• Tidak ada hasil yang ditemukan

Finansial berubah menjadi mimpi buruk finansial

Dalam dokumen RichDadPoorDad_pdf.pdf (Halaman 88-95)

Gambar di bawah ini memperlihatkan orang yang bekerja keras mem-punyai sebuah pola tertentu. Seorang pasangan muda yang baru me-nikah, bahagia, berpendidikan tinggi hidup bersama di salah satu apartemen sewaan yang sumpek. Mereka segera menyadari bahwa me-reka dapat menabung uang karena dua orang dapat hidup sama mu-rahnya seperti satu orang.

Masalahnya adalah, apartemen itu sumpek, terlalu kecil untuk me-reka berdua. Meme-reka memutuskan untuk menabung uang meme-reka agar bisa membeli rumah impian mereka sehingga mereka bisa memiliki beberapa anak. Sekarang mereka memiliki dua penghasilan, dan me-reka mulai memfokuskan diri pada karier meme-reka.

Pemasukan mereka mulai meningkat. Ketika pemasukan mereka naik ...

Pengeluaran mereka juga naik terus.

Pengeluaran No. 1 bagi kebanyakan orang adalah pajak. Banyak orang berpikir itu adalah pajak penghasilan, tetapi bagi kebanyakan orang Amerika pajak tertinggi mereka adalah Jaminan Sosial. Sebagai seorang karyawan, tampak seolah-olah pajak Jaminan Sosial ditambah dengan tarif pajak Kesehatan besarnya sekitar 7,5%, tetapi sesungguhnya 15% karena majikan harus memenuhi besarnya jumlah Jaminan Sosial. Intinya, ini adalah uang yang tidak dapat dibayarkan oleh majikan kepada anda. Lebih dari itu semua, anda masih harus membayar pajak penghasilan sejumlah yang dikurangkan dari upah anda untuk pajak Jaminan Sosial melalui pemotongan pajak, pemasukan/penghasilan yang tidak pernah anda terima karena langsung disetor untuk Jaminan Sosial melalui withholding (pemotongan gaji pegawai oleh majikan untuk membayar pajak pendapatan negara bagian).

Kemudian, liabilitas mereka pun turut naik.

Ini diperlihatkan sangat baik dengan kembali kepada pasangan muda yang kita sebut di atas. Karena pemasukan/penghasilan mereka naik, mereka memutuskan untuk pindah dan membeli rumah impian mereka. Setelah tinggal di rumah baru mereka, mereka mempunyai sebuah pajak baru, yang disebut pajak properti (Pajak Bumi dan Ba-ngunan). Kemudian mereka membeli sebuah mobil baru, furnitur ba-ru, peralatan baru yang sesuai dengan rumah baru mereka. Semuanya terjadi dalam sekejap, mereka terjaga dan kolom liabilitas mereka pe-nuh dengan utang kredit rumah dan utang kartu kredit.

Mereka sekarang terjebak dalam perlombaan tikus. Anak yang me-reka harapkan pun lahir sudah. Meme-reka bekerja lebih keras lagi. Proses itu pun terulang dengan sendirinya. Uang lebih banyak dan pajak le-bih tinggi, itulah yang disebut bracket creep {red. pajak yang lele-bih tinggi, bila dikombinasi dengan dampak inflasi, bisa berarti penurunan dalam penghasilan). Kartu kredit tiba di kotak surat. Mereka

meng-gunakannya. Kredit pun melewati batas. Perusahaan peminjaman me-nelepon dan mengatakan "aset" terbesar mereka, yakni rumah mereka, sudah ditaksir nilainya. Perusahaan itu menawarkan sebuah pinjaman "bill consolidation" (peminjaman sejumlah uang untuk melunasi reke-ning sebelumnya yang sudah harus dibayar), karena kredit mereka be-gitu bagus, dan memberi tahu mereka hal cerdik yang bisa dilakukan adalah menghapus utang konsumen yang berbunga-tinggi dengan me-lunasi kartu kredit mereka. Dan di samping itu, bunga atas rumah mereka adalah sebuah potongan pajak. Mereka tertarik pada tawaran itu, dan melunasi kartu kredit yang berbunga-tinggi itu (dengan pin-jaman baru). Mereka menghirup napas lega. Kartu-kartu kredit me-reka sudah dilunasi. Utang meme-reka ditutup dengan hipotek rumah. Cicilan mereka turun karena mereka memperpanjang utang mereka sampai 30 tahun lebih. Ini adalah hal cerdik untuk dilakukan.

Tetangga mereka menelepon dan mengundang mereka untuk ber-belanja—maklum obral besar menjelang hari raya sedang digelar di semua toko dan mal. Sebuah kesempatan untuk menghemat uang, ka-rena harga jelas lebih murah. Mereka berkata dalam hati, "Saya tidak akan membeli apa pun. Saya akan melihat-lihat saja." Tetapi bila ke-betulan mereka menemukan sesuatu, mereka pun akan mengeluarkan kartu kredit mereka dari dompet.

Saya bertemu pasangan muda seperti ini sepanjang waktu, hanya saja nama-nama mereka berbeda, tetapi masalah finansial mereka te-tap sama. Mereka datang ke salah satu seminar saya untuk men-dengarkan apa yang harus saya katakan. Mereka bertanya pada saya, "Bisakah anda mengatakan pada kami bagaimana caranya menghasilkan uang lebih banyak?" Kebiasaan mereka menghabiskan/membelanjakan uang telah membuat mereka mencari uang yang lebih banyak.

Mereka bahkan tidak tahu bahwa masalah sesungguhnya adalah bagaimana mereka memilih membelanjakan uang yang memang reka miliki, dan itulah penyebab riil dari pergumulan finansial me-reka. Ini disebabkan oleh kebutaan finansial dan tidak memahami perbedaan antara aset dan liabilitas.

Uang yang lebih banyak tidak selalu menyelesaikan masalah uang yang dialami seseorang. Intelegensilah yang memecahkan masalah.

Ada perumpamaan yang dikatakan oleh seorang teman saya berulang kali kepada mereka yang berutang.

"Jika kamu mendapati dirimu dalam sebuah lubang... berhentilah menggali."

Sewaktu saya masih kecil, ayah saya sering memberi tahu kami bahwa orang Jepang sangat waspada dengan tiga kekuatan: "Kekuatan pedang, permata, dan cermin."

Pedang melambangkan kekuatan senjata. Amerika telah mengha-biskan trilyunan dolar untuk senjata dan, karena itu, merupakan ke-kuatan militer tertinggi di dunia.

Permata melambangkan kekuatan uang. Ada beberapa tingkat ke-benaran terhadap perkataan, "Ingatlah kaidah emas. Siapa yang me-miliki emas membuat aturan."

Cermin melambangkan kekuatan pengetahuan-diri. Pengetahuan-diri ini menurut legenda orang Jepang, adalah harta yang paling ber-harga dari ketiga hal itu.

Orang miskin dan kelas menengah hampir selalu membiarkan ke-kuatan uang menguasai mereka. Hanya dengan bangun pagi dan be-kerja lebih keras, tanpa menanyakan pada diri mereka apakah yang mereka lakukan itu masuk akal, mereka sama saja dengan menembak kaki mereka sendiri ketika mereka berangkat bekerja setiap pagi. Dengan tidak sepenuhnya memahami uang, begitu banyak orang membiarkan kekuatan uang yang menyilaukan itu menguasai diri mereka. Kekuatan uang digunakan untuk melawan mereka.

Jika mereka menggunakan kekuatan cermin, mereka akan bertanya dalam hati, "Apakah ini masuk akal?" Terlalu sering, alih-alih mem-percayai kebijaksanaan batin mereka, sang jenius di dalam diri me-reka, kebanyakan orang menyetujui dan mengikuti arus massa. Mere-ka melakuMere-kan sesuatu Mere-karena semua orang melakuMere-kannya. MereMere-ka menyesuaikan diri ketimbang mempertanyakan. Sering kali, tanpa pi-lar panjang mereka mengulangi apa yang telah dikatakan kepada me-reka. Gagasan-gagasan seperti "membuat variasi" atau "rumahmu ada-lah sebuah aset". "Rumahmu adaada-lah investasimu yang terbesar." "Ca-rilah pekerjaan yang aman dan menjamin." "Jangan membuat kesa-lahan." "Jangan mengambil risiko."

Dikatakan bahwa rasa takut berbicara di depan umum adalah rasa takut yang lebih besar daripada kematian bagi kebanyakan orang. Me-nurut psikiatris, ketakutan berbicara di depan umum timbul karena rasa takut diasingkan oleh masyarakat, takut menonjol, takut dikritik, takut ditertawakan, takut menjadi orang buangan. Takut menjadi ber-beda menghalangi banyak orang untuk melihat cara-cara baru untuk memecahkan masalah mereka.

Itu sebabnya ayah saya yang berpendidikan mengatakan bahwa orang Jepang paling menghargai kekuatan cermin, karena hanya ke-tika kita sebagai manusia memandang ke dalam cerminlah kita sungguh-sungguh menemukan kebenaran. Dan alasan utama meng-apa kebanyakan orang mengatakan "Mainkanlah hal itu dengan aman" adalah karena adanya ketakutan itu. Itu berlaku dalam segala hal, dalam olahraga, hubungan suami-istri, karier, uang.

Ketakutan yang sama, takut diasingkan oleh komunitas me-nyebabkan orang menyesuaikan diri dan tidak mempertanyakan pen-dapat yang diterima umum atau trend yang populer. "Rumahmu ada-lah sebuah aset." "Dapatkan pinjaman bill consolidation dan keluarada-lah dari utang." "Bekerjalah lebih keras." "Ini adalah promosi." "Suatu hari saya akan menjadi wakil direktur." "Menabunglah." "Bila gaji saya naik, saya akan membeli rumah yang lebih besar untuk keluarga kita." "Reksa Dana itu aman."

Banyak masalah keuangan yang besar disebabkan karena meng-ikuti arus massa dan berusaha menyamai keluarga Salim. Terkadang, kita semua butuh bercermin dan bersikap jujur pada kebijaksanaan batin kita ketimbang pada rasa takut kita.

Pada waktu Mike dan saya berumur 16 tahun, kami mulai mem-punyai banyak masalah di sekolah. Kami bukan anak-anak nakal. Ka-mi cuma mulai meKa-misahkan diri dari kerumunan, dari massa. KaKa-mi bekerja untuk ayah Mike sepulang sekolah dan pada akhir pekan. Mike dan saya menghabiskan waktu berjam-jam setelah bekerja de-ngan duduk semeja dede-ngan ayahnya sementara dia memimpin per-temuan dengan para bankir, pengacara, akuntan, broker, investor, ma-najer, dan karyawannya. Dia meninggalkan sekolah pada umur 13 tahun, dan sekarang memimpin, menginstruksi, memerintah, dan

menanyai orang-orang yang terdidik itu. Mereka selalu siap sedia, dan merasa "ngeri" ketika dia tidak menyetujui pendapat atau omongan mereka.

Dialah orang yang tidak mengikuti arus massa. Dia adalah orang yang melakukan pikirannya sendiri dan membenci perkataan, "Kita harus melakukannya dengan cara ini karena inilah cara yang dilaku-kan oleh semua orang." Dia juga membenci kata-kata, "tidak bisa". Jika anda menginginkan dia melakukan sesuatu, katakan saja, "Saya tidak mengira anda dapat melakukannya."

Mike dan saya belajar lebih banyak dengan duduk di dalam per-temuan dan rapatnya daripada yang kami pelajari selama bertahun-tahun di bangku sekolah, termasuk di bangku kuliah. Ayah Mike ti-dak dididik oleh sekolah, tetapi dia dididik secara finansial dan hasilnya adalah kesuksesan. Dia memberi tahu kami berulang-ulang. "Orang yang pandai mempekerjakan orang yang lebih pandai daripada mereka." Karena itu, Mike dan saya beruntung menghabiskan waktu berjam-jam untuk mendengarkan dan, dalam proses, belajar dari orang yang pandai.

Tetapi karena hal ini, Mike dan saya tidak dapat mengikuti dogma standar yang diajarkan oleh para guru kami. Dan itu menimbulkan persoalan. Ketika seorang guru berkata, "Jika kalian tidak memperoleh ranking yang baik, kalian tidak akan bekerja dengan baik di dunia nyata," Mike dan saya cuma mengangkat alis. Ketika kami diberi tahu untuk mengikuti serangkaian prosedur dan tidak menyimpang dari peraturan, kami bisa melihat bagaimana proses sekolah ini sesung-guhnya mengerdilkan kreativitas. Kami mulai mengerti mengapa ayah kami yang kaya memberi tahu bahwa sekolah dirancang untuk meng-hasilkan karyawan yang baik ketimbang mengmeng-hasilkan majikan.

Terkadang Mike atau saya akan menanyakan pada guru kami bagaimana segala sesuatu yang kami pelajari di sekolah dapat di-terapkan, atau kami bertanya mengapa kami tidak pernah belajar soal uang dan bagaimana cara kerjanya. Terhadap pertanyaan terakhir ini, kami sering mendapat jawaban bahwa uang tidaklah penting, bahwa jika kami unggul dalam pendidikan kami, uang pun akan datang.

Semakin kami mengetahui kekuatan uang, semakin jauh kami tumbuh dari guru-guru dan teman sekelas kami.

Ayah saya yang berpendidikan tinggi tidak pernah menekan saya soal ranking saya di sekolah. Tetapi kami mulai beradu argumen soal uang. Pada waktu saya berumur 16 tahun, saya barangkali mempunyai pondasi yang lebih baik dalam hal uang daripada ibu atau ayah saya. Saya bisa memegang pembukuan, saya mendengarkan akuntan pajak, pengacara perusahaan, bankir, broker real estat, investor, dan sebagainya. Ayah saya berbicara pada para guru.

Suatu hari, ayah memberi tahu saya mengapa rumah kami adalah investasinya yang paling besar. Sebuah argumen yang kurang enak ter-jadi ketika saya memperlihatkan pada ayah mengapa menurut saya se-buah rumah bukan sese-buah investasi yang baik.

Diagram di bawah ini mengilustrasikan perbedaan persepsi antara ayah saya yang kaya dan ayah saya yang miskin mengenai rumah me-reka. Ayah yang satu berpikir bahwa rumahnya adalah aset, dan ayah satunya lagi berpikir bahwa rumahnya adalah liabilitas.

Ayah yang Miskin

Dalam dokumen RichDadPoorDad_pdf.pdf (Halaman 88-95)