• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)

Dalam dokumen Kebijakan Negara dalam Bidang Kelautan (1) (Halaman 85-100)

C. Hasil Dan Pembahasan

4) FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF)

CCRF disusun berdasarkan rekomendasi yang muncul dari diskusi dalam Committee on Fisheries (COFI) pada bulan maret 1991. Dalam pertemuan di Cancun, Mexico pada tahun 1992 dihasilkan suatu dekalarasi (Deklarasi Cancun 1992) yang memberikan mandat kepada FAO untuk menyusun suatu perikanan yang betanggung jawab. Dalam deklarasi tersebut terdapat beberapa poin yang merupakan dasar bagi dibentuknya CCRF (Lucky 2005:473).

Beberapa ketentuan mengenai konservasi sumber daya ikan yang terdapat dalam CCRF ini antara lain menyatakan bahwa: negara bendera harus mengambil langkah penegakan terhadap kapal penangkap ikan yang ditentukan mengibarkan bendera mereka yang telah ditemukan melakukan tindakan yang berlawanan dengan langkah konservasi dan pengelolaan yang berlaku, jika perlu termasuk menganggap ketidakpatuhan tersebut sebagai suatu pelanggaran menurut peraturan perundang-undangan nasional.

negara pelabuhan harus menyediakan bantuan kepada negara bendera jika perlu, sesuai dengan hukum nasional negara pelabuhan dan hukum internasional, ketika kapal penangkap ikan sukarela di pelabuhan atau di terminal lepas pantai negara pelabuhan dan negara bendera kapal tersebut meminta bantuan negara pelabuhan terkait ketidakpatuhan pada langkah konservasi dan pengelolaan sub-regional, regional atau global atau dengan standar minimum yang disetujui secara internasional untuk pencegahan, dari pencemaran dan untuk keselamatan, kesehatan serta kondisi kerja di atas kapal penangkap ikan (djpsdkp.kkp.go.id).

C. Kebijakan Pemerintah Indonesia dalam Konservasi Sumber Daya

Ikan di Perairan Indonesia

Secara geopolitik, wilayah laut dapat dikategorikan menjadi dua jenis antara lain adalah laut lepas dan perairan nasional masing-masing negara (Abdul 2015:67). Perairan nasional negara Indonesia meliputi, yaitu: perairan pedalaman, laut teritorial, perairan kepulauan, zona tambahan, serta zona ekonomi eksklusif. Berkaitan dengan perikanan, pemerintah Indonesia telah mengundangkan instrumen hukum berupa Undang-Undang untuk menjadi dasar bagi segala kegiatan perikanan yaitu Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Pada bidang Konservasi Sumber Daya Ikan, kedua Undang- Undang tersebut tidak mengatur secara detail mengenai konservasi. Pasal 13 Undang-Undang itu hanya menyatakan bahwa: dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan, dilakukan upaya konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetika ikan. Ketentuan lebih lanjut mengenai hal tersebut diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dapat ditemukan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan. Pada Peraturan Pemerintah tersebut, Konservasi sumber daya ikan terbagi ke dalam tiga jenis, yaitu: Konservasi ekosistem, konservasi jenis ikan, dan konservasi genetik ikan.

Konservasi ekosistem adalah upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan fungsi ekosistem sebagai habitat penyangga kehidupan biota perairan pada waktu sekarang dan yang akan datang.

Konservasi jenis ikan diartikan sebagai upaya melindungi, melestarikan, dan memanfaatkan sumber daya ikan, untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan jenis ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang. Sedangkan, konservasi genetik ikan adalah upaya melindungi, melestarikan dan memanfaatan sumber daya ikan, untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan sumber daya genetik ikan bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.

Berkenaan dengan konservasi ekosistem, kegiatan yang dilakukan meliputi perlindungan habitat dan populasi ikan; rehabilitasi habitat dan populasi ikan; penelitian dan pengembangan; pemanfaatan sumber daya ikan dan jasa lingkungan; pengembangan sosial ekonomi masyarakat; pengawasan dan pengendalian; dan/atau monitoring dan evaluasi. Kegiatan tersebut dilakukan berdasarkan data dan informasi sumber daya ikan dan lingkungan sumber daya ikan.

Konservasi ekosistem dilakukan pada tipe-tipe ekosistem antara lain: laut, padang lamun, terumbu karang, mangrove, estuari, pantai, rawa, sungai, danau, waduk, embung, dan ekosistem perairan buatan. Beberapa tipe ekosistem tersebut ada yang dapat dijadikan sebagai kawasan konservasi perairan. Kawasan konservasi perairan terdiri atas taman nasional perairan, taman wisata perairan, suaka alam perairan, dan suaka perikanan. Menteri adalah pihak yang diberikan wewenang dalam menetapkan suatu kawasan konservasi perairan. Dalam hal suatu kawasan konservasi perairan memiliki potensi biofisik dan sosial budaya yang sangat penting secara global, maka dapat diusulkan oleh Pemerintah kepada lembaga internasional yang berwenang sebagai kawasan warisan alam dunia sesuai dengan peraturan perundang- undangan.

Pengelolaan kawasan konservasi perairan dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah menurut kewenangannya. Pengelolaan kawasan tersebut dilakukan satuan unit organisasi pengelola dengan mengacu pada rencana pengelolaan kawasan konservasi perairan yang dibuat sendiri oleh satuan unit organisasi pengelola tersebut, di mana setiap rencana pengelolaan kawasan konservasi tersebut harus memuat zonasi kawasan konservasi perairan. Suatu pengelolaan kawasan konservasi perairan dapat dibentuk jejaring kawasan, baik tingkat lokal, nasional, regional dan global.

Kemudian berkenaan dengan konservasi jenis ikan, bahwasanya konservasi ini dilakukan dengan tujuan melindungan jenis ikan yang terancam punah; mempertahankan keanekaragaman jenis ikan;

memelihara keseimbangan dan kemantapan ekosistem; dan memanfaatkan sumber daya ikan secara berkelanjutan. Konservasi ini dilakukan melalui penggolongan jenis ikan, penetapan status perlindungan jenis ikan, pemeliharaan, pengembangbiakan dan penelitian pengembangan.

Penggolongan jenis ikan adalah pengklasifikasian jenis-jenis ikan yang dibagi ke dalam jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi. Kriteria tentang jenis ikan yang dilindungi meliputi ikan yang terancam punah, langka, daerah penyebaran terbatas (endemik), ikan yang mengalami penurunan jumlah populasi secara drastis, serta ikan dengan tingkat kemampuan reproduksi yang rendah.

Penetapan status perlindungan jenis ikan ditetapkan oleh menteri serta tata cara mengenai penetapan status perlindungan jenis ikan tersebut diatur dalam peraturan menteri.

Pemeliharaan dilakukan melalui kegiatan koleksi ikan hidup pada suatu media terkontrol sebagai habitat buatan. Pemeliharaan tersebut dapat dilakukan dengan cara mengambil ikan dari habitat alam atau dari hasil pengembangbiakan. Pemeliharaan dapat dilakukan apabila telah memenuhi syarat antara lain: standar kesehatan ikan, tempat yang cukup luas, aman, dan nyaman; dan mempekerjakan tenaga ahli dalam bidang medis dan pemeliharaan ikan. Pihak yang dapat melakukan pemeliharaan yaitu orang perseorangan, kelompok masyarakat, badan hukum Indonesia, lembaga penelitian, dan/atau perguruan tinggi.

Pengembangbiakan dilakukan melalui cara pembenihan dalam lingkungan yang terkontrol, penetasan telur, pembesaran anakan yang diambil dari alam, atau transplantasi. Pengembangbiakan dilakukan dengan cara menjaga kemurnian genetik ikan serta harus memenuhi standar kualifikasi pengembangbiakan jenis ikan. Pihak yang dapat melakukan pengembangbiakan dapat berupa perseorangan, kelompok masyarakat, badan hukum Indonesia, lembaga penelitian dan/atau perguruan tinggi.

Penelitian dan pengembangan dilakukan terhadap jenis ikan yang dilindungi dan jenis ikan yang tidak dilindungi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berkenaan dengan konservasi genetik ikan meliputi pemeliharaan, pengembangbiakan, penelitan dan pelestarian gamet. Ketentuan mengenai pemeliharaan, pengembangbiakan dan penelitian

maka ketentuan ketentuan mengenai konservasi jenis ikan diberlakukan secara mutatis mutandis dalam ketentuan konservasi genetik ikan.

Pelestarian gamet dilakukan dalam kondisi beku, serta pengaturan secara lebih lanjut mengenai pelestarian gamet ini diatur dalam peraturan menteri.

Selain itu, kebijakan nasional Indonesia di bidang konservasi sumber daya ikan dapat juga dijumpai dengan melihat ratifikasi- ratifikasi terkait perjanjian-perjanjian internasional yang telah pemerintah lakukan yaitu terhadap perjanjian-perjanjian yang telah dipaparkan pada sub bahasan sebelumnya..

Masalah kemudian muncul, karena kebijakan nasional Indonesia dalam hal konservasi sumber daya ikan ini menimbulkan pro dan kontra di ruang publik. Hal ini berkenaan dengan adanya batasan jumlah tangkapan yang diperbolehkan pada tiap-tiap nelayan yakni pada jenis ikan-ikan tertentu. Pihak yang mendukung kebijakan yang pemerintah ambil ini mendasarkan pendapatnya bahwa demi menjaga keberlangsungan spesies-spesies ikan tertentu maka pembatasan penangkapan jumlah dan jenis ikan merupakan suatu keharus dalam rangka terciptanya suatu perikanan berkelanjutan. Sedangkan pihak yang menolak pembatasan ini mendasarkan pandangannya bahwa dengan adanya pembatasan tersebut maka nilai ekonomi yang akan diperoleh oleh nelayan berkurang. Penulis sendiri berkenaan dengan persoalan ini, sependapat dengan pihak yang mendukung kebijakan konservasi yang membatasi penangkapan jumlah dan jenis ikan tertentu, karena menurut hemat penulis dengan adanya kebijakan konservasi seperti itu, maka spesies-spesies langka dapat dipertahankan keberadaanya dan mata rantai makanan tidak terganggu sehingga kehidupan ekosistem pun dapat terjaga dan stabil.

D. Simpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka penulis menarik simpulan bahwa terkait dengan intervensi asing dalam kebijakan konservasi sumber daya ikan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia, dilakukan dengan cara mengadopsi instrumen hukum internasional yang memiliki kaitan dengan konservasi sumber daya ikan baik itu berupa perjanjian internasional maupun langsung ikut serta dalam organisasi-organisasi perikanan regional. Selain itu, hal yang menonjol dalam intervensi asing dalam kebijakan konservasi sumber daya ikan ini lebih condong terhadap konservasi yang dilakukan di laut

lepas, di mana kemudian hanya di laut lepaslah negara-negara organisasi secara bersama-sama melakukan pengelolaan konservasi. Namun secara substansi perjanjian-perjanjian mengenai konservasi sumber daya ikan dapat dikatakan memiliki pola yang sama, karena tetap mengedepankan pola pembatasan penangkapan jumlah dan jenis ikan tertentu, terutama pada ikan-ikan yang beruaya. Pola seperti itu kemudian menimbulkan pro dan kontra pada publik, namun dalam hal ini jika ditinjau dari aspek kemanfaatan dan keberlangsungan dari para ikan, maka pembatasan penangkapan ikan memang perlu dilakukan ketimbang pada persoalan yang lebih mengutamakan aspek ekonomis. Namun, bagaimanapun juga seiring dengan perkembangan zaman, pemerintah harus mampu berinovasi dalam rangka menciptakan suatu usaha konservasi yang mampu bekerja secara optimal atau lebih baik lagi.

Referensi

Abdul Muthalib Tahar, (2015), Hukum Internasional dan Perkembangannnya, Lampung: Justice Publisher.

Hari Yulianto, (2010), Quo Vadis Arah Kebijakan Perikanan Indonesia? Tantangan dalam Perspektif Hukum dan Kepentingan Nasional (bagian I), Opinio Juris, Vol I, Januari-Maret 2010.

Lucky Andrianto, (2005), Implementasi Code of Conduct For Responsible Fisheries dalamPerspektif Negara Berkembang, Jurnal Hukum Internasional, Volume 2 Nomor 3, (Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 2005).

Lukman Adam, (2012), Kebijakan Pengembangan Perikanan Berkelanjutan, Jurnal Perikanan dan Kelautan Vol II, Desember. Melda Kamil Ariadno, Kepentingan Indonesia Dalam Pengelolaan

Perikanan Laut Bebas, dalam Jurnal Hukum Internasional (Indonesian Jurnal of International Law), Volume 2 Nomor 3 (Jakarta: Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, April 2005).

Muhammad Insan Tarigan, (2015), Upaya Konservasi Indonesia Atas Sumber Daya Ikan di Laut Lepas, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 9 No.4, Oktober-Desember 2015.

Yopie Septian Riyadi, (2009), Arti Penting United Nations Implementing Agreement 1995(UNIA) Bagi Indonesia dalam Kaitannya dengan Konservasi dan Pengelolaan Sumber Daya Perikanan di Laut lepas, Skripsi, Universitas Lampung.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan

United Nations Convention on The Law of The Sea, 1982

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Konservasi Sumber Daya Ikan

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 50/Kepmen-KP/2017

Website http://djpsdkp.kkp.go.id/index.php/arsip/file/137/aspek-legal- instrumen-hukum-internasional-implementasi-pengawasan- sumberdaya-perikanan.pdf https://kkp.go.id/artikel/2233-maritim-indonesia-kemewahan-yang- luar-biasa

Candra Perbawati, Faculty of Law University of Lampung, Indonesia

Abstrak

Tanggung jawab negara dalam pelaksanaan perlindungan hak ulayat laut masyarakat hukum adat selama ini secara konstitusional diatur daam UUD 1945 maupun peraturan lain baik UU N0.39 tahun 1999 tentang HAM maupun UU No.27 Tahun 2007 tentang pengelolaan kawasan pesisir pantai dan pulau-pulau kecil dan UU N0.23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah. Pelaksanaan otonomi daerah ditujukan dengan semangat reformasi dan keberfihakkan serta penguatan hak masyarakat hukum adat dalam kawasan pesisir yang bekerja sebagai nelayan dan untuk menunjang pembangunan daerah. Permasalahan dalam penelitian ini adalah: Bagaimana tanggung jawab Negara dalam pelaksanan perlindungan hak ulayat laut bagi masyarakat hukum adat yang berada dalam kawasan dipesisir pantai. Tujuan dalam penelitian ini melihat bagaimana Tanggung jawab negara dalam hal ini pemerintah dalam memberikan perlindungan hak ulayat laut kepada masyarakat hukum adat Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu mengkaji dan menganalisis asas-asas hukum yang dianut dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah hak ulayat laut masyarakat hukum adat. Data yang diolah berupa data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan cara menelaah, membandingkan dan menghubungkan data yang selanjutnya dilakukan interprestasi untuk menjawab permasalahan dan menarik kesimpulan

dengan cara induktif. Dari hasil analisis dapat disimpulkan bahwa tanggung jawab negara dalam perlindungan hak ulayat laut masyarakat hukum adat dalam kawasan pesisir pantai berupa kewajiban negara untuk melindungi (obligation to protect), kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill ), dan kewajiban untuk menghormati (obligation to respect), dalam implementasinya hak ulayat laut tersebut belum sepenuhnya memberikan perlindungan kepada masyarakat hukum adat. Kata Kunci: Tanggung jawab Negara, Hak Ulayat Laut Masyarakat adat, Kawasan Pesisir Pantai.

A. Pendahuluan

1) Latar Belakang dan Permasalahan

Dalam UUD 1945 ditemukan istilah yang mengarah pada pemahaman bahwa Indonesia sebagai negara hukum kesejahteraan. Dalam perubahan ketiga UUD 1945 Pasal 1 Ayat (3) secara tegas disebutkan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum. Sementara itu dalam Alinea keempat pembukaan UUD 1945 dinyatakan bahwa Tujuan negara Indonesia adalah “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,memajukan kesejahteraan umum,mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,perdamaian abadi dan keadilan sosial”.

Berdasarkan rumusan tersebut dapat dikatakan bahwa negara kesejahteraan bagi Indonesia tidak hanya sebagai konsep berbangsa dan benegara saja, tetapi lebih jauh merupakan cita hukum ( rechtsidee) dan cita bangsa bernegara (Staatidee) bagi bangsa Indonesia1 Pernyataan dalam UUD tersebut diatas,menyebutkan bahwa Indonesia termasuk negara hukum kesejahteraan. Walaupun secara konsep negara hukum bisa dibedakan dengan konsep negara kesejahteraan, namun demikian dalam prakteknya keduanya menjadi satu kesatuan.

Menurut DeHaan2 “Salah satu unsur dan karesteristik negara hukum kesejahteraan adalah selain undang-undang dasar memberikan perlindungan sosial secara khusus yang menjadi sumber hukum dari peraturan perundang-undangan dalam urusan sosial, menciptakan

1 Bagir Manan, Hubungan Pusat dan Daerah Menurut UUD 1945,Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta,1994, Hlm 11

2 De Haan P.ET AL.Beesturrecht In De Sociale Rechtstaat.Dell I Onwtwiking

kewajiban bagi pemerintah untuk berusaha mengadakan segala kebutuhan rakyat dalam berbagai hal yang benar-benar nyata sesuai dengan cita-cita dalam undang-undang dasar”

Negara sebagai organisasi pemerintahan bertanggung jawab dalam melaksanakan keejahteraan rakyat yaitu dengan cara mengatur, mengurus dan mengelola serta mengawasi jalannya tata pemerintahan.Salah satunya mengenai hak menguasai tanah oleh negara yang termuat dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi” Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasi oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

Atas dasar hak menguasai negara tersebut maka negara berhak mengatur, dan menyelenggarakan peruntukan,penggunaan,persediaan dan pemeliharaan bumi,air dan ruang angkasa, dan mengelola sumber daya alam yang ada di Indonesia. Sebagai dasar pelaksanaannya diatur dalam UU No.5 tahun 1960 Tentang UUPA. Salah satunya menyangkut masalah hak ulayat masyarakat hukum adat yang dalam pelaksanaanya diatur lebih lanjut dalam peraturan perundang-undangan.

Menguatnya tatanan politik yang demokratis telah menumbuhkan keyakinan publik munculnya produk-produk yang responsive, namun kenyataan yang terjadi sampai saat ini masih banyak produk-produk hukum yang tidak responsive, dan berbenturan antara undang-undang yang satu dengan yang lainnya dalam pengaturan sumberdaya alam. Salah satunya adalah yang menyangkut perlindungan hak ulayat laut masyarakat hukum adat. disisi lain banyak terjadinya konflik.hak ulayat masyarakat hukum adat

Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (BPN) sampai saat ini terdapat 13.000 kasus sengketa tanah termasuk didalamnya hak ulayat laut masyarakat hukum adat di Indonesia yang belum terselesaikan. Periode Januari 2011 hingga Juni 2011, baru sekitar 1.333 dari 14,337 perkara tanah yang terselesaikan. Hingga akhir tahun 2010, terkumpul kasus-kasus pertanahan 12.267 ribu perkara pertanahan. Kemudian akhir Juni 2011 kasus pertanahan bertambah 2110 kasus hingga total perkara adalah 14.337 perkara.

Kasus yang terjadi di daerah Maluku serta daerah daerah lain dikarenakan banyaknya hak ulayat laut masyarakat hukum adat yang seharusnya merupakan milik masyarakat hukum adat dipindahkan haknya kepada pihak lain. Ketiadaan bukti formal tentang tanah ulayat serta anggota masyarakat yang secara hukum kadangkala cair dan

sangat fleksibel telah mempermudah pencaplokan hak ulayat yang berada diatas tanah-tanah adat di daerah ini.

Berdasarkan latar belakang diatas yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana tanggung jawab Negara dalam pelaksanan perlindungan hak ulayat laut bagi masyarakat hukum adat yang berada dalam kawasan dipesisir pantai.

2) Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu mengkaji dan menganalisis asas-asas hukum yang dianut dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah penelitian. Data yang diolah berupa data sekunder yang berupa bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Analisis data dilakukan secara kualitatif yaitu dengan cara menelaah, membandingkan dan menghubungkan data yang selanjutnya dilakukan interprestasi untuk menjawab permasalahan dan menarik kesimpulan dengan cara induktif.

a. Kerangka Teori dan Konsepsional

Pengertian hak ulayat laut Masyarakat hukum adat

Terkait dengan hak ulayat laut masyarakat hukum adat ,tidak terlepas dari pengertian hak ulayat dalam pasal 3 UU No.5 tahun 1960 tentang UUPA yang berbunyi sebagai berikut:

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lain yang lebih tinggi.”.

Pasal 3 ini lebih lanjut dijelaskan dalam Penjelasan Umum nomor II/3 dan Penjelasan Pasal Demi Pasal.

Penjelasan Umum Nomor II/3 berbunyi sebagai berikut:

Bertalian dengan hubungan antara bangsa dan bumi serta air dan kekuasaan Negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1 dan 2 maka di dalam Pasal 3 diadakan ketentuan mengenai hak ulayat dari kesatuan-kesatuan masyarakat hukum, yang dimaksud akan mendudukkan hak itu pada tempat yang sewajarnya di dalam alam bernegara dewasa ini. Pasal 3 itu menentukan, bahwa : “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak

serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa hingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.

Ketentuan ini pertama-tama berpangkal pada pengakuan adanya hak ulayat itu dalam hukum agraria yang baru. Sebagaimana diketahui biarpun menurut kenyataannya hak ulayat itu ada dan berlaku serta diperhatikan pula di dalam keputusan-keputusan hakim, belum pernah hak tersebut diakui secara resmi di dalam undang-undang, dengan akibat bahwa di dalam melaksanakan peraturan-peraturan agraria hak ulayat itu pada jaman penjajahan dulu sering kali diabaikan. Berhubung dengan disebutnya hak ulayat di dalam Undang-undang Pokok Agraria, yang pada hakekatnya berarti pula pengakuan hak itu, maka pada dasarnya hak ulayat itu akan diperhatikan, sepanjang hak itu menurut kenyataannya memang masih ada pada masyarakat hukum yang bersangkutan. Misalnya di dalam pemberian hak guna usaha yang diberikan pemerintah yang berada dalam kawasan pesisir pantai yang berupa suatu hak ulayat laut masyarakat hukum adat bersangkutan sebelumnya akan didengar pendapatnya dan akan diberi “recognitie”, yang memang ia berhak menerimanya selaku pemegang hak ulayat itu.

Dalam penjelasan pasal demi pasal dijelaskan bahwa : “Yang dimaksud dengan “hak ulayat dan hak-hak serupa itu” ialah apa yang di dalam perpustakaan adat disebut “beschikkingsrecht. Selanjutnya lihat Penjelasan Umum (II angka 3)”. Beschikkirigsrecht adalah nama yang diberikan oleh van Vollenhoven untuk menyebut hak ulayat.

Berdasarkan Pasal 3 UUPA beserta penjelasannya tersebut, hak ulayat dari masyarakat hukum adat diakui oleh hukum agraria nasional dengan dua syarat, yaitu:

Pertama, syarat eksistensinya (keberadaannya) yakni: hak ulayat diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”. Hal ini berarti bahwa, di daerah-daerah yang semula ada hak ulayat, namun dalam perkembangan selanjutnya, hak milik perseorangan menjadi sangat kuat sehingga menyebabkan hilangnya hak ulayat, hak ulayat tidak akan dihidupkan kembali. Demikian pula di daerah-daerah yang tidak pernah ada hak ulayat, tidak akan dilahirkan hak ulayat baru.

Menurut Pasal 2 ayat 2 Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang “Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat

Dalam dokumen Kebijakan Negara dalam Bidang Kelautan (1) (Halaman 85-100)