• Tidak ada hasil yang ditemukan

D. Aksiologi Filsafat Manusia 1 Nilai-nilai Humanis-Religius

4. Model Manusia

a. Rausyan-Fikr model Ali Syari`ati

Ali Syari‟ati membedakan antara manusia sebagai basyar dan sebagai insan. Basyar adalah makhluk yang sekedar berada (being). Insan adalah manusia yang memiliki karakteristik khusus yang berlainan dengan yang lain sesuai dengan tingkatan realitas dan esensinya. Manusia jenis ini bergerak kearah taraf-taraf yang lebih tinggi dalam proses menjadi insan. Jelasnya, insan adalah manusia yang berproses bergerak maju (becoming) kearah kesempurnaan. Hanya manusia saja yang “menjadi” (maju), bukan fenomena lainnya dialam ini. Misanya, semut dan serangga tidak pernah dapat melampui keadaannya atau eksistensinya; ia menggali lubang dengan cara yang sama sebagaimana ia melakukannya 15 juta tahun yang lalu diafrika.

50

Shayk Ibrahim Gazur Illahi, Mengungkap Misteri Sufi Besar Al-Hallaj: Ana Al-Haqq, terj. Hr. Bandaharo dan Joebaar Ibrahim Ajoeb, (Jakarta: Cv. Rajawali, 1986), hlm. 37-38.

Keadaan ini tidak usah dipandang dimana, bagaimana sudah begitu pasti dan tidak berubah.51

„Proses menjadi„ sebagai tujuan dari manusia yang digagasnya akan bermuara kepada adanya manusia rausyan fikr. Kata raushan fikr merupakan bahasa Persia yang bermakna ganda yang berasal dari bahasa Arab munawwar al-fikr. Kata ini boleh disamakan dengan kata “intelektual”, tetapi terkadang Ali Syari`ati memberikan dua, makna „intelektual‟ atau „nabi sosial‟. Sehingga kata ini dapat dimaknai „intelektual‟ dan „orang yang tercerahkan‟, karena akan tergantung kepada konteksnya.52 Kata ini mempunyai arti orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan dimasanya, serta setting kesejarahan dan kemasyarakatannya. Keadaan ini dengan sendirinya akan memberinya rasa tanggung jawab sosial, menumbuhkan rasa tanggungjawab, kesadaran dan memberikan arah intelektual dan sosial kepada masyarakat.

Peran dan tanggungjawab orang-orang masa kini yang tercerahkan didunia ini sama dengan tanggungjawab dan peranan para nabi dan para pendiri agama-agama besar yang mendorong terwujudnya perubahan-perubahan struktural yang mendasar di masa lampau. Mendorong gerakan-gerakan besar yang revolusioner, yang mendobrak tetapi konstruktif, yang akan mengubah masyarakat-masyarakat yang

51 Ali Syari‟ati,

Tugas Cendikiawan Muslim, terj. M. Amien Rais..., hlm. 51-52. 52 Selebihnya, lihat catatan kaki dalam Ali Syari‟ati,

Membangun Masa Depan Islam: Pesan Untuk Intelektual Muslim, Cet. V, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 24.

beku, statis dan mandek menjadi masyarakat yang memiliki arah, gaya hidup, pandangan, budaya dan nasib mereka sendiri. Orang-orang ini tidak termasuk golongan para nabi dan juga bukan bagian dari rakyat jelata yang tidak berkesadaran dan mandek. Mereka adalah individu- individu yang sadar dan bertangungjawab membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu kesadaran diri dari rakyat jelata yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bobrok menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif. Secara ideal sang pencerah yang memberi pencerahan adalah hanya Nabi Muhammad saw. Orang-orang yang tercerahkan bukan orang yang pernah pergi ke Eropa, Amerika, Mesir, mempelajari aliran pemikiran tertentu, lulus sebuah kursus tertentu, atau memperoleh gelar kesarjanaan yang tertinggi. Jika hal ini terjadi ketercerahkan bukan merupakan hasil pendidikan universitas, namun sebelum ia mendapatkan pendidikan universitas. Secara nyata tidak ada contoh manusia tercerahkan secara universal pada zaman ini. Ada orang dari berbagai jenis yang termasuk orang yang tercerahkan.53 Manusia model ini tidak serta merta ada dengan sendirinya, akan tetapi sebagaimana maqam-maqam dalam ilmu tasawuf harus menyingkirkan, menjauhi atau melepaskan dari penjara-penjara humanisme, cobaaan,

53

Konsep teori tentang Rausyan-fikr secara luas dapat dilihat dalam Ali Syari`ati,

atau godaan, yaitu alam (biologisme), sejarah (historisisme), masyarakat (sosiologisme), dan dirimu sendiri (ego).54

Manusia ideal menurut Ali Syari‟ati adalah manusia theomorphis yang dalam dirinya terdapat ruh Allah yang telah dimenangkan dengan iblis, lempung dan lumpur endapan. Manusia tersebut telah bebas dari dua infinita, bergerak maju menuju sasaran dan kesempurnaan mutlak, sebuah evolusi yang abadi dan tidak terhingga, bukan sebagai acuan manusia yang seragam. Manusia tersebut hidup dan bergerak ditengah-tengah alam, sang manusia ideal lebih memahami Allah, dia mencari serta memperjuangkan umat manusia dengan demikian dia dapat menemui Allah. Dia tidak meninggalkan alam dan tidak mengabaikan umat manusia.55

b. Monodualis Model Notonagoro

Menurut Notonagoro hakikat manusia terdiri dari tiga kodrat, yaitu susunan kodrat, sifat kodrat dan kedudukan kodrat menjadi kesatuan yang bulat dan harmonis dalam bingkai monodualis manusia.56 Hakekat manusia sebagai susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa (rukhani) yang tidak maujud berupa benda, yang mempunyai sumber-sumber kemampuan, kekuasaan tiga jenis yaitu: akal, rasa kejiwaan dan kehendak kejiwaan. Perbedaannya dengan keinginan

54

Ali Syari‟ati, MaknaHaji, terj. Burhan Wirasubrata, (Jakarta: Yayasan Fatimah, 2001), hlm. 122. Lihat juga uraian secara lebih rinci dalam Ali Syari‟ati, Tugas Cendikiawan Muslim..., hlm. 49-82.

55 Ali Syari‟ati,

Tentang Sosiologi Islam..., hlm. 161-162.

56

Notonagoro, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Cetakan kesembilan, (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hlm. 12.

hewani, unsur benda mati atau tumbuhan mempunyai kehendak kejiwaan yang dapat tarik-menarik dan menolak-nenolak secara otomatis. Kehendak kejiwaan dalam diri manusia adalah bersifat aktif tidak pasif, tidak otomatis tertarik oleh hal yang baik dan senang serta mampu menolaknya, sebaliknya tidak otomatis menolak hal yang tidak senang serta mampu mengendalikan diri berpedoman kepada kebaikan kejiwaan.

Manusia yang terdiri atas tubuh atau raga dan jiwa itu tidak terpisah satu dari lainnya, akan tetapi dalam susunan organis kedua- tunggalan, tersusun atas dua unsur hakekat yang bersama-sama merupakan suatu keutuhan dan keseluruhan baru, tidak hidup raga saja atau hidup jiwa saja dalam dirinya sendiri. Mausia mempunyai sifat kodrat sebagai perseorangan dan sebagai warga hidup bersama atau makhluk sosial. Sifat kodrat yang dimiliki manusia yang harus hidup bersama sebagai perseorangan dan sebagai warga masyarakat (warga negara) atau makhluk sosial. Sifat kodrat diatas akan nampak dalam kehidupan kenegaraan khususnya, karena kodrat selalu ada, selalu menjelma, tidak dapat dihilangkan, tidak dapat diabaikan. Kadang- kadang menurut keadaan, kebutuhan dan kepentingan pada sesuatu saat, sifat perseorangan manusia lebih muncul, lebih kuat menjelma daripada yang lain, sifat makhluk sosial manusia. Pada waktu lain, yang muncul lebih kuat menjelma adalah sifat makhluk sosial manusia.57

57

Manusia mempunyai kedudukan kodrat sebagai pribadi yang berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan. Manusia sebagai pribadi merupakan keutuhan, keseluruhan diri, dengan susunannya atas raga dan jiwa dalam kedua-tunggalan, sumber-sumber kemampuan jiwanya akal-rasa-kehendak maupun sifat-sifat hakekatnya sebagai individu dan pribadi bermasyarakat atau makhluk sosial. Sekarang sifat monodualis itu ternyata meliputi pula susunan dari manusia, kedua-tunggalan raga dan jiwa, sedangkan di dalam unsur hakekat jiwa terdapat ketiga- tunggalan akal, rasa dan kehendak. Jadi karena semua unsur hakekat mewujudkan ketunggalan, maka hakekat manusia adalah majemuk tunggal, monopluralis. Dengan demikian hakekat manusia sebagai keutuhan, keseluruhan, diri, yang hidup, di dalam hidupnya penjelmaan daripada unsur-unsurnya hakekat mempunyai sifat ketunggalan sebagai bawaan mutlak hakekat, berkeragaan, berkejiwaan, berakal, berasa, berkehendak, berindividu, bermakhluk sosial, berpribadi berdiri sendiri. Manusia monopluralis yang terdiri dari berbagai hakikat ini sekaligus berhakikat sebagai makhluk Tuhan.

Penjelmaan hidup hakekat manusia untuk melakukan perbuatan- perbuatan lahir dan batin atas dorongan kehendak, berdasarkan atas putusan akal, selaras dengan rasa untuk memenuhi hasrat-hasrat sebagai ketunggalan, yang ketubuhan, yang kejiwaan, yang perseorangan serta

yang kemakhlukan sosial, yang berkepribadian berdiri sendiri serta yang bermakhlukan Tuhan.58

c. Insan Kamil Model Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri berpandangan bahwa manusia sebagai alam shaghir (mikrokosmos) yang dapat menjadi representasi alam kabir (makrokosmos) maka manusia menjadi barzakh, penghubung antara Tuhan dan alam semesta sebagaimana air menjadi penghubung antara ombak dan laut. Doktrin insan kamil ini oleh Hamzah ditempatkan sebagai puncak kajian tasawufnya. Hamzah memberikan tamsil laksana sungai yang mengumpulkan segala air hujan. Sungai adalah tempat pertemuan segala air, yang akhirnya akan ke laut. Tuhan ditamsilkan sebagai laut, sedangkan sungai adalah insan kamilnya yang pada dirinya terkumpul segala sifat alam semesta. Teori hujan menyatakan bahwa air dari laut akan kembali ke laut. Dengan kata lain, insan kamil adalah wadah tajalli Tuhan yang paripurna, dan dalam bentuk taraqqi ia akan kembali sebagaimana air sungai akan kembali lagi ke laut setelah melalui hujan untuk menyadari wujud hakikinya.59

Gagasan Hamzah dalam pendakian (taraqqi) yang harus di tempuh seorang sufi serupa dengan gagasan al-Jilli. Hamzah juga mengungkapkannya dalam bentuk pengalaman syariat, tarekat, hakikat dan makrifat. Hamzah menyamakan pengalaman diatas secara berurutan dengan perjalanan melalui „alam nasut (alam manusia), „alam

58

Ibid, hlm. 94-96.

59

Yunasril Ali, Manusia Citra Illahi:Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn „Arabi oleh Al-Jilli (Jakarta:Paramadina, 1997), hlm. 184.

malakut (alam malaikat), „alam jabarut (alam asma‟ dan sifat Ilahi atau alam ruh) dan „alam lahut (alam ketuhanan).60 Syariat adalah aspek awal dalam menempuh insan kamil yang berupa amalan lahiriah yaitu syahadat, sholat, puasa, zakat, dan naik haji bagi yang mampu. Dengan suatu syariat yang terlihat dan yang tidak terdengar, suatu syariat yang disuruhnya, dan syariat yang dilaksanakan Nabi Saw. Seorang sufi melaksanakan pengalaman tersebut dilandasi dengan percaya bahwa Nabi Saw adalah utusan Allah.61

Pengamalan tarekat yakni upaya secara ruhaniah menuju Tuhan. Tangga ini dibarengi dengan taubat nashuka, tidak diperbolehkan menyimpan harta terlalu banyak, menjauhi segala larangan Tuhan, sholat sunnah rawatib, tahajjud, dhuha, dan bertawakal semampunya, mengucap tasbih, dzikrulah, tilawah Qur`an, puasa sunnah dan seterusnya. Dengan usaha yang sungguh-sungguh seorang sufi dapat mencapai tingkat hakikat yaitu pengenalan Tuhan secara sempurna. Adapun amalannya adalah mengenal Tuhan dengan sempurna.

Hakikat itu perbuatan makrifat, apabila bermakrifat maka dapat mengerjakan hakikat. Ahli hakikat ada dua kebahagiaan satu kebahagiaan dengan keluarga, dan kedua kebahagiaan dengan Tuhan. Ia cinta akan Tuhan, mengenal-Nya, menafi‟kan diri-Nya, mengitsbatkan diri-Nya, berkata dengan diri-Nya, fana‟ didalam diri-Nya, dan baqa‟

60

Ibid, hlm. 186-187.

61

Abdul Hadi W.M, Hamzah Fansuri:Risalah Tasawuf dan Puisi-Puisinya, (Bandung:Mizan, 1995), hlm. 65. Lihat juga Sangidu, Wahdatul Wujud:Polemik Pemikiran Sufistik antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin As-Sumatrani dengan Nuruddin Ar-Raini

dengan diri-Nya dan seterusnya. Akhirnya seorang sufi dapat secara langsung mengenal Tuhan, bahkan sirna dalam alam ketuhanan (alam lahut). Kata Hamzah, inilah yang disebut dengan ahlul suluk.62 Pada tahap hakikat (ahlul suluk) inilah seorang sufi telah berma‟rifat dengan Tuhan dengan peringkat al-kamil al mukammil yaitu golongan „arifin atau disebut juga ahlut-tamam. Manusia ideal sebagai manusia sempurna yang dicitakan Hamzah, diuntai dalam jalinan “Syair Burung Pingai”, di mana Manusia Sempurna digambarkan seperti Burung Pingai, yaitu burung yang warnanya keemasan.63

Dokumen terkait