• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

B. Dasar Teori

1. Fisika

Fisika merupakan cabang dari Ilmu Pengetahuan Alam (Sains). Oleh karena itu, hakekat fisika dapat ditinjau dam dipahami melalui hakekat sains. Beberapa sainstis antara lain : Fisher, Conant, Campbell, Bube, M.T.Zen, Carin dan Sund, dan Dawson seperti yang dikutip oleh Kartika Budi (1998, 161) mencoba mendefinisikan sains sebagai berikut:

Menurut Fisher (1975 dalam Kartika Budi, 1998) sains adalah bangunan pengetahuan yang diperoleh menggunakan metode berdasarkan observasi. Menurut Conant dalam Kartika Budi (1998) sains adalah deretan atau bangunan dari konsep dan skema konseptual yang saling berhubungan sebagai hasil dari eksperimentasi dan observasi, yang berguna dan bernilai untuk eksperimentasi dan observasi selanjutnya (Kuslan dan Stone, 1978 dalam Kartika Budi, 1998).

Menurut Campbell dalam Kartika Budi (1998) sains adalah ilmu pengetahuan yang bermanfaat dan praktis dan cara atau metode untuk memperolehnya. Menurut Bube dalam Kartika Budi (1998) sains adalah pengetahuan tentang alam yang diperoleh melalui interaksi dengannya. Menurut Zen(1984 dalam Kartika Budi, 1998), sains adalah suatu eksplorasi ke alam materi berdasarkan observasi, dan yang mencari hubungan - hubungan alamiah yang teratur mengenai fenomena yang diamati serta menguji diri sendiri.

Menurut Carin dan Sund (1989 dalam Kartika Budi, 1998) sains adalah suatu sistem untuk memahami semesta melalui data yang dikumpulkan melalui observasi atau ekperimentasi yang dikontrol. Sedangkan menurut Dawson dalam

Kartika Budi (1998) sains adalah aktivitas pemecahan masalah oleh manusia yang termotivasi oleh keingintahuan akan alam disekelilingnya dan keinginan untuk memahami, menguasai, dan mengolahnya demi memenuhi kebutuhan.

Menurut definisi sains diatas aspek – aspek sains adalah aspek produk, aspek proses, dan aspek sikap.

Aspek produk

Yang merupakan aspek produk adalah bangunan sistematis pengetahuan (Dawson, 1994; Carin dan Sund, 1989 dalam Kartika Budi, 1998) sebagai hasil dari proses yang dilakukan oleh saintis. Menurut T. Sarkim (1998,129) istilah yang diterapkan dalam prinsip – prinsip, hukum –hukum, dan teori – teori didalam sains menyatakan bahwa pengetahuan, prinsip, hukum atau teori adalah hasil rekaan atau buatan manusia dalam rangka memahami dan menjelaskan alam bersama dengan berbagai fenomena yang terjadi didalamnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sains adalah suatu sistem yang dikembangkan oleh manusia untuk mengetahui keadaan diri dan lingkungannya. Oleh Carin dan Sund (1989 dalam T. Sarkim, 1998) mengajukan tiga kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sistem dalam sains. Ketiga kriteria tersebut antara lain (1) mampu menjelaskan fenomena yang telah terjadi atau yang diamati. (2) mampu memprediksi peristiwa yang akan terjadi. (3) dapat diuji dengan eksperimen sejenis.

Dalam pengajaran sains, aspek produk tampil dalam bentuk bahan – bahan pengajaran yang berisi pokok – pokok bahasan, misalkan pokok – pokok bahasan tentang termodinamika. Pokok – pokok bahasan itu sering disajikan sebagai

pengetahuan yang sudah jadi tanpa penjelasan bagaimana teori atau hukum tersebut diperoleh.

Sebagai salah satu dari produk sains yaitu fisika terdiri atas berbagai fakta, konsep, hukum, teori, dan prinsip (Carin dan Sund,1989 dalam Kartika Budi,1998) yang terorganisasi secara sistematis yang membentuk body of knowlegde atau conseptual scheme. Fakta adalah sesuatu yang telah atau yang sedang terjadi yang dapat berupa keadaan, sifat, atau peristiwa, sedangkan konsep adalah suatu ide yang merupakan generalisasi dari berbagai peristiwa atau pengalaman khusus (Carin dan Sund,1989 dalam Kartika Budi,1998) yang dinyatakan dengan istilah atau simbol tertentu yang dapat diterima sesuai dengan budaya setempat.

Konsep mengacu pada obyek (benda-benda), peristiwa, keadaan, sifat, kondisi, ciri, dan atribut yang lekat dengan suatu obyek (Bred Ted,1991 dalam Kartika Budi, 1998;162) yang pada umumnya menjadi obyek kajian dalam proses pelajaran fisika, penelitian, dan penerapannya untuk berbagai kepentingan. Dalam fisika dapat disebutkan sederetan panjang konsep seperti cahaya, lembab, getaran, elektron, kecepatan relatif, waktu paruh, momentum sudut, bilangan kuantum, dan sebagainya. Seseorang yang membangun pengetahuan atau struktur kognitif, mencoba menangkap makna dari konsep-konsep yang dipelajarinya dengan membangun konsepsi, yaitu gambaran dalam pikirannya atau gambaran mental, yang merupakan jawaban atas pertanyaan; apa sebenarnya konsep itu? Oleh karena tidak mengherankan bila ada satu konsep yang memiliki beberapa definisi, karena definisi mengacu pada makna yang ditangkap oleh orang yang

membangun struktur kognitif, yang bergantung pada tingkat pendidikan, aspek yang diperhatikan, dan peruntukannya. Perbedaan konsepsi itu dapat disebabkan oleh perbedaan proses pembentukan, tingkat pendidikan, aspek yang ditonjolkan, sudut pandang, konsep lain yang melatarbelakanginya, atau perbedaan tujuannya. Perbedaan - perbedaan inilah yang memungkinkan munculnya apa yang disebut dengan salah konsepsi.

Aspek proses

Yang merupakan aspek proses sains adalah eksperimen yang meliputi penemuan masalah dan perumusannya, perumusan hipotesis, merancang percobaan, melakuakan pengukuran, menganalisis data dan menarik kesimpulan (Sund, 1982 dalam Kartia Budi, 1998). Aspek proses juga disebut metode memperoleh pengetahuan, metode tersebut dikenal dengan metode keilmuan. Olek beberapa ahli seperti Mouly, Riggs, dan Hormer dan Hunt yang dikutip oleh T.Sarkim (1998,133) mendefinisikan metode keilmuan sebagai berikut:

Menurut Mouly (1982 dalam T.Sarkim, 1998) metode keilmua adalah perpaduan antara metode induksi dan metode deduksi, dimana seorang peneliti mula – mula mengunakan metode induksi dalam menghubungkan pengamatan dengan hipotesis kemudian secara deduktif hipotesis ini dihubungkan dengan pengetahuan yang ada untuk melihat kecocokan dan implikasinya. Setelah melewati berbagai perubahan yang perlu, hipotesis ini kemudian diuji melalui serangkaian data yang dikumpulkan untuk menguji sah atau tidaknya hipotesis itu secara empiris.

Menurut Riggs (1992 dalam T.Sarkim, 1998) metode keilmuan adalah perpaduan antara observational dan theorikal. Hukum – hukum obsevational ditemukan melalui proses generalisasi induktif dari data yang dapat diukur atau diindera manusia. Dalam proses induktif ini, data diperoleh dari pengamatan peneliti yang memiliki pikiran terbuka dan data tersebut harus memenuhi standar keilmuan. Oleh karena itu, hukum observasional mencerminkan suatu keteraturan nyata dialam karena faktor subyektif dilepaskan. Hukum teoritis mengaku kepada besaran – besaran dan proses – proses yang tidak dapat diobsevasi, hukum teoritis tidak memiliki basis empiris seperti halnya hukum obsevational. Sebagai konsekuensinya, hukum teoritis dapat berubah dari waktu ke waktu apabila diketemukan bukti baru yang tidak dapat dijelaskan dengan teori yang ada.

Menurut Horner dan Hunt (1982 dalam T.Sarkim, 1998) metode keilmuan adalah perpaduan antara rasionalisme dan empirisme. Sebaga perpaduan dari rasionalisme yang meyakini bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pikiran dan empirisme yang meyakini bahwa pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman, metode keilmuan ini memiliki kerangka dasar prosedur yang dapat dijabarkan dalam enam langkah : (1) sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah. (2) pengamatan dan pengumpulan data yang relevan. (3) penyusunan atau klarisikasi data. (4) perumusan hipotesis. (5) deduksi dan hipotesis. Dan (6) tes dan pengujian kebenaran hipotesis. Pada tahap tersebut terdapat aktifitas – aktifitas yang dilakukan peneliti, diantaranya melakukan observasi, mengukur, memprediksi, mengklarifikasi, membandingkan, menyimpulkan, merumuskan

hipotesis, melakuakan eksperimen, menganalisis data, membuat laporan penelitian dan menkomunikasikan hasil penelitian.

Dalam pengajaran sains, aspek proses ini muncul dalam bentuk kegiatan belajar mengajar, ada tidaknya aspek proses didalam pengajaran sains sangat bergantung pada guru. Suatu teori yang tertulis dalam buku pelajaran fisika, misalnya dapat diajarkan begitu saja seperti yang tertulis dalam buku itu. Namun, dapat pula diajarkan dengan membawa persoalannya secara kongkret. Kemudaia, para siswa dibimbing melakukan berbagai aktifitas, baik fisik maupun mental sampai akhirnya merumuskan kembali teori yang sudah tertulis dalam buku itu.

Aspek sikap

Menurut T.Sarkim (1998,134) aspek sikap adalah sebagai keyakinan, opini dan nilai – nilai yang harus dipertahankan oleh seorang ilmuan khususnya mencari atau mengembangkan pengetahuan baru diantaranya tanggung jawab, rasa ingin tahu, disiplin, tekun, jujur, dan terbuka terhadap pendapat orang lain. Sikap dapat diklarifikasikan didalam dua kelompok besar yaitu seperangkat sikap yang bila diikuti akan membantu proses pemecahan masalah dan seperangkat sikap yang menekan sikap tertentu terhadap sains sebagai suatu cara memandang dunia serta dapat berguna bagi pengembangan karir dimasa depan (Dawson,1995 dalam T.Sarkim, 1998)

Termasuk didalam kelompok pertama adalah : (1) kesadaran akan perlunya bukti ketika mengemukakan suatu pernyataan; (2) kemauan untuk mempertimbangkan interpretasi atau pandangan lain; (3) kemauan untuk eksperimen atau kegiatan lainya secara hati –hati; (4) menyadari adanya

keterbatasan dalam penemuan keilmuan. Sedangkan sikap – sikap yang termasuk ke dalam kelompok kedua adalah ; (1) rasa ingin tahu terhadap dunia fisik dan biologis serta cara kerjanya; (2) pengakuan bahwa sains dapat membantu memecahkan masalah – masalah individu dan global; (3) memiliki rasa antusiasme untuk menguasai pengetahuan dan metode sains; (4) pengakuan pentingnya pemahaman keilmuan dalam dunia masa kini; (5) pengakuan bahwa sains adalah aktifitas manusia; (6) pemahaman hubungan antara sains dan bentuk aktifitas manusia lainnya.

Sikap – sikap tersebut secara jelas berhubungan deangan sains dan sangat potensial dikembangkan dalam pengajaran sains. Akan tetapi, masih terdapat sikap – sikap positif yang lebih umum dan dapat didukung perkembangannya oleh guru sains, misalnya rasa tanggung jawab, kemauan bekerja sama, tekun, toleran, jujur, dan memiliki rasa percaya diri. Dalam pengajaran sains, aspek sikap hanya dapat terlibat apabila guru secara sadar dan terus – menerus memperhatikan, mengarahkan, menegur, dan menunjukkan sikap – sikap para muridnya.

Oleh karena itu, didalam membicarakan sains maka akan tergambar dalam pikiran minimal adalah produk, proses, sikap (Carin dan Sund, 1989 dalam kartika Budi, 1998). Dengan kata lain, bahwa sains dapat dipandang sebagai kesatuan dari proses, sikap dan hasil. Seperti telah diuraikan diatas, pandangan tersebut bila konsekuen akan melatar - belakangi guru pada pilihan strategi pembelajaran. Sehingga dapat digambarkan seperti pada skema sebagai berikut (Kartika Budi,1998)

Proses sains Sikap sains 3 2 1 Mendorong Hasil sains Menghasilkan ket : 1. Membentuk 2. Menumbuhkan 3. Melandasi Gambar 1 Skema sains

Skema tersebut menjelaskan bahwa proses sains yang dilandasi sikap sains seperti perasaan ingin tau, disiplin, dan tanggung jawab akan memperoleh hasil sains. Hasil sains yang didukung oleh sikap, misalnya menyadari keterbatasan dalam penemuan keilmuan akan mendorong proses sains dan hasil sains yang diperlukan dalam proses sains berikutnya untuk menghasilkan produk sains yang baru.

2. Sikap

Menurut Mar’at (1981, 9) sikap merupakan produk dari proses sosialisasi di mana seseorang bereaksi sesuai dengan rangsang yang di terimanya. Jika sikap terhadap obyek tersebut dipengaruhi oleh lingkungan sosial dan kesediaan untuk berinteraksi orang tersebut terhadap obyek. Dalam ilmu Psikologi Sosial, lima puluh terakhir studi mengenai sikap banyak banyak sekali diteliti, dari mulai teori, konstruksi, konsep sampai dengan pengukurannya.

Menurut Newcomb dalam Mar’at (1981:11) sikap merupakan suatu kesatuan kognisi yang mempunyai valensi dan akhirnya berintegrasi ke dalam

pola yang lebih luas. Hal ini dapat pada bagan sebagai berikut: hubungan antara nilai, sikap, motif dan dorongan ( Newcomb, 1978 dalam Mar’at,1981).

NILAI Sasaran / tujuan yang bernilai terhadap mana berbagai pola sikap dapat diorganisasi

SIKAP Kesiapan secara umum untuk suatu tingkah laku bermotivasi

MOTIVASI Kesiapan ditujukan pada sasaran dan dipelajari untuk tingkah laku bermotivasi

DORONGAN Keadaan organisme yang menginisasikan kecenderungan ke arah aktifitas umum

Gambar 2

Hubungan antara nilai, sikap, motivasi dan dorongan

Bagan gambar 2 melukiskan perkembangan seleksi dan degenerasi tingkah laku individu yang berpangkal pada ‘drives‘ dan akhirnya mencapai puncak pada ‘values‘. Nilai pada gambar 2 inilah yang menunjukkan konsistensi organisasi tingkah laku individu. Pada gambar 3 menjelaskan bahwa, Definisi sikap yang dirumuskan sebagian besar ahli mencantumkan kata “ pre-disposition“ atau “ tendency “ yang berarti adanya kecenderungan, kesediaan dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi jika diketahui sikapnya. Tindakan yang diawali melalui proses yang cukup kompleks dan sebagai titik awal untuk menerima stimulus adalah melalui alat indera seperti : penglihatan, pendengaran, alat raba, rasa dan bau. Dalam diri individu sendiri terjadi dinamika berbagai

psikofisik seperti kebutuhan, motif, perasaan, perhatian dan pengambilan keputusan. Semua proses ini sifatnya tertutup sebagai dasar pembentukan suatu sikap yang akhirnya melalui ambang batas terjadi tindakkan yang bersifat terbuka, Hal inilah yang disebut sebagai tingkah laku. Jelaslah bahwa sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktifitas, akan tetapi berupa “pre-disposisi” tingkah laku. Proses rangsang Sikap (tertutup) Rangsang stimulus Reaksi tingkah laku

Garis arah / kecenderungan dari sikap Garis tanpa proses seperti refleks

Gambar 3

Sikap merupakan ‘pre-disposisi’ tingkah laku

Jadi dapat dijelaskan bahwa sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap obyek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek tertentu. menurut Bimo Walgito (1978, 110) Sikap memiliki tiga komponen sikap:

1. Komponen Kognitif (komponen perseptual) yaitu komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan, yaitu hal yang berhubungan denganbagaimana orang mempersepsi terhadap obyek sikap.

2. Komponen Afektif (komponen emosional) yaitu komponen yang berhubungan dengan rasa senang atau tidak senang terhadap objek sikap. Rasa senang merupakan hal yang positif, sedangkan rasa tidak senang merupakan hal yang negatif. Komponen ini menunjukkan arah sikap, yaitu positif atau negatif.

3. Komponen Konatif (komponen perilaku) yaitu komponen yang berhubungan dengan kecenderungan bertindak terhadap suatu obyek. Komponen ini ini menunjukkan intensitas sikap, yaitu menunjukkan besar kecilnya kecenderungan bertindak atau berperilaku terhadap obyek.

Dalam menjelaskan konteks sikap, perlu dibedakan terlebih dahulu fungsi sikap dan kejadian. Karakteristik dari sikap senantiasa mengikutsertakan segi evaluasi yang berasal dari komponen afeksi. Sedangkan kejadiannya tidak di ikutsertakan dengan evaluasi emosional. Oleh karena itu, sikap adalah relatife konstan dan agak sukar berubah, jika ada perubahan sikap berarti adanya suatu tekanan yang kuat dan dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap melalui proses tertentu. Selanjutnya sikap dapat dikatakan bahwa sikap merupakan kumpulan dari berpikir, keyakinan dan pengetahuan. Namun disamping itu sikap memiliki evaluasi negatif maupun positif yang bersikap emosional yang disebabkan oleh komponon afeksi. Semua hal ini dengan sendirinya berhubungan dengan objek atau masalah yang disebut ‘ the attitude object’. Sikap diartikan derajat atau tingkat kesesuaian seseorang terhadap objek tertentu. Objek sikap (Edwards ,1969 dalam Mar’at,1981) disebut ‘psychological object’ .

Predisposisi untuk bertindak senang atau tidak senang terhadap suatu objek tertentu mencakup komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Komponen kognisi akan menjawab pertanyaan apa yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang objek. Komponen afeksi menjawab pertanyaan tentang apa yang dirasakan (senang / tidak senang) terhadap objek. Dan komponen konasi akan menjawab pertanyaan bagaimana kesiapan atau kesediaan untuk bertindak terhadap objek (Shaver1978 dalam Mar’at,1981). Ketiga komponen tersebut tidak berdiri sendiri, akan tetapi menunjukkan bahwa manusia merupakan suatu sistem kognitif. Hal ini berarti bahwa apa yang dipikirkan seseorang tidak akan lepas dari perasaannya. Masing – masing komponen tidak dapat berdiri sendiri, namun merupakan interaksi komponen – komponen tersebut secara kompleks. Aspek kognisi merupakan aspek penggerak perubahan karena informasi yang diterima menentukan perasaan dan kemauan berbuat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pendekatan yang digunakan dalam hal ini adalah pendekatan kognitif. Berdasarkan pendekatan ini setiap orang akan berusaha mencari keseimbangan dalam bidang kognisinya dan terbentuk sikap yang bersangkutan. Apabila terjadi ketidakseimbangan, individu akan berusaha mengubahnya sehingga terjadi keseimbangan kembali.

faktor Gambar 4 Bagan Sikap Faktor internal: Psikologis fisiologis Obyek sikap Sikap Reaksi Faktor eksternal: Pengalaman Situasi Norma Hambatan Pendorong

Proses terbentuknya sikap seperti yang ditunjukkan pada gambar 4 sikap yang ada pada seseorang akan dipengaruhi oleh faktor internal (kepribadian) yaitu faktor fisiologis dan psikologis, serta faktor eksternal. Faktor eksternal dapat berwujud masyarakat, hambatan atau pendorong yang ada dalam masyarakat. Semuanya ini akan berpengaruh pada sikap yang ada pada diri seseorang. Reaksi yang dapat diberikan individu terhadap obyek sikap dapat bersifat positif tetapi juga dapat bersifat negatif.

3. Persepsi.

Istilah persepsi digunakan untuk mengetahui bagaimana prosesnya mengetahui sesuatu dari sekitar dengan menggunakan alat – alat indera dan untuk dapat mengetahui obyek diluar, harus dengan pengamatan yang baik (Dakir, 1967: 67). Hal ini sesuai dengan pendapat Bimo Walgito (1994, 53) yang mengatakan bahwa persepsi adalah suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya.

Menurut Moskowitz dan Orgel dalam Bimo Walgito (1994), persepsi merupakan suatu proses seseorang merespon stimulus yang diterimanya dengan mengintepretasikan banyak hal yang ada dalam dirinya seperti perasaan, pengalaman, kerangka berpikir, kerangka acuan dan berbagai aspek lainnya yang ada dalam diri sehingga dapat mempengaruhi dalam mempersepsikan suatu stimulus tersebut.

Berdasarkan pendapat diatas, kiranya dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan pengorganisasian, penginterpretasian terhadap stimulus yang diterima oleh individu yang menyangkut aspek kognitif, aspek afektif, dan aspek konatif yang dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, proses belajar, cakrawala sehingga merupakan sesuatu yang berarti dan mempengaruhi tindakan, pemikiran, serta sikap dari individu. Dengan demikian, persepsi seseorang dapat dilihat dari pernyataan dan tindakannya.

Kalau penelitian yang akan dilakukan penulis yaitu mencoba untuk meneliti persepsi siswa tentang pelajaran fisika disekolahnya, maka yang dimaksud adalah tentang pengetahuan, pengalaman, proses belajar, cakrawala sejauh yang ditangkap oleh para siswa – siswa kelas XI IPA terhadap pelajaran fisika di sekolahnya.

3.1. Faktor – faktor Persepsi.

Oleh Bimo Walgito (1994: 54) Faktor – faktor yang mempengaruhi individu dalam mempersepsi antara lain :

1. Internal (keadaan individu). Keadaan individu yang dapat mempengaruhi hasil persepsi datang dari dua sumber yaitu; fisiologis

dan psikologis individu. Bila sistem fisiologis terganggu maka akan berpengaruh dalam persepsi seseorang, sedangkan psikologis antara lain : pengalaman, perasaan, kemampuan berpikir, kerangka acuan, motivasi, akan berpengaruh pada seseorang melakukan persepsi.

2. Eksternal (objek itu sendiri dan lingkungan). Agar obyek dapat dipersepsi, maka obyek harus cukup kuat. Hal ini bertujuan untuk mencapai ketepatan persepsi, bila obyek bukan suatu fisik maka ketepatan persepsi lebih terletak pada individu yang mengadakan persepsi. Sedangkan lingkungan atau situasi melatar belakangi obyek persepsi.

Obyek dan lingkungan sebagai faktor eksternal dan individu sebagai faktor internal saling berinteraksi dalam individu mengdakan persepsi.

Pada gambar 5 menjelaskan bahwa obyek sikap akan dipersepsikan oleh individu, dan hasil persepsi akan dicerminkan dalam sikap yang diambil oleh individu yang bersangkutan. Dalam mempersepsi objek sikap individu akan dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, proses belajar, cakrawala, faktor pengalaman, proses belajar atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang dilihat. Sedangkan pengetahuan dan cakrawalanya memberikan arti terhadap obyek sikap dan hasil proses persepsi ini merupakan pendapat atau keyakinan individu mengenai objek sikap dan ini berkaitan dengan segi kognisi. Afeksi akan mengiringi hasil kognisi objek sikap sebagai aspek evaluatif, yang dapat bersifat positif atau negatif. Hasil evaluasi aspek afeksi akan mengait segi konasi, yaitu merupakan kesiapan untuk memberikan respon terhadap objek sikap,

kesiapan untuk bertindak, kesiapan untuk berperilaku. Keadaan lingkungan akan memberikan pengaruh terhadap objek sikap maupun pada individu yang bersangkutan.

Proses belajar Cakrawala Pengalaman pengetahuan

Persepsi Kognisi Afeksi Senang/tak senang evaluasi Faktor lingkungan yang berpengaruh Obyek sikap Sikap Konasi Ke Priba dian Kecenderungan bertindak Gambar 5 Bagan Persepsi

3.2. Pembentukan Persepsi Siswa Tentang Pelajaran Fisika.

Mata pelajaran fisika yang identik dengan IPA menimbulkan pandangan yang berbeda pada setiap siswa yang melihat pelajaran fisika tersebut. Pandangan subyektif siswa atau persepsi yang muncul pada diri tiap – tiap siswa lebih merupakan suatu proses pengorganisasian dan penginterpretasian yang diterima oleh panca indera atau kesan sensoris. Proses persepsi diawali dengan penginderaan seseorang terhadap stimulus yang diterimanya melalui alat reseptor kemudian stimulus tersebut diteruskan kepusat susunan saraf dan terjadi proses psikologis, sehingga individu menyadari apa yang diinderanya (Walgito,1994).

Pengamatan masing – masing siswa memiliki perbedaan antara satu dan yang lainnya, meskipun mereka dihadapkan pada stimulus yang sama. Dalam mempersepsikan suatu pelajaran, pada umumnya bukan hanya ada satu stimulus saja yang membangun suatu persepsi pada diri siswa. Stimulus yang ada, dapat berasal dari dalam diri itu sendiri berdasarkan pengetahuan, pengalaman, proses belajar, cakrawalanya namun ada juga stimulus yang berasal dari luar yang dimunculkan oleh lingkungan sekitarnya. Maka kemungkinan hasil persepsi dari tiap – tiap siswa berbeda satu dengan yang lainnya. Persepsi siswa terhadap pelajaran fisika dapat diartikan sebagai suatu pandangan siswa terhadap pelajaran fisika yang melibatkan pengetahuan, pengalaman, proses belajar, cakrawala yang telah diorganisasikan dalam diri siswa.

Sedang bentuk persepsi merupakan pandangan yang berdasarkan penilaian terhadap suatu obyek yang terjadi, kapan saja, dimana saja, jika stimulus mempengaruhinya. Persepsi yang meliputi proses kognitif mencakup proses penapsiran obyek, tanda dan individu yang bersangkutan. Oleh karena itu, dalam menerima suatu stimulus kemampuan individu sangatlah terbatas, sehingga individu tidak mampu memproses seluruh stimulus yang diterimanya. Artinya meskipun sering disadari, stimulus yang akan dipersepsi selalu dipilih stimulus yang mempunyai relevansi dan bermakna baginya. Dengan demikian dapat diketahui ada 4 bentuk sifat persepsi yaitu:

Pandangan terhadap suatu obyek dan menuju pada suatu keadaan dimana subyek memberi tanggapan cenderung menerima obyek yang ditangkapnya sesuai dengan pribadinya.

2. Persepsi Semi Positif.

Persepsi ini muncul lebih disebabkan faktor lingkungan atau sebagai apa individu tersebut saat memberikan persepsi. Dalam persepsi ini sering kali individu kurang memahami posisinya sehingga yang muncul hanya prasangka – prasangka yang lebih cenderung ke hal positif.

3. Persepsi Semi Negatif.

Persepsi ini muncul lebih disebabkan faktor lingkungan atau sebagai apa

Dokumen terkait