HUBUNGAN KEPARAHAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) STABIL
DENGAN DISFUNGSI EREKSI
PENELITIAN POTONG LINTANG DESKRIPTIF ANALITIK
DI DEPARTEMEN / SMF ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN USU
RSUP H ADAM MALIK MEDAN
AGUSTUS 2010 - JANUARI 2011
T E S I S
Oleh
Roni Risdianto Ginting
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT DALAM
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RSUP H ADAM MALIK / RSUD DR PIRNGADI
DEWAN PENILAI
1. Prof. dr. Harun Rasyid Lubis, SpPD-KGH
2. dr. Betthin Marpaung, SpPD-KGEH
3. DR. dr. Blondina Marpaung, SpPD-KR
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya serta telah memberikan kesempatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul : Hubungan keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dengan Disfungsi Ereksi
Tesis ini merupakan persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan dokter ahli di bidang llmu Penyakit Dalam pada Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya tesis ini, maka penulis ingin menyampaikan terima kasih dan rasa hormat serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :
1. dr. Salli Roseffi Nasution, SpPD-KGH., selaku Ketua Departemen llmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H. Adam Malik Medan yang telah memberikan bimbingan dan kemudahan buat penulis dalam menyelesaikan pendidikan. 2. dr. Zulhelmi Bustami SpPD-KGH., dan dr. Zainal Safri SpPD,SpJP, selaku
Ketua dan Sekretaris Program Studi llmu Penyakit Dalam yang dengan sungguh-sungguh telah membantu dan membentuk penulis menjadi ahli penyakit dalam yang berkualitas, handal dan berbudi luhur serta siap untuk mengabdi bagi nusa dan bangsa.
4. Prof. dr. Lukman Hakim Zein, SpPD-KGEH., selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK USU/ RSUP H.Adam Malik Medan ketika penulis diterima sebagai peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam yang telah memberikan kesempatan dan bimbingan dalam menyelesaikan pendidikan.
5. dr.E.N. Keliat, SpPD-KP., sebagai Pembimbing I dan dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP selaku Kepala divisi Penyakit Pulmonologi Alergi Immunologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam sebagai Pembimbing II yang telah memberikan banyak bimbingan, dorongan dan bantuan dalam menyelesaikan pendidikan.
6. Prof. dr. Sutomo Kasiman, SpPD-KKV, SpJP (K)., selaku Ketua Komisi Etik Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan persetujuan untuk pelaksanaan penelitian ini
Sihombing, SpPD-KGEH., Dr. dr. Juwita Sembiring, SpPD-KGEH., dr. Alwinsyah Abidin, SpPD-KP., dr. Abdurrahim Rasyid Lubis, SpPD-KGH., dr. Dharma Lindarto SpPD-KEMD., Dr.dr. Umar Zein SpPD-KPTI-DTM&H-MHA., dr. Refli Hasan SpPD,SpJP (K)., dr.Pirma Siburian SpPD., dr. EN Keliat SpPD-KP., dr. Blondina Marpaung SpPD-KR., dr. Leonardo Dairy SpPD-KGEH., Dr. Dairion Gatot SpPD-KHOM., dr. Soegiarto Gani SpPD., dr. Savita Handayani SpPD., yang merupakan guru-guru saya yang telah banyak memberikan arahan dan petunjuk kepada saya selama mengikuti pendidikan.
9. dr. Armon Rahimi, SpPD-KPTI., dr. Daud Ginting SpPD., dr. Saut Marpaung SpPD., dr. Mardianto, SpPD., dr. Zuhrial SpPD., dr. Dasril Efendi SpPD-KGEH., dr. llhamd SpPD., dr. Calvin Damanik SpPD., dr. Zainal Safri SpPD.,SpJP., dr. Rahmat Isnanta, SpPD., dr. Santi Safril, SpPD., dr. Jerahim Tarigan SpPD., dr. Endang Sembiring SpPD., dr. Abraham SpPD., dr. Franciscus Ginting SpPD., dr. Syafrizal SpPD., dr.Wika Hanida Lubis SpPD., dr. Imelda Rey SpPD., dr. Taufik Sungkar SpPD., sebagai dokter kepala ruangan/senior yang telah amat banyak membimbing saya selama mengikuti pendidikan.
10. Direktur RSUP H Adam Malik Medan, Direktur RSUD Dr Pirngadi Medan dan Direktur RS. Tembakau Deli Medan yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin dalam menggunakan fasilitas dan sarana Rumah Sakit untuk menunjang pendidikan keahlian ini.
12. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan izin dan menerima saya, sehingga dapat mengikuti pendidikan keahlian ini.
13. dr. Riri Andri Muzasti, dr. Vera Abdullah, dr. T.Iskandar Rizal, dr. Medina, dr. Hendra Adiputra, dr. Restuti H. Saragih, dan dr. Doharman, yang telah bersama mengalami suka dan duka selama mengikuti pendidikan.
14. Kepada senior kami dr. Lenni Sihotang SpPD, dr. Budianto Sigalingging SpPD., dr.Erik Nelson SpPD., dr. Erik Halim SpPD., dr. Faisal SpPD., dr. Faizal Drissa Hasibuan SpPD., dr. Hendra Zufri SpPD., dr. Zulfan SpPD., dr. Shahrul Rahman SpPD., para sejawat peserta PPDS llmu Penyakit Dalam, perawat dan paramedis SMF/Bagian llmu Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik Medan/ RSUD Dr Pirngadi Medan serta Bapak Syarifudin, Kak Leli, Yanti, Wanti, Erjan, Sari, Fitri, Deni dan Ita terima kasih atas kerja sama dan bantuannya selama ini. 15. Para pasien rawat inap dan rawat jalan di SMF/Bagian llmu Penyakit Dalam RSUP H Adam Malik Medan/RSUD Dr. Pirngadi Medan, RS Tembakau Deli/RSUD Sibuhuan, karena tanpa adanya mereka tidak mungkin penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.
16. Drs. Abdul Jalil Amri Arma, M.Kes., yang telah memberikan bantuan dan bimbingan yang tulus dalam menyelesaikan penelitian ini.
Kepada Ayah Mertua Abdurrahim,SH dan Ibu Mertua Elis Nurhatma yang telah memberikan dorongan semangat dalam menyelesaikan pendidikan ini, saya ucapkan terimakasih yang setulusnya bagi orangtua yang sangat saya sayangi dan hormati.
Teristimewa kepada istriku tercinta dr. Erni Wahyuni, terima kasih atas kesabaran, ketabahan, pengorbanan dan dukungan yang telah diberikan selama ini, semoga apa yang kita capai ini dapat memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan bagi kita bersama dan senantiasa dalam lindungan Allah SWT. Demikian juga kepada ketiga anak yang sangat ayah sayangi Muhammad Imam Arrasyid, Muhammad Aziz Arridho, dan Syifa Khairani, yang selalu menjadi penambah semangat serta pelipur lara dikala senang dan susah semoga apa yang kita jalani bersama selama ini menjadi pendorong untuk mencapai cita cita yang lebih baik lagi.
Terima kasihku yang tak terhingga untuk Adinda Sri Diaty br Ginting, Adinda Novendra Ginting, Kakanda Era Permatasari dan keluarga, Adinda Eri Rahman, Adinda Erwin Bachari, dan seluruh anggota keluarga yang telah banyak membantu, memberi semangat dan dorongan selama pendidikan.
Kepada semua pihak telah membantu kami dalam menyelesaikan pendidikan spesialis ini, kami mengucapkan terima kasih.
Akhirnya izinkanlah penulis memohon maaf yang sebesar-besarnya atas kesalahan dan kekurangan selama mengikuti pendidikan ini, semoga segala bantuan, dorongan dan petunjuk yang diberikan kepada penulis selama mengikuti pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFAR GAMBAR ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
DAFTAR SINGKATAN ... xii
ABSTRAK ... xiii
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang... 1
1.2. Perumusan Masalah... 3
1.3. Hipotesis... 3
1.4. Tujuan Penelitian ... 3
1.4.1. Tujuan Umum... 3
1.4.2. Tujuan Khusus ... 4
1.5. Manfaat Penelitian ... 4
1.6. Kerangka Konsepsional... 4
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN... 5
2.1. Definisi... 5
2.2.1. Diagnosis PPOK ... 6
2.2.1.1. Diagnosis PPOK Klinis... 6
2.2.1.2. Penentuan stadium PPOK ... 9
2.3. Fungsi Ereksi... 11
2.3.1. Fisiologi Ereksi... 11
2.3.2. Disfungsi Ereksi ... 16
2.4. Disfungsi Ereksi (DE) pada PPOK stabil... 22
2.4.1. Patogenesis DE pada PPOK stabil ... 22
2.4.2. Frekuensi DE pada PPOK stabil... 23
2.4.3. Diagnosis DE pada pasien PPOK... 24
2.4.3.1. Pemeriksaan penunjang... 24
2.4.3.2. Kuesioner IIEF ... 24
BAB III METODE PENELITIAN ... 25
3.1. Desain penelitian ... 25
3.2. Waktu dan tempat penelitian ... 25
3.3. Populasi terjangkau ... 25
3.4. Kriteria yang diikutkan dalam penelitian... 25
3.5. Kriteria yang dikeluarkan dari penelitian ... 26
3.6. Perkiraan besar sampel... 26
3.7. Cara penelitian... 27
3.8. Definisi operasional... 28
3.11 Kerangka operasional... 37
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 38
4.1. Hasil Penelitian ... 38
4.2. Pembahasan... 53
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 58
5.2. Saran ... 59
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Pembagian masalah dan interpretasi skor total
pertanyaan kuesioner IIEF ... 34 Tabel 2. Karakteristik dasar pasien PPOK stabil... 40 Tabel 3. Tingkat/stadium keparahan pasien PPOK stabil ... 41 Tabel 4. Derajat disfungsi seksual terhadap 6 masalah
seksual pasien PPOK stabil ... 42 Tabel 5. Derajat disfungsi ereksi pasien PPOK stabil ... 43 Tabel 6. Hubungan stadium keparahan PPOK stabil dengan
derajat disfungsi ereksi... 44 Tabel 7. Uji hipotesis korelatif Gamma terhadap hubungan
antara stadium keparahan PPOK stabil dengan
derajat disfungsi ereksi... 45 Tabel 8. Hubungan antara perbedaan rerata FEV1prediksi
pasien PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi ... 46 Tabel 9. Test of homogeneity of variance
(FEV1prediksi-derajat DE) ... 47 Tabel 10. ANOVA (FEV1prediksi-derajat DE) ... 48 Tabel 11. Hubungan antara perbedaan rerata umur pasien
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Faseexcitement... 11
Gambar 2. Faseplateau... 12
Gambar 3. Faseorgasm... 13
Gambar 4. Faseresolution... 13
Gambar 5. Mekanisme molekuler ereksi penis... 15
Gambar 6. Mekanisme fisiologik relaksasi otot polos penis ... 16
Gambar 7. Bagan alur penelitian... 39
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1.Master Table... 64
Lampiran 2.Rekapitulasi Masalah Disfungsi Seksual Subyek ... 65
Lampiran 3.Lembar Penjelasan Kepada Calon Subjek Penelitian . 66 Lampiran 4.Surat Persetujuan Setelah Penjelasan... 67
Lampiran 5.Persetujuan Komisi Etik ... 68
Lampiran 6.Kuesioner Riwayat Penyakit ... 69
Lampiran 7.Laporan Tes Spirometri ... 72
Lampiran 8.Kuesioner IIEF ... 73
DAFTAR SINGKATAN
PPOK : Penyakit Paru Obstruktif Kronik
DE : Disfungsi Ereksi
IIEF : International Index of Erectile Function
IMT : Indeks Masa Tubuh
FEV1 : Forced Expiratory Volume in 1 second
FVC : Forced Vital Capacity
FEV1%prediksi : FEV1 pasien dibagi prediksi orang Indonesia normal USU : Universitas Sumatera Utara
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
Abstrak:
Hubungan Keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil dengan Disfungsi Ereksi
Ginting RR, Keliat EN, Abidin A
Latar belakang: Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) tidak hanya mengalami gejala respiratorik tetapi juga menunjukkan manifestasi ekstrapulmoner, salah satu diantaranya adalah disfungsi ereksi (DE). Kejadian DE pada pasien PPOK dapat sangat mengganggu kebahagiaan pasien dan keluarganya sehingga akan menurunkan kualitas hidup pasien.
Tujuan: Untuk mengetahui frekuensi disfungsi ereksi (DE) pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dan hubungan keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dengan disfungsi ereksi (DE).
Metode: Pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poliklinik pulmonologi rawat jalan dilakukan pemeriksaan klinik. Kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometri untuk menentukan keparahan PPOK stabil dan penilaian fungsi ereksi menggunakan kuesioner International Index of Erectile Function (IIEF) untuk menentukan skor fungsi ereksi.
Hasil: Dari 58 subyek yang diperiksa ditemukan frekuensi DE pada pasien PPOK stabil sebesar 77,59% (n=45), yang terdiri dari DE berat (32,76%;n=19), DE sedang (20,69%;n=12), DE ringan-sedang (13,79%;n=8) dan DE ringan (10,35%;n=6). Masalah seksual lain yang ditemukan pada pasien PPOK stabil adalah disfungsi kepuasan ketika berhubungan seksual (94,83%, n = 55), disfungsi orgasme (82,76%, n = 48), disfungsi hasrat seksual (87,93%, n = 51), disfungsi kepuasan seksual secara keseluruhan (91,38%, = 53), dan disfungsi kepercayaan diri untuk ereksi (94,83%, n = 55). Ditemukan hubungan bermakna (p<0,05) antara tingkat keparahan (stadium) PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi, dikuatkan oleh ditemukannya hubungan bermakna (p<0,05) antara perbedaan FEV1prediksi dengan derajat disfungsi ereksi. Akhirnya, ditemukan tidak ada hubungan bermakna (p>0,05) antara perbedaan umur dengan derajat disfungsi ereksi.
Kesimpulan: DE merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien PPOK stabil. Ada hubungan keparahan PPOK stabil dengan DE, dan perlunya dilakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan dugaan adanya peran sitokin pro-inflamasi terhadap kejadian disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil.
Abstract:
Relation of Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Severity with Erectile Dysfunction
Ginting RR, Keliat EN, Abidin A
Background:Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) present not only respiratory symptoms but also showed extrapulmonary manifestations, including erectile dysfunction (ED). Incidence of ED in patients with COPD can be very annoying happiness of patients and their families so that will reduce the quality of life of patients.
Objective: To determine the frequency of ED in patients with stable COPD and the relation of stable COPD severity with ED.
Methods: Patients with stable COPD who visited the outpatient clinic of Pulmonology performed clinical examination. Furthermore, we carried out lung function examination using spirometry to determine the severity of stable COPD and erectile function assessment using a questionnaire of International Index of Erectile Function (IIEF) to determine erectile function score.
Results: Of the 58 subjects tested found the frequency of ED in patients with stable COPD amounted to 77.59% (n = 45), which consists of severe ED (32.76%, n = 19), moderate ED (20.69%, n = 12), mild to moderate ED (13.79%, n = 8), and mild ED (10.35%, n = 6). Other sexual problems that are found in patients with stable COPD is intercourse satisfaction dysfunction (94.83%, n = 55), orgasm dysfunction (82.76%, n = 48), sexual desire dysfunction (87.93%, n = 51), overall satisfaction dysfunction (91.38 %, n = 53), and erectile confidence dysfunction (94.83%, n = 55). We found significant correlation (p <0.05) between the severity (stage) of stable COPD with the degree of erectile dysfunction, strengthened by the discovery of a significant association (p <0.05) between the difference of FEV1predicted with the degree of erectile dysfunction. Finally, we found no significant association (p> 0.05) between the difference of age with the degree of erectile dysfunction.
Conclusion: ED is a problem commonly encountered in patients with stable COPD. There is a relationship between the severity of stable COPD with ED, and requisite for further research to prove the allegation of the role of pro-inflammatory cytokines on the incidence of erectile dysfunction in patients with stable COPD.
Abstrak:
Hubungan Keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Stabil dengan Disfungsi Ereksi
Ginting RR, Keliat EN, Abidin A
Latar belakang: Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) tidak hanya mengalami gejala respiratorik tetapi juga menunjukkan manifestasi ekstrapulmoner, salah satu diantaranya adalah disfungsi ereksi (DE). Kejadian DE pada pasien PPOK dapat sangat mengganggu kebahagiaan pasien dan keluarganya sehingga akan menurunkan kualitas hidup pasien.
Tujuan: Untuk mengetahui frekuensi disfungsi ereksi (DE) pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dan hubungan keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dengan disfungsi ereksi (DE).
Metode: Pasien PPOK stabil yang berkunjung ke poliklinik pulmonologi rawat jalan dilakukan pemeriksaan klinik. Kemudian dilakukan pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometri untuk menentukan keparahan PPOK stabil dan penilaian fungsi ereksi menggunakan kuesioner International Index of Erectile Function (IIEF) untuk menentukan skor fungsi ereksi.
Hasil: Dari 58 subyek yang diperiksa ditemukan frekuensi DE pada pasien PPOK stabil sebesar 77,59% (n=45), yang terdiri dari DE berat (32,76%;n=19), DE sedang (20,69%;n=12), DE ringan-sedang (13,79%;n=8) dan DE ringan (10,35%;n=6). Masalah seksual lain yang ditemukan pada pasien PPOK stabil adalah disfungsi kepuasan ketika berhubungan seksual (94,83%, n = 55), disfungsi orgasme (82,76%, n = 48), disfungsi hasrat seksual (87,93%, n = 51), disfungsi kepuasan seksual secara keseluruhan (91,38%, = 53), dan disfungsi kepercayaan diri untuk ereksi (94,83%, n = 55). Ditemukan hubungan bermakna (p<0,05) antara tingkat keparahan (stadium) PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi, dikuatkan oleh ditemukannya hubungan bermakna (p<0,05) antara perbedaan FEV1prediksi dengan derajat disfungsi ereksi. Akhirnya, ditemukan tidak ada hubungan bermakna (p>0,05) antara perbedaan umur dengan derajat disfungsi ereksi.
Kesimpulan: DE merupakan masalah yang sering dijumpai pada pasien PPOK stabil. Ada hubungan keparahan PPOK stabil dengan DE, dan perlunya dilakukan penelitian lanjutan untuk membuktikan dugaan adanya peran sitokin pro-inflamasi terhadap kejadian disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil.
Abstract:
Relation of Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Severity with Erectile Dysfunction
Ginting RR, Keliat EN, Abidin A
Background:Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) present not only respiratory symptoms but also showed extrapulmonary manifestations, including erectile dysfunction (ED). Incidence of ED in patients with COPD can be very annoying happiness of patients and their families so that will reduce the quality of life of patients.
Objective: To determine the frequency of ED in patients with stable COPD and the relation of stable COPD severity with ED.
Methods: Patients with stable COPD who visited the outpatient clinic of Pulmonology performed clinical examination. Furthermore, we carried out lung function examination using spirometry to determine the severity of stable COPD and erectile function assessment using a questionnaire of International Index of Erectile Function (IIEF) to determine erectile function score.
Results: Of the 58 subjects tested found the frequency of ED in patients with stable COPD amounted to 77.59% (n = 45), which consists of severe ED (32.76%, n = 19), moderate ED (20.69%, n = 12), mild to moderate ED (13.79%, n = 8), and mild ED (10.35%, n = 6). Other sexual problems that are found in patients with stable COPD is intercourse satisfaction dysfunction (94.83%, n = 55), orgasm dysfunction (82.76%, n = 48), sexual desire dysfunction (87.93%, n = 51), overall satisfaction dysfunction (91.38 %, n = 53), and erectile confidence dysfunction (94.83%, n = 55). We found significant correlation (p <0.05) between the severity (stage) of stable COPD with the degree of erectile dysfunction, strengthened by the discovery of a significant association (p <0.05) between the difference of FEV1predicted with the degree of erectile dysfunction. Finally, we found no significant association (p> 0.05) between the difference of age with the degree of erectile dysfunction.
Conclusion: ED is a problem commonly encountered in patients with stable COPD. There is a relationship between the severity of stable COPD with ED, and requisite for further research to prove the allegation of the role of pro-inflammatory cytokines on the incidence of erectile dysfunction in patients with stable COPD.
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.1
PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.1
Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001, sebanyak 54,5% penduduk laki-laki dan 1,2% perempuan merupakan perokok, 92,0% dari perokok menyatakan kebiasaannya merokok di dalam rumah ketika bersama anggota rumah tangga lainnya, dengan demikian sebagian besar anggota rumah tangga merupakan perokok pasif (BPS,2001). Jumlah perokok yang berisiko menderita PPOK atau kanker paru berkisar antara 20 25%. Hubungan antara rokok dan PPOK merupakan hubungan dose response, lebih banyak batang rokok yang dihisap setiap hari dan lebih lama kebiasaan merokok tersebut maka risiko penyakit yang ditimbulkan akan lebih besar.1
Pasien PPOK mengalami penurunan fungsi paru, penurunan kapasitas fungsional dan akhirnya terjadi penurunan kualitas hidup. Pasien PPOK selain mengalami penurunan fungsi paru, juga mengalami gangguan ekstrapulmoner. Salah satu gangguan ekstrapulmoner tesebut adalah gangguan fungsi ereksi.
Disfungsi ereksi (DE) adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan/atau mempertahankan suatu ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan.2 Frekuensi DE pada pasien PPOK stabil ditemukan cukup bervariasi pada beberapa penelitian, diantaranya Hudoyo dkk. (1996) sebesar 62,5%,3 Ibanez dkk. (2001) sebesar 67%,4 Koseoglu dkk. (2005) sebesar 75,5%,5 dan Leluya dkk. (2006) sebesar 97%.6 DE sering menimbulkan gangguan yang dapat merusak kebahagiaan dan kualitas hidup pasien PPOK.
mempunyai efek langsung pada DE atau hanya merupakan refleksi dari semakin beratnya keparahan PPOK stabil.7
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang peneltian diatas, dapat disusun rumusan masalah sebagai berikut :
1. Berapakah frekuensi disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil?
2. Apakah ada hubungan keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dengan Disfungsi Ereksi?
1.3 Hipotesis
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Didapat frekuensi disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil
2. Ada hubungan keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dengan Disfungsi Ereksi.
1.4 Tujuan penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui derajat disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil yang datang ke poli pulmonologi dan alergi imunologi RSUP H. Adam Malik Medan dan RSUD dr. Pirngadi Medan
1.4.2 Tujuan Khusus
2. Mengetahui hubungan keparahan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) stabil dengan Disfungsi Ereksi.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Pengembangan Ilmu
Penelitian ini diharapkan dapat memberi tambahan pemahaman disfungsi ereksi sebagai salah satu komorbiditas pada pasien PPOK
2. Pengembangan Medik
2.1 Hasil penelitian ini dapat memberikan pemahaman klinisi untuk memperhatikan status seksual pasien sebagai salah satu penyakit penyerta dalam penatalaksanaan paripurna pasien PPOK stabil
2.2 Sebagai dasar melakukan penelitian lanjutan.
1.6. Kerangka Konsepsional
2.
Disfungsi Ereksi Fungsi Paru
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
2.1. DEFINISI
Disfungsi ereksi (DE) pada pasien penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) stabil adalah ketidakmampuan persisten untuk mencapai dan/atau mempertahankan suatu ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual yang memuaskan, yang ditemukan pada pasien PPOK stabil.7
2.2. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang ditandai dengan adalanya perlambatan aliran udara yang kronik disertai perubahan patologis paru, gejala ekstra-pulmoner, dan penyakit penyerta yang turut memberikan kontribusi terhadap keparahan penyakit pada pasien secara individual.8
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit yang ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya.1,9,10
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi.1
Dalam menilai gambaran klinis pada PPOK harus diperhatikan hal-hal sebagai berikut :1
c. Riwayat pajanan, seperti merokok, polusi udara (di dalam ruangan, luar ruangan, dan tempat kerja)
d. Sesak pada saat melakukan aktivitas
e. Hambatan aliran udara umumnya irrevesibel (tidak bisa kembali normal)
2.2.1. Diagnosis PPOK
Dalam mendiagnosis PPOK dimulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang (foto toraks, spirometri dan lain-lain). Diagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan foto toraks dapat menentukan PPOK klinis. Apabila dilanjutkan dengan pemeriksaan spirometri akan dapat menentukan diagnosis PPOK sesuai stadium.1
2.2.1.1. Diagnosis PPOK Klinis
Diagnosis PPOK klinis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, yang akan diuraikan sebagai berikut :
a. Anamnesis.1,9
Ada faktor risiko :
- usia pertengahan
- riwayat pajanan asap rokok, polusi udara, polusi tempat kerja
Gejala PPOK terutama berkaitan dengan respirasi. Keluhan respirasi ini
harus diperiksa dengan teliti karena seringkali dianggap sebagai gejala yang biasa terjadi pada proses penuaan.
- Batuk kronik
- Berdahak kronik
Kadang kadang pasien menyatakan hanya berdahak terus menerus tanpa disertai batuk
- Sesak napas, terutama pada saat melakukan aktivitas
Seringkali pasien sudah mengalami adaptasi dengan sesak napas yang bersifat progresif lambat sehingga sesak ini tidak dikeluhkan. b. Pemeriksaan Fisik.1,9
Pada pemeriksaan fisik seringkali tidak ditemukan kelainan yang jelas terutama auskultasi pada PPOK ringan, karena sudah mulai terdapat hiperinflasi alveoli. Sedangkan pada PPOK sedang dan berat seringkali terlihat perubahan cara bernapas atau perubahan bentuk anatomi toraks.
Secara umum pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan hal-hal sebagai berikut : Inspeksi
Bentuk dada :barrel chest(dada seperti tong)
Terdapat cara bernapaspurse lips breathing(seperti orang meniup). Takipnea.
Terlihat penggunaan dan hipertrofi (pembesaran) otot bantu napas.
Pelebaran sela iga
Tampilan fisikpink pufferataublue bloater. Palpasi
Fremitus melemah
Perkusi
Hipersonor
Auskultasi
Ekspirasi memanjang.
Mengi (biasanya timbul pada eksaserbasi)
Ronki kering.
Bunyi jantung jauh.
c. Pemeriksaan penunjang.1,9
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain :
Radiologi (foto toraks)
Spirometri
Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan terjadi
hipoksia kronik) Analisa gas darah
Mikrobiologi sputum (diperlukan untuk pemilihan antibiotik bila terjadi
eksaserbasi)
Diagnosis PPOK (secara klinis) apabila sekurang-kurangnya pada anamnesis ditemukan adanya riwayat pajanan faktor risiko disertai batuk kronik dan berdahak dengan sesak napas terutama pada saat melakukan aktivitas pada seseorang yang berusia pertengahan atau yang lebih tua.1
2.2.1.2. Penentuan klasifikasi (stadium) PPOK
Penentuan klasifikasi (stadium) PPOK sesuai dengan ketentuan Depkes RI 2008 / GOLD 2009 adalah sebagai berikut :1,8
a. PPOK Stadium I (ringan) Gambaran klinis :
Dengan atau tanpa batuk kronis
Dengan atau tanpa produksi sputum
Pasien biasanya tidak mengetahui bahwa fungsi parunya abnormal
Spirometri (perlambatan aliran udara ringan)
FEV1/FVC < 0,7
FEV1 80% prediksi
b. PPOK Stadium II (sedang) Gambaran klinis :
Dengan atau tanpa batuk kronis
Dengan atau tanpa produksi sputum
Sesak napas timbul pada saat aktivitas
Pasien mulai mencari bantuan medis sehubungan dengan gejala pernapasan
Spirometri (perburukan dari perlambatan aliran udara) FEV1/FVC < 0,7
50% FEV1< 80% prediksi
c. PPOK Stadium III (berat) Gambaran klinis :
Sesak napas lebih berat
Berkurangnya kapasitas aktivitas
Fatigue
Eksaserbasi lebih sering terjadi sehingga mempengaruhi kualitas hidup
pasien.
Spirometri (perburukan lebih lanjut dari perlambatan aliran udara)
FEV1/FVC < 0,7
30% FEV1< 50% prediksi
d. PPOK Stadium IV (sangat berat) Gambaran klinis & penunjang :
Gagal napas kronik, ditunjukkan dari hasil pemeriksaan analisa gas darah,
dengan kriteria PaO2 < 60 mmHg (hipoksemia, dengan atau tanpa PaCO2 > 50 mmHg (hiperkapnia)
Disertai komplikasi kor pulmonale (gagal jantung kanan) ditandai dengan
peningkatan tekanan vena jugularis, edemapitting kaki.
Spirometri (perlambatan aliran udara berat) FEV1/FVC < 0,7
FEV1 < 30% prediksi, atau
FEV1 < 50% prediksi ditambah gagal napas kronik / adanya komplikasi cor
pulmonale
2.3. FUNGSI EREKSI
2.3.1. Fisiologi Ereksi
Pada tahun enampuluhan, William Masters dan Virginia Johnson mempublikasikan Human Sexual Response , sebuah buku yang memberikan gambaran terperinci mengenai beberapa fase perubahan organ seksual laki-laki sebagai respon seksual. Adapun respon seksual tersebut dibagi atas 4 fase :11
1. Excitement
Gambar 1 FaseExcitement
skrotum membuat skrotum kontraksi dan bergerak lebih mendekati tubuh. Kelenjar
Couper menghasilkan cairan jernih yang disekresikan ke dalam uretra. Secara bersamaan, terjadi peningkatan tekanan darah seiring dengan meningkatnya
excitementseksual.11
2. Plateau
Gambar 2 FasePlateau
Pada fase ini, penis menjadi ereksi penuh dan laki-laki tersebut mendekati
3. Orgasm
Gambar 3FaseOrgasm
Ketika orgasm menjelang, terdapat sejumlah besar cairan pada kedua kelenjar prostat dan vesikula seminalis. Ketika orgasm otot penis berkontraksi dengan selang waktu yang teratur. Masters dan Johnson mengukur selang waktu antara kontraksi pertama sekitar 0,8 detik. Setelah beberapa detik kontraksi menjadi melemah dan panjang selang waktu meningkat. Serabut otot uretra juga mengalami kontraksi ketika ejakulasi untuk membantu mengeluarkan cairan semen melalui uretra yang terbuka.11
4. Resolution
Setelah ejakulasi badan spons secara bertahap dikosongkan dari darah. Pada awalnya penis akan berkurang ukurannya sampai 50% dari ukuran ketika ereksi. Dibutuhkan waktu beberapa saat sebelum ukuran penis kembali pada keadaanflaccid.11
Fisiologi ereksi mencakup komponen hormonal, vaskuler, psikologis, neurologis dan seluler. Testosteron terutama berperan mempertahankan hasrat seksual (libido), dan keadaan hipogonadism kadang-kadang berhubungan dengan disfungsi ereksi. Keadaan hormonal lain yang dapat menyebabkan disfungsi ereksi diantaranya adalah hipertiroid dan prolaktinoma. Suplai darah penis bermula pada arteri pudendal interna, yang bercabang kedalam arteri penis yang berakhir pada arteri kavernosa, dorsalis dan bulbouretra. Ereksi psikogenik, dipicu oleh stimulasi fantasi atau visual, yang kemungkinan dimediasi oleh masukan dari percabangan torakolumbal (T11 sampai L2). Ereksi refleks disebabkan oleh stimulasi taktil dan dimediasi sistim saraf parasimpatis (S2 dan S4). Secara keseluruhan, sinyal parasimpatetik bertanggung jawab untuk ereksi, dan sinyal simpatetik bertanggung jawab untuk ejakulasi.12
Gambar 5 Mekanisme molekuler ereksi penis. Nitric oxidedilepaskan dari terminal nervus nonadrenergik/nonkolinergik dan sel endotel pada korpus kavernosum. cGMP = cyclic guanosine monophosphate; GTP =
guanosine triphosphate; PDE-5 =phosphodiesterase type 5.
(Sumber : Beckman TJ. Evaluation and Medical Management of Erectile Dysfunction)
Gambar 6 Mekanisme Fisiologik Relaksasi Otot Polos Penis.
(Sumber : McVary KT. Erectile dysfunction. N Engl J Med 2007)
2.3.2. Disfungsi Ereksi
Disfungsi ereksi merupakan salah satu tipe dari disfungsi seksual. Adapun disfungsi seksual memiliki beberapa tipe masalah, diantaranya :
Libido
Ejakulasi
Disfungsi Ereksi
Berkurangnya libido dapat diakibatkan dari penyebab organik atau psikologik. Keadaan ini sering disertai kadar testosteron serum yang rendah atau kadar prolaktin yang meningkat, perubahan ini dapat primer maupun sekunder. Berkurangnya libido dapat juga berkaitan dengan problem psikologik, kesulitan menjalin hubungan, kesakitan medikal, penggunaan obat-obat tertentu.
Kesulitan ejakulasi dapat berupa ejakulasi prematur, ejakulasi yang lambat, anejakulasi atau ejakulasi retrograd. Ejakulasi prematur lebih sering dijumpai pada laki-laki muda daripada yang lebih tua. Keadaan ini dapat hilang atau berkurang dengan bertambahnya usia dan pengalaman seksual. Ejakulasi prematur didefinisikan sebagai ejakulasi yang terjadi sebelum atau dalam 2 menit setelah penetrasi vagina. Faktor psikologis, medis atau keduanya harus dipertimbangkan. Obat adrenergik, seperti dekongestan, sering menyebabkan ejakulasi prematur, sebagaimana halnya dengan epinefrin endogen yang dihasilkan pada ansietas. Ejakulasi yang lambat atau anejakulasi juga dapat disebabkan karena penyebab psikologik, neurologik atau medis atau kombinasi diantaranya. Ejakulasi retrograd sering terjadi pada pasien dengan gangguan neurologik, terutama neuropati diabetik, atau sebagai komplikasi dari reseksi prostat transuretral.14
yang potensial memperbaiki kualitas hidup, kepercayaan diri, dan kemampuan mempertahankan hubungan intim.7,13
Terdapat dua kategori disfungsi ereksi yaitu psikologik dan organik atau keduanya. Sering dijumpai seorang laki-laki yang mempunyai masalah dengan fungsi ereksi menjadi menderita ansietas, dan bisa kesulitan menentukan apakah faktor psikologik merupakan faktor utama atau menyertai penyakit lain.
Penyebab psikogenik terlibat pada hampir semua laki-laki dengan disfungsi ereksi, bahkan jika diketahui bahwa kebanyakan proses patofisiologi yang dominan adalah organik. Aspek psikis berperan penting terhadap ereksi, bahkan jika malfungsi organik terkecil pun dapat berakibat pada konsekuensi psikologis, yang selanjutnya disebut dengan performance related anxiety . Faktor faktor yang berperan pada disfungsi ereksi psikogenik dibagi atas 3 kelompok, yaitu faktor predisposisi (pendidikan, kultur, pengalaman traumatik, masalah keluarga, stres keuangan), faktor pencetus (gangguan organik, perselingkuhan, harapan yang tidak rasional, depresi dan ansietas, kehilangan pasangan hidup), maintaining factors
(penampilan terkait ansietas, berkurangnya daya tarik terhadap pasangan, ketakutan berhubungan intim).15
Penyebab organik disfungsi ereksi meliputi : Neurogenik
o Penyakit sistem saraf pusat : sklerosis multipel, cedera saraf spinal, depresi,
o Penyakit sistem saraf perifer : kompresi kauda equina, prolaps diskus
intervertebralis, neuropati perifer (diabetes, alkohol), cedera bedah pada saraf pelvis.15
Endokrin
Testosteron berperan penting terhadap fungsi seksual laki-laki pada hasrat seksual dan ereksi penis. Akan tetapi, berkurangnya kadar testosteron mempunyai efek yang bervariasi terhadap fungsi ereksi. Terdapat pengurangan libido, tetapi hanya sedikit efek pada fungsi ereksi. Laki-laki dengan hipogonad tidak serta-merta kehilangan fungsi ereksinya, namun dapat terjadi pengurangan ereksi nocturnal, dengan berkurangnya lama dan kekakuan ereksi. 15
Vaskulogenik
Penyakit vaskular merupakan penyebab paling sering disfungsi ereksi, dan dari semua penyebab vaskuler, yang paling banyak adalah aterosklerosis. Akan tetapi, tidak semua aterosklerosis berhubungan dengan disfungsi ereksi, tetapi faktor resikonya seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia dan diabetes, juga berkaitan dengan terjadinya disfungsi ereksi. Penelitian Massachusetts Male Aging
Transforming Growth Factor Beta 1 (TGF 1), yang meningkat pada hipoksia dan menginduksi perubahan trofik otot polos kavernosa.15
Seluler
Terdapat dua tipe sel kavernosa yang berperan penting pada ereksi penis, yaitu sel otot polos dan sel endotel. Sel endotel vaskuler membatasi ruang trabekuler dari sinusoid kavernosa dan melepaskan beberapa zat kimia vasoaktif yang mengendalikan tonus otot polos didalam penis, yang terpinting diantaranya adalah NO. Penyakit yang merusak endotel sehingga mengganggu respon vaskuler penis terhadap rangsangan neural. Beberapa penyakit yang dapat merusak endotel (termasuk hiperkolesterolemia), namun yang terpenting adalah diabetes melitus. Perubahan stuktur endotel pada diabetes melitus disertai perubahan fungsi akan berakibat terganggunya relaksasi otot polos. Pada penuaan dapat terjadi pengurangan otot polos penis. Jika terjadi malfungsi otot polos, dilatasi arteri menjadi tidak sempurna, dan relaksasi kavernosa gagal terjadi, akhirnya mekanisme oklusi vena gagal.15
Iatrogenik
Saraf parasimpatis yang membantu ereksi penis berada berdekatan dengan prostat dan sering mengalami kerusakan ketika pembedahan radikal.15
Penyakit Sistemik
Penyakit sistemik mempengaruhi fungsi seksual pria melalui berbagai jalan, antara lain pada penurunan libido dan impotensia ereksi, infertilitas, osteoporosis, dan penurunan massa otot. Efeknya dapat langsung pada tingkat testikular atau pada hypothalamic-pituitary-testicular axis.16 Pada tingkat testikular dapat terjadi pengurangan fungsi sel Leydig yang mengakibatkan defisiensi androgen. Penyakit akut dan kronik dapat mengganggu hypothalamic-pituitary-testicular axis
dan juga menyebabkan berkurangnya fungsi testikuler. Hipogonadisme didefinisikan sebagai berkurangnya aktifitas fungsional testis, dan dapat primer (penyakit testikuler) atau sekunder (penyakit hipotalamik-pituitari). Pada hipogonadisme primer, kadar testosteron berada dibawah rentang normal berkaitan dengan peningkatan gonadotropin. Sedangkan pada hipogonadisme sekunder kadar testosteron berada dibawah rentang normal berkaitan dengan kadar gonadotropin yang normal. Lama penyakit, apakah akut atau kronik tidak bermakna mempengaruhi kadar testosteron aktual, meskipun nilai testosteron sedikit tetapi tidak bermakna lebih rendah pada mereka dengan penyakit kronik dibandingkan dengan penyakit akut. Kadar follicle stimulating hormone (FSH),
2.4. DISFUNGSI EREKSI (DE) PADA PPOK STABIL 2.4.1. Patogenesis DE pada PPOK Stabil
Saat ini dugaan peran inflamasi kronik dapat menjadi pertimbangan. Hal ini dikuatkan oleh penelitian Karadag dkk (2007) yang menemukan bahwa terjadi peningkatan bermakna kadar sitokin pro-inflamasi (TNF ) seiring dengan semakin beratnya disfungsi ereksi dan keparahan PPOK. Walaupun demikian, masih belum jelas apakah TNF- mempunyai efek langsung pada DE atau hanya merupakan refleksi dari semakin beratnya keparahan PPOK stabil. Penelitian lebih lanjut diperlukan, karena belum ada penelitian yang melaporkan hubungan disfungsi ereksi dengan sitokin pro-inflamasi pada pasien PPOK stabil.7 Beberapa penelitian pada populasi umum melaporkan hubungan disfungsi ereksi dengan peningkatan sitokin pro-inflamasi. Ryu dkk (2004) menemukan hubungan disfungsi ereksi dengan peningkatan kadar TGF- 1 pada populasi umum.22 Guigliano dkk (2004) menemukan konsentrasi sitokin pro-inflamasi (IL-6, IL-8, IL-18) dan CRP yang lebih tinggi bermakna pada pasien dengan disfungsi ereksi dibandingkan pasien tanpa disfungsi ereksi.23
2.4.2. Frekuensi DE pada PPOK Stabil
Index of Erectile Function (IEEF) menemukan disfungsi ereksi pada 97% dari 40 pasien PPOK stabil.6
2.4.3. Diagnosis Disfungsi Ereksi pada pasien PPOK Stabil
Disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil dipertimbangkan bila tidak ditemukan penyebab yang sering lainnya.
2.4.3.1. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menyingkirkan penyebab penyebab lain atau keadaan yang dapat mempengaruhi disfungsi ereksi pada pasien PPOK stabil. Selain laboratorium darah rutin juga diperlukan pemeriksaan kimia darah lain seperti fungsi hati, ureum, kreatinin dan kadar glukosa darah. Pemeriksaan foto toraks juga dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis penyakit paru lainnya atau menyingkirkan diagnosis banding dari keluhan pasien.
2.4.3.2. KuesionerInternational Index of Erectile Function(IIEF).24
Pasien PPOK stabil di wawancara untuk menjawab kuesioner International Index of Erectile Function (IIEF) yang merupakan suatu metode untuk mendiagnosis dan mengklasifikasikan DE. Skor IIEF berkisar 0 25 dan DE digolongkan dalam lima kelompok menurut kriteriaNational Institutes of Healthsebagai berikut :
Skor 0 7 : DE berat
Skor 8 11 : DE sedang
Skor 12 16 : DE ringan-sedang
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Desain Penelitian
Penelitian ini dilakukan secara potong lintang yang bersifat deskriptif analitik.
3.2 Waktu dan tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2010.
Penelitian dilaksanakan di poliklinik Pulmonologi dan Alergi Immunologi Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, RSUD dr. Pirngadi Medan, dan RS Tembakau Deli Medan, Sumatera Utara.
3.3 Populasi terjangkau
Pasien PPOK stabil berjenis kelamin laki laki dan masih beristri yang melakukan pemeriksaan berkala di poliklinik Pulmonologi dan Alergi Immunologi Rumah Sakit H. Adam Malik Medan, RSUD dr. Pirngadi Medan, dan RS Tembakau Deli Medan.
3.4 Kriteria yang diikutkan dalam penelitian Subyek berjenis kelamin laki laki
Subyek masih mempunyai istri
untuk menjalani pemeriksaan fisik, laboratorium, foto toraks PA, spirometri, dan wawancara untuk pengisian kuesioner fungsi ereksi.
Subyek dengan klinis dengan klinis PPOK stabil (anamnesis dan pemeriksaan fisik) serta dari spirometri didapatkan hasil FEV1/FVC < 0,7
Subyek tidak termasuk dalam kriteria yang dikeluarkan dari penelitian
3.5 Kriteria yang dikeluarkan dari penelitian
Pasien PPOK yang mempunyai penyakit penyerta berupa penyakit
keganasan, kardiovaskuler, ginjal, hati, endokrin, gangguan neurologis atau metabolik, penyakit urogenital.
Pasien PPOK yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid sistemik
Pasien PPOK yang tidak mempunyai istri (pasangan berhubungan seksual)
Pasien PPOK yang mengalami eksaserbasi
Penyakit paru lain seperti bronkiektasis, fibrosis kistik, tuberkulosis, mikosis
paru dan asma
3.6 Perkiraan besar sampel
Untuk memperkirakan besar sampel dipergunakan rumus sampel sebagai berikut :
( Z P0Q0 + Z PaQa )2 n
Dimana :
Z : nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai yang ditentukan.
Untuk = 0,05 Z = 1,96
Z : nilai baku normal dari tabel Z yang besarnya tergantung pada nilai yang ditentukan.
Untuk = 0,05 Z = 1,282
P0 : proporsi PPOK tahun 1990 Q0= 1 P0
P0= 1,4% 0,014 Q0= 0,986 (1990)2 Pa : proporsi PPOK tahun 1997 Qa= 1 Pa
Pa= 25% 0,25 Qa= 0,75 (1997)2 P0 Pa : besar proporsi PPOK yang bermakna = 12%
( 1,96 (0,014)(0,986) + 1,282 (0,25)(0,75) )2 n
( 0,12 )2
n 42,83 ~ 43
3.7 Cara penelitian
Pada semua pasien yang masuk sebagai subyek penelitian diminta memberikan persetujuan tertulis (informed concent) dan dilakukan pemeriksaan sebagai berikut :
a. Dilakukan anamnesis untuk mendapatkan data : umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, keluhan utama, riwayat merokok atau paparan asap rokok, lama merokok, jumlah batang rokok yang dihisap setiap hari, riwayat penyakit terdahulu, riwayat penyakit sekarang, riwayat penyakit lainnya, dan riwayat penggunaan obat obatan baik secara oral, parenteral, atau inhalasi
b. Dilakukan pemeriksaan tinggi badan (TB) dalam satuan meter (m), berat badan (BB) dalam satuan kilogram (Kg), indeks massa tubuh (IMT) dalam satuan Kg/m2.
c. Dilakukan pemeriksaan tekanan darah (RD) dengan menggunakan shygmomanomater air raksa, dimana sebelumnya penderita diistirahatkan selama 5 menit. Pengukuran dilakukan pada lengan sebelah kanan sebanyak dua kali dan diambil rata ratanya.
d. Dilakukan pemeriksaan fisik khusus pada sistem pernapasan, baik secara inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. Pemeriksaan auskultasi dilakukan dengan menggunakan stetoskop diafragma.
spirometri untuk menilai tingkat keparahan PPOK stabil sesuai pedoman Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2009.8
f. Dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya berupa : laboratorium yang meliputi darah rutin, uji faal hati, ureum-kreatinin, dan kadar gula darah puasa, 2 jam sesudah makan atau sewaktu yang didapatkan pada bagian Patologi Klinik RSUP H. Adam Malik Medan, RSUD dr. Pirngadi Medan, dan RS Tembakau Deli Medan, dimana sampel diperiksa, serta pemeriksaan radiologi secara foto toraks PA.
g. Dilakukan wawancara fungsi ereksi pasien menggunakan kuesioer
International Index of Erectile Function(IIEF).24
3.8 Definisi Operasional
a. Subyek penelitian : pasien PPOK stabil yang menjalani pemeriksaan dan pengobatan secara teratur di poliklinik pulmonologi dan alergi immunologi RSUP H. Adam Malik Medan, RSUD dr. Pirngadi Medan, dan RS Tembakau Deli Medan selama periode penelitian dan sudah memberikan izin tertulisnya untuk mengikuti penelitian ini.
b. Usia : usia dihitung berdasarkan tanggal lahir yang tertera pada kartu tanda penduduk (KTP) dengan satuan hasil berupa tahun.
c. Jenis kelamin : berdasarkan yang tertera di kartu tanda penduduk (KTP) dengan hasil laki laki atau perempuan.
d. Pekerjaan dan pendidikan : ditanyakan secara lisan dengan pasien secara langsung
jumlah rata rata batang rokok yang dihisap setiap hari dalam satuan batang/hari
f. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) : keadaan penyakit yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, biasanya progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru-paru ketika menghirup partikel atau gas beracun, dengan beberapa efek ekstrapulmoner bermakna menambah keparahan pasien secara individual. Diagnosis PPOK sesuai kriteria Depkes RI 2008 dan GOLD 2009.1,8
g. PPOK stabil : PPOK yang tidak sedang eksaserbasi
h. Uji spirometri : pemeriksaan fungsi paru menggunakan spirometri.25, 26, 27
- Spirometri digunakan adalah spirometri Chest Graph HI-701 yang telah dikalibrasi terlebih dahulu.
- Spirometri dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas dari infeksi saluran napas.
- Pasien sebelum dilakukan pemeriksaan spirometri tidak boleh menggunakan obat obatan bronkodilator ( selama 6 jam untuk bronkodilator inhalasi kerja-pendek dan 12 jam untuk bronkodilator inhalasi kerja-panjang dan 24 jam untuk teofilin lepas lambat)
- Dilakukan pemeriksaan spirometri, sebelum dan 15 20 menit setelah pasien diberikan bronkodilator inhalasi yaitu golongan agonis 2
kerja-pendek berupa fenoterol dengan dosis inhalasi terukur 400 g.
o One-way mouthpiece sekali pakai yang bersih dipasangkan pada
spirometer
o Pasien diinstruksikan menghirup napas sedalam-dalamnya melalui
mouthpiecesampai paru-paru terasa penuh
o Kemudian pasien disuruh menahan napasnya selama waktu yang
cukup untuk menutupkan bibirnya dengan rapat disekeliling
mouthpiece
o Setelah itu pasien diinstruksikan menghembuskan udara sekuatnya
dan secepatnya sampai tidak ada lagi udara tertinggal untuk dikeluarkan.
o Sambil terus memberi semangat kepada pasien, perhatian juga
diberikan untuk memastikan mulut pasien menutup rapat disekeliling mouthpiece sehingga tidak terjadi kebocoran ketika menghembuskan udara.
o Prosedur diulangi sampai didapat tiga hasil spirogram yang
acceptable dan reproducible. Pengulangan prosedur dilakukan maksimum 8 kali usaha.
Acceptable mencakup start-of-test yang memuaskan, waktu
ekshalasi FVC minimum 6 detik, kriteria end-of-test, dengan tanpa adanya batuk, penutupan glotis (valsava manouvre), penghentian dini, hasil spirogram yang berbeda, kebocoran dan
mouthpiecetersumbat.
Reproducible, jika nilai FVC tertinggi dan FVC kedua tertinggi
dan nilai FEV1 tertinggi dan FEV1 kedua tertinggi dari spirogramacceptabletidak boleh berbeda lebih dari 0,2L.
- Kemudian dihitung tes reversibilitas bronkodilator, dengan rumus :
% FEV1 reversibilitas = FEV1 setelah bronkodilator - FEV1 sebelum bronkodilator x 100 % FEV1 sebelum bronkodilator
- Bila hasil spirometri menunjukkan perbaikan bermakna FEV1 setelah bronkodilator (% FEV1 reversibilitas > 12%), maka pasien dikeluarkan dari penelitian karena kemungkinan diagnosa asma.
- Bila didapat hasil spirometri setelah bronkodilator FEV1/FVC < 0,7 maka pasien dimasukkan dalam kriteria yang diikutkan dalam penelitian.
- Hasil spirometri berupa nilai FEV1 (ml) pasien dimasukkan dalam rumus untuk menghitung FEV1%prediksi untuk orang Indonesia.
- Prediksi nilai normal FEV1 (ml) untuk laki laki Indonesia berdasarkan umur (tahun) dan tinggi badan (cm) menggunakan rumusan Tim PneumobileRProject Indonesia 1992.28
i. Tingkat kepararahan (stadium) PPOK ditentukan dengan klasifikasi menurut kriteria Depkes 2008 dan GOLD 2009.1,8
- PPOK Stadium I (ringan) :
FEV1/FVC < 0,7
FEV1/FVC < 0,7
50% FEV1< 80% prediksi
- PPOK Stadium III (berat) : FEV1/FVC < 0,7
30% FEV1< 50% prediksi
- PPOK Stadium IV (sangat berat) : FEV1/FVC < 0,7
FEV1 < 30% prediksi, atau
FEV1 < 50% prediksi ditambah gagal napas kronik / adanya komplikasi
cor pulmonale
j. Hubungan seksual / coitus / sexual intercourse : penetrasi penis ke dalam vagina (vaginal coitus).11
k. Hasrat seksual/ libido : keinginan untuk melakukan hubungan seksual, dipengaruhi oleh berbagai rangsangan visual, olfaktori, taktil, auditori, imaginasi, dan hormonal. Hormon seks, terutama testosteron, bekerja meningkatkan hasrat seksual. Hasrat seksual dapat berkurang oleh karena masalah hormonal atau gangguan psikiatri atau obat-obatan.29
l. Ejakulasi : proses transport sperma dari epidydimis ke meatus uretra, mengakibatkan memancarnya cairan semen.30 Ejakulasi biasanya
mengakibatkan melembeknya penis, diikuti masa refrakter, dimana gairah (arousal) dan/atau orgasme tidak mungkin lagi sampai masa ini terlewati.30 m. Orgasme : interpretasi otak terhadap kejadian ejakulasi, bahkan jika
serebral yang biasanya dialami pada waktu ejakulasi, tetapi dapat terjadi tanpa ejakulasi.30
n. Disfungsi Ereksi (DE) : ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan suatu ereksi yang cukup bagi pelaksanaan hubungan seksual yang memuaskan.
o. Kuesioner Fungsi Ereksi / International Index of Erectile Function (IIEF) : instrumen yang digunakan untuk menilai fungsi ereksi dan telah digunakan pada trial klinis multinasional. Kuesioner ini memiliki 15 pertanyaan yang mencakup parameter berikut : fungsi ereksi (1,2,3,4,5), kepuasan ketika berhubungan seksual (6,7,8), fungsi orgasme (9,10), hasrat seksual (11,12), kepuasan seksual secara keseluruhan (13,14) dan tingkat kepercayaan diri untuk ereksi (15). Arahan penelitian ini terutama pada lima pertanyaan yang menggambarkan fungsi ereksi subyek (1,2,3,4,5), setiap pertanyaan bernilai 0-5. Kemudian nilai/skor dijumlahkan dengan skor total 0 25. Subyek dengan skor total > 21 dianggap normal (tidak ada DE), dan skor total 21 dianggap mengalami disfungsi ereksi (DE).20, 24
Tabel 1 Pembagian Masalah dan Interpretasi Skor Total Pertanyaan Kuesioner the International Index of Erectile Function (IIEF) 1997.24
q. Derajat disfungsi ereksi : derajat yang diperoleh dari interpretasi skor fungsi ereksi yang didapat dari pengisian kuesioner IIEF untuk pertanyaan nomor 1,2,3,4,5. Skor IIEF berkisar 0 25. Disfungsi ereksi digolongkan dalam lima kelompok (Tabel 1), yaitu disfungsi ereksi berat (0-7), disfungsi ereksi sedang (8-11), disfungsi ereksi ringan-sedang (12-16), disfungsi ereksi ringan (17-21), dan tidak ada disfungsi ereksi (22-25).
pengisian kuesioner IIEF untuk pertanyaan nomor 6,7,8. Skor IIEF berkisar 0 15. Disfungsi kepuasan ketika berhubungan seksual digolongkan dalam lima kelompok (Tabel 1), yaitu disfungsi berat (0-3), disfungsi sedang (4-6), disfungsi ringan-sedang (7-9), disfungsi ringan (10-12), dan tidak ada disfungsi (13-15)
s. Fungsi orgasme : derajat yang diperoleh dari interpretasi skor fungsi orgasme yang didapat dari pengisian kuesioner IIEF untuk pertanyaan nomor 9,10. Skor IIEF berkisar 0 10. Disfungsi orgasme digolongkan dalam lima kelompok (Tabel 1), yaitu disfungsi berat (0-2), disfungsi sedang (3-4), disfungsi ringan-sedang (5-6), disfungsi ringan (7-8), dan tidak ada disfungsi (9-10)
t. Derajat hasrat seksual : derajat yang diperoleh dari interpretasi skor derajat hasrat seksual yang didapat dari pengisian kuesioner IIEF untuk pertanyaan nomor 11,12. Skor IIEF berkisar 2 10. Derajat hasrat seksual digolongkan dalam lima kelompok (Tabel 1), yaitu disfungsi berat (2), disfungsi sedang (3-4), disfungsi ringan-sedang (5-6), disfungsi ringan
(7-8), dan tidak ada disfungsi
(9-10)
IIEF berkisar 2 10. Derajat kepuasan seksual secara keseluruhan digolongkan dalam lima kelompok (Tabel 1), yaitu disfungsi berat (2), disfungsi sedang (3-4), disfungsi ringan-sedang (5-6), disfungsi ringan (7-8), dan tidak ada disfungsi (9-10)
v. Derajat kepercayaan diri untuk ereksi : derajat yang diperoleh dari interpretasi skor derajat kepercayaan diri untuk ereksi yang didapat dari pengisian kuesioner IIEF untuk pertanyaan nomor 15. Skor IIEF berkisar 1 5. Derajat kepercayaan diri untuk ereksi digolongkan dalam lima kelompok (Tabel 1), yaitu disfungsi berat (1), disfungsi sedang (2), disfungsi ringan-sedang (3), disfungsi ringan (4), dan tidak ada disfungsi (5)
3.9 Analisa Data
Untuk menyajikan data data gambaran umur, indeks massa tubuh (IMT), riwayat lama merokok, jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap setiap hari, tingkat keparahan PPOK stabil, derajat disfungsi ereksi, penelitian ini menggunakan tabulasi dan dideskripsikan.
Untuk menilai hubungan perbedaan FEV1prediksi pasien PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi, menggunakan Uji Hipotesis Komparatif ANOVA.
Untuk menilai hubungan perbedaan umur pasien PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi, menggunakan Uji Hipotesis Komparatif ANOVA.
3.10 Ethical ClearancedanInformed Consent
Ethical Clearance diperoleh dari Komite Penelitian Bidang Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang ditanda tangani oleh Prof.dr.Sutomo Kasiman, SpPD.,SpJP(K) pada tanggal 16 Agustus 2010 dengan nomor surat : 193/KOMET/FK USU/2010.
Informed Consent diminta secara tertulis dari subyek penelitian yang bersedia ikut dalam penelitian setelah mendapatkan penjelasan dari peneliti mengenai maksud dan tujuan penelitian ini.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. HASIL PENELITIAN
Selama periode seleksi penelitian ini berlangsung dari tanggal 19 Agustus 2010 hingga 30 Desember 2010, diperoleh subyek penelitian sebanyak 63 subyek, setelah dilakukan pemeriksaan penyaring yang meliputi : data identitas pribadi, tekanan darah (TD), berat badan (BB), tinggi badan (TB), indeks massa tubuh (IMT), riwayat lama merokok, jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap setiap hari, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang meliputi : darah rutin, pemeriksaan fungsi hati, ureum-kreatinin, serta pemeriksaan kadar gula darah dan foto toraks PA didapat 2 subyek yang dikeluarkan dari alur penelitian, yang terdiri dari karena didiagnosis pneumonia dengan gejala batuk berdahak, pemeriksaan fisik kesan ronki basah pada lapangan paru, foto toraks menunjukkan gambaran infiltrat yang dianggap baru pada lapangan paru, dan laboratorium rutin menunjukkan leukositosis.
Dari 61 subyek penelitian yang lulus kriteria dimasukkan dalam penelitian dan kriteria dikeluarkan dari penelitian, dilakukan pemeriksaan spirometri. Dari hasil spirometri, 1 subyek dikeluarkan dari penelitian karena didapat nilai FEV1/FVC > 0,7.
Dari 60 subyek penelitian yang telah ditentukan tingkat keparahan (stadium) PPOK stabil, dilakukan wawancara menggunakan kuesioner International Index of Erectile Function (IIEF). Pada wawancara didapat 2 subyek tenyata sudah tidak punya istri lagi (meninggal dunia) sehingga tidak dapat dilanjutkan pemeriksaan fungsi ereksinya menurut kuesioner IIEF. Pada akhir pemeriksaan didapat subyek penelitian sebanyak 58 orang (Gambar 7)
Gambar 7Bagan Alur Penelitian
63 subyek penelitian
61 subyek penelitian
60 subyek penelitian
58 subyek penelitian
Analisa Data Spirometri Pemeriksaan penyaring
Kuesioner IIEF
2 subyek dikeluarkan : pneumonia
1 subyek dikeluarkan : FEV1/FVC > 0,7
2 subyek dikeluarkan : istri sudah meninggal
4.1.1. Karakteristik Dasar Pasien
Dari 58 orang pasien, seluruhnya adalah pria dan masih mempunyai istri (100%). Rerata umur pasien 66,21±8,12 tahun. Rerata merokok 21,00±9,75 batang rokok perhari, dan rerata lama merokok 36,90±8,95 tahun. Rerata Indeks Massa Tubuh (IMT) 22,27±4,00. Seluruh pasien (100%,n=58) memiliki nilai FEV1/FVC < 70%, dengan rerata FEV1/FVC(%) 51,02±13,54. Rerata nilai FEV1%prediksi 48,43±21,58. Dan rerata skor fungsi ereksi 11,72±8,56. (Tabel 2)
4.1.2. Tingkat Keparahan PPOK Stabil
Bila dibagi berdasarkan tingkat keparahan (stadium) PPOK stabil, ditemukan paling banyak yaitu 25 orang (43,10%) berada pada PPOK Stadium III, selanjutnya diikuti PPOK stadium II, PPOK stadium IV dan PPOK stadium I, berturut turut sebesar 22,42%, 20,69% dan 13,79%. (Tabel 3).
Tabel 3 Tingkat / Stadium Keparahan Pasien PPOK stabil
Keterangan : Stadium PPOK stabil berdasarkan FEV1%prediksi : stadium I (Ringan, FEV1 80% prediksi), stadium II (Sedang, 50% FEV1< 80% prediksi), stadium III (Berat, 30% 49%), stadium IV (Berat, FEV1 < 30% prediksi atau FEV1 < 50% prediksi ditambah gagal napas kronik / adanya komplikasi cor pulmonale).
4.1.3. Derajat Fungsi Seksual
Bila dibagi berdasarkan derajat disfungsi seksual terhadap 6 masalah seksual; (1) untuk masalah disfungsi ereksi didapat disfungsi ereksi pada 45 orang dari 58 orang subyek (77,59%); (2) untuk masalah kepuasan ketika berhubungan seksual didapat disfungsi pada 55 orang dari 58 orang subyek (94,83%); (3) untuk masalah fungsi orgasme didapat disfungsi orgasme pada 48 orang dari 58 orang subyek (82,76%); (4) untuk masalah hasrat seksual didapat disfungsi pada 51 orang dari 58 orang subyek (87,93%); (5) untuk masalah kepuasan seksual didapat disfungsi pada 53 orang dari 58 orang subyek (91,38%); (6) untuk masalah kepercayaan diri untuk ereksi didapat 55 orang dari 58 orang subyek (94,83%) (Tabel 4).
4.1.4. Derajat Fungsi Ereksi
Bila dibagi berdasarkan derajat fungsi ereksi, terdapat 13 pasien (22,41%) yang tidak ada disfungsi ereksi (DE). Sedangkan 45 pasien (77,59%) mengalami disfungsi ereksi, yang terdiri dari DE berat, DE sedang, DE ringan-sedang, DE ringan, berturut turut 32,76%, 20,69%, 13,79% dan 10,35%.(Tabel 5).
Tabel 5 Derajat Disfungsi Ereksi (DE) Pasien PPOK stabil
Keterangan : pembagian derajat DE berdasarkan skor fungsi ereksi, yaitu : Tidak ada DE (skor 22 25), DE Ringan (skor 17 21), DE Ringan-sedang (skor 12 16), DE Sedang (skor 8 11), DE Berat (skor 0 7)
4.1.5. Hubungan Tingkat / Stadium Keparahan PPOK stabil dengan Derajat Disfungsi Ereksi
Hubungan antara stadium keparahan PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi disajikan dalam bentuk tabel B x K (Baris x Kolom) ditunjukkan padaTabel 6.
Tabel 6 Hubungan Stadium Keparahan PPOK stabil dengan Derajat Disfungsi Ereksi. (Sumber : SPSS)
Stadium keparahan PPOK stabil merupakan variabel kategorikal ordinal, karena stadium I, stadium II, stadium III dan stadium IV adalah kategori bertingkat atau tidak sederajat.
Oleh karena peneliti tidak hanya berkeinginan mencari hubungan antara Stadium keparahan PPOK stabil dengan Derajat disfungsi ereksi saja, tetapi juga mencari seberapa besar kekuatan hubungan tersebut, maka uji hipotesis yang dipilih adalah uji hipotesis korelatif.
Berdasarkan kepustakaan (Dahlan MS,2006)31, pilihan uji hipotesis korelatif untuk variabel kategorikal ordinal (stadium keparahan PPOK stabil) dengan variabel kategorikal ordinal (derajat disfungsi ereksi), dimana kategori variabel ordinal tersebut sedikit sehingga dapat dibuat suatu tabel silang antara dua variabel, maka yang dipilih adalah Uji Hipotesis Korelasi Gamma (G), sebagaimana yang ditunjukkan padaTabel 7.
Tabel 7 Uji hipotesis korelatif Gamma terhadap hubungan antara stadium keparahan PPOK stabil dengan derajat disfungsi ereksi (Sumber : SPSS)
Keterangan : value : besarnya kekuatan korelasi, yaitu sangat lemah (0,00-0,199), lemah (0,20-0,399), sedang (0,40-0,599), kuat (0,60-0,799), sangat kuat (0,80-1,000); Approx.Sig. : nilai kemaknaan p, yaitu p<0,05 bermakna, p>0,05 tidak bermakna
4.1.6. Hubungan Keparahan / FEV1prediksi pasien PPOK stabil dengan Derajat Disfungsi Ereksi
Mengenai distribusi rerata (mean) FEV1prediksi pasien PPOK stabil berdasarkan derajat disfungsi ereksi disajikan dalam bentuk tabel (Tabel 8)
Tabel 8 Distribusi rerata (mean) FEV1prediksi pasien PPOK stabil berdasarkan derajat disfungsi ereksi. Sumber : SPSS
Masalah skala pengukuran FEV1prediksi adalah skala pengukuran variabel numerik, karena terdapat parameter ukuran pemusatan (rerata/mean) dan parameter ukuran penyebaran (standar deviasi), serta penyajiannya dalam bentuk tabel.
Kelompok data FEV1prediksi dibagi berdasarkan derajat disfungsi ereksi menjadi lima kelompok data, yaitu pada tidak ada DE(1), DE ringan(2), DE ringan-sedang(3), DE sedang(4), dan DE berat(5) .
Oleh karena peneliti berkeinginan mencari hubungan antara perbedaan FEV1prediksi dengan Derajat disfungsi ereksi , maka uji hipotesis yang dipilih adalah uji hipotesis komparatif.
Berdasarkan kepustakaan (Dahlan MS,2006)31, pilihan uji hipotesis komparatif untuk skala pengukuran variabel numerik dengan banyak kelompok data tidak berpasangan, adalah Uji Hipotesis Komparatif ANOVA.
Sebelum melakukan uji hipotesis komparatif ANOVA, terlebih dahulu dilakukan uji varians dengan Test of Homogeneity of Variances (Tabel 9) untuk melihat apakah kedua kelompok mempunyai varians data yang sama atau berbeda, karena syarat uji hipotesis komparatif ANOVA : varians data harus sama.
Tabel 9 Test of Homogeneity of Variancesdari FEV1prediksi dan Derajat DE
Keterangan : df1 (degrees of freedoms1) = k-1 =5-1=4, df2 (degrees of freedoms2) = n-k =58-5=53. n : jumlah kelompok, k : jumlah total sampel. Sig.:nilai kemaknaan p, yaitu p<0,05 bermakna, p>0,05 tidak bermakna.
Kemaknaan Test of Homogeneity of Variances menunjukkan angka 0,135 (p>0,05). Karena p > 0,05 ; maka dapat ditarik kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan varians antara kelompok data yang dibandingkan dengan kata lain