MESKI tubuhku remuk redam, tak dapat kupejamkan mata. Malam ini langit terang dan aku memandangi bintang gemintang. Tinggal sehari lagi kesempatan yang diberikah Tambok. Dalam sehari itu tak mungkin aku dapat menjelajahi seluruh sisa Pulau Batuan. Angin barat makin kencang mengadang perahu. Sepanjang malam aku berdoaagar dipertemukan dengan A Ling. Aku ingin mendengar berita tentangnya, berita buruk sekalipun. Aku telah mencarinya selama belasan tahun, rasanya aku telah mencarinya seumur hidupku. Aku telah mencarinya sampai ke Selatan Prancis, sampai ke Taiga Siberia di pelosok Rusia sana, sampai ke pedalaman Zaire di tengah-tengah Benua Afrika. Aku ingin sekali berjumpa dengannya. Aku harus berjumpa denganya. Aku merindukannya sampai aku tak dapat bernafas. Jika ia mati di Selat Singapura, paling tidak di Batuan aku ingin berjumpa dengan orang yang tahu persis kejadian itu, biar aku tenang pulang.
Berbulan-bulan aku membuat perahu dengan tanganku sendiri. Berminggu aku terombang-ambing samudra yang ganas berurusan dengan orang-orang yang kasar, bertaruh nyawa demi pencarian ini, tak seberkas pun titik terang. Mungkinkah aku telah menjumpainya di antara orang-orang yang telah kutemui di pulau-pulau ini, tapi ia tak lagi mengenaliku, atau aku tak lagi mengenalinya? Karena kali terakhir melihatnya, waktu ia duduk di sampingku di atas komidi putar, belasan tahun lalu, ketika kami masih kelas dua SMP.
Esoknya kami segera berlayar ke sisa-sisa pulau yang jaraknya amat jauh. Perahu terseok-seok melawan badai. Layar telah robek, tiang layar miring, dan linggi perahu bergeser karena desakan ombak. Menjelang sore kami baru sampai. Bersusah payah menggapai pulau asing ini hanya untuk mendapati pulau yang kosong. Malam itu anak buah Tambok mengingatkan bahwa besok pagi kami harus pergi dan mengancam kami agar jangan buka mulut pada aparat soal aktivitas mereka di pulau-pulau Batuan. Mereka juga mengatakan percuma mencari kedua pulau terakhir karena tak ada apa-apa di sana selain orang-orang sakit dan kuburan.
Malam itu diam-diam kami berunding di dalam bedeng. Chung Fad an Kalimut takut pada ancaman anak buah Tambok, tapi aku dan Mahar berkeras tak mau pulang. Aku ingin menyelesaikan apa yang telah kumulai.
“Kita pulang saja, berbahaya”
"Tinggal dua pulau lagi, Fa, tinggal dua pulau lagi!" "Bagaimana kalau tetap nihil?"
"Kita menyeberang ke Singapura!" Mahar menaikkan sarungnya sampai hidung. Aku paham maksudnya. Kami menyelinap keluar bedeng.
Diam-diam kami menaikkan layar untuk berangkat ke pulau berikutnya. Dini hari perahu merapat. Kami melintasi padang ilalang yang diselang-seling gundukan tanah. Itulah kuburan dengan tanda dahan-dahan pohon dan batu- batu yang digeletakkan sekenanya. Tanda nyawa tak berharaga di Batuan. Di balik padang kuburan itu kami melihat bedeng yang reot. Gelap.
Kami mengetuk pintu bedeng. Terdengar seseorang bangun di dalam dan ia menyalakan lampu minyak. Ia adalah seorang perempuan Tionghoa tua yang renta. Seluruh rambutnya putih. Ia mengatakan bahwa ia merawat orang- orang sakit di bedeng itu. Ia sendiri penduduk asli pulau itu. Kami memberitahukan maksud kedatangan kami. Aku memperlihatkan foto A Ling. Ia tak mengenalnya. Lalu, kami tanyakan tentang rajah kupu-kupu hitam. Jawabannya mengejutkan. Katanya, ia pernah melihat paling tidak ada lima orang memiliki rajah seperti itu di lengannya. Tiga lelaki dan dua perempuan. Ia berkisah bahwa orang-orang berajah kupu-kupu itu menyeberang ke Singapura, tapi perahu mereka karam. Dua jenazah lelaki bertanda seperti itu dan belasan jenazah lainnya dikuburkan di pulai ini. Nasib ketiga orang lainnya tak diketahui. Chung Fa tersedu sedan. Ibu tua itu lain mempersilakan kami melihat orang-orang yang ada dalam bedeng, kalau ada yang kami kenal.
Aku menerima lampu minyak darinya. Pelan-pelan aku menghampiri mereka satu per satu. Orang-orang sakit ini tidur di atas dipan yang saling berjauhan. Mereka berwajah Melayu dan Tionghoa. Tak satu pun kukenali. Namun, di dipan paling ujung aku terkejut melihat seseorang yang tidur membelakangiku. Tubuhnya tinggi dan kurus. Ia beipakaian panjang berlapis- lapis. Aku terkesiap melihat tangannya yang terjuntai di sisi dipan. Firasat yang aneh menyelinap dalam hatiku. Kudekatkan lampu minyak untuk melihat tangan itu dan jantungku berdetak. Rasanya aku mengenal jari-jemarinya. Aku berusaha meyakinkan diri. Dulu pernah kukenal paras-paras kuku itu. Tak mungkin kulupa. Siapakah perempuan ini? Mungkinkah ini A Ling? Apakah aku telah menemukannya? Aku mengamatinya baik-baik. Seribu kata ingin meledak, tapi mulutku kelu. Tanganku ingin menggapainya, tapi sendi-sendiku mati. Ia terbangun, berbalik. dan aku terempas di atas lututku. Ia terpana menatapku, seakan tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Ia berusaha bangkit, tapi terlalu lemah. Air mata mengumpul di pelupuknya. Aku bergetar, seluruh tubuhku bergetar waktu ia menyebut namaku.
“Ikal…..,” katanya “Ikal…..”
Mozaik 66 P u l a n g
DINI hari kelam, bulan pucat. Kami bergegas meninggalkan Pulau Kuburan karena kami tahu perahu-perahu Tambok pasti sedang mengejar. Karena masih sakit, A Ling harus dibopong melintasi padang ilalang. Kami berlari-lari kecil. Mendekati pangkalan terdengar suara mesin motor tempel menderu-deru.
Kami mengucapkan perpisahan yang menyedihkan dengan Kalimut. Ia berkeras ingin menyeberang ke Singapura. Berkali-kali aku membujuknya agar ia ikut pulang karena Batuan ternyata jauh lebih berbnhaya daripada yang pernah kubayangkan. Kalimut trlah berketetapan hati.
"Pulanglah kalian," katanya.
"Kehormatan naik perahu denganmu, Kapitan,” ucapnya lirih sambil memelukku dan Chung Fa. Pipi lelaki perkasa itu basah.
"Kehormatan jadi kawanmu, Kalimut." Ia mendorong perahu.
“Doakan aku, Kapitan, doakan aku.”
Perahu menjauh. Kalimut melambai-lambai. "Selamat jalan, Kapitan!”
Saniar suaranya masih terdengar di antara deru kencang angin.
Sementara perahu-perahu anak buah Tambok makin dekat. Lalu kudengar letupan-letupan senapan. Mereka menembaki perahu kami dengan senapan rakitan. Mahar menaikkan layar dan aku memutar haluan. Tujuan kami adalah timur dan angin barat serta-merta mendorong kami.
Perahu-perahu lanun itu mengambil jalur memotong untuk mengepung kami. Kami diuntungkan oleh perahu yang lebih cepat karena desain lintang dulu. Perahu Tambok yang melaju di sisi kanan mulai tertinggal. Makin lama jaraknya makin jauh. Mahar mengambil parachute signl. Kembang api semboyan bahaya itu ditembakkan oleh Mahar ke perahu-perahu Tambok. Dahsyat seperti tembakan roket menembus layar-layar mereka.
“Itu untuk Nai! Rasakan!" teriak Mahar. Pelayaran pulang berlangsung dengan amat mudah. Perahu didorong angin. Kami bahkan tak perlu menghidupkan mesin.
A Ling tertidur di lantai geledak. Aku lekat memandangnya. Ia telah menjadi perempuan dewasa. Wajahnya tak banyak berubah. Betapa mengagumkan perempuan Ho Pho ini. Ia menuruni semangat leluhurnya sebagai perantau yang gagah berani. Jauh sebelum masa perantau-perantau Tiongkok lainnya. Mereka pelarian dinasti Han Orang-orang Ho Pho telah
merambah Sclat Malaka sejak beratus-ratus tahun lampau.
Senja hari berikutnya kami duduk bersandar di tiang layar. Kami saling menceritakan kisah nasib. Aku mengeluarkan buku yang dulu dihadiahkannya padaku, novel Seandainya Mereka Bisa Bicara. Ia tersenyum.
"Apakah kau telah menemukan Edensor Ikal?"
Aku diam saja. Aku juga tidak menceritakan bahwa aku telah mencarinya sampai ke Siberia, sampai ke Afrika.
A Ling berkisah tentang kerasnya Batuan dan berkali-kali ia gagal menyeberangi Selat Singapura.
"Tak ada harapan di sana, tapi aku tahu," ucapnya pelan. "Aku tahu, kita pasti bertemu lagi."
Aku membisu. Kami memandangi laut dalam senyap. Bergabunglah seribu pujangga melantunkan rima-rima cinta. Bersatulah surya dan awan- gemawan melukis megahnya angkasa. Bersekutulah angin empat musim mengarak halimun Selat Malaka, tak satu pun, tak satu pun dapat menggambarkan indahnya perasaanku.
***********
Hari Keempat pelayaran, menjelang sore perahu Mimpi-mimpi Lintang memasuki leher muara Sungai Linggang. Kami terkejut mendengar orang-orang berteriak dan bantaran muara.
"Kapitan! Kapitan!" seni mereka bersahut-sahutan. "Kapitan pulang!”
Rupanya nelayan-nelayan yang kami temui di karang lampu telah mengabarkan bahwa kami pulang dari Batuan dan membawa anak gadis Tionghoa itu. Dermaga ramai seperti kami berangkat dulu. Perahu merapat. Lintang berseru sambil melambai-lambaikan tangannya.
"Galilei, Admiral Hook! Selamat datang!"
Rahasia
Kuberi tahu satu rahasia padamu, Kawan Buah paling manis dari berani bermimpi Adalah kejadian-kejadian menakjubkan Dalam perjalanan menggapainya
Mozaik 67 K a m b u h