LENGKAP sudah sketsa ukuran lunas dan gading-gading perahuku. Ibarat membuat rumah, tahap ini berarti aku selesai membuat desain fondasi. Sempat kutanyakan pada lintang, apakah orang-orang seperti Mapangi mengerti hitungan-hitungan akselerasi semacam itu?
"Perahu mereka memang megah," jawab Lintang. "Tapi kecepatan semata-mata urusan fisika.
" Pernyataan itu semakin membesarkan hatiku bahwa dengan terus memelihara mentah tas ilmiah, sangat mungkin aku membuat perahu yang dapat menandingi perahu Mapangi. Hal ini tak terbayangkan olehku dua minggu yang lalu. Membuat perahu ini adalah proyek terbesar dan paling tidak mungkin yang pernah kulakukan seumur hidupku. Kini aku tak sabar menanti hari terindah bagi para pembuat perahu, yakni saat menamai perahuku.
Kuperlihatkan rancangan lunasku pada Mapangi. Alisnya naik. "Tidak linggarkah?"
"Kurasa tidak."
"Ramping betul, tak pernah kulihat lunas seperti ini, apa mungkin?" Sangsi wajah Mapangi, tapi tampak pula ia tergoda. Tak dapat disembunyikan satu kilatan dalam matanya: kagum.
************
Sekarang aku tahu harus mulai dari mana. Yaitu dari nol besar. Aku berangkat ke hulu Sungai Linggang untuk menebang pohon teruntum. Ketika pohon raksasa itu tumbang, bumi menggelegar. Dengan bantuan Samson, Harun, dan A Kiong kami terseok-seok memikulnya ke bantaran lalu menghanyutkan pohon raksasa itu ke hilir. Untuk satu pekerjaan itu saja, butuh waktu dari subuh hingga petang. Sampai di hangar perahu, tubuhku remuk redam.
Teruntum, selalu lurus dan panjang Seratnya hat menahan beban sehingga merupakan bahan terbaik untuk lunas, gading-gading dan telebut paku-paku kayu sejengkal untuk merekatkan papan-papan lambung. Langkah berikutnya, aku memecahkan tabungan uang yang susah payah kukumpulkan dari beraedan mendulang timah. Uang itu kubelikan kayu seruk, kayu lambung terbaik.
Akibat hasutan Eksyen, para penebang enggan membantuku. Ditambah lagi satu kesulitan lain, yaitu musnahnya hutan Belitong karena dilahap kebun
kelapa sawit. Aku masuk sendiri jauh ke dalam hutan yang gelap untuk menebang seruk. Pekerjaan ini, jauh lebih berat daripada kerja rodi. Tapi semangat, telah mengalahkan segalanya, meski rasanya otot-ototku robek, punggungku patah, telapak tanganku melepuh, dan bahuku ringsek. Minggu pertama, aku berhasil mengumpulkan sebagian bahan yang diperlukan. Masih jauh panggang dari api. Bahan-bahan ini hanyalah setumpuk kayu-kayu bulat.
Minggu berikutnya aku mulai membelah kayu untuk papan lambung. Sekarang sifat perkerjaanku berubah, dari menebang dan memikul menjadi pekerjaan dalam hangar. Aku berpacu dengan waktu, cemas musim barat segera turun. Jika lelah, sore hari, aku mengunjungi Warung Kopi Usah Kau Kenang Lagi, menyimak Nurmi melantunkan lagu dengan biolanya.
Kuhampiri Nurmi. Kukatakan padanya aku ingin belajar main biola. Ia tersenyum dan mengenalkan padaku empat senar los bernada G, D, A, dan E. Dengan piawai ia membunyikan skala nada tiga oktaf dari senar terendah, senar pertama paling atas, G tadi, sampai senar paling bawah A. Demikian maksudnya. Tapi tak sedikit pun kupahami. Kusadari, aku buta nada dan sangat tidak musikal. Dalam enam bulan aku belum tentu dapat melakukan seperti yang baru saja Nurmi pertontonkan.
Nurmi menyerahkan biola padaku. "Pegang saja, Pak Cik."
Aku gugup.
Seumur hidup baru kali ini aku menjamah biola Instrumen ini begitu artistik. Gelap, berwibawa. Seperti ada nyawa dalam rongganya. Seperti ada sejarah tercatat pada serat-seratnya Alat ini hanya berhak dipegang orang berjiwa musik yang menjunjung tinggi seni. Orang itu bukan aku. Peganganku adalah kapak, tambang dan gerinda.
Aku sering terpaku mendengar orang main biola. Getaran dawainya mampu menimbulkan suara yang membuat hati menggeletar. Tak semua alat musik memiliki kekuatan semacam itu. Kini ia berada di tanganku, berkilat, melengkung dingin, menjaga jarak, anggun, sekaligus sangat rapuh Biola bukanlah benda sembarangan. Ia terhormat seperti tubuh perempuan.
Aku bahkan tak bisa memegangnya dengan benar. Namun, waktu biola itu kusampirkan di pundakku, aku disergap perasaan nyaman yang tak dapat kujelaskan. Nurmi tertawa melihat kaku sikapku. Tampak jelas aku dilahirkan memang bukan sebagai seorang pemain biola. Jemariku terlalu kasar untuk senar-senarnya yang halus. Telapak tanganku terlalu besar untuk stangnya yang ramping Daguku tak padan untuk disandarkan pada kelok pinggangnya nan elok. Di pundak Nurmi, biola itu menyatu, bak bagian dari indranya, seperti
kepanjangan anggota tubuhnya. Sementara di pundakku, biola itu laksana benda asing yang terang-terangan memusuhiku.
Tangan kiriku menggenggam leher biola, mataku melirik empat baris dawai. Sekali lagi aku takjub. Dawai-dawai itu menukik seperti sebuah jalan cahaya. Jalan menuju keindahan musik. Aku sama sekali tak tahu apa yang harus kulakukan. Aku mencoba menggesek nada terendah senar pertama, los senar. Biola berbunyi, napasku tertahan karena jerit suaranya langsung menerobos ke dalam jiwaku.
Magis.
Nurmi mengatakan dengan menggesek sesuka hati itu, aku, tanpa sedikit pun kusadari, baru saja mengambil nada G. Katanya, aku dapat melanjutkan nada berikutnya dalam sebuah skala, dan aku tak peduli. Aku tak ambil pusing akan tangga nada dan aku tak hirau dengan segala skala. Aku hanya ingin membuktikan hipotesis Lintang bahwa kesulitan apa pun dapat diatasi dengan mengubah cara pandang. Seperti caraku melihat perahu, bagiku sekarang, biola adalah benda akustik dengan senar-senar yang tunduk pada aturan fisika akustik.
Cukup sudah pelajaran biola hari itu. Aku tidak memencet senar apa pun. Aku hanya menggesek-gesek berulang-ulang satu los senar pertama. Dalam perjalanan pulang ke hangar perahu, aku terpana akan sulitnya main biola bagi seorang buta nada dan bermental buruh perahu sepertiku. Namun, aku ingin dapat membawakan sebuah lagu, sebuah lagu, itu saja. Hari ini, cukuplah aku bisa membuat sebuah biola berbunyi. Itu saja dulu.
Mozaik 49
Armada Hang Tuah
SERUK atau Schima walicHii atau kayu puspa dalam bahasa Indonesia, berada dalam familia tkeaceae, adalah harta karun hutan rimba. Kayu ini memiliki tabiat aneh sebab makin lama terendam air, makin kuat. Tak terkejut, ia selalu dicari-cari untuk bahan lambung perahu. Zaman dulu, ketika siapa berjaya di laut, maka ialah penguasa, kayu seruk diperebutkan sampai menimbulkan perang berkepanjangan.
Pun, konon armada Hang Tuah yang malang melintang di Selat Malaka memakai seruk untuk perahu-perahu mereka. Karena itu sulit dikejar armada kumpeni sekalipun. Selain tahan air, kayu seruk punya istimewa lain, yaitu meski sangat liat daging kayunya, tapi gampang ditekuk. Banyak kayu lain yang liat dan tahan air, tapi ketika dilengkung seratnya pecah, dan itu pantangan besar bagi lambung perahu. Kayu seruk memang diturunkan Ilahi ke muka bumi ini agar umat manusia dapat membuat perahu yang layak.
Dibantu oleh Harun, Samson, dan Kucai, kami memasang palang balok besar dan dengan takal kami mengangkat papan-papan seruk yang telah kuserut Aku mengikuti sketsa Lintang pada batas-batas linggi papan-papan seruk itu mulai ditekuk. Tahap ini sangat krusial. 'lekukan itu harus mencapai presisi dengan toleransi bias nol. Jika ia melenceng satu milimeter saja pada bukaan awalnya, bias itu akan melebar makin besar pada lengkung ke depan atau ke belakang Akibatnya, nanti lubang-lubang antar sisi papan lambung yang telah dibuat berpasangan untuk disatukan dengan telebut atau paku-paku kayu itu tak kan klop. Dan semua itu hanya berarti satu hal: betapa bodoh sang pembuat perahu. Diperlukan waktu paling tidak dua minggu untuk memaksa agar papan- papan seruk itu melengkung, diasapi sepanjang malam.
********
Sambil menunggu papan lambung melengkung, pekerjaan berikutnya mengubah pohon teruntum raksasa itu agar menjadi lunas perahu sepanjang sebelas meter berikut dua belas pasang gading-gading dengan bentangan lengan sedepa. Ini juga pekerjaan yang amat kasar. Mapangi mengajariku mengerjakan lunas. Antara lain cara menggunakan cental— senjata utama para pembuat lunas. Ia semacam kapak pacul kecil untuk meratakan balok, sangat intens dipakai dalam pembuatan perahu tradisional. Dari namanya, pastilah alat unik ini ciptaan orang-orang Khek kuno yang bekerja di parit-parit tambang timah
purba. Pekerjaanku sekarang menginjak pada sifat pekerjaan tukang kayu dan karena aku lahir dan besar di pinggir hutan, pekerjaan tukang kayu tidaklah terlalu sulit bagiku. Berjam-jam aku menunduk mengerjakan limas itu. Jika bangkit, pandanganku berkunang-kunang.
Sore menjelang. Aku kembali mengunjungi Nurmi. Kali ini aku mencoba memencet senar pertama itu pada satu titik, yang menurut Nurmi, padahal sama sekati tak kusengaja, aku baru saja memencet nada A. Selanjutnya, seperti teori Lintang waktu itu, aku membiasakan diri memencet satu titik itu saja, demikian berulang-ulang. Tak kulakukan hal lain, hanya memencet satu titik itu saja, dan satu titik itu kuanggap sendiri sebagai Do. Nurmi boleh mengatakan apa saja, aku tak peduli.
Pada pertemuan kedua, aku telah mengenal satu nada. Sekali kunjungan, satu nada, cukuplah bagiku.
Tiga hari penuh aku mengerjakan lunas dan gading-gading. Hari keempat kulekatkan semuanya, maka selesailah rangka dasar perahuku.
Sore hari keempat itu, aku belajar biola lagi. Aku mencoba memencet satu titik di depan satu titik yang kuanggap Do tiga hari yang lalu.
"Nurmi, apakah ini kedengaran seperti re di telinga-mu?” Gadis itu menjawab dengan cepat. "Iya, Pak Cik."
Kupencet lagi satu titik di depan re, sama dengan jarak antara titik yang kuanggap do tiga hari lalu terhadap re yang baru saja kutemukan. Kulakukan itu tanpa mengikuti aturan skala tangga nada versi Nurmi, tapi berdasarkan pendapat Lintang bahwa jarak bunyi yang konsisten pada satu dawai akan secara teknis membentuk tangga nada.
"Apakah ini terdengar seperti mi?"
Nurmi terperangah melihatku belajar sendiri dan meski merangkak- rangkak, tapi ajaib, aku mulai menemukan nada-nadaku.
Kutekan lagi satu titik dekat titik mi, di telingaku terdengar seperti fa Lalu kuikuti jarak yang konsisten pada frekuensi yang lebih tinggi. Aku mengulanginya berkali-kali, membiasakan diri, dan mata Nurmi yang lucu melotot, mulurnya ternganga-nganga, sebab aku, tukang perahu ini, baru saja menemukan sendiri, tanpa pernah ia ajari, satu oktaf lengkap nada biola.
Mozaik 50