• Tidak ada hasil yang ditemukan

Farmakologi Klinik Efedrin

Dalam dokumen TESIS PEMBERIAN EFEDRIN 50 MCG KGBB INTR (Halaman 48-54)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.3 Efedrin

2.3.1 Farmakologi Klinik Efedrin

Efedrin merupakan vasopresor yang biasanya digunakan selama anestesia untuk melawan penurunan tekanan darah arterial dan denyut jantung setelah anestesi spinal dan epidural (Critchley dkk., 1995). Sebagai vasopresor dan simpatomimetik, efedrin telah digunakan dengan aman dan efektif, baik untuk pencegahan maupun pengobatan hipotensi yang disebabkan oleh anestesia, khususnya anestesia pada obstetri (Cyna dkk., 2006). Obat ini juga dapat menurunkan respon hemodinamik yang disebabkan oleh pemberian bolus propofol (Michelsen dkk., 1998; Kasaba dkk., 2000; El-Tahan, 2011). Sebagai

tambahan efek α-vasokonstriktor dan ß-kardiostimulannya, efedrin juga memiliki keuntungan yaitu durasinya yang singkat, jadi memiliki profil kerja yang serupa dengan propofol (Singh, 2005).

Berbagai tinjauan sistematis dan meta-analisis telah menunjukkan bahwa injeksi efedrin profilaksis dapat menurunkan risiko hipotensi sebesar 14-37% (Macarthur, 2002; Dyer dkk., 2009), saat anestesia spinal pada obstetri yang menjalani sectio cesarea. Penggunaan profilaksis efedrin dengan dosis besar telah menunjukkan kegunaannya dalam pengobatan hipotensi yang disebabkan oleh propofol, namun ini dapat menyebabkan takikardia yang nyata (Michelsen dkk., 1998) dan hipertensi pada beberapa situasi klinis (Kasaba dkk., 2000). Efedrin profilaksis telah digunakan untuk mengurangi respon hemodinamik dari propofol pada pasien-pasien wanita lanjut usia dan ditemukan bahwa dosis 0,1 atau 0,2 mg/kgBB IV secara nyata dapat mengurangi penurunan tekanan darah, namun tidak satupun dapat meniadakannya sama sekali (Michelsen dkk., 1998).

Bermacam-macam dosis efedrin IV, mulai dari dosis paling rendah 0,03 mg/kgBB sampai 0,2 mg/kgBB, telah dilaporkan digunakan untuk mencegah hipotensi saat anestesia (Demirkaya dkk., 2012).

Efedrin dapat diberikan secara bolus tunggal, infus continuous, atau injeksi intramuskular (Kasaba dkk., 2000; Cyna dkk., 2006; El-Tahan, 2011). Pada orang dewasa, efedrin diberikan secara bolus 2,5 sampai 10 mg, sedangkan pada anak- anak diberikan secara bolus 0,1 mg/kgBB. Dosis selanjutnya ditingkatkan sampai akhir kerja, yakni terjadinya takifilaksis, yang kemungkinan disebabkan karena berkurangnya cadangan norepinefrin. Efedrin, 10-25 mg IV diberikan kepada orang dewasa, merupakan simpatomimetik yang sering dipilih digunakan untuk meningkatkan tekanan darah sistemik yang terjadi akibat blokade yang dihasilkan oleh anestesi regional atau hipotensi berhubungan dengan anestesi inhalasi atau intravena (Morgan dkk., 2006).

Pada model binatang, efedrin lebih khusus memperbaiki perubahan sirkulasi non-kardiak yang disebabkan oleh anestesi spinal dibandingkan dengan apa yang diakibatkan oleh obat agonis selektif alfa atau beta (Butterworth dkk., 1986). Oleh karena itu efedrin dijadikan sebagai obat simpatomimetik terpilih pada parturien yang mengalami penurunan tekanan darah sistemik akibat anestesi spinal atau epidural. Data-data yang mendukung praktik ini adalah observasi pada biri-biri betina hamil, yakni aliran darah uterus tidak berubah banyak ketika efedrin diberikan untuk memulihkan tekanan darah ke normal setelah mengalami blokade sistem saraf simpatis (McGrath dkk.,1994).

Efedrin umumnya digunakan sebagai vasopresor saat anestesia. Pemberiannya hanya sementara sedangkan penyebab hipotensinya tetap harus

ditelusuri dan diperbaiki. Tidak seperti α1-agonis kerja langsung, efedrin tidak menurunkan aliran darah ke uterus. Hal ini menjadikannya sebagai pilihan vasopresor yang digunakan pada sebagian besar kasus obstetri. Efedrin juga telah dilaporkan memiliki sifat-sifat antiemetik, khususnya yang berkaitan dengan hipotensi setelah anestesia spinal. Premedikasi klonidin dapat meningkatkan efek efedrin (Morgan dkk., 2006).

Arndt JO (1998) dalam penelitiannya mengungkapkan pemberian kristaloid dengan dosis 250-2000 ml dapat meningkatkan preload dan curah jantung untuk sementara, namun tidak secara konstan dapat menaikkan tekanan darah arteri atau mencegah hipotensi. Sedangkan Bugy D, (1997) dalam penelitiannya menyebutkan pemberian kristaloid dalam jumlah yang banyak (> 1 Liter) tidak memberikan efek yang lebih baik dibandingkan dengan pemberian kristaloid dengan volume kecil ( < 250 ml). Hal ini memerlukan perhatian lebih lanjut pada pasien dengan gangguan kardiopulmonar.

Ueyama (1999) dalam penelitiannya mengungkapkan pemberian prehidrasi koloid 500 ml lebih efektif dibandingkan dengan pemberian kristaloid. Hal ini disebabkan kedapatan koloid dalam meningkatkan tekanan vena sentral dan curah jantung akibat dari rendahnya redistribusi koloid ke luar pembuluh darah.

Pemberian agen farmakologi lebih efektif dibandingkan dengan pemberian prehidrasi baik itu dengan kristaloid maupun koloid. Butherworth (1998) dalam penelitiannya menyebutkan simpatomimetik yang tidak selektif (agonis alfa dan

beta adrenergic) seperti efedrin dapat meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan curah jantung dan laju denyut jantung dan efek minimal pada resistensi vascular sistemik. Penggunaan efedrin memberikan efek kardiak yang lebih dominan seperti takikardia hingga takiaritmia.

Pemberian efedrin dikontraindikasikan pada beberapa keadaan, seperti: glaukoma sudut tertutup, bisa terjadi eksaserbasi; feokromositoma, dapat mengakibatkan hipertensi berat; hipertrofi septal asimetris (stenosis sub-aortik hipertropik idiopatik), karena obstruksi semakin berat dengan meningkatnya kontraktilitas miokard; pasien yang mendapatkan terapi MAO inhibitor atau masih dalam 14 hari penghentian terapi tersebut, karena dapat memperpanjang dan menguatkan efek efedrin pada jantung dan pembuluh darah; pada pasien dengan psikoneurosis; pada pasien dengan takiaritmia atau ventrikel fibrilasi, karena dapat mengakibatkan eksaserbasi kondisi ini; dan pada pasien yang hipersensitif terhadap efedrin. Efedrin hidroklorida juga dikontraindikasikan pada pasien yang menjalani anestesi umum dengan siklopropan atau halotan atau hidrokarbon terhalogenasi, karena anestesi dapat meningkatkan iritabilitas jantung yang dapat menyebabkan aritmia (Stoelting dan Hillier, 2006).

Pada saat diberikan secara intravena, injeksi sebaiknya diberikan dengan pelan. Hati-hati saat pemberian untuk mencegah ekstravasasi, setelah diketahui hal ini bisa menyebabkan nekrosis jaringan. Efedrin hidroklorida sebaiknya diberikan pada dosis efektif terendah. Pemberian parenteral pada dewasa tidak boleh melebihi 150 mg dalam 24 jam (Stoelting dan Hillier, 2006).

Efek kardiovaskular efedrin menyerupai epinefrin, namun respon peningkatan tekanan darah sistemiknya kurang kuat dan berlangsung kurang lebih 10 kali lebih lama. Dibutuhkan kira-kira 250 kali efedrin lebih banyak dari pada epinefrin untuk menghasilkan respon tekanan darah sistemik yang sepadan. Pemberian efedrin IV menghasilkan peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik, denyut jantung, kontraktilitas, dan curah jantung. Akan tetapi, terdapat perbedaan penting diantara keduanya, efedrin memiliki durasi kerja yang lebih panjang karena merupakan non-katekolamin, potensi jauh lebih kecil, memiliki kerja langsung dan tidak langsung, dan merangsang sistem saraf pusat (meningkatkan konsentrasi alveolar minimal) (Morgan dkk., 2006). Aliran darah ke ginjal dan splangnik menurun, sedangkan aliran darah ke koroner dan otot skelet meningkat. Tahanan pembuluh darah sistemik mungkin sedikit mengalami perubahan karena vasokonstriksi pada beberapa jaringan diimbangi oleh vasodilatasi (stimulasi ß2) pada daerah lainnya. Efek kardiovaskular ini sebagian

disebabkan oleh vasokonstriksi arteri dan vena perifer yang dimediasi oleh reseptor alpha. Akan tetapi, mekanisme dasar efek kardiovaskular yang disebabkan oleh efedrin adalah meningkatkan kontraktilitas miokard akibat aktivasi resptor ß1. Pada keadaan adanya hambatan beta adrenergik, efek

kardiovaskular efedrin dapat menyerupai respon stimulasi reseptor alpha adrenergik yang lebih khas (Stoelting dan Hillier, 2006).

Pemberian dosis kedua efedrin menghasilkan respon tekanan darah sistemik yang lebih rendah dibandingkan dengan dosis pertama. Fenomena ini, diketahui sebagai takifilaksis, terjadi pada berbagai simpatomimetik dan berhubungan

dengan durasi kerja obat. Takifilaksis kemungkinan mempresentasikan blokade yang persisten pada reseptor adrenergik. Sebagai contoh, efedrin tetap memicu aktivasi reseptor adrenergik meskipun setelah tekanan darah sistemik telah kembali ke level sebelum pemberian obat berdasarkan pada kompensasi perubahan kardiovaskular. Ketika efedrin diberikan pada saat ini, reseptor masih dihuni oleh efedrin yang tersisa membatasi lokasi yang tersedia dan respon tekanan darah menjadi lebih rendah. Sebagai alternatif, takifilaksis kemungkinan berhubungan dengan pengosongan penyimpanan norepinefrin (Stoelting dan Hillier, 2006).

Efedrin telah digunakan secara luas untuk mencegah hipotensi intraoperatif khususnya selama anestesi spinal. Berbagai tinjauan sistematik dan meta analisis menunjukkan pemberian efedrin profilaksis IV dapat menurunkan risiko hipotensi sebesar 14-37%, pada saat dilakukan anestesi spinal pada tindakan sectio cesarea

(Macarthur, 2002; Dyer dkk., 2009). Efedrin telah digunakan secara luas sebagai premedikasi anestesia untuk bermacam-macam operasi, akan tetapi, tidak terdapat literatur yang menyatakan efek profilaksis efedrin untuk induksi anestesi umum yang menggunakan kombinasi propofol dan remifentanil (Bhattarai dkk., 2010).

Waktu yang paling kritis untuk menghadapi bradikardia dan hipotensi selama anestesia yakni segera setelah induksi dan sebelum intubasi trakeal, pada saat tercapai efek puncak obat-obat induksi dengan stimulasi bedah yang minimal. Masjedi dkk. (2014) mendapatkan data pemberian efedrin 0,15 mg/kgBB memiliki efek yang signifikan untuk mencegah perubahan hemodinamik setelah induksi anestesi dengan propofol dan remifentanil pada pasien ASA I dan II yang

menjalani pembedahan mata dan ortopedi, akan tetapi, efek ini tidak terjadi dengan efedrin dosis rendah (0,07 mg/kgBB). Dosis efedrin IV yang berbeda- beda, mulai dari 0,03 mg/kgBB sampai 0,2 mg/kgBB telah dilaporkan dapat mencegah hipotensi selama anestesia (Demirkaya dkk., 2012). Menurut El-Tahan (2011), penggunaan dosis kecil efedrin sebagai profilaksis, 0,07-1 mg/kgBB, adalah aman dan efektif untuk mengatasi hipotensi yang disebabkan oleh propofol saat anestesia pada pembedahan katup jantung.

Efek efedrin terhadap kondisi intubasi dan hemodinamik pada RSI dengan propofol dan rokuronium telah diteliti oleh Gopalakrishna dkk. (2007). Mereka menemukan penggunaan efedrin dengan dosis 75 mcg/kgBB dan 100 mcg/kgBB sebagai premedikasi berkaitan dengan kondisi hemodinamik yang lebih baik saat intubasi. Pemberian efedrin sebagai profilaksis dengan dosis tersebut hanya dapat mengurangi hipotensi arterial setelah induksi anestesia, tidak dapat mengatasinya secara keseluruhan.

Dalam dokumen TESIS PEMBERIAN EFEDRIN 50 MCG KGBB INTR (Halaman 48-54)

Dokumen terkait