• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumberdaya perikanan harus dikelola atau ditata karena sumberdaya itu sangat sensitif terhadap tindakan atau aksi manusia. Apapun cara atau pendekatan yang dilakukan manusia dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan, jika pemanfaatan itu dilakukan secara berlebihan, pada akhirnya sumberdaya itu akan mengalami tekanan secara ekologi dan selanjutnya menurunkan kualitasnya. Pengelolaan, penataan, atau dalam terminologi yang lebih umum, manajemen sumberdaya perikanan perlu dilakukan supaya pembangunan perikanan dapat dengan baik dan tujuan pembangunan dapat dicapai (Nikijuluw 2002)

Konflik antar nelayan di Indonesia telah terjadi sejak lama dan makin marak akhir-akhir ini, terutama setelah lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang tersebut telah diatur bahwa pemerintah provinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan pemerintah kabupaten/kota berhak mengelola sepertiganya atau sejauh

4 mil. Ketentuan itu mencerminkan adanya pergeseran paradigma pembangunan kelautan (termasuk perikanan) dari pola sentralistik ke desentralistik.

Menurut Nikijuluw (2002), konflik antar nelayan yang terjadi karena operasionalisasi desentralisasi pengelolaan wilayah laut belum tergambar secara jelas sehingga menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan pemerintah daerah maupun nelayan. Gejala ini terlihat dari adanya beberapa pemerintah daerah yang mengeluarkan perizinan di bidang penangkapan ikan yang diluar kewenangannya. Sementara itu, sebagian kalangan nelayan menafsirkan otonomi daerah dalam bentuk pengkavlingan laut, yang berarti suatu komunitas nelayan tertentu berhak atas wilayah laut tertentu dalam batas kewenangan daerahnya, baik dalam pengertian hak kepemilikan (property rights) maupun pemanfaatan (economic rights).

Kondisi di atas apabila berlangsung terus menerus maka tujuan

pembangunan perikanan tangkap sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan, yaitu untuk

meningkatkan kesejahteraan masyarakat (khususnya nelayan) dan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya perikanan serta lingkungannya akan semakin sulit dicapai.

1. Jenis dan Faktor Penyebab Konflik

Menurut Sularso, et al. (2002) jenis-jenis konflik dan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara umum, konflik antar nelayan dapat dikelompokkan atas 4 (empat) jenis sebagai berikut: 1) konflik kelas, 2) konflik orientasi, 3) konflik agraria, dan 4) konflik primordial.

Konflik Kelas yaitu konflik antara nelayan perikanan industri dengan nelayan perikanan rakyat. Hal ini biasanya dipicu oleh perbedaan upaya tangkap (effort), yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan penerapan teknologi. Pada perikanan industri, kapal yang digunakan berukuran relatif besar dan menerapkan teknologi maju. Sedangkan pada perikanan rakyat, kapalnya lebih kecil dan teknologi yang diterapkan sederhana. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya kecemburuan sosial, karena hasil tangkapan nelayan perikanan industri lebih banyak dibanding perikanan rakyat. Disamping itu, nelayan perikanan rakyat

merasa khawatir hasil tangkapannya akan semakin menurun karena sumberdaya ikan yang tersedia ditangkap oleh kapal-kapal berukuran besar.

Konflik Orientasi yaitu konflik antara nelayan yang berorientasi pasar dengan nelayan yang masih terikat nilai-nilai tradisional. Nelayan yang berorientasi pasar biasanya mengabaikan aspek kelestarian untuk mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Dalam prakteknya, nelayan tersebut sering menggunakan alat tangkap yang merusak sumberdaya ikan dan lingkungannya, misalnya bahan peledak dan bahan beracun. Di sisi lain, sebagian nelayan sangat peduli terhadap kelestarian sumberdaya ikan, sehingga mereka menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.

Konflik Agraria yaitu konflik perebutan penangkapan (fishing ground), biasanya terjadi antar nelayan yang berbeda domisilinya. Konflik seperti ini yang sekarang sedang marak, sebagai dampak eforia otonomi daerah. Sedangkan konflik primordial terjadi sebagai akibat perbedaan identitas atau sosial budaya, misalnya etnik dan daerah asal. Konflik ini agak kabur sebagai konflik tersendiri, karena seringkali sebagai selubung dari konflik lainnya yakni konflik kelas, konflik orientasi maupun konflik agraria.

Selain jenis dan faktor di atas, Nikijuluw (2002) menyatakan penyebab terjadinya konflik dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan disebabkan beberapa faktor sebagai berikut:

1. Potensi Sumberdaya Ikan vs Jumlah Nelayan

Berdasarkan hasil kajian Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan (SDI) pada tahun 1997, yang kemudian dikukuhkan oleh pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 995/Kpts/IK.210/9/99, Tentang Potensi Sumberdaya Ikan dan Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan (JTB), potensi sumberdaya ikan di perairan Indonesia adalah sebesar 6,3 juta ton per tahun, dengan rincian 4,4 juta ton per tahun berasal dari perairan teritorial dan perairan wilayah serta 1,8 juta ton per tahun dari perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI). Namun demikian, karena manajemen perikanan menganut azas kehatian-hatian (precautionary approach), maka JTB ditetapkan sebesar 80 persen dari potensi tersebut atau sebesar 5 juta ton per tahun, dengan rincian 3,5

juta ton per tahun berasal dari perairan teritorial dan perairan wilayah serta 1,5 juta ton per tahun dari perairan ZEEI.

Berdasarkan hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2001, potensi SDI di perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton per tahun, dengan rincian 5,1 juta ton per tahun berasal dari perairan teritorial dan 1,3 juta ton per tahun berasal dari ZEEI. Data ini masih bersifat sementara karena masih akan didiskusikan lebih lanjut dengan Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut sebelum dikukuhkan dalam peraturan perundang- undangan.

Sementara itu, berdasarkan proyeksi Ditjen Perikanan Tangkap, nelayan di Indonesia pada tahun 2002 diperkirakan berjumlah 3,8 juta orang. Dengan berasumsi bahwa potensi SDI di perairan Indonesia sebesar 6,40 juta ton per tahun dan JTB sebesar 5,1 juta ton per tahun, maka produktifitas nelayan di Indonesia diperkirakan rata-rata sebesar 1,3 ton perorang per tahun atau ekivalen 6,6 kg per orang per hari (lama melaut 200 hari dalam 1 tahun). Rendahnya produktifitas nelayan tersebut menyebabkan persaingan untuk mendapatkan hasil tangkapan semakin lama akan semakin ketat, karena rezim pengelolaan sumberdaya ikan bersifat terbuka (open access). Persaingan itu akan bertambah ketat manakala pengawasan terhadap pencurian ikan oleh kapal-kapal asing belum dapat dilakukan secara efektif.

Kondisi di atas dimungkinkan merupakan salah satu penyebab nelayan di negara kita rentan terhadap konflik. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah strategis dan komprehensif untuk mengatasi masalah ini, terutama guna melindungi nelayan perikanan rakyat yang merupakan bagian terbesar dari seluruh nelayan dan tingkat kesejahteraannya masih rendah.

2. Tangkapan Berlebih (Over Fishing)

Berdasarkan hasil pengkajian Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan, pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di laut mencapai 4 juta ton. Dengan demikian, tingkat pemanfaatan SDI di Indonesia telah mencapai 63,5 persen dari potensi lestari sebesar 6,4 juta ton per tahun atau 79,3 persen dari JTB sebesar 5,1

juta juta ton per tahun. Pemanfaatan tersebut tidak merata untuk setiap wilayah pengelolaan perikanan, bahkan di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing seperti di Perairan Selat Malaka 176,3 persen, Laut Jawa dan Selat Sunda 171,7 persen, serta Laut Banda 102,7 persen. Tingkat pemanfaatan di wilayah pengelolaan lainnya berturut-turut adalah Laut Flores dan Selat Makasar sebesar 88,1 persen, Samudera Hindia 72,4 persen, Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik 46,8 persen, Laut Natuna dan Cina Selatan 45 persen, Laut Arafura 42,6 persen dan Laut Maluku, Teluk Tomini dan Seram 42 persen.

Terjadinya over fishing di beberapa wilayah pengelolaan perikanan seperti disebut di atas telah mendorong nelayan yang biasa menangkap ikan di perairan tersebut melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) lain yang masih potensial, misalnya dari Laut Jawa ke Laut Flores dan Selat Malaka atau Laut Banda. Hal ini apabila tidak diantisipasi dapat menjadi faktor pendorong timbulnya konflik antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal.

3. Perilaku dan Motivasi

Seperti diketahui bahwa sebagian besar nelayan di Indonesia baik nelayan perikanan industri maupun nelayan perikanan rakyat masih terlalu mengejar rente ekonomi dalam memanfaatkan sumberdaya ikan. Hal ini mendorong nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya dan mengabaikan aspek-aspek kelestarian, meskipun di beberapa daerah berlaku kearifan-kearifan lokal (local wisdom), pengetahuan lokal dan hukum-hukum adat. Dampak dari padanya, prinsip-prinsip karnibalisme sering terjadi di laut dan konflik antar nelayan tidak dapat dihindari. Untuk itu ke depan, pembangunan perikanan harus mampu merubah orientasi nelayan kearah yang lebih arif dan bijak dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, guna menjaga kelestarian dan menghindari konflik.

4. Sosial-Ekonomi

Sampai saat ini kondisi sosial-ekonomi masyarakat nelayan di Indonesia masih memprihatinkan. Tingkat pendidikan mereka rata-rata rendah bahkan sebagian tidak berpendidikan, penghasilan tidak menentu, tanpa jaminan kesehatan dan hari tua, tinggal di rumah yang kurang layak dan sebagainya. Disisi lain, mereka pada umumnya konsumtif dan tidak mempunyai budaya menabung.

Masyarakat dengan kondisi sosial-ekonomi yang demikian, biasanya emosional, nekat dan mudah dipengaruhi. Permasalahan kecil yang timbul di antara mereka dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan. Oleh karena itu mereka sangat rentan terhadap konflik (Dahuri 2002).

2. Konsep Solusi Konflik

Konsep tentang bagaimana solusi konflik antar nelayan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan antara lain:

1. Pelarangan Alat Tangkap Ikan

Salah satu kebijakan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Indonesia adalah pelarangan alat tangkap ikan. Pelarangan jenis alat tangkap tertentu dapat dilakukan secara permanen atau sementara waktu. Nikijuluw (2002) menyatakan bahwa kebijakan pelarangan alat tangkap ikan dilakukan untuk melindungi sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang merusak atau destruktif yang memang dilarang. Paling penting adalah kebijakan ini dapat dilakukan dengan alasan sosial politik untuk melindungi nelayan yang menggunakan alat tangkap ikan yang tidak efisien. Jenis alat tangkap ikan yang umum dilarang diberbagai negara termasuk Indonesia baik secara tetap dilokasi tertentu adalah trawl atau jaring batu. Meskipun trawl dinilai sebagai alat tangkap ikan kontemporer yang efisien, namun karena salah penggunaan dan salah pengelolaan sehingga berakibat sangat fatal bagi kelangsungan sumberdaya ikan dan juga tak kalah pentingnya sering terjadinya konflik antar nelayan yang menggunakan alat tangkap sederhana (tradisional) dengan nelayan yang menggunakan alat tangkap trawl tersebut.

Trawl dilarang di Indonesia sejak 1 Juli tahun 1980. Alasan dilarangnya penggunaan trawl di Indonesia bukan semata-mata karena aspek teknis dan ekobiologi, tetapi pelarangan itu juga merupakan suatu kulminasi dari serangkaian usaha untuk memecahkan persoalan konflik antar nelayan tradisional dengan nelayan pemilik trawl (Nikijuluw 2002). Konflik antara kedua kelompok nelayan ini pecah dan berkembang begitu cepat yang disertai dengan tindakan-tindakan seperti pembakaran kapal trawl dan fasilitas umum yang ada di pelabuhan pendaratan ikan. Atas dasar alasan-alasan sosial politik ini, akhirnya pemakaian trawl dilarang. Tujuan penghapusan trawl menurut Nikijuluw (2002) adalah sebagai berikut: 1) mencapai suatu status pengelolaan sumberdaya perikanan yang lebih baik. 2) mencegah konflik dan friksi sosial serta tindak kekerasan diantara nelayan. 3) menstimulasi perkembangan perikanan skala kecil.

2. Pemberdayaan Nelayan

Seperti diuraikan di atas, bahwa salah satu pemicu timbulnya konflik antar nelayan adalah kondisi sosial-ekonomi dan motivasi atau perilaku yang ada pada masyarakat nelayan. Untuk itu, agar konflik dapat dihindari maka perlu dilakukan upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan nelayan dan perubahan motivasi atau perilaku kearah yang lebih positif (Sularso, et al. 2002).

Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan (empowerment). Kegiatan itu telah dilakukan sejak lama, namun hasilnya belum optimal karena skala kegiatan sangat terbatas sehubungan dengan keterbatasan dana (modal). Untuk itu, sejak dibentuknya Departemen Kelautan dan Perikanan kegiatan pemberdayaan nelayan dilakukan secara lebih intensif dan berkesinambungan maka konflik antar nelayan dapat dihindari.

Menurut Sularso, et al. (2002)berdasarkan data statistik, sebagian besar armada perikanan berada di daerah yang padat penduduknya seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera. Kondisi ini menyebabkan perairan di sekitar daerah tersebut mengalami padat tangkap bahkan menunjukkan gejala over fishing. Dampak dari padanya di perairan tersebut sering terjadi konflik antar nelayan karena perebutan daerah penangkapan (fishing ground). Oleh karena itu perlu dilakukan pemindahan (relokasi) armada dari daerah sekitar perairan yang sudah padat tangkap atau telah menunjukkan gejala over fishing ke perairan lain yang masih surplus tingkat pemanfaatan sumberdaya ikannya, misalnya daerah di Kawasan Timur Indonesia (KTI). Dengan adanya kegiatan ini maka diharapkan akan terjadi keseimbangan tingkat pemanfaatan di masing-masing wilayah pengelolaan perikanan, sehingga pemanfaatan sumberdaya ikan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan konflik yang disebabkan karena perebutan daerah penangkapan dapat dihindari.

4. Manajemen Perikanan yang Berkelanjutan

Seperti diketahui bahwa sumberdaya ikan dapat mengalami degradasi bahkan pemusnahan apabila dieksploitasi secara tidak terkendali, meskipun sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang dapat pulih (renewable resources). Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran sebagian nelayan akan hilangnya mata pencaharian mereka, sehingga memunculkan konflik dengan nelayan yang kurang peduli terhadap kelestarian sumberdaya perikanan.

Sehubungan dengan masalah di atas, Nikijuluw (2002) menyatakan perlu penerapan manajemen perikanan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat agar pemanfaatan sumberdaya perikanan dapat dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi. Penglibatan masyarakat secara penuh dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan (sejak perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan termasuk rehabilitasi dan konservasi) dimaksudkan agar seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya perikanan.

Kemitraan usaha adalah salah satu solusi untuk menghindari terjadinya konflik vertikal, yaitu antara nelayan skala besar dengan nelayan skala kecil. Dengan terjalinnya kemitraan maka masing-masing pihak saling tergantung dan saling memperoleh manfaat dari kegiatan usaha yang dilaksanakan. Kemitraan yang umum diterapkan pada usaha perikanan adalah dalam bentuk inti-plasma, dimana perusahaan perikanan bertindak sebagai inti dan nelayan bertindak sebagai plasma (Sularso, et al. 2002).

6. Pengembangan Usaha Alternatif

Menurut Nikijuluw (2002) upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik antar nelayan adalah pengembangan usaha alternatif, misalnya di bidang budidaya ikan, pengolahan ikan, perbengkelan dan lain-lain. Dengan adanya usaha alternatif diharapkan nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan, sehingga ketergantungan terhadap hasil tangkapan ikan dapat dikurangi dan keinginan nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya juga dapat ditekan.

7. Peningkatan Nilai Tambah Ikan Hasil Tangkapan

Selama ini dalam melakukan usaha penangkapan ikan, nelayan pada umumnya lebih berorentasi pada jumlah (volume) hasil tangkapan, dibanding nilai (value) hasil tangkapan tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya inefisiensi (pemborosan) dalam pemanfaatan sumberdaya ikan dan dapat menjadi pemicu timbulnya konflik.

Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah meningkatkan nilai tambah melalui pembinaan mutu. Dengan meningkatnya mutu diharapkan harga jual ikan akan mengalami kenaikan dan pada gilirannya akan merubah orientasi nelayan dari mengejar jumlah tangkapan ke margin pendapatan.

8. Pengawasan dan Penegakan Hukum

Pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor 607 Tahun 1975 dan Nomor 392 Tahun 1999 Tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan telah berupaya agar konflik antar nelayan terutama konflik vertikal dapat dihindari. Dalam keputusan tersebut ditetapkan bahwa daerah penangkapan ikan di laut dibagi atas 3 (tiga) Jalur Penangkapan, yaitu: Jalur Penangkapan Ikan I (meliputi perairan

pantai diukur dari permukaan air laut pada surut terendah pada setiap pulau sampai dengan 6 (enam) mil laut ke arah laut), Jalur Penangkapan Ikan II (meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan I sampai dengan 12 mil laut ke arah laut) dan Jalur Penangkapan Ikan III (meliputi perairan di luar Jalur Penangkapan Ikan II sampai dengan batas terluar ZEEI).

Jalur Penangkapan I dialokasikan untuk kapal tanpa motor atau bermotor dengan ukuran maksimal 5 Gross Tonage (GT), Jalur Penangkapan II untuk kapal bermotor dengan ukuran maksimal 60 GT dan Jalur III diperuntukkan bagi kapal bermotor dengan ukuran lebih besar dari 60 GT (Sularso, et al. 2002).

Secara struktural, nelayan di Indonesia rentan terhadap konflik, sehingga perlu ditempuh langkah-langkah untuk mengantisipasi agar konflik antar nelayan dapat dihindari. Konsep solusi yang diuraikan di atas merupakan bahan pemikiran yang perlu didiskusikan lebih lanjut, dengan harapan dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pembagunan perikanan.