• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fasilitas Pelayanan

PERENCANAAN DAN PENGENDALIAN PRODUKSI

C. Metode Peramalan Seri Waktu (Time Series Forecasting Method)

II. AGGREGATE PLANNING

4. Fase Penetapan Strategi Produksi Optimal

Pada fase ini, peramalan dari fase pertama dialokasikan untuk setiap periode dengan menggunakan kebijakan dan strategi dari fase kedua dan ketiga sehingga akhirnya bisa diperoleh biaya yang paling minimum.

III. PENJADWALAN DAN PENGENDALIAN OPERASIONAL

Setelah dilakukan perencanaan umum dalam perencanaan agregat, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan what, when, who, where, dan how-nya. Maksudnya adalah menetapkan apa yang akan dikerjakan, kapan harus mulai dan selesai dikerjakan, siapa yang mengerjakan, dimana kegiatan itu diselenggarakan, dan dengan cara bagaimana. Istilah lainnya adalah melakukan penjadwalan.

Ada beberapa prinsip dalam penjadwalan operasional:

Prinsip pertama. Perencanaan harus dibuat sesuai dengan waktu yang ditetapkan

Prinsip kedua. Perencanaan dibuat sedetail mungkin, sependek mungkin. Semakin

pendek waktunya, semakin detail perencanaan harus dibuat.

Prinsip ketiga. Perencanaan harus dibuat berdasarkan fakta dan data obyektif

Prinsip keempat. Perencanaan harus memberikan standar dan tolok ukur keberhasilan.

Dan juga harus menyediakan fleksibilitas yang bisa diterima.

Prinsip kelima. Perencanaan tidak dibuat terlalu ambisius, dan harus berpijak pada

kondisi-kondisi nyata.

1. Teknik-Teknik Penjadwalan Operasi

Penjadwalan diawali dengan menjawab kelima pertanyaan diatas (W-H Questions). Jawabannya diformulasikan kedalam sebuah Rencana Kegiatan Kerja, atau sering disebut Rencana Operasi (RENOP). Kemudian Renop dijabarkan dalam penjadwalan yang lebih detail.

Teknik ini ditemukan oleh Henry Gantt (dinamakan sesuai namanya). Adalah penggunaan diagram balok untuk menggambarkan aktivitas-aktivitas dalam satuan waktu.

Diagram ini memberikan gambaran tentang:

- Daftar kegiatan terperinci dari suatu proyek atau kegiatan - Waktu mulai dari setiap kegiatan yang diperkirakan

- Lama kegiatan yang juga akan menunjukkan saat berakhirnya kegiatan akan berlangsung Contoh Gantt Chart:

Dari diagram diatas bisa dilihat bahwa:

- Seluruh kegiatan dijadwalkan akan selesai dalam 27 hari. - Kegiatan A1 dan D1 sudah selesai

- Kegiatan B1 terlambat 2 hari dari jadwal - Kegiatan C1 sesuai jadwal, tapi belum selesai

- Kegiatan D2 lebih cepat dari jadwal 1 hari, tapi belum selesai - Kegiatan B2 dan E1 belum dimulai.

Karena itu yang harus diperhatikan adalah kegiatan B1 agar tidak menghambat penyelesaian pekerjaan.

Beberapa kelemahan Gantt Chart:

- Hubungan antara aktivitas satu dengan lainnya tidak bisa ditunjukkan

- Kegiatan-kegiatan kritis tidak bisa diidentifikasi. Kegiatan kritis yaitu kegiatan-kegiatan yang memiliki arti penting sehingga penundaan kegiatan tersebut tidak diperbolehkan karena bisa menunda keseluruhan aktivitas proyek.

- Penyempurnaan (updating) informasi karena ada perubahan waktu mulai atau waktu penyelesaian suatu kegiatan akan menyebabkan diagram tersebut harus diganti seluruhnya. Untuk menutupi kekurangan / kelemahan dari teknik tersebut, maka dipergunakan metode penjadwalan CPM (Critical Path Method) dan PERT (Project Evaluation and Review Technique). Teknik-teknik ini akan dibahas pada bab berikutnya mengenai Manajemen Proyek.

2. Proses Pengendalian Kegiatan

Fungsi pengendalian merupakan fungis yang cukup penting untuk mengatasi adanya penyimpangan-penyimpangan atas perencanaan dan penjadwalan yang telah ditetapkan.

Proses pengendalian terdiri atas tiga langkah utama, yaitu: a. mengukur performance output

Kegiatan Waktu (hari) Sekarang A B C D E A1 B1 B2 C1 D1 D2 E1

Gambar 6.6. Gantt Chart

b. membandingkan performance output dengan standar yang telah ditetapkan dalam perencanaan, dan mengidentifikasi perbedaan / penyimpangannya.

c. memperbaiki penyimpangan dengan melakukan tindakan koreksi yang sesuai.

Untuk melakukan pengukuran atas performance output, tentunya diperlukan data-data yang cukup selama kegiatan berlangsung. Data-data ini dikumpulkan, baik secara langsung maupun tidak langsung, umumnya dalam bentuk laporan (report).

Teknik-teknik penjadwalan seperti Gantt Chart, CPM, atau PERT, selain dapat digunakan untuk melakukan penjadwalan, juga bisa dipergunakan sebagai alat kontrol.

IV. PENGENDALIAN PERSEDIAAN (INVENTORY CONTROL)

Persediaan (inventory) adalah timbunan “barang” yang sengaja disimpan sebagai cadangan. Yang dimaksud barang disini bisa mengandung bermacam arti tergantung pada jenis industrinya, misalnya:

• bahan baku

• komponen

• produk setengah jadi

• produk akhir

• tools dan equipment

• uang

• tenaga kerja

• skill

• jumlah kamar / ruangan

• tempat duduk

• makanan / minuman

• obat-obatan

• dll

Untuk melakukan perencanaan dan pengendalian persediaan, maka terlebih dulu harus diketahui terlebih dulu komponen-komponen biaya yang akan dijadikan dasar perhitungannya, yaitu:

a. Biaya Pemesanan (Ordering / Replenishment Cost)

Yaitu semua biaya yang meliputi biaya administrasi untuk pembelian / pemesanan kepada pemasok (supplier / vendor) dari luar, atau penggantian stock material yang dipakai untuk kegiatan produksi (setting-up).

b. Biaya Persiapan (Set-Up Cost)

Meliputi biaya-biaya untuk perancangan produk, perancangan proses, perancangan dan pembuatan jig & fixtures, tools, software, dll.

c. Biaya Kelangkaan (Shortage Cost)

Biaya yang harus dikeluarkan sebagai konsekuensi kekurangan atau kelangkaan persediaan. d. Biaya Penyimpanan (Holding Cost)

Meliputi interest (bunga), sewa gudang, asuransi, pemeliharaan dan perawatan, safety cost, dll.

e. Biaya Material (Purchase Cost)

Yaitu harga (price) material yang dipesan/dibeli.

Metode Jumlah Pemesanan Ekonomis (Economic Order Quantity)

Merupakan metode yang paling sering digunakan. Beberapa asumsi dasar dalam metode ini adalah:

• Shortage cost dianggap = 0

Tidak ada potongan harga (discount price) untuk barang yang dipesan meskipun dalam jumlah besar

• Perhitungan dilakukan per item barang, satuan barang merupakan produk tunggal, tidak ada interaksi dengan produk lain

• Biaya pemesanan dan penyimpanan berlaku tetap / konstan dan diketahui

Laju pemakaian barang (production rate) adalah konstan, berulang-ulang, dan diketahui

Waktu pemesanan sampai dengan kedatangan barang yang dipesan (lead time) juga bersifat konstan dan diketahui

• Faktor-faktor produksi lain yang berpengaruh secara signifikan juga berlaku konstan.

Model persediaan EOQ digambarkan sebagai berikut:

Gambar diatas menyatakan bahwa pada periode ke-0 jumlah persediaan yang ada adalah sebesar Q0. Kemudian berkurang secara linear seiring waktu sesuai penggunaannya. Pada saat persediaan mencapai titik QR, yaitu pada T1, dilakukan pemesanan sejumlah Q0 unit. Material dikirim dari agen selama L hari. L adalah lead time, yaitu selisih waktu mulai dari pemesanan hingga barang tiba di gudang. Barang sejumlah Q0 datang digudang pada saat T2.

Total biaya yang terjadi adalah:

TC = OC + HC + PC dimana: TC = Total Cost OC = Ordering Cost HC = Holding Cost PC = Purchase Cost a. Biaya Pemesanan: OC = P.A/Q dimana:

P = Biaya pesan setiap kali pesan A = Jumlah permintaan per periode Q = Jumlah pemesanan optimal (EOQ) b. Biaya Penyimpanan:

HC = H.Q/2 dimana:

H = Biaya simpan / unit / periode c. Biaya Material:

PC = M.A Q0

L Siklus T1 T2

QR Level Pemesanan Kembali

(Reorder Level) Maksimum (EOQ) Reorder Point Pesanan Datang Waktu (T) Jumlah Pesanan (Q)

dimana:

M = harga material yang dipesan / unit d. EOQ

Q = (2PA/H)

V. MATERIAL REQUIREMENT PLANNING (MRP)

MRP adalah prosedur logis, aturan keputusan dan teknik pencatatan terkomputerisasi yang dirancang untuk menerjemahkan Master Production Schedule (MPS) menjadi kebutuhan bersih (Net

Requirement) material untuk semua item komponen produk. MRP dikembangkan sebagai metode

perencanaan dan pengendalian pesanan dan inventory untuk item-item dependent demand, dimana permintaan cenderung discontinous (terputus) dan lumpy (tidak rata).

Tujuan sistem MRP:

1. Meminimalisasi persediaan

2. Mengurangi resiko keterlambatan produksi atau pengiriman 3. Menentukan pelaksanaan rencana pemesanan

4. Menentukan penjadwalan ulang atau pembatalan atas suatu jadwal yang sudah direncanakan

Struktur sistem MRP

a. Master Production Schedule (MPS)

Merupakan proses alokasi untuk membuat sejumlah produk yang diinginkan, apa yang direncanakan untuk diproduksi, berapa jumlah yang dibutuhkan, pada waktu kapan dibutuhkan, dan kapan mulai diproduksi. MPS dinyatakan dalam konfigurasi spesifik dengan nomor-nomor item yang ada dalam Item Master dan Bill of Material.

b. Bill of Material (BOM)

Merupakan daftar semua material, parts, dan subassemblies, serta jumlah dari masing-masing yang dibutuhkan untuk memproduksi satu unit produk atau parent assembly. Dari BOM dapat diketahui pula urutan penyusunan komponen-komponen menjadi suatu produk pada proses produksi. c. Inventory Status / Item Master

Inventory status merupakan catatan keadaan persediaan semua item. Item master berisi data tentang lead time, ukuran lot, persediaan cadangan, dll.

Proses Material Requirement Planning Master Production Schedule Bill of Material Inventory status / Item Master Orders Requirements Primary (Orders) Report Action Report / Exception Report Pegging Report

d. Orders

Pesanan yang secara resmi telah dikeluarkan ke pabrik atau ke pemasok eksternal disebut dengan released orders. Sedangkan pesanan yang masih berada dalam file komputer yang belum dikeluarkan secara resmi disebut Planned Order Release.

e. Requirements

Catatan kebutuhan berisi informasi tentang nomor item yang dibutuhkan, jumlah yang dibutuhkan, waktu dibutuhkan, jumlah yang dikeluarkan dari stock room, dll. Informasi ini berguna untuk mengurangi stock on hand.

Terminologi MRP

a. Leadtime. Merupakan jangka waktu yang dibutuhkan sejak MRP menyarankan pesanan sampai

item yang dipesan datang dan siap digunakan

b. On Hand. Merupakan kuantitas dari item yang secara fisik ada dalam gudang

c. Lot Size. Merupakan kuantitas pesanan (order quantity) dari item yang diberitahukan pada sistem

MRP, serta teknik lot-sizing apa yang digunakan.

d. Safety Stock. Merupakan stock pengaman yang ditetapkan perencana untuk mengatasi fluktuasi

dalam permintaan atau penawaran.

e. Allocation. Merupakan jumlah on-hand yang dialokasikan untuk penggunaan yang spesifik.

f. Scrap Factor. Merupakan prosentasi dalam struktur produk yang digunakan dalam perhitungan

MRP untuk mengantisipasi kehilangan material akibat kegagalan proses produksi. g. Low Level Code. Merupakan tingkatan dalam struktur produk (BOM)

h. Planning Horizon. Merupakan banyaknya waktu perencanaan ke depan. Dalam praktek planning

horizon harus ditetapkan paling sedikit sepanjang leadtime kumulatif dari sekumpulan item yang terlibat dalam proses produksi.

i. Gross Requirement. Merupakan total dari semua kebutuhan, termasuk anticipated requirements,

untuk setiap periode waktu. Gross requirement bisa mencakup independent dan dependent demand.

j. Projected On Hand. Merupakan projected available balance (PAB), dan tidak termasuk planned

orders. POH = On-Hand awal periode + Scheduled Receipt – Gross Requirements

k. Projected Available. Merupakan jumlah yang diharapkan ada pada akhir periode, dan tersedia

untuk penggunaan dalam periode selanjutnya.

l. Net Requirements. Merupakan kekurangan material yang diproyeksikan untuk suatu periode

sehingga perlu diambil tindakan ke dalam perhitungan planned order receipt agar menutupi kekurangan material pada periode itu.

m. Planned Order Receipt. Merupakan kuantitas pesanan pengisian kembali (purchase order and/or manufacturing order) yang telah direncanakan oleh MRP untuk diterima pada periode tertentu guna memenuhi net requirement (kebutuhan bersih).

n. Planned Order Releases. Merupakan jumlah planned orders yang ditempatkan atau dikeluarkan

dalam periode tertentu, agar item yang dipesan tersedia pada saat dibutuhkan.

Prasyarat dan asumsi pada MRP

Prasyarat sistem MRP:

a. Tersedianya MPS yang digunakan sebagai dasar dalam penentuan jumlah pesanan dan waktu pemesanan.

b. Adanya identifikasi khusus bagi setiap item persediaan (ID number) c. Tersedianya struktur produk (BOM)

d. Tersedianya catatan tentang inventory untuk semua item. Asumsi yang diperlukan sebagai prakondisi berlakunya sistem MRP:

a. Adanya database yang terintegrasi dengan melibatkan data status persediaan dan data tentang struktur produk

b. Leadtime untuk setiap item diketahui, paling tidak bisa diperkirakan. c. Setiap item persediaan selalu ada dalam pengendalian.

Proses Perhitungan MRP

Tahapan-tahapan dalam proses perhitungan MRP, sebagai berikut:

1. Netting

Merupakan proses perhitungan Net Requirement yang besarnya mengikuti persamaan: NRt = GRt + Allt – SRt – PAt-1

dimana:

NRt = Kebutuhan bersih pada periode t GRt = Kebutuhan kotor pada periode t Allt = Alokasi dari persediaan pada periode t SRt = Jadwal penerimaan

PAt-1 = Jumlah yang ada pada akhir periode (t-1)

2. Lotting

Merupakan proses untuk menentukan besarnya pesanan setiap item yang optimal berdasarkan kebutuhan bersih (nett requirement) yang dihasilkan dari proses netting. Dalam proses lotting terdapat banyak alternatif untuk menghitung ukuran lot, yang disebut teknik Lot-Sizing.

3. Offsetting (penyesuaian leadtime)

Merupakan proses yang bertujuan untuk menentukan saat yang tepat untuk melakukan rencana pemesanan dalam rangka memenuhi kebutuhan bersih, dengan memperhatikan leadtime kesiapan material. Langkah offsetting mengikuti persamaan:

PORLt = PORt+l

dimana:

PORLt = Planned Order Release pada periode t

PORt+l = Planned Order Receipt pada periode (t + leadtime)

4. Exploding

Merupakan proses perhitungan kebutuhan kotor untuk item level yang lebih bawah yang didasarkan atas planned order release. Data BOM sangat memegang peranan, karena atas dasar BOM inilah proses explosion akan berjalan.

Contoh soal:

PT. ELOK akan melakukan perencanaan kebutuhan material yang disesuaikan dengan waktu saat material dibutuhkan. Informasi yang tersedia sebagai berikut:

a. MPS Minggu Periode 1 2 3 4 5 6 Kebutuhan Kotor 50 100 140 70 120 30 Jadwal Penerimaan 100 b. BOM

c. Informasi status inventory:

On-hand : A= 210 unit, B = 0, C = 0 Alokasi : A= 0, B= 0, C= 0

Lot size : A= 100 unit, B= 100, C=100 d. Informasi Lead time:

LTA = 1, LTB = 0, LTC = 2

Perhitungan Netting, Lotting, dan Offsetting

Material Requirements Planning (MRP) Lot Size : 100 Safety Stock : 0 Allocation : 0 Part Number : A Lead Time : 1 On Hand : 210

Time Period (Week)

1 2 3 4 5 6 Gross Requirement 50 100 140 70 120 30 Scheduled Receipt 100 Allocation Projected On-Hand 160 160 20 - 50 - 70 0 Projected Available 160 160 20 50 30 0 Net Requirement 50 70

Planned Order Receipt 100 100

Planned Order Release 100 100

Proses Exploding untuk B dan C

Material Requirements Planning (MRP) Lot Size : 100 Safety Stock : 0 Allocation : 0 Part Number : B Lead Time : 0 On Hand : 0

Time Period (Week)

1 2 3 4 5 6 Gross Requirement 100 100 Scheduled Receipt Allocation Projected On-Hand - 100 - 100 Projected Available 0 0 Net Requirement 100 100

Planned Order Receipt 100 100

A

Planned Order Release 100 100

Material Requirements Planning (MRP) Lot Size : 100 Safety Stock : 0 Allocation : 0 Part Number : C Lead Time : 0 On Hand : 0

Time Period (Week)

1 2 3 4 5 6 Gross Requirement 100 100 Scheduled Receipt Allocation Projected On-Hand - 100 - 100 Projected Available 0 0 Net Requirement 100 100

Planned Order Receipt 100 100

Planned Order Release 100 100

VI. SISTEM JUST IN TIME (JIT)

1. Sistem Produksi Barat

Sistem produksi yang paling banyak dipakai saat ini adalah yang berasal dari Eropa dan Amerika. Sistem produksi tersebut dikenal sebagai sistem produksi western. Ciri-ciri dari sistem produksi ini antara lain:

• melakukan peramalan dalam menentukan kuantitas produksi,

• melakukan optimasi dalam penjadwalan produksi, penentuan kebutuhan bahan, penentuan kebutuhan mesin, pekerja, dll.

• terdapatnya departemen pengendalian kualitas,

• terdapatnya gudang receiver dan gudang warehouse sebagai penyimpan persediaan, dll. Secara garis besarnya adalah masih terdapatnya unsur- unsur probabilistik dalam melakukan keputusan untuk masalah-masalah sistem produksi. Filosofi dasar dari sistem produksi western adalah bagaimana mengoptimalkan unsur-unsur sistem produksi yang tersedia. Hal ini memungkinkan karena negara-negara barat waktu itu masih memiliki resources yang cukup banyak.

Pada tahun 1970-an terjadi krisis minyak bumi yang sangat mempengaruhi industri-industri barat sebagai consumer terbesar. Sedangkan Jepang tidak begitu terpengaruh krisis tersebut karena Jepang sudah biasa hemat dalam menggunakan resources khususnya minyak bumi. Akibatnya industri-industri barat mengalami kemerosotan sedangkan sebaliknya di Jepang justru mulai muncul.

Pada tahun 1980-an sistem produksi jepang mulai menunjukkan keunggulan-keunggulannya sedangkan barat justru baru mulai merekonstruksi dan merestrukturisasi sistem produksinya baik

melalui teknik-teknik produksinya maupun manajemennya. Pada tahun 1990-an Jepang nampak berkembang pesat dan jauh meninggalkan Eropa ataupun Amerika.

2. Sistem Produksi Jepang

Sistem produksi Jepang dikenal dengan nama Sistem Produksi Tepat-Waktu (Just In Time). Filosofi dasar dari sistem produksi jepang (JIT) adalah memperkecil ke mubadziran (Eliminate of Waste). Bentuk kemubadziran antara lain adalah:

Kemubadziran dalam Waktu, misalnya ada pekerja yang menganggur (idle time), mesin yang

menganggur, waktu transport dalam pabrik tidak efisien, jadwal produksi yang tidak ditepati, keterlambatan material, lintasan produksi yang tidak seimbang sehingga terjadi bottle-neck, terlambatnya pengiriman barang, banyak-nya karyawan yang absen, dsb.

Kemubadziran dalam Material, misalnya terlalu banyak buangan (scraps, chips) akibat proses

produksi, banyak terjadi kerusakan material atau material dalam proses, banyaknya material yang hilang, material yang usang, nilai material yang menurun akibat terlalu lama disimpan, dll.

Kemubadziran dalam Manajemen, misalnya terlalu banyak karyawan kantor, banyak terjadi

mis-informasi antar departemen, banyaknya overlapping dalam penugasan, pelaksanaan tugas yang tidak efektif, sulit dalam koordinasi, dll.

Jepang melakukan eliminate of waste karena Jepang tidak punya resources yang cukup. Jadi dalam setiap melakukan pengambilan keputusan terutama untuk masalah produksi selalu menganut kepada prinsip efisiensi, efektifitas dan produktivitas.

Untuk dapat melaksanakan eliminate of waste, Jepang melakukan strategi sebagai berikut : - Hanya memproduksi jenis produk yang diperlukan

- Hanya memproduksi produk sejumlah yang dibutuhkan - Hanya memproduksi produk pada saat diperlukan.

Tujuan utama dari sistem produksi JIT adalah untuk dapat memproduksi produk dengan Kualitas (quality) terbaik, Ongkos (cost) termurah, dan Pengiriman (delivery) pada saat yang tepat, dan disingkat QCD. Tujuan utama ini bisa dicapai jika ketiga unsur berikut dapat dilaksanakan secara terpadu, yaitu:

1. Melakukan pengendalian kuantitas dengan baik.

Untuk dapat menentukan kuantitas yang tepat maka diperlukan sistem informasi yang baik. Sistem informasi untuk memproses produk tersebut di Jepang dikenal dengan istilah Kanban (kartu berjalan). Pelaksanakan pengendalian kuantitas akan berjalan dengan baik jika didukung oleh suplier dan consumer yang pasti dan tepat waktu. Jika hal ini dapat dilakukan maka kita akan dapat mengeliminir waste dalam material sehingga konsep Zero Inventory dapat dilaksanakan. 2. Melakukan pengendalian kualitas dengan baik.

Dalam melakukan pengendalian kualitas di Jepang dikenal dengan istilah TQC (Total Quality Control). Tujuannya adalah untuk dapat memenuhi konsep Zero Defect. Didalam sistem produksi di jepang tidak ada departemen pengendalian kualitas, tetapi yang ada adalah Quality Assurance (jaminan kualitas). Konsep zero defect tersebut akan dapat berjalan dengan baik jika para pekerja diberi kewenangan (otonomi), agar tidak memberikan hasil produk yang tidak baik ke rekan kerja berikutnya sehingga tidak menyusahkan pekerja lainnya.

3. Menjunjung tinggi harkat kemanusiaan karyawan.

Didalam sistem produksi dikenal 5 faktor produksi yang penting agar produksi dapat berjalan dengan baik yang dikenal dengan istilah Lima M, yaitu Man, Machine, Material, Money, dan Method. JIT tidak ingin menganggap Man hanya sebagai salah satu faktor produksi saja, tetapi

lebih dari itu yakni ingin mengangkat harkat karyawan sehingga karyawan tersebut merasa memiliki sebagian dari perusahaan. Untuk dapat melakukan ini ada 3 cara, yaitu :

a. Otonomi (kewenangan).

Karena karyawan sebagai pelaku dan penentu dalam proses produksi maka perlu kewenangan sehingga dapat mengambil keputusan-keputusan sesuai dengan batasan tugas dan tanggungjawabnya.

b. Flexibility

Karyawan perlu mengetahui dan bisa melakukan pekerjaan- pekerjaan lain diluar pekerjaannya. Hal ini dilakukan agar dapat mengurangi kebosanan (boredom) atau kejenuhan dan dapat melakukan subtitusi kerja lainnya jika karyawan yang ber-sangkutan absen.

Ditinjau dari segi manajemen adalah menguntungkan dalam segi pengkoordinasian karena setiap karyawan mengerti akan keterkaitannya dan tugas-tugas rekan kerjanya yang lain. Dengan cara tersebut akan didapat karyawan yang bersifat multifungsi. Jika karyawan diarahkan kepada pekerjaan yang bersifat Spesialisasi saja maka akan muncul hal-hal negatif antara lain adalah kesulitan dalam mengkoordinasi karena timbulnya blok-blok atau pengkotakan antar job-nya masing-masing, tidak ada sifat gotong-royong dalam bekerja, antara karyawan tidak ada sifat kepedulian, dll.

c. Creativity

Jika wewenang, tanggung-jawab, job, dan flexibility sudah dimiliki setiap karyawan tetapi kreativitas belum tersalurkan maka akan muncul kejengkelan atau unek-unek dari karyawan tersebut. Untuk itu perlu adanya penyaluran kretivitas apakah dalam bentuk Urun rembug, brainstorming, atau yang lainnya. Dengan demikian akan terbentuk suatu Demokrasi dalam sistem produksi.

Sebagai penutup dapat dikatakan bahwa JIT sebenarnya berakar pada ilmu-ilmu barat. JIT dapat berjalan dan berhasil di Jepang karena didukung oleh budaya jepang yang sesuai. Jadi secara tidak langsung Jepang dapat memilih dan membudidayakan budaya asing yang baik untuk disesuaikan dan dikembangkan menjadi budayanya.

BAB VII

Dokumen terkait