• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rumusan Masalah

Dalam dokumen Kebijakan Negara dalam Bidang Kelautan (1) (Halaman 31-48)

Dari latar belakang di atas, timbul suatu rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apasaja yang diatur dalam peraturan perundang-undangan perairan Indonesia?

2. Siapa saja yang berhak menegakan hukum di laut?

3. Apa saja tindakan yang dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap pelaku pelanggaran peraturan perundang- undangan perairan Indonesia khususnya yang dilakukan oleh kapal-kapal asing? Bagaimana Pengaturannya?

3) Tujuan

Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk:

1. Menjelaskan pelanggaran-pelanggaran peraturan perundang- undangan perairan yang berlaku di Indonesia.

2. Mengetahui pihak manasajakah yang berhak menegakan hukum di laut.

3. Mengetahui tindakan yang harus dilakukan bila terjadi suatu pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perairan Indonesia yang berlaku.

4) Metode Penelitian

Dalam penulisan paper ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif yang mencakup pengumpulan data, pengolahan data dan analisa data.Sifatnya deskriptif artinya menggambarkan faktor-faktor yang diteliti dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan, teori-teori dan pendapat para ahli hukum.

B. Pembahasan

1) Penegakan Hukum di Laut

Penegakan hukum mempunyai arti menegakkan, melaksanakan ketentuan dalam masyarakat, sehingga secara luas penegakan hukum merupakan proses berlangsungnya perwujudan konsep-konsep yang abstrak menjadi kenyataan. (Buku Dasar-Dasar Ilmu Hukum (Ishak, 2012:244).

Pengertian lain dari penegakan hukum dilaut adalah sebagai suatu kegiatan yang di lakukan oleh aparat penegak hukum berdasarkan atau berdaulatkan dengan hukum dan perundang-undangan Indonesia agar peraturan-peraturan yang telah dibuat dan ditaati oleh setiap

warga negara mapun warga negara asing ditaati dan menciptakan suatu ketertiban. Akhir-akhir ini, semakin maraknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di perairan Indonesia baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia itu sendiri ataupun warga negara asing yang melintasi perairan Indonesia.pelanggaran-pelanggran ini biasanya berupa:

1. Pembajakan (Piracy);

2. Terorisme Laut (Terrorism at Sea); 3. Penyelundupan (Smugling);

4. Illegal fishing and Logging;

5. Illegal Crossing;

6. Claim of Area;

7. Perusakan Ekosistem Laut.

Penegakan hukum di laut tidak dapat dilepaskan dari masalah penegakan kedaulatan di laut Indonesia. Pengertian dari keduanya dapat dibedakan namun keduanya tidak dapat dipisahkan karena penegakan kedaulatan mencakup penegakan hukum di laut dan pada dasarnya keduanya dilakukan secara bersamaan. Dengan demikian, wewenang dalam penegakan hukum dapat dilakukan oleh negara dengan diwakili atau melalui aparat penegak hukum dimana penyelenggaraan tersebut bersumber pada kedaulatan negara.

a) Kewenangan Aparat Penegak Hukum dalam Mengambil Tindakan

Kewenangan penegakan hukum dilaut sebagai suatu kegiatan yang di lakukan oleh aparat penegak hukum berdasarkan atau berdaulatkan dengan hukum dan perundang-undangan Indonesia dalam menertibkan keamanan laut. Berikut Kewenangan setiap aparat penegak di laut :

1. Polair

Sebagaimana di tegaskan dalam pasal 13 Undang- Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, bahwa tugas pokok KepolisianNegara RI adalah:

a. memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, b. Menegakkan hukum,

c. Memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat.

Selain itu, dalam pasal 14 huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara RI, dikatakan bahwa “Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya”.

2. Bakamla

Bakamla adalah badan yang bertugas melakukan patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia. Bakamla sendiri dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014 dan berpedoman dengan Undang- Undang No. 32 tahun 2014. Tugas dan Fungsi bakamla sendiri ialah sebagai berikut :

a) menyusun kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;

b) menyelenggarakan sistem peringatan dini keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;

c) melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;

d) menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli perairan oleh instansi terkait;

e) memberikan dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait;

f) memberikan bantuan pencarian dan pertolongan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;

g) melaksanakan tugas lain dalam sistem pertahanan nasional;

h) melakukan pengejaran seketika;

i) memberhentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan menyerahkan kapal ke instansi terkait yang berwenang untuk pelaksanaan proses hukum lebih lanjut; dan

j) mengintegrasikan sistem informasi keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

3. Dektorat Jendral Bea dan Cukai

sebagai bagian dari Kementerian Keuangan memiliki fungsi border management dan community protection, yakni menjaga perbatasan dan melindungi masyarakat Indonesia dari penyelundupan dan perdagangan ilegal. Dalam melaksanakan tugasnya, DJBC mengoptimalkan armada kapal patroli yang digunakan dalam mengawasi wilayah perbatasan Indonesia, khususnya di daerah titik rawan antara lain Selat Malaka, Kepulauan Natuna, Selat Karimata, Perairan Timur Indonesia. Tugas dan fungsi lainnya yang di lakukan oleh DJBC ialah :

a. Mengamankan kebijaksanaan pemerintah yang berkaitan dengan lalu lintas barang yang masuk atau keluar Daerah Pabean dan pemungutan Bea Masuk dan Cukai serta pungutan negara lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

b. Trade Fasilitator memberi fasilitas perdagangan, diantaranya melaksanakan tugas titipan dari instansi lain.

c. Industrial Assistance melindungi industri dalam negeri dari persaingan yang tidak sehat dengan industri sejenis dari luar negeri.

Dasar hukum keberadaan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai adalah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2006 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan dan Undang- Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai.

4. Kapal Keimgrasian

Aspek pelayanan dan pengawasan tidak pula terlepas dari geografis Wilayah Indonesia yang terdiri atas pulau- pulau yang mempunyai jarak yang dekat, bahkan berbatasan langsung dengan negara tetangga, yang pelaksanaan Fungsi Keimigrasian di sepanjang garis perbatasan merupakan

kewenangan instansi imigrasi. Pada tempat tertentu sepanjang garis perbatasan terdapat lalu lintas tradisional masuk dan keluar warga negara Indonesia dan warga negara tetangga.Dalam rangka meningkatkan pelayanan dan memudahkan pengawasan dapat diatur perjanjian lintas batas dan diupayakan perluasan Tempat Pemeriksaan Imigrasi.

5. TNI Angkatan Laut

TNI Angkatan Laut memiliki tugas, yaitu:

a. melaksanakan tugas TNI matra laut di bidang pertahanan;

b. menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; c. melaksanakan tugas diplomasi Angkatan laut dalam rangka mendukung kebijakan politik luar negeri yang ditetapkan oleh pemerintah;

d. melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra laut; serta

e. melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan laut. Seperti yang sudah di jelaskan diatas bahwa setiap aparat dapat melakukan pengejaran seketika (hot pursuit). Mengenai hak pengejaran seketika ini diatur dalam Konvensi Jenewa II 1958 tentang Laut Lepas (pasal 23 ayat 1-7), dan dalam KHL 1982 (pasal 111). Pengejaran seketika suatu kapal asing dapat dilakukan apabila pihak yang berwenangan dari negara pantai memiliki alasan cukup untuk mengira bahwa kapal tersebut telah melanggar peraturan perundang-undangan negara itu. Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal asing atau salah satu sekocinya berada pada perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara pengejar, dan hanya boleh diteruskan di luar laut teritorial atau zona tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. Tidak perlu juga bahwa saat kapal asing yang berada dalam laut teritorial atau zona tambahan itu menerima perintah untuk berhenti, dan kapal yang memberi perintah itu juga berada dilaut teritorial atau zona tambahan. Apabila kapal asing berada di dalam zona tambahan, sebagaimana diartrikan dalam pasal 33, pengejaran hanya

dapat dilakukan apabila telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak untuk perlindungan zona tersebut.

Pengejaran seketika harus berlaku mutais mutandis bagi pelanggaran-pelanggaran terhadap peraturan perundang- undangan negara pantai yang berkaitan dengan zona ekonomi ekslusif atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan di sekitar instalasi-instalasi di landasan kontinen. Pengejaran seketika berhenti segera setelah kapal yang dikejar masuk laut teritorial negaranya sendiri atau negara ketiga. Yang dimaksud dalam peraturan perundang- undangan ialah undang-undang beacukai, fiscal, keimigrasian, dam sanitasi. Sedangkan yang berkaitan dengan ZEE adalah undang-undang perikanan, riset ilmiah kelautan, dan pembangunan pulau buatan atau instalasi. Dalam KHL 1982 juga menentukan perihal hak pengejaran seketika dapat dianggap telah dimulai apabila kapal yang mengejar telah meyakinkan diri dengan cara-cara peraktis dengan perahu yang tersedia dan diberikan tanda visual atau bunyi untuk berhenti pada suatu jarak yang memungkinkan apabila tanda tersebut dapat dilihat atau didengar oleh kapal asing tersebut.

Dibawah ini penulis memberikan contoh tentang pengejaran seketika sebagai berikut: apabila ada sebuah kapal berbendera asing berindikasi sedang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di perairan kepulauan, laut teritorial atau zona ekonomi eklusif Indonesia dan dipergoki oleh sebuah kapal angkatan laut Indonesia. Kemudian kapal angakatan laut Indonesia menggunakan tembakan peringatan atau bunyi-bunyi lainnya menandakan atau memerintahkannya kapal asing ini untuk berhenti, akan tetapi kapal asing tersebut melarikan diri kelaut lepas. Dari tindakan kapal asing ini angkatan laut Indonesia dapat melakukan pengejaran seketika sampai tertangkapnya kapal asing tersebut.

Pengejaran seketika dapat dilakukan oleh kapal-kapal perang atau pesawat udara militer atau kapal-kapal dan pesawat udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintahan dan berwenang dalam melakukan hak

tersebut. Berikut syarat pengejaran seketika yang dilakukan atau menggunakan pesawat udara :

a) ketentuan-kentuan dalam ayat 1 dan 4 berlaku secara

mutatis mutandis

b) pesawat udara yang memberikan perintah untuk berhenti harus melakukan pengejaran kapal itu secara aktif sampai kapal atau pesawat udara itu tiba untuk mengambil alih pengejaran, kecuali apabila pesawat udara itu sendiri dapat melakukan penangkapan kapal tersebut. Tidak cukup untuk membenarkan suatu penangkapan di luar laut teritorial bahwa kapal itu hanya terlihat oleh pesawat udara sebagai suatu pelanggar atau pelanggar yang di curigai, jika kapal itu tidak diperintahkan untuk berhenti dan dikejar oleh pesawat udara itu sendiri maka akan dilanjutkan oleh kapal lainnya yang mengejar tanpa terputus.

Apabila kapal asing yang telah dihentikan atau ditahan di luar laut teritorial itu dalam keadaan tidak dibenarkannya dalam tindakan pengejaran seketika dan kapal tersebut menderita kerugian, maka kapal asing tersebut harus mendapatkan ganti kerugian sebesar kerugian yang diderita. b) Tindakan Hukum

Berdasarkan UU No 6 Tahun 1996 Penegakan kedaulatan dan hukum di perairan Indonesia, ruang udara di atasnya, dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta sanksi atas pelanggarannya, dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi hukum internasional lainnya, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Yurisdiksi dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap kapal asing yang sedang melintasi laut teritorial dan perairan kepulauan Indonesia juga dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Konvensi, hukum internasional lainnya, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Dalam rangka melaksanakan hak berdaulat, hak-hak lain, yurisdiksi dan kewajiban-kewajiban sebagaimana tercantum dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 5 Tahun 1983, aparatur penegak hukum Republik Indonesia yang berwenang, dapat mengambil tindakan-tindakan penegakan hukum sesuai dengan Undang-

undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, dengan pengecualian sebagai berikut:

a. Penangkapan terhadap kapal dan/atau orang-orang yang diduga melakukan pelanggaran di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia meliputi tindakan penghentian kapal sampai dengan diserahkannya kapal dan/atau orang-orang tersebut dipelabuhan dimana perkara tersebut dapat diproses lebih lanjut;

b. Penyerahan kapal dan/atau orang-orang tersebut harus dilakukan secepat mungkin dan tidak boleh melebihi jangka waktu 7 (tujuh) hari, kecuali apabila terdapat keadaan force majeure;

c. Untuk kepentingan penahanan, tindak pidana yang diatur dalam Pasal 16 dan Pasal 17 termasuk dalam golongan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (4) huruf b Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.

Dalam menjalankan penegakan hukum terdapat langkah- langkah dalam mengambil Tindakan hukum itu sendiri, seperti, pengejaran, penangkapan hingga penyelidikan. Penyelidikan memiliki prosedur sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Lalu dalam memutuskan perkara atau menjatuhkan putusan hukum harus di lihat dari dasar hukum yakni dalam Undang- Undang dari jenis pelanggarannya. Seperti salah satu contoh pelanggaran Pembajakan Laut dapat dijatuhkan hukuman sesuai dengan pasal yang di langgar misal pembajakan (piracy) di laut lepas melanggar pasal 438 KUHP jo pasal 103 jo pasal 110 jo pasal 105 jo pasal 107 UNCLOS 1982.

C. Penutup

Sebagai negara yang 2/3 luas wilayahnya merupakan perairan, di Indonesia kerap muncul berbagai macam pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di perairan Indonesia yang dilakukan baik oleh warga negara Indonesia ataupun adanya keterlibatan warga negara asing

dalam pelanggaran tersebut. Pelanggaran-pelanggaran yang timbul biasanya berupa:

1. Pembajakan (Piracy);

2. Terorisme Laut (Terrorism at Sea); 3. Penyelundupan (Smugling);

4. Illegal fishing and Logging;

5. Illegal Crossing;

6. Claim of Area;

7. Perusakan Ekosistem Laut.

Pelanggaran-pelanggaran ini dapat ditindaklanjuti dengan bantuan pihak-pihak yang mampu dan atau memunyai wewenang dalam menegakan hukum di perairan Indonesia seperti: Bakamla, Polisi Perairan, TNI Angkatan Laut, Dirjen Bea Cukai, Kapal Keimigrasian Hal- hal yang dapat dilakukan dalam melaksanakan penegakan hukum tersebut yaitu berupaa pengejaran, penangkapan hingga penyelidikan. Bagi pelanggar akan dikenakan sanksi sesuai dengan pelaggaran yang dilakukan berdasarkan konvensi hukum internasional dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Referensi

Undang-Undang No 6 Tahun 1996 Tentang Perairan Indonesia

Undang-Undang No 5 Tahun 1983 Tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia

Undang-Undang No 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan Undang-Undang No 34 Tahun 2014 Tentang Kelautan Undang-Undang No 17 Tahun 2006 Tentang Kepabean

Undang-Undang No 34 Tahun 2004 Tentara Nasional Indonesia Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 Tentang Keimigrasian Konvensi Jenewa II Tahun 1958

Ade Arif Firmansyah, Faculty of Law University of Lampung, Indonesia Malicia Evendia, Faculty of Law University of Lampung, Indonesia

Abstrak

Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membawa konsekuensi baru terkait pelaksanaan urusan pemerintahan konkuren antar tingkat pemerintahan di daerah, termasuk di bidang kelautan dan perikanan. Tulisan ini bertujuan untuk menggambarkan konfigurasi kewenangan konkuren tersebut dan implikasi normatifnya terhadap peranan pemerintah daerah dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan. Tulisan yang dibuat dengan koridor doctrinal research yang menggunakan statute dan

conceptual approach ini menghasilkan temuan sebagai berikut: Kewenangan pemerintah daerah dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2014 tergolong urusan pemerintahan pilihan dan merupakan kewenangan yang bersifat atribusi karena digariskan oleh undang-undang. Konfigurasi kewenangan konkuren lebih mengarah pada optimalisasi peranan pemerintah provinsi sehingga membawa konsekuensi minimnya peranan pemerintah kabupaten/kota pada sektor pembangunan kelautan dan perikanan. Bahkan untuk sub urusan yang secara nyata pemerintah kabupaten/kota memiliki kapasitas untuk berperan seperti: kelautan, pesisir, dan pulau-pulau kecil; pengolahan dan pemasaran; pengembangan SDM masyarakat kelautan dan perikanan, sama sekali tidak ada kewenangan yang diberikan.

Kondisi demikian dikhawatirkan akan kontra produktif dengan visi poros maritim dunia yang digagas oleh pemerintah.

Kata Kunci: Kewenangan, otonomi, kelautan, perikanan, daerah.

A. Pendahuluan

Kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar terdiri wilayah laut yang menyatukan pulau-pulau, sangat kaya akan sumber daya perikanan. Dalam rangka pemanfaatan sumber daya tersebut, pemerintah dan pemerintah daerah berperan penting dalam membuat kebijakan dibidang perikanan.1 Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan.2

Berdasarkan data dari Badan Pangan Dunia (FAO), tercatat nilai perekonomian laut Indonesia diperkirakan mencapai 3 triliun dollar AS sampai 5 triliun dollar AS, atau setara Rp 36.000 triliun sampai Rp 60.000 triliun per tahun. Hasil studi FAO tahun 2014, penangkapan ikan illegal di dunia diperkirakan berkisar 11 juta-26 juta ton pertahun, total kerugian 10-23 milyar dollar AS, dari jumlah itu 30 Persen kejahatan perikanan dunia berlangsung di Indonesia. Dengan ukuran FAO itu potensi penerimaan ikan yang hilang akibat perikanan illegal di Indonesia lebih dari Rp. 100 triliun/tahun.3

Pengelolaan perikanan adalah suatu kebutuhan besar manusia, kebutuhan dunia. Hal ini karena begitu banyak manusia di muka bumi ini yang bergantung pada perikanan sebagai sumber mata pencahariannya. Selain itu juga bisnis perikanan adalah bisnis milyar

1 Ade Arif Firmansyah dan Malicia Evendia, Kajian Normatif Kewenangan Pemerintah

Aceh di Bidang Perikanan: Suatu Dasar Pijak Bestuurhandelingen di Bidang Perikanan, dalam Monograf Aceh; Kebudayaan Tepi Laut dan Pembangunan, Banda Aceh, Bandar Publishing, 2014, hlm. 88.

2 Penjelasan umum Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

3Kompas, Pencurian Ikan ditangani, Komitmen Enam Negara Ditagih Untuk Berantas

Perikanan Illegal, Rabu, 5 Nopember 2014, hlm.18, dalam Heryandi, Memperkuat Kedaulatan Indonesia Di Laut Menuju Poros Maritim Dunia, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2018. hlm. 61.

dollar yang menghasilkan jutaan ton ikan bagi umat manusia.4 Isu-isu penting lain terkait kelautan dan perikanan antara lain mendesaknya memperkuat konservasi sumberdaya ikan dan ekosistem laut, melahirkan penguatan regulasi/pengaturan usaha perikanan, melahirkan kebijakan melarang penangkapan ikan dengan metode destruktif, dan mewujudkan keadilan bagi nelayan.5 Melalui pembagian kewenangan konkuren pemerintahan, beberapa hal ini perlu mendapat perhatian dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan yang menjadi tumpuan pokok dalam mewujudkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia.

Poros maritim yang digagas oleh pemerintah mengubah paradigma pembangunan yang telah dilakukan selama ini. Derasnya perhatian dan perubahan atas pembangunan yang berbasis kelautan ternyata tidak secara otomatis berpengaruh terhadap strategi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. Hal ini terlihat dari minimnya peranan pemerintah daerah melalui pembagian urusan konkuren di bidang kelautan dan perikanan yang digariskan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain undang-undang pemda itu, menurut Heryandi, berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, berimplikasi kepada seluruh peraturan perundang-undangan terkait dengan wilayah laut. Implikasi pertama, yaitu perlu adanya harmonisasi hukum. Kedua, perlu penyesuaian penataan kelembagaan terkait dan ketiga pengembangan peran negara sampai pada daerah dalam percaturan laut global, melalui perencanaan terpadu dan kerjasama internasional.6

Peranan yang optimal dari pemerintah dan pemerintah daerah dalam memakmurkan sektor kelautan dan perikanan sangat dibutuhkan untuk realisasi visi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Pemanfaatan kelautan dan peningkatan produksi perikanan di daerah pada dasarnya akan sangat tergantung dengan kebijakan dan program-program yang dijalankan pemerintah daerah. Kebijakan dan program daerah (baik pada tataran perencanaan maupun juga pelaksanaan) di bidang kelautan

4 Victor PH. Nikijuluw, 2005, Politik Ekonomi Perikanan, Bagaimana dan Kemana Bisnis

Perikanan?, Feraco, Jakarta, hlm. 8-9. Dalam Sulaiman, Tantangan Pengelolaan Perikanan di Indonesia, Jurnal Ilmu Hukum KANUN No. 52 Edisi Desember 2010, hlm. 532.

5 Sulaiman, Membangun Hukum Perikanan Berkelanjutan Berbasis Kearifan Lokal,

Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 64, Th. XVI (Desember, 2014), hlm. 519.

6Heryandi, Urgensi Harmonisasi Hukum Pengelolaan Pertambangan Minyak dan Gas

Bumi Lepas Pantai di Era Otonomi Daerah, Jurnal Media Hukum, Vol. 16 No. 3, Desember 2009, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, 2009, hlm, 513-516.

dan perikanan pada dasarnya merupakan elaborasi dari kewenangan yang dimilikinya. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, tulisan ini lebih lanjut akan menggambarkan konfigurasi kewenangan konkuren pemerintah daerah dalam pembangunan di bidang kelautan dan perikanan.

B. Pembahasan

Pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah merupakan konsekuensi dari sistem otonomi daerah yang digunakan di Indonesia. Sebagai negara kesatuan yang memiliki wilayah yang sangat luas dengan beragam etnis dan budaya yang ada di Indonesia, pemberian otonomi kepada daerah seolah menjadi salah satu pilihan tepat untuk memfasilitasi terjadinya akselerasi pembangunan di daerah, termasuk di bidang kelautan dan perikanan.7

Secara leksikal,8 kata kewenangan berasal dari kata dasar wenang yang diartikan sebagai hal berwenang, hak dan kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu.9 Menurut H.D Stout, wewenang merupakan pengertian yang berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai keseluruhan aturan- aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik didalam hukum publik.10 Menurut Prajudi Atmosudirjo, kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”, kekuasaan yang berasal dari kekuasaan legislatif (diberi oleh undang-undang) atau dari kekuasaan eksekutif administratif.11

7 Budiyono, Muhtadi, Ade Arif Firmansyah, Dekonstruksi Urusan Pemerintahan

Konkuren Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No. 67, Th. XVII (Desember, 2015), hlm. 422.

8 Makna dari kata leksikal: 1 berkaitan dengan kata; 2 berkaitan dengan leksem; 3

berkaitan dengan kosakata. Anonim. Kamus Besar Bahasa Indonesia. v1.1. Soft Version.

9 Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi kedua,1996, hlm. 1128.

Dalam dokumen Kebijakan Negara dalam Bidang Kelautan (1) (Halaman 31-48)