• Tidak ada hasil yang ditemukan

Co-Fish Project di Kabupaten Bengkalis dilaksanakan pada delapan desa di dua kecamatan yaitu:

1. Kecamatan Bantan meliputi lima desa antara lain: Jangkang, Selatbaru, Bantan Air, Muntai dan Teluk Pambang.

2. Kecamatan Bengkalis meliputi tiga desa antara lain: Meskom, Tameran dan Penampi.

Penduduk yang merupakan sasaran Co-Fish Project pada umumnya adalah nelayan perikanan tangkap. Mereka tinggal tersebar di wilayah

pesisir/pantai yang menjadi desa tempat mereka tinggal. Penduduk nelayan terbesar berada di Desa Teluk Pambang yaitu berjumlah 14503 jiwa, kemudian Desa Selatbaru dengan jumlah 6254 jiwa, Desa Bantan Air 4932 jiwa Desa Meskom 3482 jiwa, Desa Jangkang 2675 jiwa, Desa Muntai 2441 jiwa, dan Desa Temeran 2365 jiwa. Sedangkan penduduk yang paling sedikit jumlahnya terdapat pada Desa Penampi yaitu berjumlah 1715 jiwa (Tabel 15).

Dari delapan desa sasaran Co-Fish Project, komposisi penduduk terbesar adalah usia produktif (16-55 tahun), yaitu sebesar 44,5 persen dari total jumlah penduduk di semua desa sasaran. Kondisi ini menggambarkan bahwa pada umumnya penduduk yang ada merupakan penduduk usia kerja. Pada delapan desa sasaran tersebut pada umumnya penduduk berasal dari multi etnis, antara lain terdiri dari melayu, jawa, cina keturunan, batak, minang dan lainnya.

Tabel 15 Distribusi penduduk pada masing-masing desa sasaran Co-Fish Project berdasarkan kelompok umur

Desa Penduduk Berdasarkan Kelompok Umur (jiwa) Jumlah 0-5 6-15 16-25 26-55 >55 Meskom 209 982 635 1520 136 3482 Tameran 278 324 604 913 246 2365 Penampi 204 412 310 504 285 1715 Jangkang 321 442 653 947 312 2675 Selatbaru 1283 1595 1410 1913 53 6254 Bantan Air 875 865 1624 1244 324 4932 Muntai 329 431 460 1150 71 2441 Teluk Pambang 516 10553 806 2411 217 14503 Jumlah 4015 15604 6502 10602 1644 38367 Persentase (%) 10,4 40,6 16,9 27,6 4,2 100,0

Sumber : Data monografi per desa 2004

Kemajuan suatu daerah erat kaitannya dengan tingkat pendidikan penduduk di daerah tersebut, hal ini dikarenakan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi pola pikir seseorang untuk menerima suatu pembaharuan dalam kegiatan pembangunan di suatu desa. Pendidikan yang baik biasanya akan mampu mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku, dimana dia akan menelurkan pola pikir dan prilaku yang juga baik. Tingkat pendidikan masyarakat nelayan pada masing-masing desa sasaran sebagian besar hanya berpendidikan setingkat sekolah dasar dan relatif kecil yang berpendidikan

menengah ke atas, hal ini boleh dikatakan bahwa pendidikan kepala keluarga dan anak-anak nelayan relatif rendah (Tabel 16). Dari Tabel tersebut, menunjukkan sebesar 3,2 persen keadaan penduduk yang ada tidak pernah sekolah, setingkat sekolah dasar 79,4 persen yang merupakan mayoritas tingkat pendidikan yang dimiliki para nelayan, setingkat SLTP sebesar 11,6 persen, dan hanya 5,8 persen nelayan yang setingkat SLTA. keadaan ini menggambarkan hampir di seluruh desa sasaran yang ada masyarakat nelayannya berpendidikan relatif rendah.

Tabel 16 Distribusi penduduk pada desa sasaran Co-Fish Project berdasarkan tingkat pendidikan kepala keluarga nelayan

Tingkat Pendidikan Persentase (%)

Tidak Sekolah 3,2

SD 79,4

SLTP 11,6

SLTA 5,8

Jumlah 100,0

Sumber: Diolah dari data survey 2006

Usaha penangkapan ikan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan pada masing-masing desa sasaran dengan menggunakan berbagai macam jenis alat tangkap. Namun alat tangkap yang digunakan masih bersifat tradisional (Tabel 17). Dari distribusi penduduk berdasarkan jenis alat tangkap, menunjukkan bahwa alat tangkap yang paling banyak digunakan adalah rawai sebesar 39,9 persen dan trammel net sebesar 23,7 persen. kondisi ini menunjukkan sebagian besar penduduk masih merupakan nelayan tradisional, hal ini terlihat dari lebih besarnya penggunaan alat tangkap rawai yang merupakan alat penangkapan tradisional.

Tabel 17 Distribusi masyarakat nelayan berdasarkan jenis alat tangkap

Desa

Jenis Alat Tangkap

Jumlah (KK) Rawai Tramel

Net Gill Net Gombang Pengerih

Meskom 10 97 55 32 43 237 Penampi - 20 73 - 28 121 Tameran - 35 21 - 29 85 T. Pambang 189 6 12 - - 209 Muntai 126 14 35 - - 175 Bantan Air 74 20 16 37 3 150 Jangkang 46 67 33 - - 146 Selatbaru 51 36 19 16 - 122 Jumlah 495 295 264 85 103 1243 Persentase (%) 39,9 23,7 21,2 6,8 8,3 100,0

Pekerjaan penangkapan ikan pada masing-masing desa sasaran mengenal adanya musim, yang digunakan sebagai pedoman dalam menentukan waktu yang tepat dilakukannya akativitas melaut. Adapun musim tersebut dibedakan atas empat musim yaitu: Musim Utara, Musim Timur, Musim Selatan dan Musim Barat.

Musim Utara biasanya dimulai pada bulan Januari sampai dengan April. Pada Musim Utara kegiatan penangkapan ikan biasanya menghasilkan tangkapan lebih banyak. Kegiatan penangkapan ikan berlangsung pada siang dan malam hari. Pada musim ini biasanya ditandai dengan angin kencang dan keadaan gelombang laut yang sangat besar.

Musim Timur dimulai pada Bulan Mei hingga Juli. Pada musim ini penghasilan tangkapan lebih sedikit daripada Musim Utara yaitu biasanya setengah dari hasil Musim Utara. Ikan yang tertangkap biasanya ikan rucah bercampur udang kasar. Aktivitas penangkapan sangat terbatas akibat dari arah angin yang selalu berubah-ubah atau tidak menentu.

Musim Selatan bermula pada Bulan Agustus hingga September. Pada musim ini nelayan tidak melakukan aktivitas penangkapan ikan, akan tetapi jika keadaan sangat memaksa sebagian nelayan ada juga melakukan penangkapan walaupun hasil tangkapan boleh dikatakan lebih sedikit daripada hasil tangkapan pada Musim Utara. Biasanya untuk mengisi waktu senggang yang ada mereka bekerja memperbaiki alat dan armada penangkapan guna persiapan penangkapan setelah Musim Selatan berakhir.

Musim Barat yaitu pada Bulan Oktober sampai Desember. Pada musim ini kegiatan penangkapan beresiko tinggi karena sering terjadi kabut. Para nelayan yang melakukan penangkapan pada musim ini biasanya akan menghasilkan hasil tangkapan relatif lebih banyak. Pengaruh musim terhadap aktivitas penangkapan ikan sangat berarti bagi hampir seluruh nelayan, hal ini sudah berlangsung semenjak dari generasi pendahulu mereka, boleh dikatakan bagi nelayan keadaan musim bukanlah sesuatu yang asing bagi mereka.

Hasil tangkapan ikan yang diperoleh nelayan pada umumnya dipasarkan secara lokal, antar daerah dan ekspor. Untuk pemasaran lokal, nelayan menjual kepada pedagang pengumpul/touke. Kemudian pedagang pengumpul menjual

kepada pedagang pengecer dan terus ke konsumen. Tetapi ada juga pedagang pengumpul langsung ke konsumen tetapi sangat sedikit.

Sedangkan untuk pemasaran antar daerah biasanya dilakukan oleh pedagang pengumpul lokal dan selanjutnya dijual kepada pengumpul luar daerah (Gambar 5). Hal ini terjadi apabila nelayan mengadakan pengkapan ikan jauh dari pangkalan dan pulang setelah delapan sampai sepuluh hari (satu bintang). Namun pada umumnya nelayan melakukan penangkapan tidak jauh dari pantai dan biasanya dalam satu kali penangkapan hanya memerlukan waktu selama satu hari.

Hubungan yang terjadi antara nelayan dengan touke sangat kuat, hal ini dikarenakan sebagian besar nelayan menerima bantuan dalam usaha penangkapan ikan dari para touke, yaitu berupa bantuan pembelian perahu, alat tangkap, perbekalan, maupun kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu kondisi ini mengakibatkan nelayan harus menjual hasil tangkapannya kepada tauke. Pengaruh yang ditimbulkan dengan sistem pemasaran seperti ini harga produksi sangat ditentukan oleh tauke. Kondisi rantai pemasaran hasil perikanan seperti ini belum dicarikan solusinya secara baik oleh pemerintah daerah, meskipun ada langkah yang dilakukan seperti pendirian koperasi cenderung hanyalah suatu usaha yang bersifat sementara dan kebanyakan hanyalah bersifat

Gambar 5 Rantai pemasaran hasil perikanan pada desa sasaran Co-Fish Project. Nelayan Sumber: Survey Ekportir Tauke Daerah Pasar Lokal Konsumen Pedagang Pengumpul Lokal (Tauke)

keproyekan dari pemerintah, dan kalaupun ada koperasi yang didirikan lahir dari keinginan masyarakat juga keberadaannya tidak bertahan lama karena kalah bersaing dalam hal penyediaan modal dengan usaha yang dilakukan para tauke. Kondisi seperti ini mengakibatkan bahwa para tauke menjadi faktor penting sebagai pengendali kondisi sosial-ekonomi rumah tangga nelayan dan usaha mata pencahariannya sehingga mengakibatkan kondisi masyarakat nelayan cenderung terkebelakang.

5.6 Kondisi Umum Desa Kedabu Rapat Kecamatan Rangsang (Non