• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.3 Upper Echelons Theory

Teori upper echelons pertama kali diperkenalkan oleh Hambrick dan Mason (1984). Teori ini menganggap konsep manajemen puncak sebagai pembuat keputusan stratejis yang utama di dalam organisasi. Keputusan strategis yang dibuat oleh manajemen puncak memiliki dampak secara langsung terhadap hasil yang dicapai oleh perusahaan tersebut. Upper echelons theory mengemukakan bahwa pengalaman, umur, dan pendidikan para manajer memiliki pengaruh terhadap interpretasi mereka dalam mengahadapi masalah dan membuat keputusan, yang secara langsung akan mempengaruhi outcome perusahaan tempat mereka bekerja. Beberapa karakteristik dari Upper echelons Theory yang dibahas dalam penelitian ini, antara lain:

2.1.3.1 Umur

Hubungan antara umur dari manajemen puncak dan karakteristik organisasi tidak banyak dijadikan subyek penelitian. Namun dari beberapa penelitian yang ada menunjukkan hasil yang konsisten: Manajer yang masih muda berkaitan dengan pertumbuhan perusahaan. (Child, 1974, Hart & Mellons, 1970). Penemuan lain dari penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan dalam penjualan (sales) dan pendapatan (earnings) juga terkait dengan manajer generasi muda. (dalam Hambrick dan Mason, 1984: 198-199) Ada beberapa penjelasan yang mendukung

kesimpulan tersebut. Yang pertama, pihak manajerial tua jika dibandingkan dengan manajer generasi muda, bisa jadi memiliki stamina fisik dan mental yang kurang (Child, 1974) atau kurang kompeten untuk memahami ide baru dan mempelajari tingkah laku baru (Chown, 1960). Umur manajerial berpengaruh negatif terhadap kegiatan membuat kebijakan, namun tampaknya positif berkaitan dengan kecenderungan untuk mencari informasi yang lebih, dan untuk mengevaluasi secara akurat (Taylor 1975). Penjelasan kedua adalah bahwa Manajer yang lebih tua telah sampai pada titik dimana keamanan finansial dan karir nya sangat penting. Segala tindakan berisiko yang dapat menggangu hal tersebut akan dihindari (dalam Hambrick dan Mason, 1984: 198-199)

2.1.3.2 Functional Track

Manajemen puncak diasumsikan memiliki pandangan generalis, walaupun begitu dalam pekerjaan, mereka cenderung menggunakan orientasi yang dikembangkan dari pengalaman area fungsional primer (Hambrick dan Mason, 1984). Sebagai contoh, Dearborn dan Simon (1958) menemukan bahwa sekumpulan eksekutif yang dihadapkan kepada masalah yang sama (studi kasus) dan kemudian diminta untuk mempertimbangakan masalah tersebut melalui perspektif organisasi, mereka akan mendefinisikan

masalah tersebut dalam terminologi bidang keahlian mereka. (dalam Hambrick dan Mason, 1984: 199-200).

2.1.3.3 Pendidikan Formal (Formal Education)

Pada tingkatan teretentu, pendidikan mengindikasikan pengetahuan dan kemampuan dasar yang dimiliki seseorang. Seseorang yang mempelajari bidang ilmu teknik (Engineering) akan memiliki kognitif yang berbeda dari mereka yang mempelajari bidang ilmu sejarah atau hukum. (Hambick dan Mason, 1984). Kognitif diartikan sebagai kemampuan memproses informasi, mencerna, dan kemudian mendefinisikan informasi baru tersebut dalam pengertian diri sendiri. Pendidikan dipercaya sebagai indikator atas nilai yang dimiliki seseorang. Terdapat beberapa penelitian atas pengaruh pendidikan formal profesional (MBA degree) terhadap hasil yang dicapai perusahaan. Terdapat beberapa perbedaan hasil penelitian berkenaan dengan topik tersebut. Hambrick dan Mason (1984) mengungkapkan bahwa ada penelitian yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara jumlah pendidikan formal manajemen yang dimiliki oleh manajer dengan performa rata-rata perusahaan. Walaupun begitu Hambrick dan Mason menyimpulkan bahwa pendidikan profesional manajemen diperkirakan akan memiliki pengaruh terhadap administrasi yang lebih kompleks. Kompleksitas dari administrasi

mencakup ketelitian dari perencanaan formal, koordinasi dan penggangaran belanja yang rinci.

2.1.4 Corporate Governance

Istilah Good Corporate Governance (GCG) atau di Indonesia dikenal sebagai “tata kelola perusahaan yang baik” mulai berkembang menjadi topik yang populer seiiring dengan maraknya skandal perusahaan yang menimpa perusahaan-perusahaan besar. Publik menuntut terwujudnya aktivitas perusahaan yang sehat, bersih dan bertanggung jawab. Beberapa perusahaan di Indonesia ada yang bermasalah dan bahkan tidak mampu lagi meneruskan kegiaatan usahanya akibat menjalankan praktik tata kelola yang buruk (bad corporate governance). Contohnya antara lain: PT Indorayon (sebuah perusahaan pabrik kertas di Sumatera Utara); dan PT lapindo brantas (sebuah perusahaan eksplorasi minyak dan gas di Sidoarjo, Jawa Timur). Sukrisno Agoes (2014) menyatakan bahwa pada dasarnya, krisis ekonomi yang timbul di Indonesia ini diakibatkan oleh tata kelola perusahaan yang buruk (bad corporate governance) dan tata kelola pemerintah yang buruk (bad government governance). Oleh karena itu melalui penerapan Corporate Governance perusahaan dapat menghindari atau meminimalkan terjadinya permasalahan keuangan (Financial Distress).

Cadbury Committee of United Kingdom mendefinisikan Corporate Governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka; atau dengan kata lain suatu sistem yang mengarahkan dan mengendalikan perusaaan. Forum for Corporate Governance in Indonesia-FGCI (2006) tidak membuat definisi tersendiri tetapi mengambil definisi dari Cadbury Committee of United Kingdom (Dalam Sukrisno Agoes, 2014)

Indonesian institute of Corporate Governance-IICG (2010) mendefenisikan Corporate governance sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan, dengan tujuan utama meningkatkan nilai pemegang saham dalam jangka panjang, dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders yang lain. Corporate governance juga mensyaratkan adanya struktur perangkat untuk mencapai tujuan dan pengawasan atas kinerja. Sukrisno Agoes (2006) mendefinisikan tata kelola perusahaan yang baik sebagai suaat sistem yang mengatur hubungan peran dewan komisaris, peran direksi, pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya. Tata kelola perusahan yang baik juga disebut sebagai suatu proses yang transparan atas penetuan tujuan perusahaan, pencapaiannya, dan penilaian

kinerjanya. Beasly et al (2006) mengemukakan bahwa penerapan Corporate Governance dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan.

2.1.4.2 Prinsip-Prinsip GCG

Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) mencoba untuk mengembangkan beberapa prinsip yang dapat dijadikan acuan baik oleh pemerintah maupun para pelaku bisnis dalam mengatur mekanisme hubungan antar para pemangku kepentingan tersebut. Prinsip itu secara ringkasi dapat dirangkum sebagai berikut:

a. Perlakuan yang setara antar pemangku kepentingan (fairness)

b. Transparansi (transparency) c. Akuntabilitas (accountability) d. Responsibilitas (responsibility)

Penjelasan singkat atas masing-masing prinsip diatas dijelaskan sebagai berikut:

Perlakuan yang setara (fairness) merupakan prinsip agar pengelola memperlakuakan semua pemangku kepentingan secara adil dan setara, baik pemangku kepentingan primer (pemasok, pelanggan, karyawan, pemodal) maupun pemangku kepentingan sekunder (pemerintah, masyarakat, dan yang lainnya).

Prinsip transparansi merupakan kewajiban para pengelola untuk menjalankan prinsip keterbukaan dalam proses keputusan dan penyampaian informasi. Informasi yang disampaikan harus lengkap, benar, dan tepat waktu kepada semua pemangku kepentingan.

Prinsip akuntabilitas adalah prinsip dimana para pengelola berkewajiban untuk mengelola sistem akuntansi yang efektif untuk menghasilkan laporan keuangan (financial statements) yang dapat dipercaya.

Prinsip responsibilitas adalah prinsip dimana para pengelola wajib memberikan pertanggungjawaban atas semua tindakan dalam mengelola perusahaan kepada para pemangku kepentingan sebagai wujud kepercayaan yang diberikan kepadanya. Tanggung jawab ini memiliki lima dimensi, yaitu: ekonomi, hukum, moral, sosial, dan spiritual.

2.1.4.3 Manfaat GCG

Tjager dkk. (2003) mengemukakan bahwa ada lima manfaat dari penerapan GCG, yaitu: (Dikutip dalam Sukrisno agoes, 2013).

1. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh McKinsey&Company menunjukkan bahwa para investor institusional lebih menaruh kepercayaan terhadap perusahaan-perusahaan di Asia yang telah menerapkan GCG.

2. Berdasarkan berbagai analisis, ternyata ada indikasi keterkaitan antara terjadinya krisis finansial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola perusahaan.

3. Internasionalisasi pasar-termasuk liberisasi pasar finansial dan pasar modal-menuntut perusahaan untuk menerapkan GCG. 4. Kalaupun bukan obat mujarab untuk keluar dari krisis, sistem

ini dapat menjadi dasarbagi berkembangnya sistem nilai baru yang lebih sesuai dengan lanskap bisnis yang kini telah banyak berubah.

5. Secara teoretis, praktik GCG dapat meningkatkan nilai perusahaan.

2.1.4.4 Mekanisme corporate governance

Mekanisme Corporate Governance terbagi menjadi dua kelompok yaitu mekanisme eksternal dan mekanisme internal. Mekanisme eksternal melibatkan pengendalian terhadap perusahaan. Sedangkan mekanisme internal meliputi struktur kepemilikan, serta komposisi dewan direksi dan dewan komisaris.

Dewan direksi (board of directors) dipilih melalui pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil atau strategi perusahaan tersebut secara jangka pendek maupun jangka panjang

Peran dewan komisaris dalam suatu perusahaan lebih ditekankan pada fungsi monitoring dari implementasi kebijakan dewan direksi. Peran komisaris ini diharapkan akan meminimalisir permasalahan agensi yang timbul antara dewan direksi dengan pemegang saham. Oleh karena itu dewan komisaris seharusnya dapat mengawasi kinerja dewan direksi sehingga kinerja yang dihasilkan sesuai dengan kepentingan pemegang saham.

2.1.6 Leverage

Leverage merupakan pengukur besarnya aktiva yang dibiayai dengan Hutang. Tingkat leverage dapat diketahui melalui perbandingan total hutang dengan total ekuitas. Menurut Van Horn (1997) dan Naftalia (2013) Financial Leverage adalah penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap, yang diharapkan akan memberikan keuntungan yang lebih besar daripada beban tetapnya, sehingga keuntungan pemegang saham bertambah.

Leverage yang menguntungkan (favorable) atau positif terjadi jika perusahaan dapat menghasilkan pendapatan yang lebih tinggi dengan menggunakan dana yang didapat dalam bentuk biaya tetap (dana yang didapat dengan menerbitkan utang bersuku bunga tetap atau saham preferen dengan tingkat deviden yang konstan) daripada biaya pendanaan tetap yang harus dibayar. Leverage dalam penelitian ini diukur melalui proksi Debt to Equity Ratio

Dokumen terkait