuensi dan kualitas pembelajaran

(45)

c. Pendekatan Humanistik

Bagi pendidik yang menerapkan pendekatan humanistik, seorang siswa

mengganggu adalah sebuah indikasi bahwa siswa tersebut tidak senang atau

mengalami pertentangan. Guru seharusnya memperlakukan siswa tersebut

dengan empati. Cara ini dapat mendorong siswa agar mau berbicara dan

berbagi tentang perasaannya. Dengan ditemukannya pemecahan masalah

siswa, perilaku mengganggu tidak akan ditunjukkan lagi (Zimmerman, 1995:

14).

B. Karakteristik Siswa Madrasah Aliyah (MA)

Secara umum, karakteristik siswa Madrasah Aliyah (MA) tidak jauh

berbeda dengan sekolah umum jenjang sekolah menengah yang diselenggarakan

oleh Kementrian Pendidikan Nasional yang mana siswanya berada pada fase

perkembangan remaja. Masa remaja merupakan salah satu fase dalam rentang

perkembangan manusia (12-18 tahun). Masa remaja mempunyai ciri yang

berbeda dengan masa sebelum atau sesudahnya, yang meliputi masa remaja

sebagai periode penting, periode peralihan, periode perubahan, masa mencari

identitas, masa yang tidak realistik, dan sebagai masa ambang dewasa (Rita Eka,

dkk, 2008: 124-126).

Dalam tiap fase perkembangan, terdapat tugas-tugas perkembangan yang

harus dilewati oleh individu yang mengalaminya. Rita Eka dkk (2008 : 152)

menyebutkan tugas perkembangan yang harus dilakukan pada masa remaja

(46)

mencapai peran social pria dan wanita, menerima keadaan fisik, mengharapkan

dan mencapai perilaku social yang bertanggungjawab, mempersiapkan karir,

mempersiapkan perkawinan dan keluarga, serta sistem etis sebagai pegangan

untuk berperilaku mengembangkan ideologi. Setiap remaja harus melewati

tahap-tahap perkembangan tersebut karena apabila salah satu tugas

perkembangan tidak dapat dilakukan maka remaja tersebut akan mengalami

hambatan dalam melewati tugas perkembangan dalam fase perkembangan

berikutnya.

Dalam pasal 18 ayat 3 Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 tentang

Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan salah satu jenjang pendidikan menengah

di Indonesia adalah Madrasah Aliyah (MA), disamping Sekolah Menengah Atas

(SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), dan Madrasah Aliyah Kejuruan

(MAK). Tujuan yang ingin dicapai oleh Madrasah Aliyah (MA) tidak terlepas

dari tujuan pendidikan nasional karena Madrasah Aliyah (MA) merupakan sub

system dari Sistem Pendidikan Nasional. Akan tetapi secara spesifik, berdasarkan

Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 370 tahun 1993 tentang

Madrasah Aliyah, dijelaskan bahwa tujuan pendidikan Madrasah Aliyah yaitu :

a. meningkatkan pengetahuan siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang

yang lebih tinggi.

b. Meningkatkan pengetahuan siswa untuk mengembangkan diri sejalan

dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan kesenian yang dijiwai ajaran

(47)

c. Meningkatkan kemampuan siswa sebagai anggota masyarakat dalam

mengadakan timbal balik dengan lingkungan sosial, budaya, dan alam

sekitarnya yang dijiwai ajaran agama islam.

Melihat karakteristik dan tujuan Madrasah Aliyah (MA) yang telah

diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa tujuan pendidikan Madrasah Aliyah

(MA) sama dengan tujuan pendidikan sekolah umum jenjang sekolah menengah

yang diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional. Namun, karena

Madrasah Aliyah (MA) merupakan lembaga pendidikan yang berciri khas agama

islam, maka diberikan tujuan tambahan, yaitu mengembangkan siswa sebagai

pribadi muslim yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT, taat menjalankan

syariat Islam, dan berakhlak mulia. Pengembangan pribadi muslim inilah yang

menjadi ciri khas pada kurikulum Madrasah Aliyah (MA) yang mana di

dalamnya ditambahkan dengan mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI).

Dengan demikian, jika dibandingkan dengan sekolah menengah yang

diselenggarakan oleh Kementrian Pendidikan Nasional yang lain, maka

Madrasah Aliyah (MA) memiliki beban alokasi waktu dan pelajaran yang lebih

besar. Hal ini dapat membedakan performansi berbeda antara siswa Madrasah

Aliyah (MA) dengan siswa sekolah menengah yang diselenggarakan oleh

Kementrian Pendidikan Nasional yang lain.

Karakteristik lain yang membedakan siswa Madrasah Aliyah (MA)

dengan siswa sekolah menengah yang diselenggarakan oleh Kementrian

(48)

(MA) yang bertujuan menerapkan syariat Islam mengharuskan siswanya juga

berpenampilan islami pula. Siswa diharuskan memakai seragam yang menutup

auratnya, yang mana siswa perempuan diharuskan memakai jilbab dan seragam

panjang dengan kriteria tertentu.

C. Peran Bimbingan dan Konseling dalam Meredakan Perilaku Mengganggu

Siswa di Kelas

Dalam kaitannya dengan pendidikan, bimbingan dan konseling

merupakan bagian dari keseluruhan program dan merupakan sub sistem (tim

dosen PPB FIP UNY, 2000: 13). Dengan demikian, keseluruhan program di

sekolah sebagai lembaga formal penyelenggara pendidikan tidak bisa lepas dari

peran bimbingan dan konseling, salah satunya pada program pembelajaran di

kelas. Hal ini sejalan dengan program kerja bimbingan dan konseling pada

layanan bimbingan dan konseling belajar dimana salah satu tujuan layanan

bimbingan dan konseling belajar adalah untuk memfasilitasi siswa agar

memahami berbagai hambatan yang mungkin muncul dalam proses belajar yang

dialaminya (Dikti, 2008: 199).

Pada situasi pembelajaran, permasalahan belajar seperti tidak

memperhatikan pelajaran yang diberikan guru, mengobrol dengan teman satu

meja, dan makan di kelas dapat menjadi hambatan bagi siswa dalam

mendapatkan pembelajaran yang baik. Dalam kondisi pembelajaran yang

disebutkan di atas, maka guru bimbingan dan konseling dapat berkolaborasi

(49)

kenal dengan istilah disruptive classroom behavior (perilaku mengganggu di

kelas). guru bimbingan dan konseling mendapatkan informasi dari guru

mengenai perilaku mengganggu yang dilakukan siswa di kelas, seperti siapa saja

yang melakukan perilaku mengganggu di kelas dan apa bentuk perilaku

mengganggu yang dilakukan. Ini dapat menjadi masukan bagi guru bimbingan

dan konseling untuk membuat strategi layanan bagi siswa tersebut. Layanan yang

dapat diberikan guru bimbingan dan konseling pada siswa yang mengganggu

adalah sebagai berikut:

1. Bimbingan kelompok

Bimbingan kelompok adalah suatu pertemuan dua orang atau lebih,

yang ditujukan untuk saling tukar pengalaman dan pendapat, dan biasanya

menghasilkan keputusan bersama (Dewa Ketut Sukardi, 2008: 220).

Bimbingan kelompok ini diberikan kepada siswa-siswa yang melakukan

perilaku mengganggu yang sama atau sejenis.

2. Konseling individu dan kelompok

Layanan ini ditujukan untuk membantu siswa yang mengalami

kesulitan dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya. Melalui konseling,

siswa dibantu mengidentifikasi masalah, penyebab, penemuan alternatif

pemecahan masalah, dan pengambilan keputusan yang tepat (Dikti, 2008:

(50)

3. Kolaborasi dengan guru mata pelajaran atau wali kelas

Guru bimbingan dsan konseling berkolaborasi dengan guru dan wali

kelas dalam rangka memperoleh informasi mengenai siswa, membantu

memecahkan masalah siswa, dan mengidentifikasi aspek-aspek bimbingan

yang dapat dilakukan oleh guru mata pelajaran (Dikti, 2008 : 226).

D. Kerangka Berpikir

Pembelajaran merupakan proses interaksi antara siswa dengan guru dan

sumber belajar dalam suatu lingkungan belajar. Dalam pembelajaran, interaksi

antara guru dan siswa menjadi sangat penting untuk mencapai tujuan

pembelajaran. Interaksi yang kurang baik antara guru dan siswa akan

menyebabkan gangguan-gangguan perilaku yang ditunjukkan siswa selama

pembelajaran berlangsung. Gangguan ini disebut disruptive classroom behavior.

Beberapa teori psikologi memandang perilaku mengganggu di kelas

dalam sudut pandang yang berbeda. Dipandang dari teori Behavioristik, perilaku

mengganggu di kelas ditentukan oleh persepsi guru berdasarkan perilaku yang

ditunjukkan siswa. Guru memegang peran penting dalam menguatkan dan

meredakan perilaku mengganggu di kelas. Jadi, teori Behavioristik memandang

perilaku mengganggu di kelas dari sudut pandang eksternal siswa. Teori Kognitif

memandang dari sudut pandang internal siswa. Sedangkan Teori Humanistik

memandang perilaku mengganggu dari sudut pandang relasi antar individu dan

kelompok. Pelanggaran terhadap hak setiap individu dianggap sebagai disruptive

(51)

Perilaku mengganggu di kelas dapat ditunjukkan dalam berbagai

karakteristik dan indikator. Perilaku mengganggu yang ditunjukkan siswa

Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan

Mahasiswa di Perguruan Tinggi bisa jadi berbeda satu sama lain. Indikator

perilaku mengganggu di kelas yang umum ditunjukkan oleh siswa yaitu meminta

ijin ke toilet berulang kali, tidak mengikuti pelajaran atau membolos dari kelas,

berbicara ketika diminta menulis, memainkan korek api di kelas, menolak untuk

mengerjakan tugas dari guru, melempar pensil, berbicara ketika guru

menerangkan, menggambar di buku yang tidak tepat, berpakaian aneh ataupun

berdandan berlebihan, menggoyang-goyangkan kursi, merokok di kelas, menolak

hukuman yang diberikan, meninggalkan kelas lebih awal, makan di kelas, minum

di kelas, mencontek ketika ulangan, meninggalkan tempat duduk tanpa ijin, tidak

mengerjakan pekerjaan rumah (PR), lupa membawa pekerjaan rumah (PR),

terlambat masuk kelas, merokok di kelas, meninggalkan tempat duduk tanpa ijin,

berdebat dengan guru, memalsukan tanda tangan orangtua, tidak memperhatikan

pelajaran, melempar sesuatu, tidur di kelas, melamun, mengajukan pertanyaan

yang tidak relevan dan bertukar catatan kertas. Dari indikator perilaku

mengganggu tersebut maka dapat diketahui tingkat perilaku mengganggu yang

ada di suatu sekolah.

Untuk meredakan perilaku mengganggu di kelas, guru mata pelajaran

dapat berkolaborasi dengan guru bimbingan dan konseling untuk mencari

(52)

mempermudah guru bimbingan dan konseling dalam mendapatkan informasi

mengenai siswa yang mengganggu guna merencanakan layanan yang sesuai dan

mengidentifikasi aspek-aspek bimbingan yang dapat dilakukan oleh guru kelas.

Perilaku mengganggu di kelas menjadi layak untuk diangkat menjadi

penelitian mengingat besarnya pengaruh perilaku mengganggu terhadap

pembelajaran. Selain itu, penelitian ini dapat menjadi acuan bagi guru dalam

memprioritaskan perilaku mengganggu yang harus segera ditangani dan berguna

(53)

   

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pada umumnya penelitian memiliki berbagai teknik atau cara untuk

mendekati obyek yang akan diteliti karena penentuan pendekatan yang

diambil memberikan petunjuk yang jelas bagi rencana penelitian yang akan

digunakan. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif.

Menurut Suharsimi Arikunto (2010: 45) pendekatan kuantitatif artinya data

atau informasi yang dikumpulkan diwujudkan dalam bentuk kuantitatif atau

angka-angka sehingga analisisnya berdasarkan angka tersebut dengan

menggunakan analisis statistik.

Jenis penelitian yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah

penelitian survey. Menurut John J. Shaughnesessy, dkk (2007: 201) penelitian

survey memberikan data yang akurat untuk mendiskripsikan suatu fenomena, selain itu hubungan-hubungan prediktif dapat diidentifikasi dengan

mengakses korelasi diantara variabel yang terjadi secara alamiah.

Senada dengan hal di atas, Suharsimi Arikunto (2010: 153)

menyebutkan bahwa penelitian survey adalah penelitian yang bertujuan untuk mengetahui status gejala, tetapi juga bermaksud menentukan kesamaan status

dengan cara membandingkannya dengan standar yang sudah dipilih atau

ditentukan, disamping itu juga membuktikan atau membenarkan suatu

hipotesis.

Berdasarkan pendapat tersebut, maka penelitian ini menggunakan

(54)

   

kuantitatif karena pada penelitian ini proses menemukan pengetahuan, data

yang digunakan berupa angka sebagai alat untuk menemukan keterangan

mengenai apa yang diteliti, serta mengungkap fenomena perilaku

mengganggu di kelas pada siswa di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1

Magelang dengan menggali gejala dan ciri yang ada dan dibandingkan

dengan standar yang telah ditentukan. Menurut Suharsimi Arikunto (2010:

152) dikatakan teknik survey karena penelitian ini tidak melakukan

perubahan tindakan (tidak ada perlakuan khusus terhadap variabel yang

diteliti, dan hanya mengumpulkan data dari subyek tertentu).

B. Lokasi dan Waktu Penelitian

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1

Magelang yang terletak di Jalan Sunan Bonang No.17 Magelang. Peneliti

memilih Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Magelang sebagai tempat

penelitian karena Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang merupakan

sekolah setara Sekolah Menengah Atas yang dibekali ilmu agama yang

lebih daripada sekolah yang setingkatnya sehingga Madrasah Aliyah Negeri

(MAN) 1 Magelang dianggap sekolah yang lebih religious dibandingkan

sekolah lain pada umumnya. Beban kurikulum yang lebih banyak

memungkinkan terdapatnya perilaku mengganggu yang lebih bervariatif

dari segi bentuk perilaku maupun intensitasnya. Jadi, peneliti

(55)

   

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada Nopember sampai Januari 2013.

C. Variabel Penelitian

Suharsimi Arikunto (2002: 96) mengemukakan bahwa variabel adalah

obyek penelitian, atau apa yang menjadi titik perhatian. Pengertian penelitian

adalah gejala-gejala yang menunjukkan variasi baik dalam jenis maupun

tingkatannya yang menjadi titik perhatian dalam penelitian. Sugiyono (2007:

2) menjelaskan bahwa variabel penelitian yaitu segala sesuatu yang berbentuk

apa saja yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh

informasi tentang hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya. Selanjutnya

menurut Sutrisno Hadi (2001: 224) menjelaskan bahwa variabel adalah

gejala-gejala yang menunjukkan variasi, baik dalam jenis maupun

tingkatannya. Variabel juga diartikan sebagai semua faktor yang bervariasi.

Dengan demikian dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan

yang dimaksud dengan variabel penelitian adalah obyek dalam penelitian

yang memiliki ciri khusus dan bervariasi yang dapat diobservasi dan diukur.

Dalam penelitian ini terdapat variabel tunggal yaitu perilaku mengganggu di

kelas pada siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Magelang. perilaku

menganggu di kelas yang dimaksudkan dalam penelitian ini yaitu perilaku

yang tidak sesuai atau tidak relevan dengan pembelajaran, tidak ikut serta

dalam aktivitas kelas, tidak terkecuali pada tindakan terlambat maupun tidak

Gambar

Tabel 2. Data distribusi siswa kelas X, XI, dan XII dan Madrasah
Tabel 3. Kisi-kisi Skala Perilaku Mengganggu di Kelas pada Siswa
Tabel 4. Uji Validitas Skala Perilaku Mengganggu Siswa di Kelas
Table 5. Pedoman Untuk Memberikan Interpretasi Terhadap
+7

Referensi

Dokumen terkait

2) Faktor Eksternal Adapun Faktor eksternal dapat yang menghambat kedisiplinan siswa di MAN 1 Merangin terbagi menjadi: a) Keluarga Keluarga sebagai tempat anak belajar

PEMBELAJARAN MATA PELAJARAN AKIDAH AKHLAK DALAM PENGEMBANGAN PERILAKU AKHLAKUL KARIMAH SISWA KELAS X DI MADRASAH ALIYAH. NEGERI (MAN)

Sedangkan rumsan masalahnya adalah adakah pengaruh pembelajaran aqidah akhlak terhadap perilaku (etika, tata krama dan moral) siswa di Madrasah Aliyah Negeri Kampar

Strategi pembiasaan perilaku religius dalam mengembangkan karakter siswa di sekolah, sebagai dasar strategi oleh pihak sekolah.. awalnya dimulai dari perumusan visi

berlandaskan perilaku religius dari pada pembiasaan yang lain, yang. kurang membantu siswa dalam berkembang, baik di lingkungan

Strategi Pembiasaan Perilaku Religius di Sekolah ... Penerapan Pembiasaan Perilaku Religius di

Apabila perilaku mengganggu yang ditunjukkan teman adalah perilaku dengan dimensi ketidaksabaran, maka sesuai penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa siswa lain memiliki kemungkinan

Berdasarkan hasil penelitian untuk Motivasi Siswa Kelas X IPA dan X IPS MAN 1 Batanghari secara keseluruhan diperoleh data sebagai berikut: Tabel 1 Motivasi siswa mengikuti