• Tidak ada hasil yang ditemukan

3. Implementasi SJSN dan Perubahan yang Terjadi

1.2. b Fase Kedua

84

Dalam pandangan liberal peran negara harus diminimalisir, negara hanya berfungsi sebagai penjaga malam (nacht wakerstaat), tetapi ekonom Orde baru saat itu seringkali menggunakan ide-ide gotong royong dan semangat bela negara sosialisme hanya untuk memperkuat posisi pemerintah. Sebaliknya dalam hal pemerataan dan pencapaian kesejahteraan yang digunakan adalah ide-ide Liberal, yakni memperkuat investasi asing dan dengan sendirinya kesejahteraan tersebut akan dinikmati oleh setiap orang.

mengambil momentum krisis akibat inflasi yang tidak dapat diatasi oleh kebijakan keynessian. Seperti yang diutarakan Newman:

Sejak akhir 1970-an, terus menerus ditegaskan superioritas pasar atas segala bentuk intervensi pemerintah, hal ini dibarengi dengan klaim ideologis bahwa masyarakat harus dibebaskan untuk mengambil keputusannya sendiri, terutama dalam hal membeli jasa, dan bahwa hal ini akan membebaskan mereka dari birokrasi- birokrasi negara. Diklaim pula bahwa penyediaan layanan publik yang seragam dan universal mungkin memang tepat pada saat dilakukan penghematan pada tahun-tahun awal pasca perang dunia kedua, namun kini orang tak lagi hanya ingin hanya menjadi penerima pasif dari tunjangan negara.85

Di tahun 1971, tanda-tanda kekacauan ekonomi sudah mulai tampak dengan hancurnya sistem perdagangan internasional Bretton Woods,

Perubahan tersebut tidak hanya terjadi di negara-negara maju tetapi juga di negara-negara berkembang, meskipun di negara berkembang dampaknya tidak terjadi secara singkat. Di Indonesia sendiri misalnya perubahan tersebut baru sangat terasa di tahun 1990an dan di tahun 2000 awal, ketika beban pemerintah dalam belanja publik mulai dikurangi, seperti yang ditunjukkan pada reformasi sistem jaminan sosial melalui UU SJSN.

86

85

Michael Newman, Loc. Cit., hal. 217-218

86

Runtuhnya sistem tersebut tidak ada kaitannya dengan krisis yang terjadi tiga tahun berikutnya. Bretton woods semakin tidak efektif dan kemudian dibubarkan setelah menurunnya kemampuan leadership amerika akibat terbentuknya Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE), negara-negara komunis yang mulai membuka diri dalam perdagangan internasional dan Jepang juga telah tumbuh dengan kekuatan ekonomi yang fantastis.

dan di tahun 1973, keadaan semakin di perparah ketika negara-negara Arab, produsen utama minyak dunia, membentuk sebuah kartel, OPEC, yang menyebabkan harga minyak melambung tinggi. Karena harga minyak terus melambung tinggi maka hal ini mendorong kenaikan harga-harga dan upah-upah. Akibat lebih jauh adalah mendorong terjadinya resesi ekonomi, pengangguran dan inflasi yang

melambung hingga mencapai angka 20 persen diseluruh negara, serta ketidakmampuan negara-negara dunia ketiga membayar utang-utangnya. Disisi lain, kebijakan Keynessian yang telah banyak digunakan oleh negara-negara bangsa selama lebih kurang tiga puluh tahun tidak mampu mengatasi masalah- masalah tadi, terutama menyangkut tingginya inflasi. Bahkan, kelompok- kelompok penentang kebijakan tersebut yang kemudian dikenal sebagai kelompok Kanan Baru, melihat inflasi sebagai dampak dari kebijakan yang bersandar pada Keynesianisme.

Disebut sebagai aliran Kanan Baru karena perbedaan mendasarnya dengan Liberlisme Klasik. Dalam Liberalisme Klasik versi Adam Smith peran negara diminimalisir agar setiap individu terbebas mengejar kepentingannya sendiri dan dengan demikian sejumlah masyarakat juga akan ikut menikmati keuntungan tersebut namun tidak terlepas dengan proses pembangunan suatu bangsa melalui akumulasi kekayaan yang dilakukan setiap individu, dengan kata lain pemilikan privat masih dianggap punya tugas sosial untuk mensejahterakan seluruh masyarakat (the Wealth of Nations).87

87

Herry Priyono, Dalam Pusaran Neoliberalisme, hal 55. Dalam I. Wibowo dan Francis Wahono (ed), Neoliberalisme, Yogyakarta: Cindelaras, 2003. Dikutip dari Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Couses of the Wealth of Nations, Vol II, London: Penguin Books, 1986.

Sementara itu dalam pandangan Neoliberalisme, negara tidak punya alasan apapun juga untuk mencampuri dan mengawasi pasar, karena pasarlah yang justru merupakan prinsip yang mendasari negara dan masyarakat. Manusia dipandang sebagai individu yang merupakan makhluk Homo Economicus, dengan kata lain segala tindakan dan hubungan antar pribadi maupun tindakan dan hubungan legal, sosial dan politis manusia hanyalah ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung-rugi

individual. Kekayaan pribadi menjadi absolut dan keramat dalam pandangan neoliberal, tanpa peran sosial apapun kecuali untuk akumulasi laba privat yang pada akhirnya akan mendorong investasi. Karena itu semakin tinggi income kaum kaya, semakin tinggi pula investasi yang pada gilirannya akan merangsang pertumbuhan ekonomi. Jadi, tidak heran bila dalam pandnagan Neoliberalisme ketimpangan justru menjadi prasyarat mutlak dan program-program redistribusi pendapatan hanya akan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Karena manusia dipandang sebagai Homo Economicus maka tenaga kerja sama halnya dengan pengusaha yang merupakan enterpreneurs bebas yang bertanggung jawab atas keputusan dan perkembangannya sendiri dan yang berusaha memproduksi nilai surplus bagi dirinya sendiri. Upah bukanlah harga bagi tenaga kerja yang dijual, melainkan laba dari modal yang dipunyainya (otot, ketrampilan, pengetahuan, dsb.) dengan demikian negara tidak perlu ikut campur dalam penentuan upah. Dan karena masyarakat merupakan kerumunan enterpreneurs yang otonom (buruh, petani, manajer, pengusaha, dsb.), masalah- masalah pengangguran, kekurangan gizi, atau kemiskinan yang dialami juga bukan lagi menjadi persoalan negara. Masalah tersebut menjadi tanggung jawab masing-masing warga negara (individual self-care) tidak ada lagi program- program sosial (seperti dalam welfare system).

Penggagas utama Neoliberalisme adalah Friedrich Agust von Hayek dari Austria dan Milton Friedman dari Amerika.88

88

Di tahun 1947, Friedrich Agust von Hayek, mengorganisir sebuah konferensi tertutup di Mont Pelerin (Swiss). Konferensi itu dihadiri oleh pemikir-pemikir besar dari Amerik dan Eropa seperti Milton Friedman, George Stigler, Karl popper, Lionel Robbins, Jown Jewkes, Michael Polanyi, dll. Mereka disatukan oleh keprihatinan atas munculnya gelombang kolektivisme di Erop. Konferensi tersebut membentuk suatu kelompok The Mont Pelerin Society (MPS) yang mengagendakan pertemuan dua tahun sekali. MPS inilah

penentang keras gagasan ekonomi John Mayard Keyness. Secara garis besar kritik mereka dalam menghadapi kebijakan yang bersandar pada Keynessian dapat dibagi dalam tiga pokok pikiran. Pertama, pada intervensi negara. Bagi kaum Keynessian, kapitalisme mempunyai kekurangan mendasar, yakni kurangnya permintaan (demand). Oleh karena itu, agar kapitalisme dapat berkembang maka pemerintah harus terlibat aktif dalam meningkatkan demand melalui belanja publik. Kalangan ini menyatakan bahwa akibat-akibat terlalu banyaknya campur tangan negara sebagai akibat diberlakukannya kebijakan Keynessian, dunia terjebak dalam krisis yang berkepanjangan. Para intelektual kanan baru memandang, inflasi sebagai produk dari ekspansi uang yang kemudian dijadikan ekonomi Keynessian untuk melangsungkan boom ekonomi paska perang dan untuk memelihara komitmennya pada full employment.89 Selanjutnya, mereka menyatakan bahwa peningkatan belanja publik keynessian dianggap menciptakan terlalu banyak demand, dan karenanya menjadi sebab timbulnya inflasi yang meluas.90

yang menyebarluaskan ajaran Neoliberalisme yang kemudian mengambil moment krisis 1970an dalam mengkritik Keynessian.

89

Prof. Budi Winarno, Pertarungan Negara VS Pasar, Yogyakarta: Media Pressindo, 2009, hal. 88-89.

90

Inflasi dalam pandangan mereka merupakan pertanda suplai uang yang berlebihan dan tingginya tingkat upah sehingga pemerintah harus mengurangi suplai uang dan menekan upah yang pada awalnya ditujukan untuk merangsang demand selama masa resesi ekonomi.

Kedua, kelompok Kanan Baru juga menggugat program-program kesejahteraan dan welfare state yang ditawarkan oleh kebijakan keynessian dengan beranggapan bahwa redistribusi pendapatan sebagai suatu bentuk ketidakadilan. Dalam pandangan mereka, para penerima santunan kesejahteraan sebagai pemalas, opurtunis, dan bahkan “parasit sosial” karena memperoleh uang dari anggaran pemerintah dan tidak menganggap kera sebagai

salah satu nilai tertinggi dalam masyarakat dan sebagai sumber kekayaan riil.91 Oleh karena itu, mereka cenderung melihat negara kesejahteraan sebagai bentuk- bentuk ketidak adilan. Ketiga, pengagungan terhadap pasar. Kelompok kanan baru menekankan arti penting pasar bagi penciptaan kesejahteraan umat manusia bahwa jika individu dibiarkan mengejar tujuan-tujuannya sendiri dan tanpa diniatkan secara sengaja untuk melayani kepentingan masyarakat, individu tidak hanya akan memberi manfaat bagi diri mereka sendiri, tetapi juga masyarakat secara keseluruhan. Intervensi pemerintah sebaliknya dianggap mengganggu mekanisme ini meskipun intervensi tersebut ditujukan untuk kepentingan masyarakat, karena hanya akan menyesatkan individu dan menjauhkan mereka dari berperilaku rasional dan efisien.92

Dalam perkembangannya, era kebijakan yang bersandar pada ideologi Neoliberal dimulai oleh dua pendukung utamanya, yakni Presiden Amerika Ronald Reagan dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher. Kedua pejabat publik ini sama-sama pendukung pasar bebas, keduanya menolak negara kesejahteraan dan full employment, kebijakan yang diambil ialah dengan memangkas belanja publik dan meurunkan inflasi. Selain itu, baik Reagan maupun Thatcher, sama-sama meyakini teori “trickle down effect” yang mengklaim jika si kaya akan mendapatkan insentif seperti pajak yang rendah maka mereka akan terdorong untuk bertindak selaku enterpreneur, dan demikian akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Atau, jika industri layanan publik dialihkan ke swasta maka industri-industri tersebut akan dikelola dengan lebih

91

Prof. Budi Winarno, Loc. Cit., hal. 89

92

efisien dan mampu menyediakan lebih banyak lapangan pekerjaan.93 Ini pada akhirnya akan mengurangi beban pemerintah untuk membayar biaya-biaya kesejahteraan. Hasil dari kebijakan-kebijakan Reagan dan Thatcher ini memang mempunyai dampak yang signifikan dalam mengatasi krisis waktu itu, dan terutama dalam meningkatkan standar hidup. Sementara itu, insentif-insentif berupa pajak yang rendah bagi perusahaan-perusahaan juga telah mendorong peningkatan dalam skala besar-besaran hingga menjadi perusahaan-perusahaan multinasional yang mendominasi pasar dunia.94

Setelah populer di Amerika dan Inggris, Kapitalisme dan doktrin Neoliberalismenya mulai merambah ke negara-negara seperti Australia, Kanada dan Selandia Baru tak terkecuali negara-negara yang didominasi oleh sosial- demokrasi seperti Jerman, Prancis, Yunani, Italia dan Finlandia meskipun tidak sampai ketahap membuang politik konsensus dan sistem welfare seperti yang terjadi di Inggr is.95

93

Penjualan aset secara besar-besaran dari sektor publik ke sektor swasta dilakukan oleh Inggris di tahun 1980an hingga 1990an, di tahun 1997 hampir seluruhnya telah berada di tangan swasta. Sedangkan di Amerika, kepemilikan publik tidak pernah meluas, sehingga alat liberalisasi utama yang digunakan Reagan adalah deregulasi ekonomi.

94

Ada beberapa faktor yang menjadi daya dorong ekspansi perusahaanperusahaan tersebut dalam skala global. Adanya perubahan yang fundamental dalam ekonomi politik internasional yang diakibatkan oleh revolusi dibidang teknologi komunikasi dan semakin murahnya biaya transportasi. Ditambah dengan mobilitas modal dan keuntungan yang dijanjikan oleh pasar-pasar diluar negeri, akhirnya membuat perusahaan-perusahaan melakukan perencanaan untuk melakukan kegiatan dalam skala global.

95

Di Inggris, Welfare state juga telah ditinggalkan oleh kaum Sosial-Demokrasi yang ditandai oleh keberhasilan Partai buruh dibawah kepemimpinan Tony Blair memenangkan pemilu 1994 setelah kekalahannya sebanyak empat kali berturut-turut. Kesuksesan ini tak lepas dari gebrakannya untuk meninggalkan kebijakan tax and spend dan memeluk ekonomi pasar bebas. Di Amerika, kepedulian pada keadilan sosial telah ditinggalkan dan digantikan dengan kepedulian pada bisnis, investasi dan perdagangan bebas oleh golongan reformis dalam tubuh Partai Demokrat yang diwakili oleh Bill Clinton.

Kaum sosial-demokrasi mengakui bahwa model sosial harus diperbaharui demi daya saing ekonomi. Tingginya persaingan untuk menarik masuk investor telah mendesak seluruh perkonomian pasar sosial untuk

menerima doktrin pasar bebas sampai pada tingkatan tertentu dengan tujuan mereka dapat diperhitungkan oleh perusahaan-perusahaan global yang semakin mudah berpindah tempat. Ketika kapitalisme berkembang pesat dan demi efisiensi kemudian industri-industri tersebut memindahkan pabrik-pabriknya ke negara yang menawarkan buruh dengan upah lebih murah, maka serikat buruh memiliki posisi tawar yang lemah, terutama karena semakin berkurangnya buruh kerah biru. Dilain pihak negara-negara yang akan tergabung dalam Uni Eropa (yang akan menggunakan mata uang tunggal) juga harus menganut kebijakan ekonomi makro yang konservatif dan harus melakukan disiplin fiskal agar fluktuasi tingkat utang nasional, pengeluaran pemerintah dan tingkat suku bunga tidak menyebabkan fluktuasi nilai mata uang disuatu negara, yang akhirnya akan ditanggung oleh negara anggota lainnya.

Perubahan tersebut juga telah merubah sistem jaminan sosial dan berbagai belanja publik di sejumlah negara yang menganut welfare state. Usia pensiun resmi bagi pekerja-pekerja sektor publik telah dinaikkan di Jerman, Yunani, Italia dan Finlandia, namun disisi lain santunan pensiun diturunkan.96 Di Prancis, angka pengangguran yang melonjak naik hingga 10,6% memaksa dilakukannya evaluasi kembali kerugian yang harus ditanggung oleh para majikan akibat upah minimum yang relatif tinggi dan jaminan asuransi sosial yang luas.97

96

DR. Heru Nugroho, Negara Pasar dan Keadilan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hal. 126. Dikutip dari Martin Rhodes, The Welfare State, 1997

97

DR. Heru Nugroho, Ibid., hal. 128. Dikutip dari New Economist, Europe’s New Left: Free to Bloom, 10 Mei 1997

Untuk pertamakalinya sistem welfare state diakui memiliki suatu cacat bawaan, yakni apa yang disebut sebagai perangkap kemiskinan, dimana santunan kesejahteraan

yang tinggi justru akan mengurangi semangat penganggur untuk mencari pekerjaan. Dibanyak negara mengatasi masalah tersebut dengan mendesak para penerima santunan kesejahteraan untuk menerima pekerjaan dengan upah yang ditentukan pasar. Hanya Swedia yang tetap menjadi negara dengan tingkat presentase GDP yang tertinggi (hingga 30% di tahun 1983) yang dialokasikan untuk kesehatan, pendidikan dan program-program kesejahteraan. Selain itu redistribusi di Swedia juga masih lebih besar jika dibandingkan negara-negara lain, pekerja kerah putih dibebani pajak 60% dan manajer hingga 80% penghasilan. Meskipun santunan kesejahteraan yang tinggi, Swedia berhasil mencegah pengangguran dengan kebijakan pasar kerja yang aktif, seperti memberikan training ulang, menyediakan sistem informasi mengenai kesempatan-kesempatan kerja yang tersedia, dan pemerian insentif atas relokasi pekerjaan.98

Di tahun 1980an pengaruh Kapitalisme maupun Neoliberalisme meluas hingga ke Amerika Latin, dan hasilnya di tahun 1990an Meksiko, Argentina dan Brazil berusaha menerapkan program liberalisasi ekonomi. Kapitalisme juga merambah ke wilayah lain hingga Asia Timur, India dan hampir seluruh negara- negara di benua Afrika. Sementara itu, komunisme sebagai satu-satunya pesaing ideologi utama, telah mengalami kehancuraan yang mungkin diakibatkan oleh perpecahan dalam tubuh komunisme di akhir 1950an hingga 1950an. Di tahun 1988, Mikhail Gorbachev, berpidato dalam Sidang Umum PBB di New York, mengatakan bahwa perang dingin telah berakhir, komunisme telah gagal dalam

98

perangnya selama 70 tahun melawan sistem kapitalis global. Setahun kemudian Tembok Berlin runtuh. Tiga tahun kemudian Uni Soviet bubar.99

Di negara-negara berkembang proses penyebarluasan doktrin Neoliberalisme tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang disebut sebagai pilihan rasional (rational choice) dari negara itu sendiri. Tak bisa dipungkiri bahwa dibeberapa negara seperti Indonesia, doktrin Neoliberalisme diberikan tanpa ada pilihan lain (dipaksakan). Di masa pemerintahan Orde Baru, pemerintah secara berkala menerima berbagai macam bantuan (pinjaman) dari lembaga-lembaga donor seperti IMF dan IBRD (World Bank) melalui organisasi semacam CGI/IGGI. Dana tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur, program pembangunan seperti Repelita dan untuk membiayai

Di negara-negara berkembang Kapitalisme sedikit banyak dipengaruhi oleh fenomena suksesnya negara-negara macan ekonomi asia (Asia, Singapura, Hongkong, Taiwan dan Korea Selatan) yang terlebih dahulu menerapkan pasar bebas. Negara-negara yang menganut kebijakan ekonomi tertutup ataupun substitusi impor mulai mengutarakan niatnya untuk membuka pasar domestiknya melalui liberalisasi pasar maupun investasi asing. Selain itu ada fenomena yang tidak kalah penting, yakni berakhirnya perang dingin sehingga batuan-bantuan asing yang dulunya digunakan sebagai alat pengikat persahabatan antara negara- negara penentang komunis tidak lagi mempunyai arti penting dan mengalami penurunan drastis dari tahun ke tahun.

99

Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktik, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hal. 227. Dikutip dari Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man, New York: Public Affairs, 1992, hlm. 42.

proyek Revolusi Hijau yang dilakukan pada masa Orde Baru.100

Peristiwa tersebut mungkin terlihat seperti strategi lembaga donor dalam menerapkan jebakan utang (debt trap). Tetapi strategi tersebut tidak bisa hanya dipahami sebagai upaya negara-negara maju yang menggunakan lembaga-

Di dalam penggunaannya dana tersebut minim pengawasan, dan bahkan lembaga-lembaga donor menutup mata terhadap praktek korupsi dan kolusi penggunaan dana tersebut. Lembaga-lembaga donor tersebut juga tidak memperhatikan prinsip keberlangsungan (substainity) dengan memberikan pinjaman baru ketika Indonesia tidak mampu membayar cicilannya yang jatuh tempo.

Di tahun 1990an pemerintah Indonesia tidak lagi mampu membayar cicilan utangnya dan IMF menolak untuk memberikan pinjaman baru seperti yang dilakukan sebelumnya. IMF dan pemerintah Indonesia membuat suatu kesepakatan yang disebut Leter of Intent (LoI), yang mewajibkan Indonesia melakukan disiplin fiskal dan mengurangi belanja publiknya. IMF juga memberikan solusi bagi penyakit yang melanda Indonesia melalui apa yang disebut Struktural Adjustment Program (SAP). Setidaknya SAP mengandung tiga kebijakan mendasar yakni privatisasi, deregulasi dan liberalisasi. Tindak lanjut dari kebijakan tersebut ialah pencabutan subsidi dan privatisasi berbagai BUMN. Petani yang masih terjepit oleh skema Revolusi Hijau juga semakin terjepit oleh liberalisasi hasil pertanian yang menyingkirkan BULOG dan liberalisasi pupuk yang menyingkirkan PUSRI. Puncaknya terjadi krisis ekonomi di tahun 1997 yang ditandai dengan likuidasi 16 Bank, kenaikan harga-harga bahan pokok dan jatuhnya nilai rupiah terhadap dollar.

100

lembaga donor untuk menyebarkan doktrin Neoliberalisme. Ada semacam upaya negara-negara maju untuk menumbangkan rejim yang berkuasa di Indonesia untuk bisa masuk kedalam pasar Indonesia. Data World Wealth Report menunjukkan: Dari tahun 1986-1996 ada 178 perusahaan go public di Indonesia dan 40,7% sahamnya dikuasai oleh lima keluarga bisnis seperti Salim, Bob Hassan, Soeharto dan kroninya.101

Penyesuaian dalam sistem jaminan sosial juga dialami oleh negara-negara berkembang yang telah memiliki program-program perlindungan sosial (pada umumnya menganut model minimal). Malaysia yang telah membangun sistem jaminan sosialnya sejak 1951 melalui program employee provident fund ( EPF) yang pada awalnya hanya ditujukan bagi pegawai pemerintahan. Filipina sejak 1936 telah membentuk sistem jaminan sosial bagi pegawai pemerintah yang dinamai Government Service Insurance System (GSIS). Indonesia sejak 1969 juga melakukan hal yang sama bagi pegawai negeri sipil dan bagi TNI/POLRI dimulai sejak 1971. Beban iuran yang tadinya ditanggung oleh negara (APBN) mulai melibatkan pendanaan yang bersumber pada iuran yang dipotong dari upah pegawai tersebut (sharing premi). Sejak 1990an, pemerintah secara berangsur-

Sistem ekonomi rente yang marak terjadi di Indonesia mempersulit perusahaan-perusahaan asing untuk meraup keuntungan di Indonesia. Berbeda dengan fase pertama dimana kapitalisme di Indonesia adalah untuk memperoleh SDA maupun SDM yang murah, yang ditandai dengan investasi dibidang pertambangan dan Industri barang setengah jadi. Pada fase yang kedua ini kapitalisme justru menjadikan negara-negara berkembang sebagai perluasan pasar (market) mereka.

101

Michael Backman, Asian Eclipse: Exposing the Dark Side of Bussines in Asia, Singapore: John Wiley & Sons, 1999, hal.113

angsur memperbesar presentase iuran yang dibebankan dari upah pegawai pemerintahan.102

1. Model universal

Sedangkan bagi sektor swasta sumber pendanaannya tidak melibatkan negara, sepenuhnya dibiayai dari upah tenaga kerja dan pemberi kerja, sehingga tidak mengalami perubahan berarti.

Dari pemaparan tersebut bentuk-bentuk (model) sistem perlindungan sosial di berbagai negara dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) model berdasarkan intervensi negara didalamnya dan luas cakupan dari sistem tersebut. Bila dianalisis, perbedaan diantaranya disebabkan oleh tingkat kemajuan industri (kapitalisme) dan pengaruh kekuatan politik yang memperdebatkan ada tidaknya intervensi negara didalamnya, seperti berikut ini:

Pengertian ini biasanya merujuk kepada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya standar minimum kebutuhan material dan non-material. Pada model ini pelayanan sosial diberikan oleh negara secara merata kepada seluruh penduduknya, baik kaya maupun miskin. Model ini sering disebut sebagai the Scandinavian Welfare States yang diwakili oleh Swedia, Norwegia, Denmark dan Finlandia. Di negara-negara tersebut angka ketimpangan merupakan yang terendah di dunia sedangkan presentase pengeluaran publik berkisar hingga 70 persen dari GDP. Kultur politik di negara-negara ini dicirikan oleh nilai-nilai yang berakar dalam masyarakat pra-indusrial, yaitu sikap moderat secara praktis, semangat kebersamaan, kesetaraan, penghargaan atas otonomi individual, dan keteikatan yang bersifat Lutheran terhadap

102

etika kerja. Nilai-nilai tersebut kemudian diperkuat kembali dan dilengkapi oleh sosial demokrasi, bahkan dengan masuknya pengaruh Neoliberalisme tidak membawa dampak signifikan terhadap sistem negara kesejahteraan.

2. Model Bismarck atau Work Merit Welfare States

Sama seperti model pertama, jaminan sosial juga dilaksanakan secara melembaga dan luas, namun kontribusi terhadap berbagai skema jaminan sosial berasal dari tiga pihak, yakni pemerintah, dunia usaha dan pekerja (buruh). Pelayanan sosial yang diselenggarakan oleh negara diberikan terutama kepada mereka yang bekerja atau mampu memberikan kontribusi melalui skema asuransi sosial. Jerman adalah pencetus model

Dokumen terkait