• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil dan Pembahasan Instrumen Internasional

Dalam dokumen Kebijakan Negara dalam Bidang Kelautan (1) (Halaman 100-108)

Salah satu peristiwa penting terkait dengan pengakuan dan penguatan masyarakat hukum adat berangkat dari hasil Earth Summit di Rio de Janeiro pada 1992 dengan dikeluarkannya Rio Declaration on Environment and Development (1992). Dalam Prinsip ke-22 dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat mempunyai peranan penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup karena pengetahuan dan praktik tradisional mereka. Oleh karenanya, negara harus mengenal dan mendukung penuh entitas, kebudayaan dan kepentingan mereka serta memberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).8

Selain adanya Deklarasi tersebut, terdapat juga hasil penting dari Earth Summit, yaitu Agenda 21. Pada Chapter 26 dalam Agenda 21 ditegaskan tentang adanya perlindungan terhadap hak ulayat dari masyarakat hukum adat, sebagai berikut:

“Indigenous people and their communities have an historical relationship with their lands and are generally descendants of the original inhabitants of such lands. In the context of this chapter the term "lands" is understood to include the environment of the areas which the people concerned traditionally occupy (terjemahan bebas: Masyarakat adat dan komunitas mereka memiliki hubungan historis dengan tanah mereka dan biasanya mereka adalah keturunan penduduk asli di tanah tersebut. Dalam konteks ini, istilah "tanah" dipahami termasuk lingkungan wilayah dimana masyarakat yang bersangkutan secara tradisional menempatinya)”.

Selanjutnya, United Nation Permanent Forum on Indigenous People yang dibentuk pada tahun 2000 mengesahkan United Nations Declaration of the Rights of Indigenous People (UNDRIP) pada 12 September 2007, di mana Indonesia merupakan salah satu negara yang ikut menandatanganinya. Dalam Deklarasi ini telah diakui secara rinci hak-hak masyarakat hukum adat baik yang bersifat individu maupun kolektif, mulai dari bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, dan lainnya. Dengan demikian, negara Indonesia memiliki kewajiban untuk menghormati (to respect), melindungi (to protect), dan memenuhi (to

fulfill) hak-hak masyarakat hukum adat yang telah dijamin di dalam Deklarasi tersebut.

Perhatian yang cukup serius terhadap hak-hak masyarakat hukum adat, khususnya terkait dengan hak atas tanah, dimulai sejak dibentuknya World Council of Indigenous People (WCIP) pada tahun 1966. Selanjutnya, pada tahun 1982 dibentuk Working Group on Indigenous People (WGIP) melalui persetujuan Dewan Sosial dan Ekonomi PBB.9

Barulah sejak dideklarasikannya Convention concerning Indigenous and Tribal Peoples in Independent Countries (Convention No. 169) tahun 1989, entitas masyarakat adat semakin diakui oleh banyak negara, di mana setiap pemerintah diharuskan untuk menghormati kebudayaan dan nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat hukum adat. Dalam konvensi ini telah diberikan prinsip dasar mengenai indigenous people dan tribal people sebagai berikut:10

“People in independent countries who are regarded as indigenous on account on of their descent from populations which inhabited the country or geographical region to which the country belongs at the time of colonization or the establishment of present State boundaries and who, irrespective of their legal status, retain some or all of their own social, economic, cultural and political institutions (terjemahan bebas: Masyarakat di negara-negara merdeka yang dianggap sebagai masyarakat adat berkenaan dengan keturunan mereka dari populasi yang menghuni suatu negara atau wilayah geografis yang dimiliki negara pada masa kolonisasi atau pendirian batas negara sekarang dan terlepas dari status hukum mereka yang mempertahankan beberapa atau semua institusi sosial, ekonomi, budaya dan politik mereka sendiri)”.

Adanya pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum terdapat di dalam UUD 1945, baik sebelum maupun sesudah perubahan UUD 1945. Sebelum perubahan, Pasal 18 UUD 1945 mengakui adanya hak asal usul dalam daerah-daerah istimewa.

9 Lihat Lembar Fakta HAM, Edisi III yang diterbitkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi

Manusia.

10 Lihat Article 1 huruf (a) dan huruf (b) dalam The Convention concerning Indigenous

Pasal ini belum secara tegas memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat, namun dalam penjelasannya diuraikan sebagai berikut:

“Dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenschappen, seperti marga, desa, dan negeri, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa”.

“Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah- daeraha istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak asal-usul daerah tersebut”.

Sedangkan di level perundang-undangan di bawah UUD 1945, pengakuan dan penghormatan terhadap masyarakat hukum adat tersebut dimuat di dalam Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pengaturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU Nomor 11 Tahun 1966 tentang Pertambangan, dan UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Kehutanan.11

Persyaratan masyarakat hukum adat yang diakui oleh negara sebelum perubahan UUD 1945, salah satunya diatur dalam Pasal 3 UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, yaitu:

1. Sepanjang menurut kenyataan masih hidup; 2. Sesuai dengan perkembangan masyarakat; dan

3. Sesuai dengan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang.

Sementara itu, sesudah perubahan kedua UUD 1945, pengakuan sekaligus penghormatan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat semakin dipertegas dalam Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi sebagai berikut:

Pasal 18B ayat (2) : “Negara mengakui dan menghormati kesatuan- kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak- hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

11 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah

prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”.

Pasal 28I ayat (3) : “Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Dengan demikian, masyarakat hukum adat memiliki basis konstitusional untuk mempertahankan hak-haknya sebagaimana dimuat di dalam pasal-pasal di atas, walaupun dari beberapa kalangan melihatnya justru sebagai konteks pembatasan terhadap hak-hak masyarakat hukum adat. 12

Selain termaktub di dalam UUD 1945, pengakuan terhadap kesatuan masyarakat hukum adat pasca perubahan UUD 1945 juga tersebar di berbagai undang-undang, di antaranya, yaitu UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil.13

UU No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengatur tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang meliputi kegiatan perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang14:

1. menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan Ekosistem terumbu karang;

2. mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi;

3. menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak Ekosistem terumbu karang;

12 Lihat Nanang Subekti, et. al., eds., Membangun Masa Depan Minangkabau dari

Perspektif Hak Asasi Manusia, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2007; Ignas Tri, et. al., eds., Mewujudkan Hak Konstitusional Masyarakat Hukum Adat, Komisi Nasional Hak Asasi manusia, Jakarta, 2006.

13 Tim Penyusun Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, op. cit., hal. 103. 14 Lihat hhtp-Elsam.id.or, diakses tgl 7 okt 2018

4. menggunakan peralatan, cara, dan metode lain yang merusak Ekosistem terumbu karang;

5. menggunakan cara dan metode yang merusak Ekosistem mangrove yang tidak sesuai dengan karakteristik Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil;

6. melakukan konversi Ekosistem mangrove di Kawasan atau Zona budidaya yang tidak memperhitungkan keberlanjutan fungsi ekologis Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil;

7. menebang mangrove di Kawasan konservasi untuk kegiatan industri, pemukiman, dan/atau kegiatan lain;

8. menggunakan cara dan metode yang merusak padang lamun; 9. melakukan penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara

teknis, ekologis, sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;

10. melakukan penambangan minyak dan gas pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis, sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya;

11. melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; serta 12. melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan

lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya.

UU N0 27 tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil menyebutkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulai kecil merupakan bagian dari sumber daya alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan yang dikuasai oleh negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun generasi yang akan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki keragaman potensi sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pengembangan sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasaan global, dengan memperhatikan aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma hukum nasional.

Selama ini masyarakat hukum adat dalam kawasan pesisir pantai yang berpencarian sebagai nelayan ataupun sebagai pekerja hasil tambang dalam laut belum memahami bahwa hak ulayat laut merupakan hak masyarakat hukum adat yang keberadaannya harus dilindungi oleh negara. Hak menguasai Negara atas laut merupakan pelimpahan tugas bangsa yang disampaikan oleh para pendiri Negara.untuk menjalankan tugasnya yang dapat dipaksakan kepada pemegang penguasaan atas laut dan sumber agraria yang mendasarkan pada system Negara hukum yang dianut sesuai dengan UUD 1945. Sesuai dengan konsepsi hukum adat maka kedudukan negara tersebut sebagai badan penguasa yang bertugas mengurus tanah,laut serta perairan yang merupakan tempat tinggal masyarakat hukum adat. Dalam hal ini negara tidak harus bertindak sebagai pihak yang memiliki tanah, laut ataupun perairan, namun demikian, negara diberi kewenangan pada hakekatnya merupakan pembatasan kekuasaan negara atas tanah,laut maupun perairan yang diberikan harus disesuaikan dengan UUPA , yang dalam hal ini diuraikan dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA.

Hak menguasai oleh negara yang semula diartikan sebagai “mengatur” kemudian bergeser menjadi memiliki secara mutlak. Negara terjebak dalam kesewenang-wenangan dalam mengambil hak ulayat atas laut dalam masyarakat hukum adat dalam kawasan pesisir pantai untuk kepentingan pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, telah mengubah pilihan kepentingan dan nilai social yakni dari kemakmuran bersama menjadi kemakmuran sekelompok orang.

Kovenan hak-hak Ekonomi,sosial dan Budaya mengatur tentang kewajiban negara dalam usaha memajukan (to Promote), menegakan (to Protect), dan memenuhi (to fulfill) hak-hak yang termasuk dalam kategori hak ekonomi,sosial dan budaya. Tanggungjawab Negara dalam tiga aspek tersebut tidak hanya terbatas pada tanggungjawab atas tindakan (onbligation of conduct),tetapi juga mencakup tanggungjawab atas hasil (obligation of result). Hak-hak tersebut tertuang dalam Pasal 2, Pasal 3 ,Pasal 6 ICESCR. Hak-hak yang tertuang dalam pasal ICESCR tersebut, menuntut negara berperan aktif dan menuntut negara tidak mengambil tindakan . Keduanya merupakan kewajiban negara yang harus sekaligus dipikul oleh negara dalam pelaksanaan hak-hak ekonomi,sosial, dan budaya. Misalnya untuk mencukupi kebutuhan akan hak ulayat laut masyarakat hukum adat, negara harus mengambil

langkah-langkah dan kebijakan yang tepat agar kebutuhan akan hak ulayat tersebut berhasil.akan tetapi diwaktu yang bersamaan negara harus mengambil tindakan yang menyebabkan seseorang kehilangan hak ulayat lautnya.

Konflik hak ulayat laut masyarakat hukum adat dalam kawasan pesisir pantai yang bekerja sebagai nelayan menjadi meluas karena pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi, salah satunya dengan membuka izin kepada investor asing dalam kawasan laut untuk mendirikan perusahaan pertambangan, baik diatas tanah ulayat mapun dengan mengkonversi hak ulayat laut masyarakat hukum adat. Pemerintah melalui aparatur penegak hukum dan persenjataannya menopang kekuasaan perusahaan-perusahaan pemegang bukti formal berupa HGU (hak Guna Usaha) yang diberikan kepada perusahaan- perusahan Asing maupun nasional untuk mengambil hak ulayat laut masyarakat hukum adat yang berada dalam kawasan pesisir pantai yang bekerja sebagai nelayan,

Selain itu muncul juga masalah benturan antar UU sektoral yang kemudian melanggar prinsip dan politik hukum yang terkandung didalam UUPA. Pada tingkat peraturan pelaksanaan, masih sangat banyak peraturan yang diminta oleh UUPA yang belum dikeluarkan,kecuali sejumlah peraturan kebijaksanaan yang sifatnya reaktif atas kasus-kasus yang muncul dilapangan. Di lapangan ,dirasakan juga berlangsungnya administrasi yang terlalu birokratis dan sentralistis yang dalam banyak hal menambah kerumitan dalam masalah kepemilikan tanah adat ini,Semestinya pemerintah daerah dapat dibebani mengurus administrasi itu secara lebih praktis dan tidak melalui rantai birokrasi yang terlalu panjang.

Dari sisi hak asasi manusia, ketidakadilan struktural dalam penguasaan hak ulayat laut oleh pemerintah ini dan sumber daya agraria lainnya merupakan bentuk pelanggaran masal atas hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya terbesar bagi rakyat Indonesia yang termajinalkan oleh peraturan perundang-undangan dan kebijakan negara di bidang kelautan dan sumber daya agrarian. Kalau kita lihat dari politik hukum ekonomi yang dipratekan oleh pemerintah adalah bersifat etatisme belaka ,dalam arti kebijakan publiknya berpihak pada kepentingan pemilik modal.

Konflik sumberdaya alam, kelautan dan Agraria lainnya jenis pelanggaran yang sering terjadi adalah pelanggaran terhadap hak ekonomi,sosial budaya , dan dalam berbagai bentrokan yang

penembakan, sweeping, penangkapan, penganiayaan, penggusuran dan perusakan property milik masyarakat hukum adat kerap dilakukan. Konflik-konflik agraria tersebut akan tetap terpelihara selama pemerintah tidak melakukan langkah-langkah sebagai berikut. 15 Pertama; Moratorium atas semua perijinan untuk perusahaan- perusahaan pertambangan,dan kelautan dikawasan pesisir pantai. Kedua; Menghentikan segala bentuk penanganan konflik dengan cara kekerasan. Ketiga; membentuk sebuah lembaga penyelesaian konflik yang bertugas mengidentifikasi, menyelidiki, konflik-konflik kelautan atau yang menyangkut hak ulayat laut masyarakat hukum adat di sekitar pesisir pantai. Selama ini yang terjdi adalah case by case, dan memberikan rekomendasinya kepada pemerintah.Keempat; Dari rekomendasi lembaga tersebut pemerintah melakukan tindakan tegas berupa pencabutan maupun pembatalan izin-izin perusahaan tersebut dan menindak secara pidana terhadap perusahaan maupun aparat pemerintah yang melakukan perampasan hasil laut. Kelima; Melakukan review terhadap peraturan perundang-undangan yang tumpang- tindih dibidang sumber daya alam, dan kelautan keenam; Mengembalikan hasil rampasan perusahaan maupun pemerintah kepada masyarakat hukum adat yang memiliki hak atas laut yang menjadi mata pencariannya dan sebagai pemiliknya.

Apabila kebijakan ekonomi negara gagal dalam memberi jaminan terhadap pemenuhan hak-hak Ekosob warganya,maka negara tersebut dapat dikatakan melanggar hak-hak yang terdapat dalam kovenan tersebut,apabila bagi negara yang sudah meratifikasi kovenan tersebut, menjadi kewajiban negara untuk melaksanakannya 16 , apabila dihubungkan dengan kewajiban negara menurut instrument hak asasi manusia, yaitu kewajiban negara untuk melindungi (obligation to protect), kewajiban untuk memenuhi (obligation to fulfill ), dan kewajiban untuk menghormati (obligation to respect).

15 Widiyanto,Potret Konflik Agraria di Indonesia,Jurnal Ilmiah Pertanahan,STPN,

Jogjakarta,hlm27.

16 Ifdal Kasim,Pemenuhan Hak-hak EKOSOB dalam negara Hukum di Indonesia, dalam

Bagir Manan,Negara Hukum Yang berkeadilan,Kumpulan pemikiran dalam rangka Purnabakti Prof Bagir Manan,Pusat Studi Kebijakan Negara,Fakultas Hukum UNPAD,,Bandung, hlm 417.

Dalam dokumen Kebijakan Negara dalam Bidang Kelautan (1) (Halaman 100-108)