• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1. DEFINISI

2.3. FUNGSI EREKSI

2.3.1. Fisiologi Ereksi

Pada tahun enampuluhan, William Masters dan Virginia Johnson mempublikasikan Human Sexual Response , sebuah buku yang memberikan gambaran terperinci mengenai beberapa fase perubahan organ seksual laki-laki sebagai respon seksual. Adapun respon seksual tersebut dibagi atas 4 fase :11

1. Excitement

Gambar 1 FaseExcitement

Perubahan permulaan organ seksual laki laki ketika jaringan spons diperbesar oleh darah untuk menghasilkan ereksi. Serabut otot dibawah kulit

skrotum membuat skrotum kontraksi dan bergerak lebih mendekati tubuh. Kelenjar

Couper menghasilkan cairan jernih yang disekresikan ke dalam uretra. Secara bersamaan, terjadi peningkatan tekanan darah seiring dengan meningkatnya

excitementseksual.11

2. Plateau

Gambar 2 FasePlateau

Pada fase ini, penis menjadi ereksi penuh dan laki-laki tersebut mendekati

orgasm. Bagian atas penis menjadi semakin membesar dan gelap atau keunguan karena meningkatnya darah yang memenuhinya. Demikian juga terjadi peningkatan denyut nadi, tekanan darah dan ketegangan otot tubuh. Pernapasan menjadi cepat dan dalam. Banyak laki-laki tidak mampu bertahan pada fase ini lebih daripada waktu yang pendek sebelum orgasm datang. Meskipun demikian dengan pengendalian otot pelvis yang efisien, seorang laki-laki dapat belajar bertahan pada fase ini untuk waktu yang panjang ketika berhubungan seksual.11

3. Orgasm

Gambar 3FaseOrgasm

Ketika orgasm menjelang, terdapat sejumlah besar cairan pada kedua kelenjar prostat dan vesikula seminalis. Ketika orgasm otot penis berkontraksi dengan selang waktu yang teratur. Masters dan Johnson mengukur selang waktu antara kontraksi pertama sekitar 0,8 detik. Setelah beberapa detik kontraksi menjadi melemah dan panjang selang waktu meningkat. Serabut otot uretra juga mengalami kontraksi ketika ejakulasi untuk membantu mengeluarkan cairan semen melalui uretra yang terbuka.11

4. Resolution

Setelah ejakulasi badan spons secara bertahap dikosongkan dari darah. Pada awalnya penis akan berkurang ukurannya sampai 50% dari ukuran ketika ereksi. Dibutuhkan waktu beberapa saat sebelum ukuran penis kembali pada keadaanflaccid.11

Fisiologi ereksi mencakup komponen hormonal, vaskuler, psikologis, neurologis dan seluler. Testosteron terutama berperan mempertahankan hasrat seksual (libido), dan keadaan hipogonadism kadang-kadang berhubungan dengan disfungsi ereksi. Keadaan hormonal lain yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi diantaranya adalah hipertiroid dan prolaktinoma. Suplai darah penis bermula pada arteri pudendal interna, yang bercabang kedalam arteri penis yang berakhir pada arteri kavernosa, dorsalis dan bulbouretra. Ereksi psikogenik, dipicu oleh stimulasi fantasi atau visual, yang kemungkinan dimediasi oleh masukan dari percabangan torakolumbal (T11 sampai L2). Ereksi refleks disebabkan oleh stimulasi taktil dan dimediasi sistim saraf parasimpatis (S2 dan S4). Secara keseluruhan, sinyal parasimpatetik bertanggung jawab untuk ereksi, dan sinyal simpatetik bertanggung jawab untuk ejakulasi.12

Gairah seksual (sexual arousal) dan sinyal parasimpatetik pada penis memulai perubahan intraseluler yang diperlukan untuk ereksi (Gambar 5).

Gambar 5 Mekanisme molekuler ereksi penis. Nitric oxidedilepaskan dari terminal nervus nonadrenergik/nonkolinergik dan sel endotel pada korpus kavernosum. cGMP = cyclic guanosine monophosphate; GTP =

guanosine triphosphate; PDE-5 =phosphodiesterase type 5.

(Sumber : Beckman TJ. Evaluation and Medical Management of Erectile Dysfunction)

Sel endotel dan nervus terminal melepaskan nitric oxide, yang pada gilirannya meningkatkan kadar cyclic guanosine monophosphate (cGMP). Kadar cGMP yang berlimpah menyebabkan relaksasi otot polos arteri dan kavernosa, serta meningkatkan aliran darah penis. Ketika tekanan intrakavernosa meningkat, venula subtunika penis terkompresi, sehingga membatasi aliran balik vena dari penis. Kombinasi peningkatan aliran arteri dan penurunan aliran balik vena mengakibatkan ereksi (Gambar 6). Proses ini dibalikkan oleh aktifitas type 5 cGMP phosphodiesterase (PDE), yang memecah cGMP, menyebabkan penghentian ereksi.12,13

Gambar 6 Mekanisme Fisiologik Relaksasi Otot Polos Penis.

(Sumber : McVary KT. Erectile dysfunction. N Engl J Med 2007) 2.3.2. Disfungsi Ereksi

Disfungsi ereksi merupakan salah satu tipe dari disfungsi seksual. Adapun disfungsi seksual memiliki beberapa tipe masalah, diantaranya :

 Libido  Ejakulasi

 Disfungsi Ereksi

Berkurangnya libido dapat diakibatkan dari penyebab organik atau psikologik. Keadaan ini sering disertai kadar testosteron serum yang rendah atau kadar prolaktin yang meningkat, perubahan ini dapat primer maupun sekunder. Berkurangnya libido dapat juga berkaitan dengan problem psikologik, kesulitan menjalin hubungan, kesakitan medikal, penggunaan obat-obat tertentu.

Kesulitan ejakulasi dapat berupa ejakulasi prematur, ejakulasi yang lambat, anejakulasi atau ejakulasi retrograd. Ejakulasi prematur lebih sering dijumpai pada laki-laki muda daripada yang lebih tua. Keadaan ini dapat hilang atau berkurang dengan bertambahnya usia dan pengalaman seksual. Ejakulasi prematur didefinisikan sebagai ejakulasi yang terjadi sebelum atau dalam 2 menit setelah penetrasi vagina. Faktor psikologis, medis atau keduanya harus dipertimbangkan. Obat adrenergik, seperti dekongestan, sering menyebabkan ejakulasi prematur, sebagaimana halnya dengan epinefrin endogen yang dihasilkan pada ansietas. Ejakulasi yang lambat atau anejakulasi juga dapat disebabkan karena penyebab psikologik, neurologik atau medis atau kombinasi diantaranya. Ejakulasi retrograd sering terjadi pada pasien dengan gangguan neurologik, terutama neuropati diabetik, atau sebagai komplikasi dari reseksi prostat transuretral.14

Disfungsi ereksi merupakan masalah tersering melanda 80 85% pasien mencari bantuan medis untuk disfungsi seksual.14 Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan/atau mempertahankan suatu ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan.2 Disfungsi ereksi sering dianggap psikogenik dan sering diabaikan petugas kesehatan. Saat ini telah meningkat pengetahuan terhadap penyebab fisiologik disfungsi ereksi dan terapi

yang potensial memperbaiki kualitas hidup, kepercayaan diri, dan kemampuan mempertahankan hubungan intim.7,13

Terdapat dua kategori disfungsi ereksi yaitu psikologik dan organik atau keduanya. Sering dijumpai seorang laki-laki yang mempunyai masalah dengan fungsi ereksi menjadi menderita ansietas, dan bisa kesulitan menentukan apakah faktor psikologik merupakan faktor utama atau menyertai penyakit lain.

Penyebab psikogenik terlibat pada hampir semua laki-laki dengan disfungsi ereksi, bahkan jika diketahui bahwa kebanyakan proses patofisiologi yang dominan adalah organik. Aspek psikis berperan penting terhadap ereksi, bahkan jika malfungsi organik terkecil pun dapat berakibat pada konsekuensi psikologis, yang selanjutnya disebut dengan performance related anxiety . Faktor faktor yang berperan pada disfungsi ereksi psikogenik dibagi atas 3 kelompok, yaitu faktor predisposisi (pendidikan, kultur, pengalaman traumatik, masalah keluarga, stres keuangan), faktor pencetus (gangguan organik, perselingkuhan, harapan yang tidak rasional, depresi dan ansietas, kehilangan pasangan hidup), maintaining factors

(penampilan terkait ansietas, berkurangnya daya tarik terhadap pasangan, ketakutan berhubungan intim).15

Penyebab organik disfungsi ereksi meliputi :  Neurogenik

o Penyakit sistem saraf pusat : sklerosis multipel, cedera saraf spinal, depresi, penyakit parkinson, penyakit serebrovaskuler. 15

o Penyakit sistem saraf perifer : kompresi kauda equina, prolaps diskus intervertebralis, neuropati perifer (diabetes, alkohol), cedera bedah pada saraf pelvis.15

 Endokrin

Testosteron berperan penting terhadap fungsi seksual laki-laki pada hasrat seksual dan ereksi penis. Akan tetapi, berkurangnya kadar testosteron mempunyai efek yang bervariasi terhadap fungsi ereksi. Terdapat pengurangan libido, tetapi hanya sedikit efek pada fungsi ereksi. Laki-laki dengan hipogonad tidak serta-merta kehilangan fungsi ereksinya, namun dapat terjadi pengurangan ereksi nocturnal, dengan berkurangnya lama dan kekakuan ereksi. 15

 Vaskulogenik

Penyakit vaskular merupakan penyebab paling sering disfungsi ereksi, dan dari semua penyebab vaskuler, yang paling banyak adalah aterosklerosis. Akan tetapi, tidak semua aterosklerosis berhubungan dengan disfungsi ereksi, tetapi faktor resikonya seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes, juga berkaitan dengan terjadinya disfungsi ereksi. Penelitian Massachusetts Male Aging

menunjukan hubungan antara disfungsi ereksi dengan hipertensi, diabetes dan hiperkolesterolemia. Penelitian Cologne pada laki-laki dengan disfungsi ereksi juga tampak hubungan antara disfungsi ereksi dengan diabetes dan hipertensi, sementara itu beberapa penelitian lain menunjukkan hubungan antara merokok dan disfungsi ereksi. Pada tingkat seluler, telah dianggap bahwa pengurangan aliran masuk darah arteri menyebabkan hipoksia relatif didalam penis disusul dengan efek seluler (Gambar 1). Mediator seluler yang utama tampak berupa

Transforming Growth Factor Beta 1 (TGF 1), yang meningkat pada hipoksia dan menginduksi perubahan trofik otot polos kavernosa.15

 Seluler

Terdapat dua tipe sel kavernosa yang berperan penting pada ereksi penis, yaitu sel otot polos dan sel endotel. Sel endotel vaskuler membatasi ruang trabekuler dari sinusoid kavernosa dan melepaskan beberapa zat kimia vasoaktif yang mengendalikan tonus otot polos didalam penis, yang terpinting diantaranya adalah NO. Penyakit yang merusak endotel sehingga mengganggu respon vaskuler penis terhadap rangsangan neural. Beberapa penyakit yang dapat merusak endotel (termasuk hiperkolesterolemia), namun yang terpenting adalah diabetes melitus. Perubahan stuktur endotel pada diabetes melitus disertai perubahan fungsi akan berakibat terganggunya relaksasi otot polos. Pada penuaan dapat terjadi pengurangan otot polos penis. Jika terjadi malfungsi otot polos, dilatasi arteri menjadi tidak sempurna, dan relaksasi kavernosa gagal terjadi, akhirnya mekanisme oklusi vena gagal.15

 Iatrogenik

Sejumlah obat-obatan dapat mengganggu fungsi seksual, dapat berupa efek pada fungsi ereksi, fungsi ejakulasi, atau hasrat seksual. Penggunaan obat-obat ini sangat jarang secara langsung menyebabkan disfungsi ereksi sendirian, kerja obat tersebut biasanya sebagai tambahan mekanisme patofisiologi yang lain. Pembedahan dan radioterapi juga dapat mengganggu fungsi ereksi. Pembedahan yang paling sering menyebabkan disfungsi ereksi adalah pembedahan pelvis radikal terhadap kanker rektum, kanker kandung kemih, atau kanker prostat.

Saraf parasimpatis yang membantu ereksi penis berada berdekatan dengan prostat dan sering mengalami kerusakan ketika pembedahan radikal.15

Penyakit Sistemik

Penyakit sistemik mempengaruhi fungsi seksual pria melalui berbagai jalan, antara lain pada penurunan libido dan impotensia ereksi, infertilitas, osteoporosis, dan penurunan massa otot. Efeknya dapat langsung pada tingkat testikular atau pada hypothalamic-pituitary-testicular axis.16 Pada tingkat testikular dapat terjadi pengurangan fungsi sel Leydig yang mengakibatkan defisiensi androgen. Penyakit akut dan kronik dapat mengganggu hypothalamic-pituitary-testicular axis

dan juga menyebabkan berkurangnya fungsi testikuler. Hipogonadisme didefinisikan sebagai berkurangnya aktifitas fungsional testis, dan dapat primer (penyakit testikuler) atau sekunder (penyakit hipotalamik-pituitari). Pada hipogonadisme primer, kadar testosteron berada dibawah rentang normal berkaitan dengan peningkatan gonadotropin. Sedangkan pada hipogonadisme sekunder kadar testosteron berada dibawah rentang normal berkaitan dengan kadar gonadotropin yang normal. Lama penyakit, apakah akut atau kronik tidak bermakna mempengaruhi kadar testosteron aktual, meskipun nilai testosteron sedikit tetapi tidak bermakna lebih rendah pada mereka dengan penyakit kronik dibandingkan dengan penyakit akut. Kadar follicle stimulating hormone (FSH),

luteinising hormone (LH) dan prolaktin tidak berbeda bermakna diantara penderita penyakit akut dengan penyakit kronik.16

2.4. DISFUNGSI EREKSI (DE) PADA PPOK STABIL 2.4.1. Patogenesis DE pada PPOK Stabil

Patogenesis terjadinya disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil belum sepenuhnya diketahui. Pada penelitian penelitian awal, Semple dkk (1979) menemukan kadar testosteron yang rendah pada pasien PPOK dibandingkan kontrol, dengan kadar serum LH dan FSH yang normal, dan melihat kadar gonadotropin tidak sesuai, diduga bahwa hipoksia menyebabkan supresi pituitari. Pasien PPOK yang juga mengalami hiperkapnia mempunyai kadar testoteron lebih rendah daripada yang normokapnia, secara sederhana merefleksikan keparahan penyakit PPOK.17 Namun Gow dkk (1987) menemukan tidak ada korelasi bermakna antara tekanan oksigen arteri dan testosteron.18 Penelitian Aasebo dkk (1993) menemukan bahwa pemberian terapi oksigen jangka panjang pada pasien PPOK laki-laki menunjukkan 5/12 pasien mengalami perbaikan impotensi dan peningkatan testosteron, dengan meningkatnya tekanan oksigen arteri.19 Rhoden dkk (2002) melaporkan bahwa kadar testosteron tidak berkorelasi dengan disfungsi ereksi atau derajat disfungsi ereksi.20 Hal yang berbeda dilaporkan oleh Svartberg dkk (2004) yang menemukan bahwa pemberian 250 mg testosteron IM setiap empat minggu pada pasien PPOK sedang sampai berat, secara bermakna memperbaiki fungsi ereksi, dan tidak mempengaruhi hasil spirometri maupun kadar PaO2.21 Penelitian terbaru dilakukan oleh Karadag dkk (2007) menemukan derajat disfungsi ereksi tidak berkorelasi bermakna dengan kadar serum testosteron meskipun terdapat kadar testosteron pada pasien PPOK stabil tampak lebih rendah bermakna daripada kontrol. Sehingga sampai saat ini hubungan antara testosteron dan disfungsi ereksi pada pasien PPOK masih kontroversial.7

Saat ini dugaan peran inflamasi kronik dapat menjadi pertimbangan. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Karadag dkk (2007) yang menemukan bahwa terjadi peningkatan bermakna kadar sitokin pro-inflamasi (TNF ) seiring dengan semakin beratnya disfungsi ereksi dan keparahan PPOK. Walaupun demikian, masih belum jelas apakah TNF- mempunyai efek langsung pada DE atau hanya merupakan refleksi dari semakin beratnya keparahan PPOK stabil. Penelitian lebih lanjut diperlukan, karena belum ada penelitian yang melaporkan hubungan disfungsi ereksi dengan sitokin pro-inflamasi pada pasien PPOK stabil.7 Beberapa penelitian pada populasi umum melaporkan hubungan disfungsi ereksi dengan peningkatan sitokin pro-inflamasi. Ryu dkk (2004) menemukan hubungan disfungsi ereksi dengan peningkatan kadar TGF- 1 pada populasi umum.22 Guigliano dkk (2004) menemukan konsentrasi sitokin pro-inflamasi (IL-6, IL-8, IL-18) dan CRP yang lebih tinggi bermakna pada pasien dengan disfungsi ereksi dibandingkan pasien tanpa disfungsi ereksi.23

Dokumen terkait