• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Perumusan Hipotesis Penelitian

2.4.1 Pengaruh Latar Belakang Prestise terhadap financial distress

Hambrick dan Mason (1984) menyatakan bahwa Performa dari perusahaan merupakan refleksi dari performa yang dicapai oleh manajemen dalam perusahaan. Kemampuan sosial yang dimiliki manajemen seperti bidang keahlian, latar belakang pendidikan dan pengalaman merupakan faktor yang dapat memepengaruhi performa manajemen. Whitaker (1999) menyatakan bahwa inkompetensi dari manajemen dalam mengelola perusahaan dapat mengakibatkan perusahaan mengalami permasalahan keuangan. Beberapa penelitian mengukur kualitas dari manajemen puncak dari prestise latar belakang pendidikan mereka, bahwa manajemen puncak yang menempuh studi pada universitas prestise (sebagaimana ditentukan oleh peringkat) diasumsikan memiliki kualitas yang lebih baik.

Dari penjelasan diatas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:

H1: Latar belakang pendidikan prestise berpengaruh terhadap financial distress

2.4.2 Pengaruh Strata pendidikan rata-rata terhadap financial distress

Bantel dan Jackson (1989) mengemukakan bahwa bank yang inovatif merupakan bank yang dikelola oleh tim yang terdiri atas individu-individu yang memiliki edukasi dan memiliki keahlian di bidang

masing-masing yang luas. Sebagai tambahan, Bantel dan Jackson menemukan bahwa umur dan pendidikan rata-rata anggota tim manajemen puncak berkorelasi secara signifikan terhadap dengan inovasi. Inovasi dalam suatu organisasi merupakan hal yang penting dilakukan dalam membawa perusahaan menjadi lebih baik dalam mencapai tujuan perusahaan secara tepat sasaran secara efektif dan efisien.

Dari penjelasan diatas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:

H2: Strata pendidikan rata-rata yang dimiliki manajemen berpengaruh terhadap financial distress

2.4.3 Pengaruh Dewan Komisaris terhadap financial distress

Sukrisnoe Agoes (2014) mengemukakan bahwa pada dasarnya krisis ekonomi dan permasalahan keuangan yang dihadapi perusahaan (Financial distress) yang timbul di Indonesia ini diakibatkan oleh tata kelola perusahaan yang buruk (bad corporate governance) dan tata kelola pemerintah yang buruk (bad government governance). Tjager et al (2002) mengemukakan bahwa berdasarkan analisis, ada indikasi keterkaitan antara terjadinya krisis finansial dan krisis berkepanjangan di Asia dengan lemahnya tata kelola perusaaan (dalam Sukrisnoe Agoes, 2014) . Peran Dewan Komisaris dalam Corporate Governance yaitu melakukan pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan melalui supervise, pemberian panduan dan nasihat kepada Direksi. Kerugian dari jumlah dewan yang besar adalah menurunnya kemampuan dewan untuk

mengendalikan manajemen, sehingga menimbulkan permasalahan agensi yang muncul dari pemisahan antara manajemen dan kontrol (Jensen, 1993; Primada, 2009). Peran agensi ini muncul ketika komisaris independen tidak bersikap independen dan menaruh kepentingan pribadi atau golongan diatas kepentingan perusahan. Jumlah dewan komisaris yang besar juga diduga akan menimbulkan kesulitan dalam berkomunikasi, berkoordinasi dan dalam proses pengambilan keputusan.

Dari penjelasan di atas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:

H3: Semakin besar ukuran dewan komisaris, maka semakin tinggi kemungkinan perusahaan mengalami kondisi kesulitan keuangan.

2.4.4 Pengaruh Dewan Direksi terhadap financial distress Pada umumnya tata kelola perusahaan (corporate governance) dikenal sebagai proses dan struktur yang diterapkan dalam menjalankan perusahaan. Oleh karena itu, dengan diterapkannya kebijakan tata kelola perusahaan (corporate governance) diharapkan pengelola (manager) menjalankan perusahaan secara bertanggungjawab terhadap pemilik perusahaan dan para pemegang kepentingan sesusai dengan prinsip-prinsip corporate governance. Sukses atau tidaknya perusahaan ini akan sangat ditentukan oleh keputusan atau strategi yang diambil oleh perusahaan.

Dalam penelitiannya, Wardhani (2006) menyatakan bahwa ukuran dewan yang besar tidak bekerja secara efektif. Perusahaan yang memiliki ukuran dewan yang besar tidak bisa melakukan koordinasi, komunikasi,

dan pengambilan keputusan yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki dewan yang kecil sehingga nilai perusahaan yang memiliki dewan yang banyak lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki direksi lebih sedikit (Jensen, 1993; Lipton and Lorsch, 1992; Yermack, 1996).

Dari penjelasan di atas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:

H4: Semakin besar ukuran dewan direksi, maka semakin tinggi kemungkinan perusahaan mengalami kondisi kesulitan keuangan.

2.4.5 Pengaruh Leverage sebagai variable moderasi terhadap latar belakang pendidikan prestise dan financial distress.

Debt to equity ratio (DER) menunjukan seberapa besar persentase pendanaan yang didapatkan dari kreditur maupun investor. Para manajer selaku pengelola perusahaan bertanggung jawab untuk mengembangkan strategis perencanaan finansial yang baik dan untuk memaksimalkan laba perusahaan. Performa yang dicapai perusahaan merupakan refleksi dari performa manajemen (Hambrick dan Mason, 1984). Manajer diyakini memiliki kompetensi yang lebih baik ketika manajer tersebut menempuh studi pada universitas prestise (Palia, 2000). Perencanaan keuangan yang tidak tepat dapat menjadikan tambahan modal yang berasal dari hutang yang semula ditujukan untuk menambah laba, akan menjadi tambahan biaya bagi perusahaan. Jika kondisi tersebut tetap berlanjut perusahaan

bahkan akan mengalami kesulitan melunasi hutang yang kemudian menyebakan perusahaan berada dalam kondisi financial distress.

Dari penjelasan di atas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:

H5: Leverage memoderasi pengaruh latar belakang pendidikan prestise terhadap financial distress

2.4.6 Pengaruh Leverage sebagai variable moderasi terhadap strata pendidikan rata-rata dan financial distress.

Secara teori, dengan bertambahnya modal, maka profitabilitas akan meningkat. Dengan tambahan setoran modal yang lebih, maka perusahaan akan memiliki peluang untuk mendapatkan keuntungan. Dalam mengelola tambahan modal yang didapatkan melalui pendanaan hutang, diperlukan manajer yang kompeten dalam mengelola pinjaman tersebut. Bantel dan Jackson (1989) menemukan bahwa pendidikan rata-rata anggota manajemen berpengaruh terhadap kompetensi manajemen. Manajer yang tidak kompeten akan memberikan dampak yang buruk terhadap profitabilitas perusahaan. Manajer yang tidak kompeten dapat menyebabkan perusahaan mengalami kesulitan dalam melunasi hutang dan mengalami permasalahan keuangan.

Dari penjelasan di atas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:

H6: Leverage memoderasi pengaruh strata pendidikan rata-rata manajemen terhadap financial distress

2.4.7 Pengaruh Leverage sebagai variable moderasi terhadap Ukuran Dewan Direksi dan financial distress.

Hurd dan Joud menunjukkan bahwa perusahaan dengan tata kelola perusahaan yang lemah mempunyai hutang finansial yang lebih dibandingkan dengan perusahan yang memiliki mekanisme tata kelola yang baik. Ron Jana (2010) menunjukkan bahwa: corporate governance menyebabkan hutang finansial dan perselisihan dalam lembaga berkurang. Hasil lain menunjukkan korelasi positif antara jumlah eksekutif dengan tingkat dari hutang. Jumlah Dewan direksi dan Dewan komisaris yang besar tidak bekerja secara efektif dan efisien dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam menjalankan peran masing-masing (dalam wardhani, 2006, dan Jensen 1993). Jika pengelola dalam perusahaan tidak bekerja secara efektif, maka pendanaan dari hutang finansial tidak efektif, yang menimbulkan tingkat hutang finansial akan semakin bertambah.

Dari penjelasan di atas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:

H7: Leverage memoderasi pengaruh Ukuran dewan direksi terhadap financial distress

2.4.8 Pengaruh Leverage sebagai variable moderasi terhadap Ukuran Dewan Komisaris dan financial distress.

Dewan Komisaris bertanggung jawab menilai laporan keuangan tahunan dan menyetujui rencana anggaran yang diajukan oleh dewan

direksi. Kerugian dari jumlah Dewan komisaris yang besar adalah Dewan tidak bekerja secara efektif dan efisien dalam proses pengambilan keputusan maupun dalam menjalankan peran masing-masing (dalam wardani, 2006, dan Jensen 1993). Jika komisaris dalam perusahaan tidak bekerja secara efektif, maka dapat terjadi kekeliruan dalam mengambil keputusan, salah satunya kesalahan dalam menilai rencana anggaran hutang, yang menimbulkan tingkat hutang finansial akan semakin bertambah.

Dari penjelasan di atas maka dibentuklah hipotesis berikut ini:

H8: Leverage memoderasi pengaruh Ukuran dewan komisaris terhadap financial distress

BAB I PENDAHULUAN

Dokumen terkait