• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Financial Distress

Meskipun telah banyak riset mengenai financial distress, namun belum ada definisi yang dapat diterima secara baku yang muncul dari penelitian-penelitian tersebut. Penelitian mengenai financial distress pertama kali diawali oleh Beaver (1966). Beaver mendefinisikan financial distress sebagai kebangkrutan, ketidakmampuan perusahaan melunasi hutang. Menurut Mariana (2013) Financial distress terjadi sebelum suatu perusahaan benar-benar mengalami kebangkrutan.

Sedangkan menurut Platt dan Platt (2002) financial distress merupakan suatu kondisi dimana keuangan perusahaan dalam keadaan tidak sehat atau mengalami krisis. Financial Distress didefinisikan sebagai suatu kondisi dimana perusahaan mengalami kesulitan dalam memenuhi kewajibannya terhadap kreditur. Setiap studi mengadopsi definisi masing-masing. definisi financial distress yang digunakan secara umum, antara lain:

1. Bukti adanya pemecatan, restrukturisasi, atau pembayaran dividen yang dilewatkan, digunakan oleh Lau (1987).

2. Interest Coverage Ratio rendah, digunakan oleh Asquith, Gertner, dan Scharfstein (1994).

3. Perubahan dalam harga ekuitas atau EBIT negatif, digunakan oleh John, Lang, dan Netter (1992). Perubahan dalam harga saham ditunjukkan sebagai prediktif atas kondisi finansial. (Queen dan Roll, 1987).

4. Laba bersih negatif sebelum perkiraan khusus. Digunakan Hofer (1980). Dimana perusahaan gagal mendapatkan dana untuk memenuhi kewajiban perusahaan.

Platt dan Platt (2006) mengadopsi interpretasi multidimensional dari financial distress, dimana mereka mengindikasikan perusahaan mengalami financial distress hanya apabila perusahaan memenuhi tiga kriteria, yaitu

1. Negatif EBITDA interest coverage (Seperti Asquith, Gertner, dan Scharfstein, 1994)

2. Negatif EBIT (seperti John, Lang, dan Netter, 1992).

3. Laba bersih negatif sebelum perkiraan khusus. (seperti hofer, 1980).

Seperti yang telah diuraikan diatas, terdapat beberapa kriteria yang dapat mengindikasikan kondisi financial distress. Classens et al. (1999). Classens et al. mengklasifikasikan perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan jika perusahaan tersebut memiliki interest coverage ratio (rasio antara biaya bunga terhadap laba operasional) kurang dari satu. Almalia dan Kristijadi (2003) menyatakan bahwa perusahaan yang mengalami

financial distress adalah perusahaan yang selama beberapa tahun mengalami laba bersih operasi (net operation income) negatif dan selama lebih dari satu tahun tidak melakukan pembayaran dividen. Hidayat (2013) mengkategorikan suatu perusahaan sedang mengalami financial distress jika mempunyai interest coverage ratio yang kurang dari satu. Mariana (2015) juga menggunakan interest coverage ratio kurang dari satu sebagai pedoman pengklasifikasian financial distress.

2.1.2 Management Capability

Management capabilty mengacu pada penerapan dari kompetensi manajemen dalam organisasi demi mencapai tujuan yang ingin dicapai. Management capabilty juga diartikan sebagai potensi dari manajemen dalam suatu perusahaan dalam mencapai tujuan perusahaan (Australian Management Capability Index, 2012). Management Capability menjelaskan seberapa efektif tim manajemen dalam perusahaan menerapkan kompetensi dan pengetahuan mereka dalam praktik dalam perusahaan untuk mendapatkan hasil bisnis yang ingin dicapai. Tim manajemen yang berfungsi tinggi akan memanfaatkan kemampuan dan kekuatan yang berbeda dari setiap individu dalam tim, untuk memenuhi permintaan yang selalu berubah-ubah dan mencapai hasil yang diharapkan.

Manajemen atau agent ditafsirkan sebagai kepala dari sebuah perusahaan atau jika dilihat dari perspektif teori keagenan (agency theory) adalah sebagai representatif dari pemilik dan pemegang saham

(shareholder). Management capability memiliki pengertian sebagai kemampuan atau keahlian yang dimiliki oleh seorang manajer dalam mengelola sebuah perusahaan (Ahmad G. N., 2013). Menurut Hambrick & Mason (1984) Management capability adalah kemampuan yang dimiliki manajemen perusahaan, yang bertanggung jawab memberikan pengarahan secara keseluruhan dari perusahaan. Di samping itu para manajer juga mengkoordinasi fungsi-fungsi manajemen sehingga visi dan misi perusahaan dapat tercapai. Manajer juga bertanggung jawab mengatur tujuan strategis perusahaan untuk masa mendatang. Performa dari perusahaan merupakan refleksi dari performa yang dicapai oleh manajemen dalam perusahaan (Hambrick dan Mason, 1984).

Menurut D’Aveni (1990), Kemampuan manajemen (Management capabilty) yang dimiliki suatu perusahaan memiliki pengaruh dalam menyebabkan krisis. Manajer yang memiliki kemampuan manajerial yang baik akan memiliki strategi perencanaan finansial yang baik.

Whitaker (1999) menyatakan bahwa inkompetensi dari manajer dalam menjalankan perusahaan memiliki peran yang sama dengan fundamental perusahaan dalam menyebabkan kondisi permasalahan keuangan perusahaan. Kemampuan manajemen (Management Capability) memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kondisi keuangan perusahaan. Management Capability yang buruk dapat mengakibatkan perusahaan gagal memenuhi tujuannya yang kemudian menyebabkan

perusahaan masuk dalam kondisi permasalahan keuanganan (Financial distress).

2.1.2.1 Teori keagenan (Agency Theory)

Teori keagenan menjelaskan hubungan antara principal dengan Agent. Dimana pemilik dan pemegang saham (Shareholders) sebagai principal dan pihak manajemen sebagai agent. Manajemen sebagai pihak yang dikontrak oleh pemegang saham, bekerja demi kepentingan pemegang saham yang didalamnya termasuk pemberian wewenang pada manajemen untuk membuat keputusan (Jensen and Meckling, 1976: 308). Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan hubungan keagenan di dalam teori agensi (agency theory) bahwa perusahaan merupakan kumpulan kontrak (nexus of contract) antara pemilik sumber daya ekonomis (principal) dan manajer (agent) yang mengurus penggunaan dan pengendalian sumber daya tersebut.

Hhubungan keagenan ini mengakibatkan dua permasalahan yaitu :

a. terjadinya informasi asimetris (information asymmetry); dan b. terjadinya konflik kepentingan (conflict of interest)

Asimetri informasi adalah suatu kondisi dimana terdapat informasi yang tidak seimbang yang ditimbulkan akibat adanya distribusi informasi yang tidak merata antara principal dan agent

yang berakibat pada timbulnya dua permasalahan yang disebabkan adanya kesulitan principal untuk memonitor dan melakukan kontrol terhadap tindakan-tindakan agent (Emirzon, 2007). Sedangkan konflik kepentingan (conflict of interest) timbul akibat adanya perbedaan tujuan, dimana manajemen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan pemilik. Pemegang saham berharap pihak manajemen menjalankan perusahaan dengan tujuan meningkatkan nilai perusahaan, sedangkan manajemen berkeinginan untuk menjalankan perusahaan untuk menambah kekuasaan dan kekayaan dirinya.

Menurut Bathala et al, (1994) masalah seperti konflik kepentingan (conflict of interest) antara pemegang saham dan manajemen dapat dikurangi dengan cara meningkatkan kepemilikan saham oleh manajemen (insider ownership). Perusahaan meningkatkan bagian kepemilikan manajemen untuk mensejajarkan kedudukan manajer dengan pemegang saham sehingga bertindak sesuai dengan keinginan pemegang saham. Dengan meningkatkan persentase kepemilikan, manajer menjadi termotivasi untuk meningkatkan kinerja dan bertanggung jawab meningkatkan kemakmuran pemegang saham. Keberhasilan manajemen dalam mengelola perusahaan dan menjalankan perannya sebagai agent akan menjauhkan perusahaan dari ancaman permasalahan keuangan atau financial distress.

Dokumen terkait