• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cara Manusia Memahami Dirinya Sendir

C. Epistemologi Filsafat Manusia 1 Penciptaan Manusia

2. Cara Manusia Memahami Dirinya Sendir

Kebebasan dalam memahami diri ini menyangkut potensialitas dan aktualitas manusia sebagai jenis maupun sebagai pribadi.36 Karena semakin manusia mendekati asal-usulnya, maka semakin „memiliki‟ kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas jumlahnya. Masih dapat berubah-ubah, masih dapat menjadi apa-apa, masih tabula rasa. Kemungkinan-kemungkinan ini masih dapat dilihat secara keseluruhan walaupun tidak ada hubungan dengan yang lainnya. Kemungkinan- kemungkinan ini masih manusiawi murni, sehingga tidak ada kemungkinan-kemungkinan yang lain, kecuali potensialitas itu. Kemungkinan-kemungkinan yang potensial itu berkaitan dengan substansi manusia yang lebih dalam, maka tidak aneh disebut dengan potensialitas- substansial. Sedangkan, aktualitas manusia secara penuh merupakan proses pengempalan padat yang mensintesiskan semua yang berharga dalam diri manusia, sampai tidak ada satupun aspek potensialitas yang masih potensial untuk dikembangkan. Sudah menjadi konkrit-riil yang bulat penuh. Dengan demikian substansi manusia menyangkut kesatuan

35 Ali Syari‟ati,

Tugas Cendikiawan Muslim, terj. M. Amien Rais..., hlm. 5-10.

36

Manusia dalam arti sebagai pribadi dapat diartikan sebagai pribadi yang lahir, unik, pusat ber‟ada‟ yang baru, bebas, dan bertanggung jawab. Sedangkan manusia sebagai jenis berkaitan dengan peralihan dari benda ke makhluk hidup dan dari makhluk hidup ke manusia bukan sebagai yang serba baru melainkan sebagai proses peralihan dari „tingkat ada‟ yang lebih rendah menuju tingkat ada yang lebih tinggi atau berkaitan dengan „evolusi‟. Selengkapnya lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks dan Seruan..., hlm. 165-171.

yang utuh-murni antara potensialitas-substansi dengan aktualitas yang murni. Ada potensialitas yang perlu di perhatikan yaitu potensialitas tentang cara memahami diri sendiri (penyempurnaan) diri. Berbagai aliran dan paham telah muncul dengan menggunakan tema, „visi‟ dan konsentrasi pada hal-hal tertentu dari kehidupan manusia yang disampaikan oleh para filosof dan para sufi dalam pendakian menuju kesempurnaan diri manusia.37

Zaman pertengahan ada beberapa petunjuk kearah penyempurnaan manusia. Salah satunya jalan kelima Thomas Aquinas sebagai bukti bahwa ada pikiran metafisis menuju Tuhan yang bertolak kepada fenomena- fenomena yang nyata. Karena Thomas sendiri adalah termasuk kedalam filosof abad pertengahan yang tentunya menggunakan jalan sebagaimana seorang filosof, „dari bawah ke atas‟ (taraqi), bukan tanazul. Jalan tersebut adalah pertama, movement (jalan gerakan). Sebuah gerakan harus ada penggerak. Namun jika penggerak sendiri membutuhkan pengerak, maka tidak cukup sebagai dasar. Akhirnya, harus diterima bahwa penggerak ada yang menggerakan diluar penggerak itu atau diluar dirinya. Kedua, causality (jalan kausalitas). Artinya, suatu rangkaian penyebab membutuhkan penyebab diluar penyebab dirinya. Jadi harus ada penyebab pertama yang penyebabkan (cauca prima). Ketiga, contingence (jalan kemungkinan). Suatu rangkaian yang ada bersifat kontingen, dapat ber-ada

37

dan dapat tidak ber-ada. Ada dasar yang cukup ialah Ada yang mustahil ada yaitu Ada mutlak.

Keempat, exsemplarity (jalan tingkatan). Argumen ini berangkat dari kenyataan bahwa ada dan sifat transenden (seperti: baik, benar, indah dan sebagainya) ditemukan dalam tingkatan yang lebih dan kurang (magis et minus). Lebih dan kurang tersebut menunjuk ke „Summum Bonum‟ dan Maha Ada. Maha Baik dan Maha-ada sebagai dasar yang cukup dan akan hadir dalam segala ada dan mengikuti segala ada dalam partisipasi menurut lebih dan kurang. Kelima, finaly (jalan teleologi). Alasan yang kelima bertolak dari kenyataan bahwa dunia ini menunjukkan suatu keteraturan dan ketertiban untuk menuju kesatu tujuan. Tujuan itu tidak berasal dari makhluk yang tidak berbudi, tetapi makluk yang berbudi yang dapat berhubungan dengan makhluk yang ada dari segala ada. Oleh karena itu, ada budi yang menciptakan segala yang ada dengan terarah menuju kesatu tujuan dalam keharmonisan dengan segala makhluk yang ada.38

Khazanah pemikiran Islam mempunyai kontribusi yang cukup kaya dalam hal ini, khususnya riyadhah hati (manajeman hati). Ibnu „Arabi (1165-1240 M) dengan memunculkan wahdatul wujud yang cukup kontroversial itu secara sistematis telah menyusun pendakian menuju insan kamil atau hakikat al-Muhammadiyyah. Ibnu „Arabi membedakan dua jenis insan kamil, yaitu insan kamil universal dan insan kamil particular- individual, berkaitan dengan yang kedua dalam hal ini Ibn „Arabi sering

38

Tentang uraian ini lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia...,hlm. 154-155 dan Ahmad Tafsir, Fisafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan,

membedakan manusia sempurna (al-insan al-kamil) dan manusia hewan (al-insan al-hayawan). Ibn „Arabi telah memberikan pengertian tentang insan kamil dengan dimensi kehadiran Nama-nama Tuhan yang muncul padanya disertai dengan sisi ciptaan luarnya (khalq). Ibn „Arabi melanjutkan gambarannya tentang dua dimensi kognitif manusia. Dimensi batinnya adalah Tuhan dan dimensi lahirnya adalah makhluk. Jika manusia hanya memiliki sifat lahirnya saja, dan tanda perpaduan Nama-nama Tuhan, maka dia bukan manusia dalam arti yang sesungguhnya. Lebih tepatnya ia disebut manusia binatang yang lebih rendah dari binatang- binatang lainnya. Perbedaan ini tidak se-ekstrim yang dibayangkan, karena dalam realitasnya manusia diciptakan untuk mencapai kesempurnaan itu. Jadi, setiap manusia memiliki potensi untuk mencapai derajat kesempurnaan.39

Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111 M) yang terkenal dengan Ihya‟ „Ulum al-Din-nya menguraikan maqam-maqam yang harus dilalui seorang salik untuk mencapai mahabbah (cinta), yaitu maqam taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, mahabbah, ma‟rifat dan ridha.40 Ada dua model penyempurnaan diri dari dua tokoh tersebut diatas, yaitu penyempurnaan diri yang ada kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari olahan pemikiran berdasarkan data-data atau

39

Uraian yang sama lihat dalam Masataka Takeshita, Insan Kamil: Pandangan Ibnu Arabi, terj. Harir Muzakki, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm. 130-134.

40

Uraian secara panjang lebar tentang masing-masing maqam secara terinci lihat dalam Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al-Qusyairi An-Anisaburi, Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, peny. Umar faruq (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), hlm. 115-127, 251-257, 153-159, 225-242, 473-490, 463-473, 272-278 dan Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam..., hlm. 62.

fenomena-fenomena terdalam yang sering disebut humanisme (filsafat humanism). Penyempurnaan diri yang lain adalah berkaitan dengan kehidupan rohaniah dan „pengolahan hati‟ (riyadhah) yang sering identik dengan tasawuf.

D. Aksiologi Filsafat Manusia

Dokumen terkait