• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mazhab-Mazhab Filsafat Manusia

Menurut Zainal Abidin ada dua aliran filsafat manusia yang tertua dan terbesar, yaitu materialisme dan idealisme. Aliran-aliran lain pada prinsipnya hanya merupakan reaksi dan respon yang berkembang terhadap kedua aliran tersebut, yaitu:

1. Monisme

Aliran filsafat manusia yang menolak pemahaman bahwa badan dan jiwa merupakan dua unsur yang terpisah. Artinya, badan dan jiwa merupakan satu kesatuan yang membentuk diri manusia64 atau suatu aliran filsafat yang menyatakan bahwa substansi manusia hanya salah satu dari

62

Abdul Hadi W.M, Hamzah Fansuri:Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya..., hlm. 64-79.

63

M. Afif Anshori, Tasawuf Falsafi Syaikh Hamzah Fansuri, (Yogyakarta: Gelombang Pasang, 2004), hlm. 164.

64

Jika mengkaji substansi, teringat dengan kajian yang disampaikan oleh Aristoteles yang membedakan substansi dan aksiden, selebihnya lihat K. Bertens, Sejarah Filsafat Yunani: dari Thales ke Aristoteles, Edisi kedua, (Yogyakarta: Kanisius, 1979), hlm. 153-154.

kedua unsur tersebut baik jiwa maupun badan. Aliran ini memiliki beberapa sekte, diantaranya:

a. Materialisme

Materialisme merupakan alian filsafat manusia yang membicarakan dan mengkaji hubungan jiwa dan badan yang paling tua. Dalam perjalananya aliran ini menggunakan beberapa varian. Akan tetapi ada satu prinsip sebagai inti dari aliran ini, paham filsafat yang meyakini bahwa esensi segala kenyataan, termasuk esensi manusia bersifat material atau fisik. Bersifat objektif, memiliki keluasaan dan menempati ruang dan waktu adalah sebagai ciri utama dari keberadaan fisik atau material. Kareana keberadaan yang menempati ruang dan waktu yang bersifat objektif, maka keberadaan tersebut dapat diukur, dikuantifikasi dan dapat diobservasi. Alam spiritual atau alam jiwa yang tidak menempati ruang, tidak dapat diukur dan dilihat tidak dapat disebut sebagai esensi kenyataan oleh karena itu ditolak keberadaannya.

Para materialis percaya bahwa tidak ada kekuatan apapun ynag bersifat spiritual dibalik gejala atau peristiwa yang bersifat material. Jika ada peristiwa atau gejala alam yang belum diketahui atau belum terpecahkan oleh manusia, bukan berarti ada kekuatan spiritual akan tetapi manusia saja yang belum mengetahui hal tersebut. Teka-teki tersebut tidak perlu dicari dalam dunia spiritual, karena tidak ada dalam dunia spritual tersebut.65

65

b. Idealisme

Sekte monisme yang lain adalah idealisme. Sekte ini memandang segala esensi yang ada dibelakang yang nampak secara fisik ada kenyataan spiritual yang tidak dapat diterangkan secara materi, termasuk manusia seperti pengalaman spitual, nilai-nilai, makna. Selanjutnya, untuk dapat mengkaji fenomena yang hanya spasial, temporal sampai pada esensi atau hakikatnya tidak boleh menafikan dimensi spritual. Karena dimensi ini mempunyai peranan yang penting bagi dimensi waktu, berfungsi untuk menyatukan waktu yang lampau, waktu kini dan waktu yang akan datang. Selain itu juga menyatukan antara fakta-fakta yang ada dengan nilai-nilai dan apa-apa yang sesungguhnya ada dan mungkin ada. Esensi dari kenyataan yang bersifat spiritual ini adalah berfikir. Kekuatan-kekuatan spiritual tidak dapat diukur secara materi atau dijelaskan secara empiris, akan tetapi harus menggunakan metafor- metafor pikiran kesadaran manusia. Fungsi metafor-metafor dalam kesadaran manusia tersebut sejatinya untuk menjelaskan kenyataan yang ada secara esensi, seperti sebuah komputer atau hewan sebagai media untuk menjelaskan perilaku manusia.

Esensi spritual yang telah diklaim sekte ini, tidak berarti semua ynang dijumpai bersifat spritual. Sebagimana yang di sampaikan oleh Hegel (1770-1831) kekuatan alam dan hukum kausalitas itu ada,tetapi keberadaanya hanya merupakan manifestasi dari kekuatan dan keberadaan yang lebih tinggi, yakni Roh Absolut. Para penganjur sekte

ini beriman bahwa pada gerak planet maupun hukum-hukum alam yng sudah berjalan telah didesain terlebih dahulu oleh kekuatan spiritual, Roh Absolut. Sebagian besar sekte ini mempunyai kacamata deterministik tentang manusia (baca: fatalistik (Islam)). Roh Absolut mempunyai kebebasan yang absolut, tetapi manusia tidak mempunyai kebebasan yang absolut ini baik kedudukan manusia maupun tindakannya, baik secara personal maupun secara kolektif. Kebebasan tersebut telah hilang, kareana sudah teratur dan ditentukan oleh Roh Absolut. Sebagian lain berpendapat bahwa roh-roh tersebut bersifat pribadi-pribadi yang masing-masing berdiri sendiri, sehingga setiap roh atau pribadi-pribadi mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan dirinya, inilah yang disebut dengan personalisme.66

c. Identitasisme (teori identitas)

Teori ini berasaskan pada persoalan yang dinafikan oleh materialisme yaitu persoalan aktivitas mental. Karena aktivitas mental sebagai identitas inti dari manusia yang membedakannya dengan makhluk yang lainnya. Penganjur teori ini adalah J.J Smart dan H. Feigl yang memberikan indikator dalam memberikan makna manusia secara filosofis yaitu arti dan referensi atau konotasi dan denotasi. Keduanya mengakui bahwa pernyataan mental dan fisik yang sering disebutkan bukanlah dua ciri yang berbeda secara hakiki, melainkan hanya perbedaan konotasi yang menunjukkan pada gejala objek yang sama.

66

Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat..., hlm. 51-52 dan Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme..., hlm. 50.

Oleh karena itu, terjadinya perbedaan yang ada antara jiwa dan badan hanya perbedaan yang bersifat referensi saja, sama artinya dengan jiwa dan badan merupakan dua elemen yang tidak berbeda atau dua dalam satu atau tunggal.67

d. Vitalisme

Kajian filsafat yang menyatakan kesajatian itu ada pada energi, daya, kekuatan atau nafsu yang bersifat irrasional atau tidak irasional. Berbeda juga dengan kajian materialisme yang menekankan kenyataan bertitik dari fisik, sedangkan idealisme menganggap kenyataan berada pada tingkat spritual dan rasional. Seluruh aktifitas dan perilaku manusia pada dasarnya merupakan perwujudan dari energi-energi atau kekuatan yang tidak rasional dan insting. Perilaku manusia yang dianggap rasional pada dasarnya merupakan rasionalisasi dari keputusan-keputusan yang tidak rasional tersebut. Manusia merasa bahwa segala keputusan dan tindakannya bersifat rasional, tetapi sesungguhnya didasari oleh emosi, naluri atau nafsu yang tidak rasional. Rasio hanya sebagai alat untuk merasionalisasikan atau membenarkan ide yang sebenarnya bukan rasional. Dasar dari aliran ini adalah ilmu biologi dan sejarah. Biologi memberikan doktrin bahwa kehidupan bukan rasio, melainkan kekuatan untuk bertahan hidup yang sifatnya tidak rasional dan intenstif saja (liar). Organisme dapat hidup hanya dengan naluri untuk mempertahankan hidup, tidak membutuhkan

67

hidup, tidak membutuhkan pertimbangan yang rasional. Sejarah juga memberikan argumen yang sama, yaitu peristiwa-peristiwa penting yang menentukan jalannya sejarah dan peradaban manusia, hampir- hampir digerakkan oleh energi dan dorongan-dorongan liar yang bersifat sepele. Sumber dari peristiwa ini adalah kehendak buta (Schopenhauer), kehendak untuk berkuasa (Nietzsche), atau Id (Freud).68

e. Eksistensialisme

Eksistensialisme memiliki arti sebuah paham kefilsafatan yang sanggup keluar dari keberadaannya atau sesuatu yang mampu melampui diri sendiri (baca: kekuatan adi kodrati) kenyataannya, tidak ada dalam kehidupan itu sesuatu yang paling eksis, kecuali hanya manusia itu sendiri. Hanya manusia yang sanggup keluar dari dirinya, melampui keterbatasan biologis atau lingkungan fisiknya, tidak tersandra oleh batasan yang dimilikinya sendiri (manusia). Mereka menyebut dirinya sebagai suatu manusia yang berproses “menjadi” gerak yang aktif- dinamis.

Kajian dalam filsafat manusia bukan mencari energi manusia secara abstrak tetapi meneliti secara khusus kenyataan konkrit manusia sebagaimana manusia itu benda dalam dunianya sendiri. Selain itu, tidak juga mencari esensi atau eksistensi dari manusia, tetapi hendak mengungkap eksistensi manusia sebagaimana yang ada dalam manusia

68

itu. Berbagai tema kehidupan yang mencoba menjadi objek dari para eksistensialis, tema ini mendasari dan selalu dialami oleh manusia, kebebasan, kecemasan, kematian, ketiadaan, keberadaan, kehidupan yang otentik dan sebagainya. Beberapa tema yang sering diungkapkan oleh para eksistensialis adalah kebebasan dan kehidupan yang otentik. Hal ini diyakini sebagai modal besar untuk menjadi mereka yang otentik dan bertanggung jawab.69 Selain itu, yang dahulu itu esistensi atau esensi dulu, perdebatan ini telah menyentuh pemikiran-pemikiran keagamaan yang terkadang berbahaya.

f. Stukturalisme

Suatu pemahaman dalam filsafat manusia yang menempatkan stuktur atau sistem ketatabahasaan dan budaya sebagai kekuatan- kekuatan yang menentukan perilaku dan kesadaran manusia sebagai batasan dari strukturalisme. Para penganjurnya menegaskan bahwa manusia adalah makhluk yang bebas yang terstuktur oleh jaringan bahasa dan budaya. Akibatnya, tidak ada perilaku, pandangan dunia ataupun kesadaran manusia yang individualistik dan unik yang terbebas dari sistem bahasa dan budaya yang mengurungnya. Jika ada sebuah bahasa yang masih murni baru ada dalam masyarakat yang individualistik yang memiliki cara pandang dan pola pikir murni yang unik, maka dapat dipastikan tidak ada orang yang mengerti dan tahu bahasa tersebut, asing, dan luar biasa. Secara tegas aliran ini juga

69

Ibid, hlm. 33-34, tentang tema-tema eksistensialisme dan pembelaannya lihat Jean Paul Sartre, Eksistensialime dan Humanisme, terj. Yudhi Murtanto, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 33-107.

menolak humanisme, menolak pandangan kebebasan dan keluhuran manusia dalam kancah filsafat manusia pada umumnya. Aku atau manusia bukan sebagai pusat realitas, keberadaan, atau eksistensi, tidak tergantung pada diri manusia itu sendiri, melainkan kedudukannya dalam sistem tertentu, seperti pada sistem bahasa atau budaya, sehinggga membuat manusia harus mematuhi sistem tersebut.70

g. Postmodernisme

Diskusi-diskusi postmodernisme telah masuk kedalam relung- relung kehidupan manusia yang lebih kompleks, beragam dan aktual. Seperti stukturalisme, aliran ini secara tegas juga menolak humanisme, yaitu melepas leluhuran dan kegunaan manusia dari sistem sosial budayanya. Dominasi sistem budaya, sosial, kesenian, ekonomi, arsitektur, jender, dan sistem yang berfungsi menyeragamkan tingkah laku dan pola pikir manusia juga menjadi objek penoalakan kaum postmodernisme.

Menurut kaum postmodernis, telah terjadi dominasi (kolonisasi) yang halus dan diam-diam dalam kehidupan manusia. Pelaku dari kolonisasi (dominasi) tersebut adalah sistem-sistem besar yang bersifat tunggal (the one) terhadap sistem-sistem kecil yang bersifat banyak atau lebih komplek dan rumit (the plural). The one adalah kebudayaan barat, sedangkan the plural adalah kebudayaan timur yang diangggap kecil, misalnya: nilai religius barat yang dianggap adiluhung terhadap nilai

70

religius timur atau negara ketiga. Agama Kristen, Katolik serta Yahudi dianggap sebagai agama tertinggi, mulia, hebat, sedangkan Islam, Budha dan budaya-budaya timur lainnya adalah kecil, teroris, jahat, bengis, kaku dan lainnya. Penganjur postmodernisme ini telah berani menentang daya dominasi nilai-nilai tersebut diatas. Ia melahirkan proyek dekonstruksi nilai dan pandangan untuk mencoba menunjukkan kelemahan dan kerapuhan the one. Selain itu, ia melahirkan pandangan bahwa penting dan berharganya the plural, sehingga tidak bisa the one meremehkan the plural atau sebaliknya. Kejama`ahan dan pluralitas terhadap budaya-budaya lokal atau sistem budaya yang tidak dianggap penting oleh the one, harus diangkat kepermukaan untuk disejajarkan dengan budaya the one, karena the plural memiliki nilai-nilai yang penting yang tidak dapat diukur oleh nilai-nilai yang terkandung didalam budaya the one tersebut.71

2. Dualisme

Dualisme adalah aliran yang menganjurkan dua dimensi antara jiwa dan badan sebagai dua substansi yang tidak terpisah dan masih perlu berkaitan antara satu dengan yang lainnya atau perpaduan antara materi dan roh. Artinya, keberadaan sejati pada dasarnya adalah badan dan jiwa. Semua hal dan fenomena yang ada di alam ini pada hakikatnya tidak dapat dibantah bahwa asal dari segalanya adalah hanya satu substansi atau esensi saja. Tidak benar apabila berbagai kejadian didunia ini hakikatnya hanya bersifat

71

fisik material saja, karena banyak kejadian didunia ini yang tidak dapat dijelaskan atau diamati oleh pancaindera maupun ilmu-ilmu alam. Dan tidak benar juga bahwa keberadaan yang dinyatakan secara esensi hanya roh atau jiwa, karena semua manusia telah mafhum bahwa ada kekuatan dan keberadaan yang nyata dari materi.

Manusia merupakan makhluk yang terdiri dari dua esensi, yaitu materi dan ruh atau tubuh dan jiwa. Tokoh dalam hal ini adalah Rene Descartes (1596-1650), keberadaan tubuh (res extensa) adalah substansi yang karakteristiknya adalah keleluasaan yang berarti menempati ruang dan menempati waktu. Keberadaan jiwa, meski tidak dapat diindera tetapi dapat dibuktikan melalui rasio (pikiran). Dengan keberadaan jiwa yang karakteristiknya berpikir (res cogitans) justru lebih jelas dan tegas dalam membuktikannya jika dibandingkan dengan tubuh. Cara yang diajukan Descartes dalam membuktikan keberadaan jiwa tersebut adalah dengan berfikir skeptis.72 Dualisme secara umum memiliki beberapa sekte, yaitu: a. Interaksionisme

Paham ini bertitik tolak dari interaksi timbal balik antara badan dan jiwa. Aliran ini telah mengakui bahwa fenomena-fenomena mental terkadang juga menyebabkan peritiwa badani, dan sebaliknya kegiatan badani juga berpengaruh pada fenomena mental, keduanya saling berpengaruh dan saling berhubungan. Dalam rasa kesenangan disebabkan

72

Pembuktian secara skeptis dimulai dengan cara meragukan keberadaan apa saja yang bersifat fisik, tanpa kecuali apakah itu keberadaan rumah, masjid, nottebook, kejadian kemarin atau kejadian beberapa tahun yang lalu dan lainnya, selebihnya lihat Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat..., hlm. 30-31.

dari rasa keceriaan, sehingga keceriaan wajah bersumber dari kesenangan. Demikian juga jika seseorang mengalami sakit influenza, tentunya akan menurunkan semangat bekerja dari seseorang yang bersangkutan. Peristiwa badan dan peristiwa mental saling berkaitan dan saling mempengaruhi, namun kaum interaksionis berpandangan bahwa badan dan jiwa tetap merupakan dua entitas yang berbeda.73

b. Okkasionisme

Okkasionisme berasal dari bahasa Inggris yaitu occasion yang artinya kesempatan. Sekte ini mempertahankan secara tegas bahwa antara jiwa dan badan ataupun sebaliknya tidak dapat saling mempengaruhi antara satu dengan yang lainnya. Tetapi, jika terjadi kesempatan adanya perubahan yang terjadi didalam tubuh, Allah berperan untuk menyebabkan perubahan yang sesuai dengan kondisi tersebut dalam jiwa sebaliknya, jika jiwa terjadi gejolak yang berarti, maka Allah akan berperan dalam menyebabkan perubahan tersebut. Misalnya, tangan seseorang terkena panasnya lelehan besi, maka Allah mengakibatkan rasa sakit dalam jiwa tersebut. Sebaliknya, apabila seseorang mengulurkan tangannya maka Allah akan menyebabkan tangan benar-benar diukurkan. Ini berarti bahwa hanya Allahlah sebagai penyebab dalam arti yang sebenar-benarnya (causa prima).74 Penganut teori ini adalah Arnold Geulincix (1624-1669) dan Nicolas de Mallebranche (1638-1715).

73

Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme..., hlm.53.

74

Uraian secara terstruktur dapat dilihat dalam K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, cetakan ke-15, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 47.

Keduanya berkeyakinan bahwa interaksi antara jiwa dengan badan bisa terjadi karena campur tangan Allah. Tanpa intervensi ini hubungan antara jiwa dan badan tidak akan terjadi. Hanya Allahlah sebagai penghubung antara hal-hal yang bersifat fisik dan hal-hal yang bersifat spritual. Selalu ada kesempatan bagi Allah untuk dapat menyesuaikan dua entitas yang berbeda ini. Misalnya, ada perasaan takut, maka Allah mempunyai kesempatan untuk mendirikan bulu kuduk seseorang.75

c. Paralelisme

Aliran ini berpegangan pada kesejajaran antara fenomena ragawi dan rohani. Ia menyatakan bahwa sistem fenomena ragawi terdapat di alam, sedangkan sistem kejadian kejiwaan terdapat dalam jiwa manusia. Diantara kedua entitas tersebut tidak terdapat hubungan sebab akibat yang pasti. Badan mempunyai peristiwa dan fenomena sendiri dan jiwa juga mempunyai peristiwa rohani sendiri. Namun keduanya berjalan seiring bersamaan. Sehingga didalam diri manusia terjadi dua peristiwa yang bersamaan, yakni peristiwa fisik dan peristiwa mental, namun keduanya bersumber dari dirinya sendiri tidak salah satu bersumber dari yang lainnya. Masing-masing sistem berjalan sendiri-sendiri. Sistem fisik berjalan menimbulkan kejadian fisik, sedangkan kejadian mental menimbulkan kejadian mental. Kejadian fisik tidak pernah mungkin menimbulkan kejadian mental dan sebaliknya.

75

Penganjur teori ini adalah Gottfried Wilhelm Leibnitz (1646- 1716) yang menegaskan bahwa peristiwa mental dan peristiwa fisik sudah di setel secara otomatis oleh Tuhan sedemikian rupa bagaikan dua jam yang berjalan beriringan secara sempurna dalam satu waktu. Hubungan keduanya terjadi secara serentak dengan mekanisme yang sempurna sehingga peristiwa badan dan jiwa juga berjalan serentak secara bersama-sama, meskipun keduanya tidak mempunyai hubungan kausalitas yang berarti.76

d. Epifenomenalisme

Epifenomenalisme secara bahasa, terdiri dari kata epi yang berarti penampakan, fenomena yang artinya gejala-gejala, serta isme adalah aliran atau suatu pandangan. Sehingga secara harfiah adalah aliran atau paham yang menekankan bahwa gejala yang terlihat sebenarnya hanyalah gejala, bukan menunjukkan suatu hal yang sesungguhnya. Secara filsafat artinya adalah paham yang menegaskan bahwa bayangan yang ditimbulkan oleh tubuh tidak mempunyai pengaruh kausalitas atas tubuh atau atas bayang-bayang yang lain, demikian juga otak juga menimbulkan kesadaran tetapi kesadaran itu juga tidak mempengaruhi otak. Hal ini diibaratkan seperti lokomotif yang menghasilkan uap atau asap yang tidak berpengaruh terhadap lokomotif, demikian tubuh yang

76

Betrand Russell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang...,hlm. 583.

menghasilkan kesadaran yang tidak mempunyai hubungan kausalitas dengan sumbernya didalam proses otak.77

Aliran ini secara tegas melihat interaksi antara badan dan jiwa dari fungsi syaraf. Ia menyatakan bahwa satu-satunya unsur yang dapat disepakati untuk penyelidikan kejiwaan ialah syaraf manusia. Proses kejiwaan seperti kesadaran dilihat sebagai gejala nyata yang berasal dari proses-proses syaraf. Aliran ini menyangkal pengaruh kesadaran terhadap proses kejiwaan.78

77

Loren Bagus, Kamus Filsafat..., hlm. 211.

78

Dokumen terkait