• Tidak ada hasil yang ditemukan

FILSAFAT MANUSIA Filsafat Manusia Menurut Muhammadiyah.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FILSAFAT MANUSIA Filsafat Manusia Menurut Muhammadiyah."

Copied!
68
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

FILSAFAT MANUSIA

A. Pengertian Filsafat Manusia

Studi tentang manusia sampai dua abad yang lalu disebut de anima. Studi ini bersifat empiris dan metafisik. Menurut Muji Sutrisno, Ch. Wolff (1679-1754) telah memisah istilah diatas menjadi dua buah studi baru yaitu psikologi empirik dan psikologi rasional.1 Tahun 1798 dalam bukunya Antropologie in Pragmatischer Hinsicht, Immanuel Kant mengganti istilah tersebut dengan kata antropologi yang juga membatasi kata tersebut sebagai suatu ajaran tentang pengertian manusia yang disusun secara sistematik. Dewasa ini ketika terdapat istilah antropologi secara luas telah menunjukkan tiga disiplin ilmu yang berbeda, yaitu pertama, antropologi ragawi yang membahas manusia dilihat dari aspek asal-usul fisiknya, kedua antropologi budaya yang membatasi diri pada aspek asal-usul historis kebudayaannya, ketiga, antropologi filsafat yaitu sebuah kajian yang mengkaji tentang asal-usul fundamentalnya.2 Sehingga antropologi filsafat dapat juga disebut sebagai filsafat manusia dalam kajian ini.

Filsafat manusia adalah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dengan sistem filsafat yang secara khusus menyoroti tentang hakikat atau esensi

1 Manusia dalam kesimpulan psikologi disebut „binatang yang berfikir‟, belakangan

kesimpulan ini mendapat berbagai pertimbangan untuk ditinjau kembali. Diantaranya Ernest Sosa and David Galloway, “Man The Rational Animal?”, dalam Synthese,(June, 2000), hlm. 165-166.

2

(2)

manusia yang paling dalam.3 Ada definisi yang lain yang dapat dirumuskan sebagai suatu refleksi atas pengetahuan dan pengalaman yang dilaksanakan dengan rasional, kritis-ilmiah dengan tujuan memahami diri manusia dari segi yang paling dasar.4 Berpijak dari uraian sebelumnya, filsafat manusia dapat diuraikan sebagai suatu kajian yang paling fundamental tentang pengetahuan dan pengalaman segala dimensi manusia yang dilaksanakan dengan rasional, metodologis-sistematis dengan filosofis-reflektif dengan tujuan memahami manusia sedalam-dalamnya.

B. Ontologi Filsafat Manusia

1. Pengertian Manusia

Manusia sebagai makhluk Allah yang paling sempurna (ahsanul taqwim) dan paling unik sebagai objek dan subjek dari berbagai ilmu dan dengan kajian ini banyak muncul berbagai ilmu. Manusia sebagai subjek berarti diri sendiri ini mengkaji dirinya sendiri, manusia sebagai objek apabila manusia tersebut ada dalam ada, sehingga ada sebagai objek untuk menjadi objek yang ada. Adapun pertanyaan „Siapakah manusia itu?‟

menjadi pertanyaan yang paling mendasar dan pertanyaan yang paling klasik sepanjang sejarah manusia. Sebelum Sokrates (469-399 SM) sudah muncul pertanyaan semacam ini. Pada zaman tersebut sudah banyak para pemikir yang berusaha menjawab pertanyaan tersebut.5

3

Kasdin Sihotang, Filsafat Manusia: Upaya Membangkitkan Humanisme..., hlm. 22.

4

Selebihnya lihatAdelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia: Paradoks danSeruan, cet. ke-6, (Yogyakarta: Kaninius, 2014), hlm. 18.

5

(3)

Menurut Laming, ada beberapa cara atau kerangka teori yang dapat digunakan dalam memahami manusia. Pertama, apa yang disebut sebagai perilaku semi mekanis dari manusia. Manusia mempunyai aspek isntingtif yang bersifat mekanis dalam dirinya. Perilaku ini seringkali mempengaruhi perilaku manusia yang dapat dipelajari dengan pendidikan dan dengan kultur secara rutin. Akan tetapi perilaku manusia tidak sepenuhnya mekanis. Terkadang menyebut perilaku manusia sebagai mekanis, karena terbiasa dengan berpikiran secara mekanis. Namun, ketika dilihat (berfikir) secara jauh tidak ada perilaku yang tidak mekanik dan sama sekali terlepas dari kesadaran pelakunya.

(4)

tertanam pada ranah sosial.6 Dengan sudut pandang ini manusia setidaknya dapat melihat bagaimana keadaan manusia tersebut, sehingga ia mengerti dirinya sendiri.

Menurut Adelbert Snijders ada beberapa hal menyangkut tentang berbagai sisi manusia, yaitu pertama, manusia sebagai makhluk yang selalu bertanya. Manusia akan selalu bertanya, dan mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang dialaminya. Satu pertanyaan akan melahirkan atau melibatkan setidaknya satu macam ilmu yang akan berperan dalam memberikan jawaban dari pertanyaan tersebut. Tentunya, satu ilmu mempunyai disiplin dan metode sendiri dalam menjawabnya. Khazanah antropologi filsafat atau juga sering disebut sebagai filsafat manusia pertanyaan tersebut dijawab dengan refleksi filosofis. Kedua, manusia sebagai makhluk yang eksentris. Hal ini berkaitan dengan titik tolak dalam kajian filsafat manusia yang berbeda-beda dan terbuka berbagai macam kemungkinan untuk itu. Akhirnya, semua jalan filsafat akan berangkat dari intuisi yang dari implisis, kabur, remang-remang, menjadi nyata dan pada gilirannya akan menjadi eksplisit.

Ketiga, manusia sebagai makhluk paradoksal, ini artinya manusia dalam perumusan atas dirinya sendiri terjadi dalam dua kebenaran yang bertentangan, bukan kebenaran yang salah satu benar dan yang lain salah (baca: kontradiksi). Manusia termasuk dalam alam ini namun sekaligus bergantung kepadanya, manusia bebas dan terikat, jasmani dan rohani.

6

(5)

Keempat, manusia adalah makhluk yang dinamis. Manusia maju dengan dunianya menuju diri sejati dengan tetap mempererat tali hubungannya dengan Tuhan. Dinamika manusia ada dalam dunia manusi itu, manusia bebas dan bertanggung jawab, yang sekaligus ada dorongan secara metafisik untuk menuju diri yang sejati yang tidak diikuti dengan keperluan (dorongan kodrati yang bersifat keperluan seperti ulat menjadi kupu). Tetapi secara nyata tetap terikat secara etis. Kelima, manusia sebagai makhluk multidimensional. Sudah terjadi bahwa manusia adalah makhluk kesatuan, tetapi dalam kesatuan itu ditemukan berbagai dimensi manusia dengan segala tingkatan ontologisnya yang tentunya berbeda-beda. Dapat terjadi dalam diri manusia hidup seolah-olah bagaikan satu dimensi saja.7 Akan tetapi jawaban diatas hanya dapat memberikan jawaban atas masalah-masalah temporer tidak mencakup masalah abadi, yaitu masalah masa silam, akan datang maupun masa selanjutnya. Tidak ada jawaban yang dapat menjawab permasalahan diatas kecuali kepercayaan agama yang diyakini kebenarannya secara mutlak oleh umat manusia.

2. Eksistensi Manusia

Kata eksistensi dalam kajian eksistensialisme adalah suatu istilah filosofis yang mengandung arti khusus. Kata eksistensi dikhususkan untuk cara berada manusia yang khas. Hanya manusialah yang bereksistensi. Karena eksistensi tidak dapat disamakan dengan berada. Pohon, batu,

7

(6)

kucing dan segala yang lain pun ada, tetapi tidak bereksistensi. Hal ini akan lebih jelas, jika kekhasan manusia ini dihadapkan dengan materialisme dan spiritualisme.8 Arti khas kata eksistensi menjadi jelas bila dilihat dari susunan katanya. Kata ini berasal dari bahasa Latin existere, dari ex yang artinya keluar dan sistentia yang artinya berdiri, artinya apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami. Konsep ini menekankan bahwa sesuatu itu ada. Selain itu, konsep ini tidak sama dengan apa yang dapat dilihat manusia dengan pancaindera. Misalnya, perdebatan pada zaman prasokratik, yaitu kelompok materialisme yang diwakili oleh Empedokles, Anaxagoras, dan Demokritos. Demokritos berpendapat bahwa satu-satunya yang ada adalah yang dapat disentuh tangan manusia. Sokrates dan Plato membantah hal ini, Plato berpendapat bahawa apa yang disentuh dengan tangan itu semata-mata wakil dari ide-ide. Berkat Aristoteles perdebatan dua ajaran ini dapat dipadukan.

Konsep eksistensi juga tidak sama dengan pemikiran pluralisme dan filsafat nilai modern. Satu-satunya faktor dalam konsep eksistensi yang membedakan setiap hal yang ada dari tiada adalah fakta. Setiap hal yang ada itu mempunyai eksistensi atau ia adalah suatu eksisten, dengan demikian jika sesuatu itu sama sekali tidak berhubungan dengan eksistensi maka juga sama sekali tidak tampil sebagai suatu eksisten. Dengan menyatakan bahwa manusia bereksistensi berarti manusia baru dapat

8

(7)

menemukan diri sebagai aku yang keluar dari dirinya. Salah satu cara untuk mendekati eksistensi sebagai pengalaman asasi ialah dengan mengintensifkan kehadiranku pada diriku yang berbadan. Aku berada didunia melalui badanku. Badanku menjadi badan manusiawi karena kesatuannya dengan aku. Jika badanku sakit, maka aku juga sakit. Jika kakiku berjalan, maka aku juga berjalan. Jika mataku terbuka, akulah yang memandang. Jika badanku disentuh, akullah yang disentuh. Akan tetapi jika, bajuku robek, bukan aku yang robek. Badanku merupakan satu kesatuan dengan aku. Badanku dan aku adalah identik, tetapi sekaligus tidak identik. Aku melalui badanku hadir di dunia. Aku yang terlepas dari dunia tidak kutemukan. Tidak mungkin memikirkan suatu cara berada manusia yang tidak sekaligus suatu cara berada didunia. Aku menjadi aku berkat bertemu dengan sesama dan dunia.9 Dengan demikian manusia dikatakan bereksistensi, jika manusia tersebut sudah bergabung antara aku dan badan yang berada didunia. Jika manusia masih berada dalam alam ruh atau belum tercipta, maka aku belum berada.

Ber-eksistensi menurut Heidegger disebut dasein, dari kata da yang berarti „disana‟ dan kata sein yang berarti „berada‟, sehingga kata ini

berarti berada disana, yaitu ditempat. Manusia senantiasa menempatkan diri ditengah-tengah dunia sekitarnya, sehingga ia terlibat dalam alam sekitar dan bersatu dengannya. Sekalipun demikian manusia tidak sama dengan dunia sekitarnya, tidak sama dengan benda-benda, sebab manusia

9

(8)

sadar akan keberadaannya itu. Ajaran eksistensialisme sebenarnya adalah suatu aliran filsafat yang bersifat teknis, yang menjelma dalam bermacam-bermacam sistem yang berbeda dengan ciri-ciri yang sama. Ada empat pemikiran yang setidaknya secara jelas dapat disebut filsafat eksistensialisme, yaitu pemikiran Martin Heidegger, Jean Paul Sartre, Karl Jaspers dan Gabriel Marcel. Ciri persamaan tersebut adalah pertama, eksistensi, yaitu cara manusia berada, hanya manusialah yang bereksistensi. Eksistensi adalah cara khas manusia berada. Pusat perhatian ini terletak pada manusia itu sendiri, sehingga bersifat humanities.

Kedua, bereksistensi harus diartikan secara dinamis. Bereksistensi berarti menciptakan dirinya secara aktif untuk berbuat, menjadi dan merencanakan. Setiap saat manusia menjadi lebih atau kurang dari keadaannya. Ketiga, manusia adalah realitas yang belum selesai, harus „membentuk‟. Pada hakekatnya manusia terikat kepada dunia sekitarnya,

terlebih kepada sesama manusia. Keempat, Filsafat eksistensialisme memberi tekanan kepada pengalaman yang berbeda-beda. Heidegger memberi tekanan kepada kematian, yang menyuramkan segala sesuatu, Marcel kepada pengalaman keagamaan dan Jaspers kepada pengalaman hidup yang bermacam-macam seperti kematian, penderitaan, perjuangan dan kesalahan.10

10

(9)

3. Esensi dan Hakikat Manusia

Esensi berasal dari bahasa Latin, essentia yang artinya „ada‟. Secara filosofis adalah sesuatu yang membuat sesuatu itu sebagaimana adanya, bukan menjadi sesuatu yang lain, atau sesuatu yang dimiliki oleh sesuatu dan yang membuatnya dapat dikenal sebagai sesuatu yang partikular, dan tanpanya sesuatu itu tidak akan dikenal sebagai adanya, sebagai karakteristik penentu dari sesuatu. Esensi berbeda dengan eksistensi, jika esensi lebih menekankan „apanya‟ sesuatu, sedangkan eksistensi menekankan „apanya‟ sesuatu yang lebih sempurna. Esensi dan eksistensi dapat dikatakan identik dalam hal-hal tertentu seperti Tuhan, alam semesta atau yang absolut. Esensi berkaitan dengan hakikat manusia, maka berkaitan dengan unsur penyusun manusia itu, ruh dan jasad. Esensi dari manusia itu terletak dalam ruh sebagai peparing Tuhan atau jasad yang terbuat dari unsur tanah, malah kedua-duanya sebagai esensi atau hakikat manusia yang sering dilabeli dualisme atau monodualis. Dengan kesempurnaan ini sesuatu itu menjadi suatu eksisten.11 Rujukan yang paling kuno adalah Plato yang menyatakan bahwa jiwa manusia (atau pikiran) adalah entitas nonmaterial yang dapat tinggal terpisah dari tubuh.

Plato adalah salah satu sumber utama pandangan dualistik yang menyatakan bahwa jiwa manusia (pikiran) adalah sebuah entitas nonmaterial yang dapat hidup terpisah dari tubuh. Menurut Plato, jiwa sebagai sesuatu yang tidak dapat hancur dan akan hidup abadi setelah mati.

11

(10)

Argumen-argumen Plato terdapat dalam Meno yang membuktikan praeksistensi jiwa, menjelaskan bahwa kegiatan belajar sesungguhnya hanya sejenis jiwa yang “mengingat kembali” benda-benda sebelum lahir (dialog Adam As dengan malaikat (Islam) atau sejenis reinkarnasi). Plato menyatakan bahwa kemampuan menyadari validitas langkah-langkah dan sebuah kesimpulan merupakan sifat bawaan sejak lahir. Bukti lain dalam Phaedo, Plato menyebutkan beberapa argumen lain mengenai jiwa manusia yang tetap ada setelah kematian tubuh. Plato ingin membuktikan kesalahan teori materialisme yang diusung oleh atomisme Yunani awal, seperti Demokritos yang menyatakan bahwa jiwa manusia tersusun atas partikel-partikel kecil yang berhamburan ke udara pada saat mati. Ia juga menentang konsep bahwa jiwa adalah sejenis harmoni yang memfungsikan tubuh seperti musik yang berasal dari instrumen yang dimainkan dengan nada-nada yang tepat.

(11)

manusia. Aspek sosial yang tidak dapat dihilangkan dari teori hakikat manusia menurut Plato sebagai sifat alami bagi kemanusiaan.12

Al-Farabi dalam menyikapi hakikat manusia menggunakan teori emanasi yang dinamakan nadhariatul-faidl dengan uraiannya sendiri, walaupun ia menyetujui teori al-Kindi. Pada mulanya al-Farabi menerima prinsip Aristotelianisme yang menyatakan bahwa Tuhan itu ialah Akal yang berfikir, al-Farabi menamakannya akal murni. Akal murni itu Esa adanya, dalam arti bahwa akal itu berisi satu pikiran saja, yakni senantiasa memikirkan dirinya sendiri. Jadi Tuhan itu adalah akal yang berfikir (aqil) dan dipikirkan (ma‟qul). Dengan ta‟aqul ini mulailah ciptaan Tuhan.13

Ibnu Sina, seperti pendahulunya al-Farabi, juga menyatakan bahwa manusia terdiri dari unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala kelengkapannya yang ada merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan aktifitas atau kerja. Jasad selalu berubah, berganti, tumbuh, bertambah, dan semakin berkurang sesuai dengan berjalannya waktu (usia). Sehinggga ia mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa. Jadi menurut Ibnu Sina hakikat manusia adalah jiwa, bukan jasad, sehingga perhatian para filosof lebih jauh dalam mengkaji jiwa daripada jasadnya.14

Hal berbeda disampaikan oleh Ibnu Thufayl, bahwa kesadaran tentang diri akan membawa pada derajat tercapainya kesadaran tentang

12

Leslie Stevensen dan David L. Haberman, Sepuluh Teori Hakikat Manusia, terj. Yudi Santoso dan Saur Pasaribu, (Jogjakarta: Yayasan Bentang Budaya, 2001), hlm. 144-154.

13

Poerwantana, A. Ahmadi dan MA. Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam, cetakan keempat, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1994), hlm. 133-134.

14

(12)

yang wajib-ada. Kesadaran tentang yang wajib ada sebagai hakikat esensi diri manusia dalam pandangan Ibnu Thufayl.15Ia menulis”

“Esensi yang telah mencerap pengetahuan tentang Wujud yang Wajib-Ada haruslah sesuatu yang bersifat immateri. Segala sesuatu diluar dirinya yang bersifat ragawi bukanlah hakikat dirinya. Hakikat esensi dirinya adalah sesuatu yang membawanya mengetahui Wujud Mutlak yang Wajib-Ada.”16

Muhammad Iqbal dari Pakistan berpendapat bahwa esensi manusia terletak pada pusat kesadaran yang bernama ego atau khudi. Kenyataan ini membuat manusia dipandang sebagai makhluk kerohanian. Sebagai makhluk rohani, khudi merupakan kesadaran dan perasaan bawaan yang membimbing manusia menuju martabat yang Agung. Iqbal bertolak dari al-Qur`an surat ar-Ra`du ayat 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan

mereka sendiri.” Esensi khudi mengacu pada pengertian yang

dikemukakan al-Qur`an tentang kedudukan manusia di alam semesta dan di tengah makhluk lain, yaitu sebagai khalifah Tuhan dan juga sebagai hamba-Nya.17

Ali Syari`ati mempunyai beberapa kategori konsep tentang bagaimana memaknai manusia, yaitu: khalifah, manusia dua dimensional, insan dan manusia tercerahkan. Keempatnya katagori di atas memiliki makna berbeda namun saling berhubungan antara makna satu dengan

15

Selebihnya lihat Muhammad „Usman Najati Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim terj. Gazi Saloom, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), hlm .266.

16

Abu Bakar Ibn Thufayl, Hay Bin Yaqzan dalam Abdul Kadir Riyadi, Antropologi Tasawuf:Wacana Manusia Spiritual dan Pengetahuan..., hlm. 264.

17

(13)

makna yang lainnya. Hubungan makna inilah yang secara lahir tidak akan terjadi, akan tetapi adanya hubungan yang lebih erat lagi yang disebut hubungan esensi atau hubungan makna esensi manusia. Selanjutnya, Ali Syaria‟ati mengemukakan hubungan esensi dari kategori tersebut, yaitu

bahwa manusia memiliki daya intelektual yang dilengkapi dengan atribut kesadaran diri, kebebasan, kreativitas serta memiliki moral yang agung untuk menuju tanggung jawab sebagai manusia sempurna. Kalimat sempurna dalam pemaknaan Ali Syari'ati dapat dilihat dalam tulisannya, “Saya mencari esensi saya dan tidak dapat menemukannya, saya adalah

bayangan-Nya. Dimanakah Dia?”

4. Stuktur Manusia

(14)

(refroduction). Kedua, daya mengetahui yang terdiri dari daya merasa (sensation) dan imajinasi (imajination). Ketiga, daya berfikir yang mempunyai akal praktis (practical intellect) dan akal teoritis (theoretical intellect).

Jiwa menurut al-Farabi adalah kesempurnaan pertama bagi jisim alami yang organis yang memiliki kehidupan dalam bentuk potensial. Jiwa ada forma dari jasad, yang diartikan sebagai jauhar (substansi) yang berdiri sendiri yang juga berasal dari akal kesepuluh. Hal ini membentuk hubungan antara jiwa dan jasad tidak berhubungan esensial melainkan hubungan aksidental (tidak ada saling ketergantungan). Apabila jasad mati, jiwa tidak akan mati sebab jasadnya hancur. Maka, jiwa adalah abadi, inilah paham al-Farabi. Jiwa yang dinyatakan abadi oleh al-Farabi, masih dibedakan menjadi jiwa khalidah dan jiwa fana‟. Jiwa khalidah adalah fadilah, yaitu jiwa yang mengetahui kebaikan dan berbaik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani atau materi. Jiwa ini tidak akan hancur dengan hancurnya badan. Termasuk juga jiwa yang ada dalam tingkat akal mustafad. Sedangkan jiwa fana adalah jiwa jahilah, tidak akan mencapai kesempurnaan karena belum dapat melepaskan diri dari ikatan materi dunia. Jiwa ini akan hancur bersama hancurnya badan.18

Ibnu Sina, seperti pendahulunya al-Farabi, juga menyatakan bahwa manusia terdiri dari unsur jiwa dan jasad. Jasad dengan segala kelengkapannya yang ada merupakan alat bagi jiwa untuk melakukan

18

(15)

aktifitas atau kerja. Jasad selalu berubah, berganti, tumbuh, bertambah, dan semakin berkurang sesuai dengan berjalannya waktu (usia). Sehinggga ia mengalami kefanaan setelah berpisah dengan jiwa.19 Jiwa berasal dari akal kesepuluh dibawah bulan dalam teori emanasi Ibnu Sina.20 Objek pemikiran dalam teori emanasinya adalah Tuhan, dirinya sebagai wajibul wujudnya dan dirinya sebagai mumkinul wujud, dari objek pemikiran tentang Tuhan muncul Akal-Akal, dari objek pemikiran tentang dirinya yang wajibul wujud timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran tentang dirinya sebagai mumkinul wujud timbul langit-langit. Jiwa dalam kajian Aristoteles terbagi menjadi tiga jiwa yang juga diamini oleh Ibnu Sina,21 yaitu: pertama jiwa tumbuh-tumbuhan yang mempunyai daya kekuatan makan (nutrition), tumbuh (growth) dan berkembang biak (reproduction). Kedua jiwa binatang yang terdiri dari jiwa gerak (locomotion) dan jiwa menangkap (perception). Daya menangkap ini mempunyai dua bagian yaitu daya tanggap dari luar dengan alat pancaindera dan daya tangkap dari dalam dengan indera-indera dalam. Daya tangkap dari dalam ini juga mempunyai beberapa komponen yang mempunyai beberapa fungsi sesuai dengan daya komponen tersebut.

19

Hasbullah Bakry, Disekitar Filsafat Skolastik Islam, (Jakarta: Tintamas, 1984), hlm. 50.

20

Ada beberapa bukti untuk meyakinkan adanya jiwa ini, yaitu argumen alam kejiwaan, argumen „aku‟ dan kesatuan gejala-gejala kejiwaan, argumen kesinambungan dan argumen manusia terbang, secara jelas diuraikan dalam Poerwantana, A. Ahmadi dan MA. Rosali, Seluk Beluk FilsafatIslam..., hlm. 157-161.

21

(16)

Komponen indera bersama (common sense), yang berfungsi untuk menangkap semua rangsang yang ada dalam sensorik segala pancaindera. Komponen representasi (representation) yang bertugas untuk menyimpan segala apa yang ditangkap dan telah disampaikan oleh rangsang indera bersama. Selanjutnya, komponen imajinasi (imagination) berusaha menyusun apa-apa yang ada dan melanjutkan segala yang ada dalam komponen refresentasi. Dilanjutkan ke komponen estimasi (estimation), komponen ini dapat menangkap dari sensorik komponen imajinasi yang bersifat abstrak dan diluar benda imajinasi. Terakhir komponen sensorik rekoleksi, komponen sensorik tersebut berguna untuk menyimpan apa-apa yang bersifat abstrak yang ada dalam estimasi. Ketiga, adalah jiwa manusia, yang terdiri dari jiwa praktis (practical) yang berhubungan dengan badan-wadag. Jiwa teoritis (theoretical) sebagai isi dari jiwa manusia yang berhubungan dengan jiwa-jiwa abstrak.

(17)

inilah yang sanggup berhubungan dan berinteraksi dengan akal-aktif.22 Menurut Ibnu Rusy, akal-aktif dan akal-materi sebagai substansi yang kekal yang independen ada di luar dari jiwa manusia. Artinya, antara akal-aktif dan akal-materi berpisah satu sama lain, tidak saling berhubungan atau tidak saling mempengaruhi.23

Menurut al-Farabi, akal-aktif bukan merupakan maqam dari manusia intelek, melainkan merupakan substansi imaterial yang ada dari jiwa manusia. Tugas dari akal-aktif adalah membawa manusia ke tingkat tertinggi dari kesempurnaan, yang didedikasikan hanya untuk manusia. Akal-aktif berfungsi mengaktualisasikan potensi rasional dalam manusia dan membuat benda-benda lain dapat dimengerti dalam pikiran manusia, hal ini dilihat dari tercapainya kecerdasan yang sebenarnya dan kemakmuran akhirnya. Al-Farabi mengibaratkan peran akal-aktif dalam kesempurnaan jiwa rasional, dengan matahari yang menyinari benda, sehingga benda tersebut terlihat manusia. Benda terlihat mata karena tersinari matahari. Mata dapat melihat karena ia menerima cahaya dari matahari. Akal manusia dapat mengaktualisaikan potensi jiwa rasionalnya, apabila mampu menerima aktualisasi dari akal-aktif.24

22

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, cetakan kedua, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 35-37.

23

Selebihnya lihat Davoud Zandi, “Rational Explanation of the Relationship between the Material Intellect and the Active Intellect from the Perspective of Averroes”, dalam International Journal of Islamic Thought, Vol. 8: (Dec. 2015), hlm. 14.

24

(18)

Menurut Ibnu Sina, jiwa manusia sebagai entitas tersendiri yang mempunyai wujud tersendiri terlepas dari badan (benda) atau wadah. Jiwa manusia tercipta ada karena ada wadah atau badan yang sesuai dengan frekuansi jiwa yang dapat menerimanya untuk lahir didunia. Hubungan wujud yang sempurna antara jiwa (shurah) dan benda (maddah) dalam kajian Ibnu Sina terletak dalam diri al-khair yang tidak terdapat dalam jirmul-falakil-aqsha. Benda (maddah) akan selau rindu kepada jiwa (shurah) yang diandaikan dengan topeng yang sangat indah. Rasa kerinduan ini akan berdampak pada rasa keinginan untuk mencapai pada maqam zat yang tertinggi (al-jawahirul „alawiyah).25 Pada awalnya jiwa sebagai entitas tersendiri dari badan, tetapi pada awalnya penciptaan jiwa (didunia) wujud badanlah yang menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir. Pancaindera dan daya-daya batin dari jiwa binatang seperti indera bersama, estimasi dan rekoleksi yang menolong jiwa manusia untuk memperoleh konsep-konsep dasar yang diperlukan jiwa untuk mencapai tahap kesempurnaannya (al-jawahirul „alawiyah). Tetapi pada suatu waktu jiwa binatang tersebut malah menjadi penghalang jiwa manusia untuk mencapai derajat kesempuraan. Karena jiwa manusia merupakan satu entitas tersendiri yang terlepas dari badan.

Jiwa binatang dan jiwa tumbuh-tumbuhan yang ada pada diri manusia, hanya berfungsi fisik dan jasmani akan mati bersamaan dengan matinya badan wadah yang tidak akan hidup kembali pada hari

25

(19)

pembangkitan. Jiwa manusia karena bersifat dan berfikir abstrak yang berbeda dengan jiwa binatang dan tumbuh-tumbuhan, maka pembalasannya tidak didunia ini, tetapi akan disampaikan diakhirat kelak. Jiwa jenis ini bersifat kekal selamanya. Jika jiwa manusia ini sudah sempurna sebelum berpisahnya dengan badan (meninggal), maka jiwa ini akan terus sempurna selamanya dan mendapatkan kesenangan yang kekal. Selanjutnya, jika jiwa ini berpisah dengan badan tidak dalam keadaan sempurna, karena telah dipengaruhi jiwa-jiwa binatang dan tumbuh-tumbuhan maka ia akan menyesal dan akan terkutuk untuk selamanya dialam akhirat kelak.26

Manusia menurut Ali Syari‟ati adalah gabungan dari lumpur dan roh Allah, manusia adalah zat yang berdimensi, makhluk yang bersifat ganda, berbeda dengan makhluk Allah yang unidimensional. Dimensi yang satu cenderung kepada susunan lumpur yang bersifat rendah, stagnan dan immobilitas. Dimensi yang lain, berasal dari roh Allah, sebagaimana al-Qur‟an menyebutkan asal-muasal tersebut, dimensi ini cenderung untuk

meningkat dan berjalan kepuncak yang setinggi-tingginya yang dapat diraih yaitu menuju kepada-Nya bukan bersatu dengan Tuhan. 27

Hal yang sama juga disampaikan oleh Muhammad Baqir ash-Shadr yang membagi manusia menjadi dua sisi, yaitu sisi spritual dan sisi material. Sisi materialnya tersusun dari komposisi organik, sedangkan sisi

26

Ibid, hlm. 38.

27 Ali Syari‟ati,

(20)

spiritualnya atau nonmaterial yang merupakan pentas aktivitas pemikiran dan mental. Manusia tidak hanya berwujud kumpulan dari materi yang sangat kompleks, tetapi personalitasnya terdiri dari materi dan nonmaterial yang jamak disebut dualitas. Sadr mengatakan cukup sulit untuk mengetahui hubungan antara dua komponen manusia tersebut. Ada pendapat yang menjelaskan hubungan antara keduanya sangat erat, dan saling mempengaruhi diantara keduanya. Apabila seseorang melihat pocong dalam kegelapan, maka gemetarlah seseorang tersebut, apabila seseorang berfikir, maka terjadilah suatu aktifitas tertentu. Ini akibat pengaruh jiwa (nonmateri). Apabila usia ketuaan secara perlahan sudah merayapi tubuh, lemahlah segala aktifitas mental, atau jika seseorang pemabuk sedang tenggelam dalam minumannya, ia akan melihat benda sebagai dua benda yang sama. Akibat dari pengaruh jiwa terhadap tubuh.

(21)

memiliki hubungan material, karena yang nonmaterial tersebut adalah maqam tertinggi dari riyadhah materi dalam gerak penyempurnaanya yang substansial. Jembatan yang baik ini sebagai temuan yang apik dalam hubungan antara materi dan nonmateri dari filosof diatas. Sadr menambahkan bahwa jiwa itu sendiri tidak lain adalah imaji material yang menjadi tinggi karena gerak substansial. Perbedaan antara sisi spritualitas dan materialitas hanya terletak pada perbedaan derajat saja, seperti panas yang tinggi dengan panas yang rendah. Tidak boleh juga beranggapan bahwa jiwa adalah produk materi dan menjadi salah satu efeknya. Namun, sebenarnya adalah produk gerak substansial yang bukan produk dari materi itu sendiri. Sebab, setiap gerak berasal dari munculnya sesuatu dari potensialitas ke aktualitas secara berangsur-angsur. Potensialitas tidak dapat menciptakan aktualitas dan kemungkinan tidak dapat menciptakan keberadaan. Jadi, gerak substansial memiliki sebab diluar materi yang bergerak. Ruh yang merupakan sisi nonmaterial manusia adalah produk gerak tersebut. Adapun gerak ini sendiri adalah jembatan antara materialitas dan spritualitas.28

C. Epistemologi Filsafat Manusia

1.Penciptaan Manusia

Kreasionisme berarti bahwa dunia fisik dan segala yang ada di dalamnya ada secara obyektif dan secara nyata; dunia fisik bukan rupa dan

28

(22)

ilusi. Gagasan penciptaan dunia dan (peng)ada-(peng)ada hanya mempunyai arti jika dunia ada secara nyata, dengan suatu eksistensi yang khas baginya. Penciptaan berarti alam semesta secara fisik bukan “ada” mutlak, dan tidak mencukupi untuk dirinya sendiri. Dengan demikian, alam semesta secara fisik didedivisasi dan di deklarasi. Alam semesta itu ada, tetapi ia bukan “ada” yang mutlak. Ia bersifat kontingen dan tergantung pada Dia, satu-satunya yang dapat memberikan keadaan. Ia tergantung pada Ada yang mutlak, yaitu Allah.

(23)

Paham kreasionis mewariskan kepada pemikiran manusia ialah keunggulan radikal eksistensi fisik, kosmik, inderawi, badani, atau suatu optimism mendasar. Ajaran teis-kreasionis mengajarkan bahwa alam semesta bukan bagian Dzat Ilahi dan bahwa alam semesta tidak kekal, ajaran teis kreasionis telah mendesakralisasi dan mend-dedivinisasi alam semesta samasekali. Ajaran ini merupakan suatu hal yang baru, sebab bangsa-bangsa Timur purba dan orang-orang Yunani justru mengakui keilahian alam semesta.

(24)

Kasih antara pengada hanyalah mungkin jika pengada-pengada itu benar-benar berbeda dengan yang lain dan masing-masing pengada itu unik kepribadiannya. Metafisika kasih hanyalah mungkin jika didasarkan pada metafisika pencipta, yang mengakui kenyataan eksistensi pengada-pengada yang beranekaragam itu dan yang memandang kejamakan itu bukannya sebagai suatu kekurangan atau suatu hal yang negatif melainkan justru sebagai suatu sifat yang positif dan dikehendaki oleh Tuhan. Teisme kreasionis mempunyai titik pandang eksistensi badani, unik, individual merupakan suatu penciptaan yang positif, bukanlah suatu kemalangan, ilusi ataupun kemerosotan dalam tradisi falsafi India. Etika teismekreasionisme didasarkan pada suatu ontologi kepribadian, suatu teori umum tentang “ada”, tentang yang satu dan yang beranekaragam.29

Teori kreasionisme diatas bertolakbelakang dengan pandangan teori evolusi yang digagas oleh Lamarck dan C. Darwin. Lamarck telah menunjukkan ketidakberubahan relatif, spesies, yang tetap hanya secara temporer. Jika kondisi kehidupan itu berubah, maka spesies-spesies itu berubah, ukuran, bentuk, proporsi pada berbagai bagian, warna, kekuatan, kegesitan dan ketekunannya. Perubahan-perubahan yang terjadi didalam lingkungan telah memodifikasi kebutuhan-kebutuhan atau menciptakan kebutuhan-kebutuhan baru. Kebiasaan-kebiasaan baru itu akan membuat mereka lebih mengutamakan organ-organ tertentu dan mengabaikan organ-organ yang lain. Jika sebuah organ dibiarkan tidak berguna, maka

29

(25)

organ tersebut akan mengerut, yang mungkin pada akhirnya akan menghilang.

Menurut pengamatannya, gigi hewan-hewan yang tidak mengunyah makanan, cenderung berhenti tumbuh atau tidak muncul samasekali. Contohnya adalah tikus mondok, yang matanya kecil sehingga tikus tersebut sering tidak dapat melihat semasekali. Suatu organ jika digunakannya secara terus-menerus akan membuat organ tersebut terus berkembang. Telaah atas variasi-variasi ini mendorong Lamarck untuk menyimpulkan bahwa ketika perubahan terjadi, suatu perubahan itu adalah perubahan untuk menjadi organ yang lebih kompleks secara intensif dan variasi-varasi ini diturunkan kepada anaknya. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh C. Darwin. Darwin menamai teorinya dengan seleksi alam. Seperti dalam kutipan “...Terlestarinya variasi-variasi yang menguntungkan dan tertolaknya variasi-variasi yang tak menguntungkan, saya namakan Seleksi Alam.” Darwin bermaksud mengemukaan sebuah

teori mengenai asal-usul spesies melalui sarana seleksi alam atau bertahannya ras-ras yang beruntung dalam perjuangan untuk mempertahankan kehidupan.

(26)

maju dari Lamarck, keuntungan-keuntungan yang didapat dari modifkasi-modifikasi tententu yang dikekalkan oleh alam, melalui seleksi, dengan cara mengalahkan yang lemah diantara mereka yang mampu bertahan hidup. Seleksi alam tersebut juga terjadi seleksi seksual, jenis perempuan memilih jenis laki-laki yang paling kuat.

Darwin berusaha menemukan mekanisme yang melalui mekanisme tersebut satu spesies dapat berubah menjadi spesies lainnya, dia tidak melihat asal-usul jenis-jenis dasar organisasi. Dia tidak hanya menolak masalah-masalah umum yang menyangkut kesatuan rencana organisasional, tetapi dia juga benar-benar tidak mempercayai hal-hal itu. Dia mengucapkan kata-kata, “Sanggatlah mudah menyembunyikan kebodohan kita di balik ungkapan-ungkapan seperti rencana penciptaan‟, kesatuan penciptaan dan sebagainya.” Ungkapan rencana penciptaan‟ benar-benar mendorong suatu penafsiran tendensius yang tidak dapat diterima. Pemikiran Darwin mengenai seleki alam menjelaskan segalanya, oleh karena itu dia memandang bahwa seekor hewan itu adalah suatu spesies.

(27)

menarik jika dilihat dari sudut pandang berbagai jenis spesies. Kedua, bersifat filosofis, persoalan ini diungkap dan dijelaskan secara jelas.30

Al-Farabi dan Ibnu Sina melontarkan teori pancaran atau emanasi dalam proses penciptaan alam. Proses penciptaan atau pemberian eksistensi dan inteleksi adalah sama. Inteleksi dan kontemplasi inilah realitas dan tatanan yang lebih tinggi memunculkan yang lebih rendah. Wujud Niscaya ini bertafakkur (berfikir) tentang Tuhan tentang Dzat-Nya yang merupakan prinsip dari peraturan dan kebaikan dalam alam memunculkan akal pertama, atau Ibnu Sina menyebut first intellect dan disamakan dengan Malaikat Tertinggi. Akal ini kemudian berfikir tentang Wujud Niscaya sebagai yang niscaya, esensinya (akal pertama) sendiri sebagai niscaya yang tergantung kepada Wujud Niscaya serta berfikir tentang esensinya sendiri sebagai mumkinul wujud. Jadi ia memiliki tiga dimensi pengetahuan tersebut yang berkontemplasi secara sistematis melahirkan Akal Kedua yaitu jiwa dan tubuh langit pertama.31

Akal Kedua yang dihasilkan dengan proses inteleksi dan kontemplasi yang serupa akan menghasilkan Akal Ketiga,yaitu Wujud ke-IV dan bintang-bintang. Dari proses inteleksi dan kontemplasi yang sama Akal Ketiga akan dapat menghasilkan Akal Keempat, yaitu planet Saturnus (Zuhal), dan jiwanya (Wujudnya). Dengan proses inteleksi dan kontemplasi yang sama, Akal Keempat menurunkan Akal Kelima yang

30

Maurice Bucaille, Asal-Usul Manusia: Menurut Bibel, al-Qur`an dan Sains, terj. Rahmani Astuti, cetakan IX, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 42-43 dan 45-54 lihat juga John Gribbin, Bengkel Ilmu Fisika Modern, terj. Dimas H, (Jakarta: Erlangga, 2005), hlm. 183.

31

(28)

mempunyai anggota planet Yupiter (al-Masytara) dan jiwanya (Wujudnya). Proses inteleksi dan kontemplasi yang sama dari Akal Kelima keluarlah Akal Keenam yang berisi planet Mars, beserta jiwanya (Wujudnya). Proses inteleksi dan kontemplasi yang sama dari Akal Keenam turunlah Akal Ketujuh yang berisi Matahari (as-Syams), beserta jiwanya (Wujudnya). Proses inteleksi dan kontemplasi yang sama dari Akal Ketujuh turunlah Akal Kedelapan yang berisi planet Venus (az-Zuharah), beserta jiwanya (Wujudnya). Proses inteleksi dan kontemplasi yang sama dari akal kedelapan jatuhlah akal kesembilan yang didiami planet Mercurius (U‟tarid), beserta jiwanya. Proses inteleksi dan kontemplasi yang sama dari Akal Kesembilan, keluarlah Akal Kesepuluh yang terdiri dari bulan (Qomar) dan jiwanya (Wujudnya), sering disebut akal kesepuluh ini dengan sebutan al-aqlul fa‟al (akal yang aktif bekerja atau active intelec) Jibril atau Al-Wahib Ash-Shuwar.32 Dari sini semesta „substansi‟ tidak lagi memiliki kemurnian untuk melakukan turunan atau

melahirkan langit yang lain.

Akal kesepuluh dalam dunia alamiah (sebagai dunia yang mengitari kehidupan manusia) memiliki berbagai fungsi dasar. Ia tidak hanya memberikan eksistensi kepada dunia ini tetapi juga akan terus memberikan bentuk yang dalam dengan materi yang melahirkan makhluk yang ada di wilayah ini. Ketika semua makhluk lahir, Akal Kesepuluh berperan memberikan bentuk untuk memungkinkan adanya eksistensi dan ketika

32

(29)

makhluk tersebut binasa, Akal Kesepuluh akan menarik kembali sebuah bentuk tersebut dari diri yang lain. Akal Kesepuluh juga berfungsi sebagai pemberi cahaya kepada pikiran manusia. Manusia mengabtraksikan bentuk-bentuk yang manusia dapatkan dari berbagai indera yang kemudian bentuk-bentuk tersebut bercampur dengan materi yang sudah ada di pikiran manusia dan bentuk yang sudah bercampur tersebut akan diangkat ke tataran universal melalui pancaran cahaya dari cahaya iluminasi yang di terima dari Akal Kesepuluh. Sehingga, semua bentuk dan alam raya berada dalam „pikiran kemalaikatan‟, kemudian turun kembali kedunia materi

untuk menjadi bentuk material dan dipartikularisasikan hanya untuk dimunculkan kembali dalam pikiran manusia melalui illuminasi malaikat menuju tingkat bentuk yang universal kembali. Pikiran yang berupa bentuk alam raya yang ada dipikiran manusia mengalami dua proses, sehingga Akal Kesepuluh tidak hanya alat mencipta tetapi juga alat illuminasi dan penyampai wahyu kepada para nabi dan kepada para wali dan kaum gnostik dalam artian yang lebih khusus.33

Ali Syari‟ati dalam memahami konsep informasi penciptaan

manusia yang ada dalam al-Qur`an dan dalam shuhuf Ibrahim dipahaminya dengan simbolik, suatu makna yang dapat diungkapkan dan dimaknai dengan simbol-simbol dan imajinasi. Informasi penciptaan Nabi Adam As sebagai manusia pertama dalam pemahaman Ali Syari‟ati juga

33

(30)

memiliki makna simbolik,34 sampai sekarang kisahnya tetap memiliki nilai (value) yang tinggi, jika kisah Adam ini dalam al-Qur`an dirinci secara rigid, tidak menutup kemungkinan kisah ini akan termakan oleh sejarah. Kisah penciptaan Adam secara lengkap dimulai dari pemberitahuan Tuhan kepada malaikat bahwa Dia ingin menciptakan wakil-Nya di atas bumi. Tuhan Yang Maha Kuasa, menyatakan kepada malaikat akan menunjuk manusia sebagai khilafah-Nya, wakil-Nya di bumi.

Tuhan menganugerahkan status spiritual tertinggi bagi manusia dan mempercayakan misi suci dialam raya ini. Misi suci ini membuat malaikat bertanya: Apakah Tuhan akan menciptakan makhluk yang akan menumpahkan darah, berbuat kejahatan, menyebar kebencian dan balas dendam? Tuhan menjawab, bahwa Ia lebih mengetahui apa-apa yang mereka tidak ketahui. Kemudian, Tuhan memulai menciptakan manusia, wakil-Nya dari tanah, dari bentuk paling rendah dari tanah-tanah liat hitam atau lempung yang berbau. Substansi atau bahan pertama disebutkan seperti tanah tembikar. Berkaitan dengan bahan ini, al-Qur‟an menunjuk pada “air yang hina” atau “tanah yang membusuk” dan “tanah yang sederhana”. Allah memulai menciptakan seorang khalifah atau wakil-Nya dari tanah liat kering. Dan kemudian Ia tiupkan sebagian dari roh-Nya

34

(31)
(32)

Penciptaan wanita dari tulang rusuk pria sebagaimana terjemahan dari bahasa Arab dan bahasa Persi. Kata “rusuk” merupakan terjemahan yang tidak tepat dalam kedua bahasa tersebut. Kedua bahasa ini menerjemahkan kata “rusuk” tidak diterjemahan literer, akan tetapi bermakna hakikat atau esensi. Oleh karena itu, wanita di ciptakan dari esensi yang sama dengan pria.

Hal lain yang menarik adalah hanya manusia sajalah diantara seluruh makhluk-Nya yang mampu menjadi pemegang dan pengembang amanah Tuhan. Hanya manusia yang memiliki keyakinan dan kemampuan untuk menjadi pengemban amanah Tuhan, penjaga karuni-Nya yang paling berharga. Dengan demikian manusia tidak hanya sebagai khalifah tetapi juga sebagai pemegang amanah-Nya. Hal lain yang menandai superioritas manusia adalah kekuatan, kemauannya atau kekuatan iradahnya, yaitu satu-satunya makhluk yang dapat bertindak melawan dorongan instingnya. Manusia yang hanya melawan dirinya sebndiri, menentang hakikatnya dan memberontak terhadap kebutuhan fisik dan spritualnya.

Ali Syari‟ati berpendapat bahwa konsep penciptaan keturunan

(33)

(manusia) itu dari air mani; kemudian ia sempurnakan kejadiannya dan Ia tiupkan padanya sebagian dari spiritnya...(al-Qur‟an surat as-Sajadah(32) ayat 7).35

2. Cara Manusia Memahami Dirinya Sendiri

Kebebasan dalam memahami diri ini menyangkut potensialitas dan aktualitas manusia sebagai jenis maupun sebagai pribadi.36 Karena semakin manusia mendekati asal-usulnya, maka semakin „memiliki‟ kemungkinan-kemungkinan yang tidak terbatas jumlahnya. Masih dapat berubah-ubah, masih dapat menjadi apa-apa, masih tabula rasa. Kemungkinan-kemungkinan ini masih dapat dilihat secara keseluruhan walaupun tidak ada hubungan dengan yang lainnya. Kemungkinan-kemungkinan ini masih manusiawi murni, sehingga tidak ada kemungkinan-kemungkinan yang lain, kecuali potensialitas itu. Kemungkinan-kemungkinan yang potensial itu berkaitan dengan substansi manusia yang lebih dalam, maka tidak aneh disebut dengan potensialitas-substansial. Sedangkan, aktualitas manusia secara penuh merupakan proses pengempalan padat yang mensintesiskan semua yang berharga dalam diri manusia, sampai tidak ada satupun aspek potensialitas yang masih potensial untuk dikembangkan. Sudah menjadi konkrit-riil yang bulat penuh. Dengan demikian substansi manusia menyangkut kesatuan

35 Ali Syari‟ati,

Tugas Cendikiawan Muslim, terj. M. Amien Rais..., hlm. 5-10.

36

(34)

yang utuh-murni antara potensialitas-substansi dengan aktualitas yang murni. Ada potensialitas yang perlu di perhatikan yaitu potensialitas tentang cara memahami diri sendiri (penyempurnaan) diri. Berbagai aliran dan paham telah muncul dengan menggunakan tema, „visi‟ dan konsentrasi

pada hal-hal tertentu dari kehidupan manusia yang disampaikan oleh para filosof dan para sufi dalam pendakian menuju kesempurnaan diri manusia.37

Zaman pertengahan ada beberapa petunjuk kearah penyempurnaan manusia. Salah satunya jalan kelima Thomas Aquinas sebagai bukti bahwa ada pikiran metafisis menuju Tuhan yang bertolak kepada fenomena-fenomena yang nyata. Karena Thomas sendiri adalah termasuk kedalam filosof abad pertengahan yang tentunya menggunakan jalan sebagaimana seorang filosof, „dari bawah ke atas‟ (taraqi), bukan tanazul. Jalan tersebut

adalah pertama, movement (jalan gerakan). Sebuah gerakan harus ada penggerak. Namun jika penggerak sendiri membutuhkan pengerak, maka tidak cukup sebagai dasar. Akhirnya, harus diterima bahwa penggerak ada yang menggerakan diluar penggerak itu atau diluar dirinya. Kedua, causality (jalan kausalitas). Artinya, suatu rangkaian penyebab membutuhkan penyebab diluar penyebab dirinya. Jadi harus ada penyebab pertama yang penyebabkan (cauca prima). Ketiga, contingence (jalan kemungkinan). Suatu rangkaian yang ada bersifat kontingen, dapat ber-ada

37

(35)

dan dapat tidak ber-ada. Ada dasar yang cukup ialah Ada yang mustahil ada yaitu Ada mutlak.

Keempat, exsemplarity (jalan tingkatan). Argumen ini berangkat dari kenyataan bahwa ada dan sifat transenden (seperti: baik, benar, indah dan sebagainya) ditemukan dalam tingkatan yang lebih dan kurang (magis et minus). Lebih dan kurang tersebut menunjuk ke „Summum Bonum‟ dan Maha Ada. Maha Baik dan Maha-ada sebagai dasar yang cukup dan akan hadir dalam segala ada dan mengikuti segala ada dalam partisipasi menurut lebih dan kurang. Kelima, finaly (jalan teleologi). Alasan yang kelima bertolak dari kenyataan bahwa dunia ini menunjukkan suatu keteraturan dan ketertiban untuk menuju kesatu tujuan. Tujuan itu tidak berasal dari makhluk yang tidak berbudi, tetapi makluk yang berbudi yang dapat berhubungan dengan makhluk yang ada dari segala ada. Oleh karena itu, ada budi yang menciptakan segala yang ada dengan terarah menuju kesatu tujuan dalam keharmonisan dengan segala makhluk yang ada.38

Khazanah pemikiran Islam mempunyai kontribusi yang cukup kaya dalam hal ini, khususnya riyadhah hati (manajeman hati). Ibnu „Arabi (1165-1240 M) dengan memunculkan wahdatul wujud yang cukup kontroversial itu secara sistematis telah menyusun pendakian menuju insan kamil atau hakikat al-Muhammadiyyah. Ibnu „Arabi membedakan dua jenis insan kamil, yaitu insan kamil universal dan insan kamil particular-individual, berkaitan dengan yang kedua dalam hal ini Ibn „Arabi sering

38

Tentang uraian ini lihat Adelbert Snijders, Antropologi Filsafat Manusia...,hlm. 154-155 dan Ahmad Tafsir, Fisafat Ilmu, Mengurai Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi Pengetahuan,

(36)

membedakan manusia sempurna (al-insan al-kamil) dan manusia hewan (al-insan al-hayawan). Ibn „Arabi telah memberikan pengertian tentang insan kamil dengan dimensi kehadiran Nama-nama Tuhan yang muncul padanya disertai dengan sisi ciptaan luarnya (khalq). Ibn „Arabi melanjutkan gambarannya tentang dua dimensi kognitif manusia. Dimensi batinnya adalah Tuhan dan dimensi lahirnya adalah makhluk. Jika manusia hanya memiliki sifat lahirnya saja, dan tanda perpaduan Nama-nama Tuhan, maka dia bukan manusia dalam arti yang sesungguhnya. Lebih tepatnya ia disebut manusia binatang yang lebih rendah dari binatang-binatang lainnya. Perbedaan ini tidak se-ekstrim yang dibayangkan, karena dalam realitasnya manusia diciptakan untuk mencapai kesempurnaan itu. Jadi, setiap manusia memiliki potensi untuk mencapai derajat kesempurnaan.39

Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali (1059-1111 M) yang terkenal dengan Ihya‟ „Ulum al-Din-nya menguraikan maqam-maqam yang harus dilalui seorang salik untuk mencapai mahabbah (cinta), yaitu maqam taubat, sabar, kefakiran, zuhud, tawakal, mahabbah, ma‟rifat dan ridha.40 Ada dua model penyempurnaan diri dari dua tokoh tersebut diatas, yaitu penyempurnaan diri yang ada kaitannya dengan nilai-nilai kemanusiaan yang bersumber dari olahan pemikiran berdasarkan data-data atau

39

Uraian yang sama lihat dalam Masataka Takeshita, Insan Kamil: Pandangan Ibnu Arabi, terj. Harir Muzakki, (Surabaya: Risalah Gusti, 2005), hlm. 130-134.

40

(37)

fenomena-fenomena terdalam yang sering disebut humanisme (filsafat humanism). Penyempurnaan diri yang lain adalah berkaitan dengan kehidupan rohaniah dan „pengolahan hati‟ (riyadhah) yang sering identik

dengan tasawuf.

D. Aksiologi Filsafat Manusia

1. Nilai-nilai Humanis-Religius

a. Persatuan

Pemahaman Max Scheler (1874-1928) dapat membantu untuk melihat betapa pentingnya nilai ini dalam kehidupan bersama. Scheler menempatkan solidaritas sebagai satu sikap yang sebenarnya dalam masyarakat. Solidaritas merupakan cara melihat realitas dan menerima orang lain, bahkan terlibat dalam dunia. Prinsip solidaritas adalah suatu prinsip hidup yang paling dekat dengan pengalaman hidup bersama. Dalam komunitas solidaritas dapat dilihat sebagai prinsip yang mempersatukan setiap orang menurut tingkat partisipasinya. Setiap orang menghargai keunikan dari anggota-anggota komunitas lain dan etos-etosnya.

(38)

dari generasi ke generasi. Solidaritas mekanistik terjadi dalam ranah di mana hubungan didasarkan pada kepentingan individu atau kelompok semata. Setiap individu mencapai tujuannya dengan berbagai macam cara. Perhatian dalam hal ini adalah caranya masing-masing. Semua kontrak bisnis, misalnya, kerap kali mendukung tujuan individualistik bukanlah kepentingan masyarakat sebagai keseluruhan. Solidaritas personalistis adalah solidaritas yang mengatasi kepentingan keseluruhan dan kepentingan individu. Solidaritas ini berdasarkan penghargaan terhadap pribadi manusia sebagai nilai tertinggi. Individualitas dari pribadi dalam solidaritas ini tidak tergantikan. Solidaritas ini hanya menjadi nyata dalam komunitas yang mengakui eksistensi persona.41 b. Amanah atau Kepercayaan

Nilai ini menjadi sebuah tuntutan mendasar dalam relasi sosial, bahkan menentukan mutu hubungan bermasyarakat. Francis Fukuyama menempatkan kepercayaan sebagai social capital, artinya modal sosial yang harganya tidak ternilai. Apa arti dan maksud dari kepercayaan? Kepercayaan dalam hal ini tidak dimaksudkan dalam arti religius, suatu keyakinan yang bersifat vertikal, melainkan dalam arti humanis yang bersifat horizontal. Dengan demikian, kepercayaan yang dibicarakan adalah menyangkut hubungan manusia dengan manusia.

Terkait dengan topik di atas dua hal penting, yakni mempercayai dan dipercayai. Mempercayai orang lain memuat tiga hal. Pertama,

41

(39)

percaya pada perkataan orang lain. Mendengar dan menyimak perkataan orang lain serta menerimanya sebagai benar merupakan inti dalam hal ini. Itu berarti di depan orang yang berbicara harus berani (kita) menghilangkan sikap-sikap curiga apalagi berpikir negatif. Akan tetapi percaya pada perkataan orang lain bukan berarti menerima begitu saja perkataan secara mentah-mentah. Percaya dalam hal ini tetap menyertakan ketelitian dan kehati-hatian. Langkah pertama berhadapan dengan orang lain perlu diawali dengan kepercayaan, bukan ketidakpercayaan atau kecurigaan.

Kedua, kepercayaan terkait dengan kesediaan mengakui orang lain. Sikap ini tentunya hanya bisa terwujud kalau di dalam diri ada pengakuan terhadap orang lain. Pengakuan ini bersangkuan dengan potensi yang dimiliki oleh orang lain sekaligus kesediaan melihat dan mengakui kemampuan orang lain. Ketiga,kepercayaan terkait dengan sikap keterbukaan. Dasar kepercayaan terhadap orang lain adalah sikap terbuka. Artinya supaya orang percaya pada orang lain ia harus pertama-tama membuka diri terhadap yang lain.42

c. Keterbukaan

Manusia hanya benar-benar menjadi dirinya sendiri sepanjang dia membuka dan menyatukan diri dengan sesamanya. Tanpa pembukaan diri ini, ia terkekang dan kehilangan bentuk wujud yang sewajarnya. Dengan kata lain, manusia tanpa bersama-sama dengan

42

(40)

manusia yang lain tidak bisa berkembang, bahkan tanpa syarat ini ia sebenarnya tidak bisa menjadi manusia. Manusia yang tunggal dan tersendiri tidak merasa diri lengkap tanpa hubungan keterbukaan dengan manusia-manusia lain. Martin Buber mengatakan keterbukaan merupakan syarat mendasar untuk menciptakan hubungan interpersonal dan dialog yang baik. Tanpa nilai ini hidup bersama tidak akan memiliki arti. Yang ada adalah kehampaan yang membuahkan kecurigaan, prasangka satu sama lain.

Keterbukaan memiliki dua sisi yang dapat dibedakan satu dengan yang lainnya. Kedua sisi itu adalah terbuka kepada yang lain dan terbuka bagi yang lain. Terbuka kepada yang lain bersifat aktif, dalam arti individu lebih banyak bertindak memperkenalkan diri dan keberadaannya pada orang lain. Ini berarti kesediaan dituntut dari setiap individu untuk mengungkapkan reaksi-reaksi dan pengalaman hidupnya kepada orang lain dalam relasi sosial. Sedangkan terbuka bagi yang lain sifatnya lebih pasif, karena di sini individu menyediakan diri untuk orang lain. Pada sisi ini individu memperlihatkan kesediaan untuk mendengarkan orang lain dan membiarkan orang lain untuk mengungkapkan diri. Sikap menerima dan mengakui serta mendengarkan merupakan inti dari sisi ini.43

43

(41)

d. Propetik-Humanis

Sikap propetis berarti sikap yang bercirikan kenabian. Kata ini, seperti yang disampaikan dimuka, mempunyai misi illahiyah yang termanifestasi dalam misi kemanusiaan yang luhur. Ciri khas yang konseptual adalah terjadinya kesinambungan antara ortodoksi dengan ortopraksi, antara teks dan praksis berkesinambungan. Secara lebih luas ciri-ciri ini menyangkut pembebasan, sekularisasi, dan demistifikasi. e. Tanggung jawab

Aktivitas hidup manusia sebagai makhluk sosial tentunya tidak hanya menerima, namun juga memberi. Artinya, orang tidak bisa hidup hanya dengan menerima, melainkan juga dengan memberi. Justru dengan memberi manusia berkembang secara baik. Sebaliknya, manusia tidak akan bisa hidup hanya memberi saja, melainkan juga menerima, sebab ia juga tergantung pada orang lain. Keduanya harus saling mengisi dan seimbang. Namun demikian dari dua aktivitas itu aktivitas memberi memiliki nilai lebih dibandingkan dengan kegiatan menerima. Karena melalui aktivitas itu manusia mewujudkan dimensi sosialnya secara nyata.44

2. Nilai Religiuitas Manusia

Manusia dalam sejarah mengenalkan diri sebagai makhluk religi atau “homo religius”. Dimensi religius dapat ditemukan dalam diri

manusia itu sendiri (kita). Penghayatan religius termasuk salah satu

44

(42)

penghayatan manusiawi yang menjadi refleksi manusia. Refleksi ini tidak mempunyai tujuan yang lain, kecuali memperdalam diri manusia itu sendiri. Temuan dari refleksi ini adalah manusia menemukan dirinya yang terarah kepada Tuhan. Setidaknya ada tiga faktor yang mempengaruhi manusia untuk memikirkan atau menimbulkan rasa dan potensi ketuhanan sebagai ciri makhluk berketuhanan. Faktor-faktor tersebut adalah faktisitas manusia. Maksud dari faktor ini secara singkat ialah cara yang digunakan manusia untuk berhubungan dengan suatu kesadaran yang menangkap eksistensi atau berada dalam keadaan yang tidak sempurna untuk mengungkapkan dan mengutarakan eksistensi yang khas bagi sesuatu hakikat yang maha sempurna. Kedua, pertanyaan transendensi manusia, suatu faktor yang nampak secara langsung dalam diri manusia.

(43)

kemudian tidak boleh tidak menimbulkan masalah tentang Tuhan, setidak-tidaknya dalam bentuk pertanyaan.45

Gabriel Marsel menyatakan masalah ketuhanan berhubungan dengan ada, dari segala kenyataan yang ada. Tuhan dikemukakan bagaikan “the Ground of all being”. Orang yang menghayati kehadiran Allah sebagai Pencipta dalam kenyataan, pada saat itu orang tersebut benar-benar melihat kenyataan yang sesungguhnya. Kenyataan ini dihayati multi-dimensional oleh orang yang melihat dengan hati yang suci-murni. Penghayatan religius seseorang bahwa melihat Allah sebagai kehadiran Sang Pencipta adalah dalam segala kenyataan. Tuhan terlebih dahulu dihayati seseorang, baru kemudian diungkapkan dengan argumen-argumen dengan berbagai disiplin ilmu ilmiah yang sistematis metodologis.46 3. Kualitas Manusia

Kualitas manusia dalam hal ini akan menuju kesempurnaan. Kesempurnaan manusia sama dengan „menjadi aku‟ yang sebenar -benarnya dari proses menjadi manusia dalam kerangka cita-cita induk manusia. Cita-cita ini adalah memanusiakan manusia secara sadar dan terbangun. Kesempurnaan ini tidak melayang-layang dilangit sebagai kenyataan lengkap, tidak merupakan „blue-print‟ yang telah disusun dengan selesai yang langsung dikerjakan. Kesempurnaan seperti ini belum ada. „Manusia sempurna‟ yang harus muncul belum ada, dunia yang ideal

belum ada, moral yang harus dikerjakan belum tersedia, yang ada adalah

45

Louis Leahy SJ, Filsafat Ketuhanan Kontemporer..., hlm. 38-42.

46

(44)

aku yang aktual ini. Semua yang saya sadari dan saya cita-citakan dapat hadir disini, termasuk janji, ramalan konkrit, dan harapan atau proyek. Hal ini masih harus diamalkan, tetapi hanya sebuah janji yang masih kabur. Sehingga kesempurnaan diketahui atau tidak diketahui.

(45)

dinamis. Makin dangkal cita-cita sekunder itu, maka makin mudah diubah dan ditinggalkan secara perlahan-lahan.47

Cita-cita induk ini misalnya adalah mencari pengetahuan kebenaran. Secara operasional telah ditunjukkan oleh kisah seorang Hayy yang berada disebuah hutan belantara.48 Fase pertama dimulai dari pengasuhan dan penjagaan serta perlindungan induk Rusa dari kecil sampai berusia tujuh tahun. Fase kedua, dimulai dengan kematian sang Rusa. Ia mencari penyebab kematian rusa itu. Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab kematian sang induk Rusa adalah sesuatu yang ada dalam jantungnya. Fase ketiga terjadi ketika sang Hayy menemukan api, ia belajar cara mengunakan dan memperolehnya. Dari penemuan ini ia mulai mengetahui keberadaan ruh hewani (ruh hayawanii). Fase keempat, Hayy mulai meneliti benda-benda yang ada didalam kawn (penciptaan) dan alam jasad (benda). Ia mengenal benda yang bersifat tunggal dan majemuk, benda dan jiwa. Ia melihat kesesuaian antara materi al-Ka‟inat (benda yang ada di alam semesta) dan ketidaksesuaian (surah: bentuk) materi. Ia juga mengenal dua macam benda, yaitu berat dan ringan, bergerak kebawah dan keatas, menemukan penyebab yang ada tertinggi dari segala penyebab sampai Hayy berumur duapuluh tahun.

47

Anton Bakker, Antropologi Metafisik, Cetakan ke-7 (Yogyakarta: Kanisius Bekerjasama dengan Yayasan Adikarya Ikapi Dan The Ford Foundation, 2000), hlm. 89-90.

48

(46)

Fase kelima, Hayy mulai bergerak keatas dari sekedar mengamati benda-benda yang ada dibumi kebenda-benda yang ada di langit. Kemampuan ini mengambarkan bahwa Hayy menyadari akan keberadaan wujud-wujud diluar manusia, apakah alam itu qadim atau hadist? Pertanyaan ini membawa kepada siapa wujud yang hakiki itu? Fase keenam, Hayy sudah berusia tigapuluh lima tahun dan telah mencapai kematangan berfikir. Hayy sekarang memahami bahwa ruh terpisah dan berbeda dengan badan. Tidak ada kaitannya antara ruh dan yang disemayami. Hayy telah sampai kepada kematangan berfikir, sehingga menuntun jiwanya kedalam kemapanan jiwanya. Hayy berpendapat bahwa kebahagiaan yang abadi dan kekal dapat diraih oleh jiwa-jiwa yang mampu menyakinkan dan menyaksikan Tuhan Allah. Inilah jiwa yang abadi. Fase terakhir adalah Ibnu Thufayl secara tegas menyatakan bahwa mushahadah adalah metode yang harus ditempuh oleh manusia untuk mencapai kebahagian dan keselamatan.49

Cita-cita mencapai kesempurnaan merupakan cita-cita luhur dan cita-cita induk bagi setiap insan. Literatur dalam kajian kesempurnaan ini secara umum ada dua, yaitu tanazulat dan taraqi. Tanazulat adalah turun-Nya Tuhan dengan melewati beberapa martabat ketuhanan. Hal ini sama seperti konsep tajjali Tuhan yang melewati tujuh martabat. Dengan kata lain, Tuhan melewati tujuh martabat menuju alam manusia untuk „bersatu‟

dengan manusia pilihannya. Hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi

49

(47)

dalam dunia sufistik, kecuali beberapa hamba seperti Nabi Musa yang dapat berdialog dengan Tuhan Allah Swt. Selain itu, dalam kajian pemikiran Muhammadiyah hal ini merupakan hal yang mustahil, karena di dalam diri Muhammadiyah tidak ada praktek-praktek sufi seperti diatas. Kedua, taraqi. Konsep ini merupakan cara menuju Tuhan yang berlawanan dengan tanazul. Konsep taraqi ini merupakan cara atau perjalanan mi`roj atau naiknya suatu insan untuk menatap Tuhan.50

4. Model Manusia

a. Rausyan-Fikr model Ali Syari`ati

Ali Syari‟ati membedakan antara manusia sebagai basyar dan

sebagai insan. Basyar adalah makhluk yang sekedar berada (being). Insan adalah manusia yang memiliki karakteristik khusus yang berlainan dengan yang lain sesuai dengan tingkatan realitas dan esensinya. Manusia jenis ini bergerak kearah taraf-taraf yang lebih tinggi dalam proses menjadi insan. Jelasnya, insan adalah manusia yang berproses bergerak maju (becoming) kearah kesempurnaan. Hanya manusia saja yang “menjadi” (maju), bukan fenomena lainnya dialam

ini. Misanya, semut dan serangga tidak pernah dapat melampui keadaannya atau eksistensinya; ia menggali lubang dengan cara yang sama sebagaimana ia melakukannya 15 juta tahun yang lalu diafrika.

50

(48)

Keadaan ini tidak usah dipandang dimana, bagaimana sudah begitu pasti dan tidak berubah.51

„Proses menjadi„ sebagai tujuan dari manusia yang digagasnya

akan bermuara kepada adanya manusia rausyan fikr. Kata raushan fikr merupakan bahasa Persia yang bermakna ganda yang berasal dari bahasa Arab munawwar al-fikr. Kata ini boleh disamakan dengan kata “intelektual”, tetapi terkadang Ali Syari`ati memberikan dua, makna „intelektual‟ atau „nabi sosial‟. Sehingga kata ini dapat dimaknai

„intelektual‟ dan „orang yang tercerahkan‟, karena akan tergantung

kepada konteksnya.52 Kata ini mempunyai arti orang yang sadar akan keadaan kemanusiaan dimasanya, serta setting kesejarahan dan kemasyarakatannya. Keadaan ini dengan sendirinya akan memberinya rasa tanggung jawab sosial, menumbuhkan rasa tanggungjawab, kesadaran dan memberikan arah intelektual dan sosial kepada masyarakat.

Peran dan tanggungjawab orang-orang masa kini yang tercerahkan didunia ini sama dengan tanggungjawab dan peranan para nabi dan para pendiri agama-agama besar yang mendorong terwujudnya perubahan-perubahan struktural yang mendasar di masa lampau. Mendorong gerakan-gerakan besar yang revolusioner, yang mendobrak tetapi konstruktif, yang akan mengubah masyarakat-masyarakat yang

51 Ali Syari‟ati,

Tugas Cendikiawan Muslim, terj. M. Amien Rais..., hlm. 51-52. 52 Selebihnya, lihat catatan kaki dalam Ali Syari‟ati,

(49)

beku, statis dan mandek menjadi masyarakat yang memiliki arah, gaya hidup, pandangan, budaya dan nasib mereka sendiri. Orang-orang ini tidak termasuk golongan para nabi dan juga bukan bagian dari rakyat jelata yang tidak berkesadaran dan mandek. Mereka adalah individu-individu yang sadar dan bertangungjawab membangkitkan karunia Tuhan yang mulia, yaitu kesadaran diri dari rakyat jelata yang mampu mengubah rakyat yang statis dan bobrok menjadi kekuatan yang dinamis dan kreatif. Secara ideal sang pencerah yang memberi pencerahan adalah hanya Nabi Muhammad saw. Orang-orang yang tercerahkan bukan orang yang pernah pergi ke Eropa, Amerika, Mesir, mempelajari aliran pemikiran tertentu, lulus sebuah kursus tertentu, atau memperoleh gelar kesarjanaan yang tertinggi. Jika hal ini terjadi ketercerahkan bukan merupakan hasil pendidikan universitas, namun sebelum ia mendapatkan pendidikan universitas. Secara nyata tidak ada contoh manusia tercerahkan secara universal pada zaman ini. Ada orang dari berbagai jenis yang termasuk orang yang tercerahkan.53 Manusia model ini tidak serta merta ada dengan sendirinya, akan tetapi sebagaimana maqam-maqam dalam ilmu tasawuf harus menyingkirkan, menjauhi atau melepaskan dari penjara-penjara humanisme, cobaaan,

53

Konsep teori tentang Rausyan-fikr secara luas dapat dilihat dalam Ali Syari`ati,

(50)

atau godaan, yaitu alam (biologisme), sejarah (historisisme), masyarakat (sosiologisme), dan dirimu sendiri (ego).54

Manusia ideal menurut Ali Syari‟ati adalah manusia

theomorphis yang dalam dirinya terdapat ruh Allah yang telah dimenangkan dengan iblis, lempung dan lumpur endapan. Manusia tersebut telah bebas dari dua infinita, bergerak maju menuju sasaran dan kesempurnaan mutlak, sebuah evolusi yang abadi dan tidak terhingga, bukan sebagai acuan manusia yang seragam. Manusia tersebut hidup dan bergerak ditengah-tengah alam, sang manusia ideal lebih memahami Allah, dia mencari serta memperjuangkan umat manusia dengan demikian dia dapat menemui Allah. Dia tidak meninggalkan alam dan tidak mengabaikan umat manusia.55

b. Monodualis Model Notonagoro

Menurut Notonagoro hakikat manusia terdiri dari tiga kodrat, yaitu susunan kodrat, sifat kodrat dan kedudukan kodrat menjadi kesatuan yang bulat dan harmonis dalam bingkai monodualis manusia.56 Hakekat manusia sebagai susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa (rukhani) yang tidak maujud berupa benda, yang mempunyai sumber-sumber kemampuan, kekuasaan tiga jenis yaitu: akal, rasa kejiwaan dan kehendak kejiwaan. Perbedaannya dengan keinginan

54

Ali Syari‟ati, MaknaHaji, terj. Burhan Wirasubrata, (Jakarta: Yayasan Fatimah, 2001), hlm. 122. Lihat juga uraian secara lebih rinci dalam Ali Syari‟ati, Tugas Cendikiawan Muslim..., hlm. 49-82.

55 Ali Syari‟ati,

Tentang Sosiologi Islam..., hlm. 161-162.

56

(51)

hewani, unsur benda mati atau tumbuhan mempunyai kehendak kejiwaan yang dapat tarik-menarik dan menolak-nenolak secara otomatis. Kehendak kejiwaan dalam diri manusia adalah bersifat aktif tidak pasif, tidak otomatis tertarik oleh hal yang baik dan senang serta mampu menolaknya, sebaliknya tidak otomatis menolak hal yang tidak senang serta mampu mengendalikan diri berpedoman kepada kebaikan kejiwaan.

Manusia yang terdiri atas tubuh atau raga dan jiwa itu tidak terpisah satu dari lainnya, akan tetapi dalam susunan organis kedua-tunggalan, tersusun atas dua unsur hakekat yang bersama-sama merupakan suatu keutuhan dan keseluruhan baru, tidak hidup raga saja atau hidup jiwa saja dalam dirinya sendiri. Mausia mempunyai sifat kodrat sebagai perseorangan dan sebagai warga hidup bersama atau makhluk sosial. Sifat kodrat yang dimiliki manusia yang harus hidup bersama sebagai perseorangan dan sebagai warga masyarakat (warga negara) atau makhluk sosial. Sifat kodrat diatas akan nampak dalam kehidupan kenegaraan khususnya, karena kodrat selalu ada, selalu menjelma, tidak dapat dihilangkan, tidak dapat diabaikan. Kadang-kadang menurut keadaan, kebutuhan dan kepentingan pada sesuatu saat, sifat perseorangan manusia lebih muncul, lebih kuat menjelma daripada yang lain, sifat makhluk sosial manusia. Pada waktu lain, yang muncul lebih kuat menjelma adalah sifat makhluk sosial manusia.57

57

(52)

Manusia mempunyai kedudukan kodrat sebagai pribadi yang berdiri sendiri dan sebagai makhluk Tuhan. Manusia sebagai pribadi merupakan keutuhan, keseluruhan diri, dengan susunannya atas raga dan jiwa dalam kedua-tunggalan, sumber-sumber kemampuan jiwanya akal-rasa-kehendak maupun sifat-sifat hakekatnya sebagai individu dan pribadi bermasyarakat atau makhluk sosial. Sekarang sifat monodualis itu ternyata meliputi pula susunan dari manusia, kedua-tunggalan raga dan jiwa, sedangkan di dalam unsur hakekat jiwa terdapat ketiga-tunggalan akal, rasa dan kehendak. Jadi karena semua unsur hakekat mewujudkan ketunggalan, maka hakekat manusia adalah majemuk tunggal, monopluralis. Dengan demikian hakekat manusia sebagai keutuhan, keseluruhan, diri, yang hidup, di dalam hidupnya penjelmaan daripada unsur-unsurnya hakekat mempunyai sifat ketunggalan sebagai bawaan mutlak hakekat, berkeragaan, berkejiwaan, berakal, berasa, berkehendak, berindividu, bermakhluk sosial, berpribadi berdiri sendiri. Manusia monopluralis yang terdiri dari berbagai hakikat ini sekaligus berhakikat sebagai makhluk Tuhan.

(53)

yang kemakhlukan sosial, yang berkepribadian berdiri sendiri serta yang bermakhlukan Tuhan.58

c. Insan Kamil Model Hamzah Fansuri

Hamzah Fansuri berpandangan bahwa manusia sebagai alam shaghir (mikrokosmos) yang dapat menjadi representasi alam kabir (makrokosmos) maka manusia menjadi barzakh, penghubung antara Tuhan dan alam semesta sebagaimana air menjadi penghubung antara ombak dan laut. Doktrin insan kamil ini oleh Hamzah ditempatkan sebagai puncak kajian tasaw

Referensi

Dokumen terkait

segala Sifat-Nya, yaitu dengan memperbanyak dzikir kepada Allah, memperbanyak sholat sunnah dan mengingat tragedi akhirat. Kyai Dahlan terus berfikir benarkah Islam

Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah “Manusia: Konsep Penciptaan untuk Memperoleh Kemuliaan Hidup (2)”, Tafsir At- Tanwir, Suara Muhammadiyah, No.9/Th

Jika dikatakan bahwa manusia (Jawa) terbentuk dari badan dan jiwa misalnya, itu tidak berarti bahwa manusia (Jawa) itu seakan- akan terdiri dari dua realitas yang ada dan

Mesoderm bakal jantung terdapat pada dua daerah terpisah, masing-masing terletak pada kedua sisi tubuh embrio yang merupakan bagian dari mesoderm akan menjadi usus depan

Apa yang dipikirkan Plato memiliki kesamaan dengan Ajaran Islam, yaitu tentang konsep manusia yang memiliki dasar jiwa dan raga, keduanya adalah fasilitas yang diberikan

 Sebagai mahluk individu, manusia adalah salah satu mahluk ciptaan Tuhan yang memiliki unsur jasmani (raga) dan rohani (jiwa). Unsur – unsur tersebut tidak dapat

Dalam kaitannya dengan hakikat manusia, aliran ini berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua asas yang terpisah, tidak saling terkait, yaitu jiwa ataurohani dan raga atau

Pengertian Manusia, Kebudayaan dan Peradaban Manusia adalah makhluk ciptaan tuhan yang paling sempurna yang terdiri dari tubuh dan jiwa sebagai satu kesatuan yang utuh, yang