• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.2 Penggunaan warna dalam iklan

2.2.1.2 Feminisme Radikal

Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki (sistem yang berpusat pada laki-laki). Mereka memandang bahwa patriarki merupakan sistem kekuasaan, yang menganggap laki-laki memiliki superioritas atas perempuan. Kelemahan di hadapan laki-laki adalah karena struktur biologis fisiknya, dimana perempuan harus mengalami haid, menopause, hamil, sakit haid dan melahirkan, menyusui, mengasuh anak, dan sebagainya. Semua itu membuat perempuan tergantungt pada laki-laki.

Perbedaan fungsi reproduksi inilah yang menyebabkan pembagian kerja atas dasar seks yang terjadi di masyarakat. Feminisme radikal mempermasalahkan, antara lain, tubuh serta hak-hak reproduksi, seksualitas (termasuk lesbianisme), seksisme, relasi kuasa perempuan dan laki-laki. Mereka berjuang agar perbedaan- perbedaan seksual laki-laki dan perempuan dihapuskan. Bentuknya dapat berupa pemberian kesempatan pada perempuan untuk memilih melahirkan sendiri, atau melahirkan anak secara buatan, atau bahkan tidak melahirkan sama sekali.

Begitu juga ketergantungan anak kepada ibunya, dan sebaliknya harus diganti dengan ketergantungan singkat terhadap sekelompok orang dari kedua jenis kelamin.Aliran ini berupaya menghancurkan sistem patriarki, yang fokusnya terkait fungsi biologis tubuh perempuan. Mereka mencemooh perkawinan,

menghalalkan aborsi, menyerukan lesbianisme, dan revolusi seks. Bagi para feminis radikal, menjadi seorang istri sama saja dengan disandera. Tinggal bersama suami dianggap sama dengan musuh (Sumiarni, 2004:73-76).

2.2.2 Dominasi

Dominasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah penguasaan oleh pihak yang lebih kuat terhadap yang lebih lemah (pada bidang politik, militer, ekonomi, perdagangan, olahraga, dan sebagainya). Dominasi dapat juga diartikan berupa penguasaan, mayoritas, menjadi faktor dominan semisal dalam perbincangan atau rapat kita menguasai dengan kuasa, pemikiran, tindakan dari kita.

Dominasi bisa terjadi karena beberapa hal, antara lain :

1. Kadang umur juga menjadi faktor dominan seseorang, orang yang lebih tua lebih banyak memberikan ide-ide tanpa adanya balasan dari yang muda. Seperti halnya orang tua terhadap anaknya, kakak terhadap adiknya, senior kepada juniornya, kadang berlebihan juga sikap dominan yang dilakukan.

2. Pengalaman, bisa dilihat dari tingkatan jabatan, tingkat pendidikan, pelatihan, maupun pengalaman yang telah lama diterima seseorang. Berdasar pengalaman juga semakin banyak hal yang diketahui sehingga dalam sebuah forum dominasi yang berpengalaman kadang muncul dan

bisa saja faktor dominan. Bisa juga pengalaman berdasarkan tingkat umur seseorang.

3. Modernisasi sedikit semi sedikit mempengaruhi pola berpikir

mendominasi (www.rics.org diakses 11 maret 15.30).

Dalam hal yang berhubungan dengan gender, dominasi terhadap laki-laki dan perempuan adalah yang berkenaan tentang kekuasaan (power). Menurut Wareing (1997:79) perbedaan kekuasaan perempuan dan laki-laki yang menyebabkan munculnya dominasi (Santoso, 2009:33). Dominasi yang dilakukan perempuan terhadap laki-laki salah satunya adalah kekerasan dalam rumah tangga atau yang terkenal dengan istilah KDRT. Kekerasan yang dilakukan laki-laki (suami) terhadap perempuan (istri) atau sebaliknya tanpa memandang siapa yang menjadi sebab dan siapa yang menjadi akibat. Istilah itu jarang dipergunakan ketika seorang perempuan melakukan kekerasan kepada laki-laki. Bahkan suami akan ketakutan apabila dilaporkan istrinya kepada yang berwajib dengan alasan KDRT. Istilah KDRT sudah menjadi wacana perempuan untuk selanjutnya menjadi instrumen perjuangan ke arah kesetaraan, bahkan dalam jangka panjang berupa perjuangan ke arah persamaan seperti yang dilakukan oleh gerakan feminis Women Liberation (Women Lib) di Amerika Serikat (Santoso, 2009:143).

Pola-pola kekerasan selalu berada dalam ruang kekuasan, keduanya tidak dapat dipisahkan. Kehadiran kekeuasaan mengandaikan mekanisme kekusaan tertentu. Interaksi kekeuasaan untuk mendapatkan dominasi membutuhkan mekanisme objektif agar dapat diterima oleh individu atau kelompok yang dikuasai. Mekanisme ini berjalan halus, tidak terasa, bahkan secara bawah sadar

sehingga yang dikuasai tidak sadar, patuh, dan menerima begitu saja. Mekanisme seperti ini yang disebut kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik bekerja dengan menyembunyikan pemaksaan dominasi untuk menjadi sesuatu yang diterima (Fashri dalam Anang Santoso). Inilah yang kemudian membuat mereka yang terdominasi menjadi tidak keberatan untuk dikuasai dan masuk dalam lingkaran dominasi (Santoso, 2009:146-147).

2.2.3 Perempuan

Menurut definisi dalam Kamus Bahasa Indonesia disebutkan, perempuan adalah orang (manusia) yang mempunyai vagina, dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak dan menyusui. Perempuan adalah satu dari dua jenis kelamin manusia. Satunya lagi adalah pria atau laki-laki. Berbeda dengan wanita, istilah “perempuan” dapat merujuk pada orang yang telah dewasa ataupun anak-anak.

Dalam banyak hal, kaum perempuan dihadapkan pada situasi yang sulit. Disatu sisi perempuan memiliki keinginan untuk maju dalam edukasi dan karir. Demikian pula perempuan banyak dituntut untuk menjaga serta mengurusi sector domestic. Pada saat dia meraih semua itu (sukses non domestik), maka ada semacam invisible hand yang “mewajibkan” perempuan itu kembali mengurusi sektor domestik. Inilah yang membuat kaum hawa ini menjadi plin-plan, ragu dan selalu cemas. (http:www. dunia perempuan.com diakses 11 Maret 2010, 15.15).

Sebuah hasil survei menunjukkan 59,6% perempuan Indonesia menganggap mereka sebagai pembuat keputusan akhir dalam rumah tangganya dan angka

prosentase itu ternyata lebih tinggi dibanding rekan-rekan mereka di Australia dan Singapura. Angka-angka itu diperoleh melalui survei "MasterCard Worldwide Index of Women`s Advancement" yang keenam kalinya dilakukan Mastercard (www.gatra.com diakses 11 Maret, 15.00).

Laki-laki dan perempuan kini mempunyai peran dan status yang tidak

berbeda. Bila dalam zaman yang panjang, paradigma terhadap perempuan hanyalah sebagai “objek”, maka di era modernisasi semua streotipe bahwa perempuan sebagai kaum yang lemah sudah tidak bisa di pertahankan lagi (dalam jurnal Angelina Sondakh).

Dalam masyarakat perkotaan, cara pandang bahwa perempuan hanya berkutat

pada wilyah domestik tanpa memikirkan karir tersebut nyaris sudah usang alias tidak terpakai lagi. Suami yang mencari nafkah, dan istri yang membesarkan anak di rumah perlahan telah hilang. Sebaliknya, pasangan suami istri di kota justru bahu membahu bekerja sama menafkahi keluarga. Peran istri dan suami di perkotaan nyaris sama dan tidak ada perbedaannya saat di luar rumah. Nilai-nilai inilah yang harus di apreseasi dan di kembangkan sebagai model kemitraan positif. Tapi jangan sampai hak-hak azasi yang menjadi tolak ukur kaum perempuan memperoleh kebebasan, salah ditafsirkan menjadi nilai-nilai baru yang melampaui kodrat perempuan. Dalam organ perempuan, kasih, sayang dan kelembutan sangat dominan pada perempuan.