• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membentuk Rekanan

Dalam dokumen RichDadPoorDad_pdf.pdf (Halaman 32-37)

Keesokan paginya, saya memberi tahu sahabat terbaik saya, Mike, apa yang dikatakan ayah saya. Saya dan Mike adalah anak miskin di sekolah kami karena hal itu memang sudah nasib kami. Seseorang telah menentukan garis batas wilayah sekolah, dan kami terpaksa ma-suk ke sekolah yang muridnya adalah anak-anak orang kaya. Kami tidak sungguh-sungguh miskin, tetapi kami merasa miskin karena se-mua anak lelaki lain mempunyai sarung tangan baru, sepatu baru, sepeda baru, pokoknya semuanya baru.

Ibu dan ayah memberi kami kebutuhan dasar saja, seperti makan, tempat tinggal, pakaian. Tetapi ya begitulah. Ayah saya selalu menga-takan, "Jika kamu menginginkan sesuatu, bekerjalah untuk mendapat-kannya." Kami menginginkan banyak hal, tetapi tidak ada banyak pe-kerjaan yang tersedia untuk anak berumur 9 tahun.

"Jadi, apa yang harus kita lakukan untuk menghasilkan uang?" ta-nya Mike.

"Aku tidak tahu," kata saya. "Tetapi maukah kamu menjadi part-nerku?"

Dan segera pada Sabtu pagi, Mike menjadi rekan bisnis pertama saya. Kami menghabiskan pagi itu untuk mencari ide bagaimana mendapatkan uang. Adakalanya kami membayangkan dan membicara-kan "orang-orang hebat" yang sedang bersenang-senang di vila tepi pantai milik keluarga Jimmy. Agak menyakitkan, tapi itu bagus, ka-rena itu memberi kami inspirasi untuk terus memikirkan cara meng-hasilkan uang. Akhirnya, siang hari itu, secercah cahaya menerangi be-nak kami. Mike mendapat gagasan yang diperoleh dari sebuah buku ilmu pengetahuan yang pernah dibacanya. Dengan penuh kegem-biraan, kami berjabat tangan, dan kami sekarang mempunyai sebuah bisnis.

Selama beberapa minggu selanjutnya, Mike dan saya mendatangi rumah tetangga, mengetuk pintu, dan meminta apakah mereka mau menyisihkan tube pasta gigi untuk kami. Meskipun memandang kami dengan penuh tanda tanya, banyak orang tua mengabulkan permintaan kami sambil tersenyum. Sebagian bertanya, apa yang hendak kami la-kukan dengan tube itu. Dan jawaban kami singkat, "Maaf kami tidak bisa memberi tahu anda. Ini rahasia bisnis."

Ibu saya semakin menderita setiap minggunya. Kami memilih se-buah tempat di samping mesin cucinya sebagai tempat kami akan me-nimbun bahan mentah kami. Dalam kotak kardus berwarna coklat yang dulu digunakan untuk menaruh botol saus tomat, tumpukan tube pasta gigi bekas kami semakin bertambah.

Akhirnya ibu saya mengambil tindakan tegas. Memandang tum-pukan tube pasta gigi bekas yang berantakan dan kacau yang kami kumpulkan dari para tetangga telah mengusiknya. "Apa yang kalian lakukan?" tanyanya. "Saya tidak mau dengar lagi kalau ini bisnis ra-hasia. Saya sudah bosan. Kalian harus segera membereskan semua ini atau saya yang akan membuangnya."

Mike dan saya mencari dalih dan memohon, menjelaskan bahwa kami akan segera mempunyai cukup materi dan segera mulai berpro-duksi. Kami memberi tahu ibu bahwa kami masih menanti satu ke-luarga tetangga untuk menghabiskan pasta gigi mereka sehingga kami mempunyai cukup tube. Akhirnya, ibu memberi kami perpanjangan waktu satu minggu.

Saat untuk berproduksi semakin dekat. Tekanan makin tinggi. Re-kan pertama saya, Mike, sudah diancam dengan surat pengusiran dari ruang gudang kami oleh ibu saya sendiri. Menjadi tugas Mike untuk memberi tahu tetangga untuk mempercepat pemakaian pasta gigi me-reka, dengan mengatakan bahwa dokter gigi mereka menginginkan mereka menggosok gigi lebih sering. Saya mulai merencanakan proses produksi.

Sesuai jadwal, produksi mulai seminggu kemudian. Ayah bersama seorang teman datang menengok dua anak berumur 9 tahun di depan pintu garasi sibuk memproduksi sesuatu. Bubuk putih bertebaran di mana-mana. Di atas meja panjang terdapat kotak-kotak (kardus) susu dari sekolah, dan alat pemanggang keluarga kami penuh dengan batu bara yang terbakar merah membara.

Ayah memasuki halaman dengan hati-hati, memarkir mobil de-ngan baik karena jalur produksi kami memblokir garasi. Ketika ayah dan temannya makin dekat, mereka melihat sebuah tungku baja berisi tube pasta gigi yang sedang dicairkan di atas tumpukan batu bara. Pada masa itu, pasta gigi belum menggunakan tube plastik se-perti sekarang. Tube terbuat dari timah. Karena itu setelah dibakar, tube itu akan menetes ke dalam tungku baja yang kecil, melumer sampai menjadi cairan. Kemudian dengan pencapit tungku milik ibu, kami menuangkan timah cair itu melalui sebuah lubang kecil pada kotak-kotak susu.

Kotak susu itu diisi penuh dengan gips kapur. Bubuk putih yang berserakan adalah gips sebelum kami campur dengan air. Karena tergesa-gesa, tanpa sengaja saya menjatuhkan kantong yang berisi gips sehingga pecah dan bertebaran seperti badai salju. Kotak susu itu adalah tempat untuk cetakan gips tersebut.

Ayah dan temannya mengamati ketika kami dengan hati-hati menuangkan timah cair itu melalui sebuah lubang kecil di atas gips kapur berbentuk kubus.

"Hati-hati," kata ayah saya. Saya mengangguk tanpa menoleh.

Akhirnya, setelah dituangkan semuanya, saya meletakkan tungku baja itu dan tersenyum pada ayah.

"Kalian sedang bikin apa sih?" tanyanya dengan senyum penuh tanda tanya.

"Kami melakukan apa yang ayah katakan padaku. Kami akan menjadi orang kaya," kata saya.

"Ya," kata Mike, sambil menyeringai dan menganggukkan kepala-nya. "Kami adalah rekan bisnis."

"Terus, yang ada di dalam cetakan gips itu apa?" tanya ayah. "Lihat," kata saya. "hasilnya pasti oke."

Dengan sebuah palu kecil, saya mengetuk-ngetuk segel yang mengunci kotak cetakan itu. Dengan hati-hati, saya menarik cetakan gips bagian atas dan jatuhlah sebuah logam.

"Ya, Tuhan!" kata ayah saya. "Kalian mencetak uang koin dari timah."

"Betul," kata Mike. "Kami melakukan apa yang ayah katakan pada kami. Kami akan menghasilkan uang."

Teman ayah langsung tertawa terbahak-bahak. Ayah saya terse-nyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Selain api dan sekotak tube pasta gigi bekas, di depannya berdiri dua bocah lelaki berlepotan debu putih dan tertawa lebar-lebar.

Dia meminta kami untuk meletakkan semuanya dan duduk de-ngannya di tangga depan rumah kami. Sambil tersenyum, dia menje-laskan dengan halus apa arti kata "memalsu".

Impian kami pun hancur. "Maksud Bapak ini ilegal?" tanya Mike dengan suara bergetar.

"Biarkan saja mereka mengerjakan itu," kata teman ayah saya. "Mungkin mereka mengembangkan bakat alami."

Ayah membelalakkan mata padanya.

"Ya, ini ilegal," kata ayah saya lembut. "Tapi kalian telah memper-lihatkan kreativitas yang besar dan pikiran yang orisinil. Kalian harus maju terus. Saya sangat bangga pada kalian!"

Dengan kecewa, saya dan Mike duduk berdiam diri sekitar dua puluh menit sebelum kami mulai membersihkan tempat yang sangat kotor dan berantakan karena perbuatan kami itu. Bisnis ini berakhir pada hari pembukaan. Sambil menyapu taburan gips, saya menatap

Mike dan berkata, "Saya kira Jimmy dan teman-temannya benar. Kita ini orang miskin."

Saya mengatakan hal itu tepat ketika ayah saya akan pergi. "Nak," katanya. "Kalian miskin hanya kalau kalian menyerah. Hal yang paling penting adalah bahwa kalian sudah melakukan sesuatu. Saya sangat bangga pada kalian berdua. Saya akan mengatakannya lagi. Maju terus. Jangan berhenti. Pantang menyerah!"

Mike dan saya berdiri membisu. Itu adalah kata-kata manis, tapi kami tetap tidak tahu harus berbuat apa.

"Jadi, mengapa Ayah tidak kaya?" tanya saya.

"Karena saya memilih untuk menjadi guru sekolah. Guru sekolah sama sekali tidak berpikir untuk menjadi kaya. Kami hanya senang mengajar. Saya berharap dapat membantu kalian, tetapi saya sungguh-sungguh tidak tahu bagaimana menghasilkan banyak uang."

Mike dan saya berbalik dan kembali membersihkan sampah dan debu yang berserakan.

"Saya tahu," kata ayah. "Jika kalian ingin belajar bagaimana men-jadi kaya, jangan tanya pada saya. Bicaralah pada ayahmu, Mike."

"Ayah saya?" tanya Mike dengan wajah ditekuk.

"Ya, Ayahmu," ulang ayah saya dengan tersenyum. "Ayahmu dan saya mempunyai bankir yang sama, dan si bankir itu menceritakan pada saya tentang ayahmu dengan penuh semangat. Berulang kali dia mengatakan pada saya bahwa ayahmu brilliant dalam soal menghasil-kan uang."

"Ayah saya?" Mike bertanya lagi dengan penuh kesangsian. "Lantas kenapa kami tidak mempunyai mobil dan rumah yang bagus seperti yang dimiliki anak-anak kaya di sekolah?"

"Mobil dan rumah yang bagus tidak berarti kamu kaya atau kamu tahu bagaimana cara menghasilkan banyak uang," jawab ayah saya. "Ayah Jimmy bekerja di perkebunan gula. Dia tidak banyak berbeda dari saya. Dia bekerja untuk sebuah perusahaan, dan saya bekerja untuk pemerintah. Perusahaan membelikan mobil itu untuknya. Bila perusahaan gula terlilit masalah finansial, ayah Jimmy mungkin tidak akan mempunyai apa-apa lagi. Lain dengan ayahmu, Mike. Dia membangun sebuah imperium bisnis, dan saya menduga

da-lam beberapa tahun ke depan dia akan menjadi orang yang sangat kaya."

Dengan itu, Mike dan saya kembali bersemangat. Dengan semangat baru, kami mulai membersihkan kotoran yang diakibatkan oleh bisnis pertama kami yang mati. Sambil membersihkan, kami membuat rencana tentang bagaimana dan kapan berbicara dengan ayah Mike. Masalahnya adalah ayah Mike bekerja berjam-jam lamanya dan sering kali pulang ke rumah sampai larut malam. Ayahnya memiliki bebe-rapa gudang, sebuah perusahaan konstruksi, sebuah toko waralaba, dan tiga restoran. Restoran itulah yang membuatnya pulang larut malam.

Mike pulang naik bus setelah kami membersihkan semuanya. Ma-lam itu juga dia bicara dengan ayahnya dan meminta apakah dia ber-sedia mengajari kami cara menjadi kaya. Mike berjanji untuk menele-pon segera setelah dia bicara dengan ayahnya, sekalipun sudah larut malam.

Telepon berdering pukul 20.30.

"Oke," kata saya. "Sabtu depan." Dan saya menutup telepon. Ayah Mike setuju untuk bertemu dengan Mike dan saya.

Sabtu pagi pukul 7.30, saya naik bus ke pinggiran kota yang miskin.

Dalam dokumen RichDadPoorDad_pdf.pdf (Halaman 32-37)